TINJAUAN HUKUM
INTERNASIONAL
TERHADAP KASUS PERADILAN SADDAM HUSSEIN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
terstruktur Uji Kompetensi Dasar
Mata Kuliah : Kapita Selekta Ilmu
Hukum/ Semester 6
Dosen Pengampu : Drs. Hassan
Suryono, SH, MH, M.Pd.
Disusun Oleh :
AGUS
PRASETIYO
NIM.
K6410002
PRODI
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saddam Hussein (Nama
lengkap: Saddam Hussein Abd al-Majid al-Tikriti) lahir di Al-Awja, Irak pada
tanggal 29 April 1937. Dia menjabat sebagai Presiden Irak sejak 1979 hingga
2003. Masa jabatannya harus diakhiri dengan cara paksa, ketika Amerika Serikat
dan tentara Sekutu menginvasi Irak tahu 2003 silam. Presiden Irak Saddam Husein
yang ditangkap oleh tentara AS (Sekutu) karena dianggap melanggar hukum
internasional.
Kemudian beliau diadili
di Baghdad karena dianggap melanggar Hukum Internasional. Pengadilan Saddam dibuat oleh Pemerintah Sementara Irak atas
presiden terguling Irak Saddam Hussein. Dia dituduhan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan semasa pemerintahannya. Saddam Hussein
dan beserta 11 eks petinggi Irak lainnya untuk
dakwaan kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida.
Pengadilan pertama
dimulai sebelum Pengadilan Khusus Irak pada tanggal 19 Oktober 2005. Pada
tanggal 5 November 2006, Saddam dijatuhi hukuman mati dengan
cara digantung. Kemudian ia banding, banding yang diajukan Saddam ditolak dan
hukuman mati tetap dilaksanakan. Kemudian Saddam
Hussein dieksekusi dengan digantung pada tanggal 30 Desember 2006.
Ada yang pro dan ada
yang kontra terhadap vonis itu. Sebagian besar pendapat umum di Uni Eropa,
pemerintah negara-negara anggota Uni Eropa sudah menghapuskan hukuman mati. Karena
dianggap tidak manusiawi dan karena alasan-alasan lain. Juga media mancanegara,
LSM internasional Amnesty International, tidak ketinggalan Paus di Vatikan,
meski sependapat bahwa benar Sadam Hussein bertanggungjawab atas kejahatan
kemanusiaan terhadap rakyatnya sendiri, namun menentang vonis hukuman mati.
Hanya Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende yang keseleo lidahnya,
pernah menyatakan di muka pers, bahwa keputusan pengadilan Irak itu adil.
Tetapi kemudian 'memodifikasi' pendapatnya itu, setelah parpol-parpol penting
di Parlemen Belanda dan persnya mengeritik ucapan Balkenende yang dianggap “bizare” (ganjil sekali) keluar dari
seorang Perdana Menteri anggota Uni Eropa.
Kejahatan Saddam
masuk dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity).
Dalam pandangan hukum internasional, kejahatan atas kemanusiaan sama statusnya
dengan penjahat perang dan genosida. Tiga kategori perbuatan tersebut telah
melampaui batas-batas wilayah teritori kedaulatan negara. Artinya, ketika
seseorang melakukan jenis-jenis kejahatan tersebut, maka ia tidak lagi
terlindungi oleh kedaulatan mana pun (hak imunitas), sebab kejahatannya telah
berubah menjadi kejahatan internasional.
Kasus
tersebut menggambarkan fenomena praktek Hukum Internasional. Disini terjadi
kontradiksi antara hukum internasional dan hukum nasional. Ada pendapat bahwa,
Saddam Hussein hendaknya diadili oleh Mahkamah Kejahatan Internasioanal. Namun
pada prakteknya, Saddam Hussein diadili
oleh peradilan nasional Irak. Hal itu, menyebabkan timbul anggapan bahwa
peradilan untuk ia tidak wajar. Hal itu dibuktikan dengan hakim yang dipilih
tidaklah berasal dari sistem peradilan yang bersih dan independen. Hakim ditunjuk
oleh Pemerintah Irak sendiri, bukan melalui mekanisme yang seharusnya. Selain
itu, kedudukan Saddam Hussein sebagai subjek hukum masih menjadi pedebatan.
Mengapa ia yang harus bertanggungjawab atas kejahatan tersebut, bukan negara
Irak. Sebab dalam hukum internasional, negaralah yang disebut subjek hukum. Berdasarkan
latar belakang diatas, penulis membuat makalah yang berjudul, “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kasus
Peradilan Saddam Hussein”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka
penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana kedudukan hukum nasional Irak
terhadap hukum internasional pada kasus Pengadilan Saddam Hussein?
2.
Mengapa yang harus bertanggung jawab
pribadi Saddam Hussein ? Kenapa bukan negara Irak sebagaimana yang disebut
sebagai subyek hukum internasional ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka
penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1.
Menganalisis kedudukan hukum nasional
Irak terhadap hukum internasional pada kasus Pengadilan Saddam Hussein.
2.
Menjelaskan tanggungjawab pribadi Saddam
Hussein sebagai subjek hukum internasional.
D. Manfaat Penulisan Makalah
1.
Manfaat Teoritis
Penulisan makalah yang berjudul “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kasus
Peradilan Saddam Hussein” diharapkan mampu mengembangkan dan menambah pengetahuan
dan keilmuan hukum internasional, khususnya teori hubungan antara hukum
internasional dengan hukum nasional, serta mengetahui sebjek-subjek hukum
internasional dewasa ini.
2.
Manfaat Praktis
Penulisan makalah yang berjudul “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kasus
Peradilan Saddam Hussein” diharapkan dapat
dijadikan sebagai referensi untuk mengkaji permasalahan pada penerapan atau
praktek hukum internasional, terutama berkaitan kedudukan nasional terhadap
hukum internasional, serta tanggungjawab individu sebagai subjek hukum internasional
pada kasus Saddam Hussein.
BAB
II
KAJIAN
TEORI DAN PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
1.
Definisi
Konsep
a. Hukum
Internasional
Hukum
Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan
atau persoalan melintasi batas-batas negara-negara[1]
antara: 1) negara dengan negara, 2) negara dengan subjek hukum internasional
lainnya.
Hukum
internasional dapat didefinisikan pula sebagai keseluruhan hukum yang untuk
sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku terhadap
negara-negara yang merasa dirinya terikat, menaati, dan karenanya, benar-benar
ditaati secara umum dalam hubungan mereka satu sama lain[2],
meliputi: a) kaidah- kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya organisasi
internasional, hubungan-hubungan mereka, hubungan mereka dengan negara-negara
dan individu-individu, dan b) kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan
dengan individu-individu dan badan non-negara sejauh hak dan kewajiban mereka
penting bagi masyarakat internasional.
b. Hukum
Nasional
Hukum
nasional ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia di
dalan masing-masing lingkungan kebangsaan[3]
(negara yang nasional yang berdaulat dan merdeka).
Hukum nasional
dapat juga diartikan sebagai himpunan atau
sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan
peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dalam suatu negara, dan oleh karena itu juga
harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara
meraka satu dengan lainnya. Ruang lingkup hukum nasional terbatas pada suatu
wilayah negara tertentu.
c. Subjek
Hukum Internasional
Subjek
hukum umumnya diartikan sebagai pemegang hak dan kewajiban menurut hukum[4].
Secara umum yang dipandang sebagai subjek hukum adalah: 1) Individu atau orang
perorangan (persoon) yaitu, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum
secara kodrati atau secara alami. 2) Badan atau lembaga hukum merupakan suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang
diberi status (persoon) oleh hukum
sehingga mempunyai hak dan kewajiban.
Subjek
hukum adalah kemampuan mewujudkan pemilihan hal-hal dan kewajiban internasional
yang mempunyai kapsaitas untuk mempertahankan hak-haknya dengan membawa
tuntutannya[5]. Sedangkan,
subjek hukum internasional adalah pendukung atau pemegang hak dan kewajiban menurut
ketentuan hukum internasional[6].
Arti
subjek hukum menurut hukum internasioanal ialah subjek yang memiliki kecakapan
internasional utama, yaitu: 1) mampu untuk menuntut haknya di pengadilan
internasional dan nasional, 2) menjadi subjek dari beberapa atau semua
kewajiban yang diberikan oleh hukum internasional, 3) mampu membuat perjanjian
internasional yang sah dan mengikat dalam hukum internasional, 4) menikmati imunitas dan yuridiksi
pengadilan nasional dan internasional.
Secara
teoritis subjek hukum internasional hanya negara, dan pendekatan praktis yang
berpangkal pada kenyataan yang ada, timbul fakta hukum bahawa subjek hukum internasional
bukan hanya negara[7]. Dewasa
ini yang sudah diakui sebagai subjek hukum internasional[8]
adalah: 1) Negara, 2) Organisasi Internsional, 3) Palang Merah Internasional,
4) Takhta Suci Vatikan, 5) Organisasi Pembebasan Bangsa, 6) Wilayah
Perwalian,7) Kaum Belligerensi , 8)
Individu.
2.
Teori
Hubungan Antara Hukum Internasional Dengan Hukum Nasional
Dalam menentukan hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional
terdapat dua teori, yaitu dualisme dan monoisme. Teori Dualisme memandang,
kedua sistem hukum tersebut merupakan hal yang berbeda. Sedangkan Teori
Monoiseme memandang bahwa, kedua sistem saling mempengaruhi dan terdapat Primat
(lebih mengutamakan) Hukum Internasional atau Primat Hukum Nasional.
a. Teori
Dualisme
Aliran
dualistik (dualistic school) melihat
hukum internasional dan hukum nasional tidak saling bergantung satu sama lain.
Kedua sistem tersebut, mengatur permasalahan
yang berbeda. Hukum internasional mengatur hubungan antara negara yang
berdaulat, sedangkan hukum nasional mengatur urusan dalam negeri negara yang
bersangkutan[9].
Aliran
dualisme berpendapat berpendapat bahwa kedua sistem saling menolak satu sama
lain dan tidak mempunyai kontak dan efek satu sama lain. Para penganut aliran
ini tidak mengakui bahwa konflik dapat timbut akibat pertentangan kedua sistem
hukum tersebut[10]. Dengan
demikian, kedua sistem hukum tersebut adalah dua hal yang berbeda, sehingga
tidak ada superioritas. Kedua sistem hukum berdiri sendiri dan tidak saling
mempengaruhi.
Penganut
pandangan teori ini memandang bahwa, hukum nasional dan hukum internasional
merupakan dua bidang yang berbeda dan berdiri sendiri satu dengan lainnya[11].
Perbedaan hukum nasional hukum nasional dan hukum internasional pertama dapat
dilihat dari subjeknya, subjek hukum nasional adalah individu sedangkan subjek
hukum internasional adalah negara. Kedua adalah ruang lingkup, hukum nasional
berlaku dalam batas wilayah negara tertentu sedangkan hukum internasional
berlaku lebih luas yaitu antar negara. Ketiga ialah sumber hukum, hukum
internasional berdasar kehendak negara dan hukum internasional bersumber pada
kesepakatan antar negara. Karena kedua sistem hukum tersebut berdiri sendiri
dengan corak, sifat dan ruang lingkup yang berbeda, maka menurut teori ini
tidak ada pengutamaan. Perbedaan yang dikemukaan teori ini saat ini kurang
diterima, sebab dewasa ini terjadi perubhan dan perkembangan yang sangat
mendasar mengenai struktur hukum nasional ataupun hukum internasional.
Teori
ini pada prinsipnya berpendapat bahwa, hukum nasional lebih utam daripaada
hukum internasional[12].
Adapun keberlakuan hukum internasional tergantung pada kemauan negara. Pengikut
pandangan ini antara lain: Triepel, Anzilotti.
Alasan
yang diajukan penganut paham dualisme baik secara formal maupun kenyataan[13],
alasan yang terpenting yaitu: 1) sumber hukum berlainan, 2) subjek hukum
berbeda, 3) perbedaan struktur atau tata hukum. Keberatan terletak pada
pemisahan mutlak antara hukum nasional dengan hukum internasional. Pada
kenyataannya, ada hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional bukan
karena perbedaan tersebut, melainkan kurang efektifnya hukum internasional.
b. Teori
Monoisme
Aliran
monistik (monistik school) mempunyai
suatu konsep tunggal mengenai hukum dan melihat semua hukum[14].
Dengan demikian hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian intergal
dari sistem yang sama. Apabila terjadi konflik anatara hukum internasional dengan
hukum nasional, penganut aliran ini berpendapat bahwa hukum internasional
hendaknya tak dapat diragukan lagi pemberlakuannya. Kedua sistem hukum tersebut
merupakan dua hal yang saling berkaitan, yang terbagi menjadi dua yaitu, Primat
(lebih mengutamakan) Hukum Internasional dan Primat Hukum Nasional.
Paham
monoisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur
hidup manusia[15]. Hukum
merupakan suatu sistem yang utuh, dimana hukum tidak berdiri sendiri. Hukum
yang satu dapat mempengaruhi hukum yang lain. Berikut penjelasan mengenai
hubungan hukum internasional dengan hukum nasional menurut primat (pengutamaan)
Teori Monoisme:
a. Primat
Hukum Internasional
Monoisme
pengutamaan hukum internasional memandang bahwa, hukum internasional merupakan
sumber dari hukum nasional[16].
Maka dari itu, hukum nasional harus tunduk pada hukum internasional. Hukum
internasional mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding hukum nasional.
Pandangan ini bertolak belakang dengan sejarah perkembangan ilmu hukum, dimana
sebenarnya usia hukum internasional jauh lebih muda dibanding hukum nasional.
Dipelopori
Mazhab Vienna dan Mazhab Perancis, berpendapat sebagai berikut[17]:
1) hukum internasional lebih tinggi dan utama, 2) hukum nasional tunduk dan
bersumber pada hukum internasional, 3) kekuatan mengikat hukum nasional
merupakan pendelegasian wewenang hukum internasional, 4) hukum internasional
lebih dahulu daripada hukum nasional. Pengikut pandangan ini antara lain:
Mazhab Vienna (Kunz dan Lelzen) dan Mazhab Perancis (Duquit, Scelle, Bourguin).
Hukum
nasional bersumber pada hukum internasinal dan menurut pandangan ini hukum
internasinal memiliki kedudukan hierarkis lebih tinggi[18].
Pada kenyataanya hal tersebut tidak benar selamanya, di negara tertentu seperti
Indonesia masih diperlukan ratifikasi hukum internasional seperti penjanjian internasional
dan bentuk lainnya.
b. Primat
Hukum Nasional
Berbeda
dengan pandangan monoisme primat hukum internasional, pandangan teori ini
menyatakan bahwa hukum internasional bersebut bersumber pada hukum nasional[19].
Hukum internasional merupakan lanjutan dari hukum nasional saja. Oleh karena
itu, apabila terjadi pertentangan antara keduanya, maka hukum nasional yang
harus lebih diutamakan. Hal ini sama saja merupakan penyangkalan terhadap eksistensi
hukum internasional.
Dipelopori
Mazhab Bonn, berpendapat sebagai berikut[20]:
1) hukum nasional lebih utama, 2) hukum internasional hanya kelanjutan hukum
nasional, 3) hukum internasional tidak lain daripada hukum negara untuk urusan
luar negari suatu negara, 4) hukum internasional bersumber dari hukum nasional.
Pengikut pandangan primat hukum nasional antara lain: Mazhab Bon yaitu Max
Wenzel.
Pada
hakikatnya pandangan merupakan penyangkalan terhadap adanya hukum internasional[21],
walaupun secara teoritis dan konstruksi logika berpikir yang dikemukakan
mungkin saja terjada pada kenyataannya.
B. Pembahasan
1.
Kedudukan
Hukum Nasional Irak Terhadap Hukum Internasional
Masalah
penyelesaian sengketa antar negara telah menyebabkan terciptanya
prosedur-prosedur yang berjangka luas meliputi perundingan, jasa-jasa baik,
penyelidikan, penengahan, konsiliasi, arbitrase, dan penyelesaian hukum[22].
Salah satu penyelesaian permasalahaan hukum internasional yang melalui jalur hukum
adalah pengadilan Saddam Husein.
Pengadilan Saddam Hussein ialah pengadilan yang
dibuat oleh Pemerintah Sementara
Irak atas presiden terguling Irak Saddam Hussein atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan semasa pemerintahannya. Pada tanggal 9
Desember 2003,
Otoritas Sementara Koalisi mengusulkan pembentukan Pengadilan Khusus Irak[23], yang terdiri atas 5 hakim Irak, untuk mengadili
Saddam Hussein dan beserta 11 eks petinggi Irak
lainnya untuk dakwaan kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida.
Mereka menghadapi tuduhan kejahatan perang, yang kemungkinan termasuk
pembantaian suku Kurdi (1988) dan invasi Kuwait (1990).
Dewan
Keamanan (DK) PBB pernah menjatuhkan akibat invasi Irak ke Kuwait. DK
menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Irak dan mulai berlaku pada tanggal 6 Agustus
1990 yaitu setelah 4 hari invasi Irak ke Kuwait[24].
Sanksi dijatuhkan karena Irak telah mengabaikan keputusan DK untuk menarik diri
dari Kuwait. Pada tanggal 29 Nopember 1990 dijatuhkan sanksi militer, kemudian
disusul serangan laut, udara, dan darat.
Perang
merupakan situasi daraurat yang terpaksa dilakukan orang, sifatnya keras atau kasar[25].
Namun dibalik kekerasan tersebut dituntut adanya kewajaran, tindakan diluar
kewajran mengakibatkan dikenal penjahat perang. Yang berhak mengadili para penjahat
perang adalah negara terhadap warga negaranya sendiri maupun pihak yang
berperang.
Amnesti Internasional menyatakan
pengadilan itu "tidak wajar" danHuman
Rights Watch mencatat bahwa eksekusi Saddam
“mengikuti pengadilan cacat dan menandai langkah berarti menjauhi aturan hukum
di Irak”[26].
Saddam
ditangkap pada 13 Desember 2003[27]
dan bersama para pejabat senior Ba’ath tetap dan di tahanan di Camp Cropper, Baghdad.
Perhatian khusus untuk aktivitas-aktivitas kampanye berdarah terhadap Orang
Kurdi di utara selama Perang Iran-Irak, terhadap Syiah di selatan (1991
dan 1999) untuk meredam pemberontakan,
dan di Dujail setelah percobaan pembunuhan yang gagal pada tanggal 8 Juli 1982,
selama Perang Iran-Irak. Saddam menegaskan dalam pembelaannya bahwa ia telah
dijatuhkan secara tidak sah, dan tetap menjadi Presiden Irak[28].
Pengadilan
pertama dimulai sebelum Pengadilan Khusus Irak pada tanggal 19 Oktober 2005[29].
Dalam kasus ini, Saddam dan 7 terdakwa lainnya diadili atas kejahatan terhadap
kemanusiaan dengan memandang pada peristiwa yang berlangsung setelah pembunuhan
yang gagal di Dujail pada tahun 1982[30].
Pengadilan kedua yang terpisah dimulai pada 21 Agustus 2006 mendakwa Saddam dan
6 ko-terdakwa atas genosida selama Kampanye Al-Anfal terhadap suku Kurdi di Irak Utara. Saddam juga
diadili in absentia[31] untuk peristiwa pada masa Perang Iran-Irak
dan invasi Kuwait.
Pada
tanggal 5 November 2006, Saddam dijatuhi hukuman mati dengan
cara digantung[32]. Pada
tanggal 25 Desember 20006, banding Saddam ditolak dan hukuman mati ditegakkan[33].
Tidak ada banding lanjutan yang diterima dan Saddam diperintahkan dieksekusi
dalam 30 hari sejak tanggal itu. Tempat dan waktu hukuman mati dirahasiakan
hingga hukuman dilaksanakan. Saddam Hussein
dieksekusi dengan digantung pada tanggal 30 Desember 2006[34].
Dengan kematiannya, dakwaan lain digugurkan.
Presiden
Irak Saddam Husein yang ditangkap oleh tentara AS (Sekutu) dan kemudian di
adili di Baghdad karena dianggap melanggar Hukum Internasional yaitu melakukan kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida.
Kemudian ia dijatuhi divonis mati dan dihukum gantung. Kasus tersebut
menggambarkan fenomena praktek Hukum Internasional.
Pada
umumnya kejahatan dipandang sebagai musuh umat manusia dan oleh karena ini umat
manusia berkewajiban untuk memberantasnya. Kejahatan genocide atau kejahatan pemusnahan ras telah diatur dalam Konvensi
Genocide tahun 1948[35].
Lahirnya Konvensi ini tidak lepas dari akibat pembantaian ratusan ribu orang
Yahudi oleh Nazi dibawah pimpinan Hitler. Jerman, Jepang, Italia didakwa
sebagai penyebab Perang Dunia II digolongkan kejahatan perang dan kejahatan
kemanusiaan. Sampai tahun 2003 atas dasar konvensi internasional sejak tahun
1812 ada 28 kategori kejahatan internasional[36].
Namun pada umumnya kita mengenal tiga kejahatan internasional yaitu, kejahatan
perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan genocide.
Kejahatan Saddam
masuk dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity).
Dalam pandangan hukum internasional, kejahatan atas kemanusiaan sama statusnya
dengan penjahat perang dan genosida. Tiga kategori perbuatan tersebut telah
melampaui batas-batas wilayah teritori kedaulatan negara. Artinya, ketika
seseorang melakukan jenis-jenis kejahatan tersebut, maka ia tidak lagi
terlindungi oleh kedaulatan mana pun (hak imunitas), sebab kejahatannya telah
berubah menjadi kejahatan internasional.
Pada
17 Juni 1998 Statuta Roma melahirkan Mahkamah Kejahatan Internasional/ Mahkamah
Pidana Internasional (Internasional Court
of Crime/ ICC) permanen yang dihadiri 148 negara[37].
Hasil pemungutan suara terdiri dari 120 negara mendukung, 7 negara menentang,
21 negara abstain. Amerika, China dan Irak adalah tiga dari tujuh negara yang
menentang. Kendati 120 negara mendukung sampai 18 Juni 2008 tercatat baru 108
negara yang meratifikasi Statuta Roma.
Mahkamah
di bawah PBB dan tempat berkedudukan Den
Haag, Belanda. Bahasa yang digunakan sama dengan bahasa resmi PBB, yaitu bahasa
Arab, China, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol. Badan kelengkapan meliputi:
kepresidenan, divisi banding, divisi, pengadilan, divisi prapeladilan, kantor
jaksa penuntut umum, dan kepaniteraan. Saat ini ada 15 hakim yang bertugas di
Mahkamah yang berasal dari berbagai negara. Sejak terbentuk 1998, Mahkamah
mulai efektif berlaku sejak 1 Juli 2002[38].
Pertama kali mengadili kasus kejahatan perang di Republik Demokratik Congo
terdakwa Thomas Lubanga Dyilo (Pimpinan Union
of Congolese Patriots).
Yuridiksi
Mahkamah meliputi kejahatan agresi, kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan kejahatan perang[39].
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai definisi kejahatan agresi.
Definisi kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
perang tertuang dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 Statuta Roma.
Kendala yang dihadapi Mahkamah Kejahatan
Internasional adalah kesediaan negara-negara
untuk menyerahkan pelaku kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida
untuk diadili di hadapan Mahkamah, mengingat negara-negara memiliki kedaulatan
yang cenderung untuk mengadili sendiri berdasarkan hukum nasionalnya, jika
negara itu adalah negara yang belum bahkan menolak untuk meratifikasi Statuta
Roma. Irak salah satu dari 7 negara yang menolak statuta tersebut dan
dipastikan tidak meratifiksai Statuta Roma.
Bagi setiap negara yang meratifikasi Statuta Roma, maka
berkewajiban menaati statuta tersebut. Berkaitan dengan hubungan hukum
internasional dan hukum nasional, kasus Saddam Hussein membuktikan kedudukan
hukum nasional Irak lebih tinggi (Primat Hukum Nasional). Dalam proses
pengadilan tersebut penuh rekayasa (tidak wajar), karena hakimnya dipilih oleh
Pemerintah Sementara Irak bukan oleh sistem peradilan independen (terlepas dari
kekuasaan eksekutif maupun legislatif). Penulis berpendapat, bahwa kasus ini
hendaknya diadili Mahkamah Kejahatan Internasional bukan di pengadilan buatan
pemerintah. Selain itu, kejahatan yang dilakukan Saddam Hussein termasuk dalam
yuridiksi Mahkamah, hendaknya diadili menurut hukum internasional.
Berdasarkan
praktek hukum Internasional pada kasus Saddam Husein, yang berlaku adalah Teori
Monoisme Primat Hukum Nasional. Penulis memberikan dapat memberikan argumentasi
atas pernyataan tersebut. Pertama,
aturan yang berlaku sesuai Statuta Roma, bahwa pelaku kejahatan perang,
kejahatan kemanusiaan, dan genosida
diadili oleh Mahkamah Kejahatan Internasional menurut hukum internasional bukan
pengadilan nasional. Kejahatan yang dilakukan Saddam Hussein tersebut merupakan
yuridiksi atau kewenang Mahkamah Kejahatan Internasional. Kedua, Irak belum meratifikasi Statuta Roma sebagai hukum nasionalnya.
Jadi berlakunya hukum internasional menjadi hukum nasional harus melalui
ratifikasi. Ratifikasi menjadi bukti bahwa, hukum internasional dapat berlaku
jika ada kemauan dari negara. Dua hal tersebut yang dijadikan alasan bahwa,
pada kasus kasus Saddam Husein kedudukan hukum nasional Irak lebih utama atau
lebih tinggi daripada hukum internasional (Teori
Monoisme Primat Hukum Nasional).
2.
Saddam
Hussein Sebagai Subjek Hukum Internasional
Untuk dapat disebut sebagai subjek Hukum Internasional, suatu entitas
harus memiliki personalitas Hukum
Internasional. Sebelumnya, agar
suatu entitas dapat dikatakan telah memiliki personalitas Hukum Internasional harus memiliki
beberapa kecakapan tertentu, yaitu:
a.
Mampu mendukung hak dan
kewajiban internasional
b.
Mampu melakukan
tindakan tertentu yang bersifat internasional
c.
Mampu menjadi pihak
dalam pembentukan perjanjian internasional
d. Memiliki kemampuan
untuk melakukan penuntutan terhadap pihak yang melanggar kewajiban
internasional
e.
Memiliki kekebalan dari
pengaruh/penerapan yurisdiksi nasional suatu negara
f.
Dapat menjadi anggota
dan berpartisipasi dalam keanggotaan suatu organisasi internasional
Subyek Hukum Internasional dewasa ini bukan hanya negara saja. Selain
itu, adalah tahta suci vatikan, palang merah
internasional, organisasi
internasional, individu, pemberontak, pihak dalam sengketa
dan subjek hukum lain yang diatur menurut ketentuan hukum internasional. Pada
kasus Saddam Hussen, ia dianggap subjek hukum internasional, yaitu sebagai
individu.
Kedudukan
individu sebagai subjek hukum internasional tidak perlu diragukan lagi. Pada
awal masa pertumbuhan hukum internasional, individu hanyalah sebagai subjek
hukum nasional. Sedangkan subjek hukum internasioanal bahkan satu-satunya
adalah negara. Sekarang ini, individu dalam batas tertentu dapat bertindak
secara mandiri dengan melakukan perbuatan hukum intenasional atas nama atau
untuk dirinya sendiri. Demikian pula individu dapat dibebani kewajiban
internasional dan dimintai pertanggung jawaban secara langsung di tingkat
internasioanal atas perbuatannya yang bertentangan dengan ketentuan hukum
internasional[40].
Pengakuan
individu sebagai subjek hukum internasional berkaitan erat dengan prinsip dan
kaidah hukum internasioanl yang memberkan hak dan memebebani kewajiban secara
langsung kepada individu[41].
Pada hakikatnya pengakuan individu sebagai subjek hukum internasioanl
berhubungan dengan permasalahan hak dan kewajiban asasi manusia merupakan hal
yang universal tanpa mengenal batas wilyah negara.
Pada
Perjanjian Perdamaian Varsailles tahun 1919 sudah ada pasal yang memungkinkan
orang perorangan (person) mengajukan
perkara ke Mahkamah Arbitrase Internasional[42].
Hal serupa ditemukan dalam Perjanjian antara Jerman dan Polandia tahun 1922
mengenai Silesia Atas. Pada perkembangannya lebih penting individu menjadi
subjek hukum internasional ialah keputusan Mahkamah Internasional menyangkut
pegawai kereta api Danzig. Karena sifatnya diktum Mahkamah, keputusan tersebut
memperkuat arah perkembangan individu sebagai subjek hukum internasioanal.
Tahap penting berikutnya adalah penuntutan penjahat pernag dihadapan Mahkamah
Kejahatan Perang Internasional.
Pada
prakteknya, terjadi dimana Mahkamah Militer Internasional yang bersidang di
Nurenbreg (Jerman) dan Tokyo (Jepang) pada tahun 1946 meminta secara langsung
pertanggungjawaban atas tindakan para pemimpin Jerman dan Jepang yang dituduh
berbagai pihak mengobarkan Perang Dunia II[43].
Mereka dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan individu sebagai penjahat perang harus
mempertanggungjawabkan sendiri tindakannya yang melanggar ketentuan hukum
internasioanal. Dengan kata lain, individu dalam contoh tersebut berkedudukan sebagai
subjek hukum internasional.
Melihat
perkembangan tersebut berkaitan dengan individu sebagai subjek hukum
internasional Pengadilan Nurenberg dan Tokyo memiliki arti sejarah (historis) yang sangat penting. Sangat
jelas bahwa, seseorang dianggap bertanggungjawab langsung sebagai individu atas
perbuatannya, dan ia tidak mendapat perlindungan dari negaranya.
Biossioni
memberikan definisi kejahatan internasional sebagai tindakan yang ditetapkan di
dalam konvensi multilateral, diikuti sejumlah negara dan didalamnnya terdapat
sepuluh karakteristik pidana[44].
Bryan
A. Ganner memberikan definisi kejahatan internasioanal sebagai kejahatan
terhadap hukum internasional: Pertama, tindakan yang berdasarkan perjanjian
internasional mengikat individu secara langsung tanpa diatur hukum nasional.
Kedua, Ketentuan hukum internasional yang mengharuskan penuntutan tindakan yang
dipidana berdasarkan prrinsip yuridiksi universal[45].
Dalam
fenomena praktek hukum internasional di Irak (Kasus Saddam Hussein) yang
bertanggungjawab adalah Saddam Hussein dan para pejabat Irak sebagai Individu,
bukan tanggungjawab negara. Tahap terpenting
pengakuan individu sebagai subyek hukum
internasional adalah ketika adanya
penuntutan penjahat-penjahat perang di hadapan Mahkamah Kejahatan Internasional yang diadakan
khusus untuk itu oleh negara-negara sekutu yang menang perang.
Saddam
Hussein Abd al-Majid al-Tikriti (Arab:صدام حسين عبد
المجيد التكريتي Saddām Husayn Aabdu-Al-majīd al-tikrītī; lahir di Al-Awja, Irak, 29 April 1937 – meninggal di
Kadmiya, Irak, 30 Desember 2006 pada umur 69 tahun)[46]
adalah Presiden Irak pada periode 16 Juli 1979 hingga 9 April 2003, ketika tertangkap
oleh pasukan koalisi saat menginvasi Irak pada tahun 2003.
Saddam
Hussein harus mempertanggungjawabkan atas tuduhan kejahatan kemanusiaan,
kejahatan perang dan genosida semasa memerintah Irak. Sehingga Saddam
Hussein-lah yang berdiri sebagai subyek hukum bukan negara Irak. Penulis meluruskan
bahwa yang diadili bukan Saddam seorang, melainkan juga para eks petinggi Irak lainnya yang dianggap
bertanggungjawab atas kejahatan tersebut. Dalam hukum internasional,
individu pun merupakan subjek. Namun sebagaimana asas hukum yang berlaku
universal, seharusnya Saddam Hussein tetap diperlakukan sebagai orang yang
belum bersalah sebelum divonis pengadilan (asas praduga tak bersalah).
Hak-haknya tetap harus dilindungi sebagai terdakwa, terutama mendapat bantuan hukum.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beradasarkan
pembahasan yang disajikan penulis pada BAB II, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Kedudukan
Hukum Nasional Irak Terhadap Hukum Internasional
Berdasarkan
praktek Hukum Internasional pada kasus Pangadilan Saddam Husein mantan Presiden
Irak, teori hubungan internasional dengan hukum nasional yang berlaku adalah
Teori Monoisme Primat Hukum Nasional. Berdasarkan fakta yang ada, kedudukan
hukum nasional Irak lebih tinggi daripada hukum internasional. Penulis
memberikan dua alasan mengapa pada kasus ini lebih mengutamkan hukum nasional
Irak.
Pertama,
aturan yang berlaku sesuai Statuta Roma, bahwa pelaku kejahatan perang,
kejahatan kemanusiaan, dan genosida
diadili oleh Mahkamah Kejahatan Internasional menurut hukum internasional bukan
oleh pengadilan nasional. Kejahatan yang dilakukan Saddam Hussein merupakan
yuridiksi Mahkamah Kejahatan Internasional, karena ia dianggap melakukan
kejahatan tersebut. Tetapi pada kenyataanya Saddam diadili menurut hukum
nasional Irak.
Kedua,
Irak belum meratifikasi (mengadopsi) Statuta Roma. Jadi berlakunya hukum
internasional menjadi hukum nasional harus melalui ratifikasi. Ratifikasi
menjadi bukti bahwa, hukum internasional dapat berlaku jika ada kemauan dari
negara. Sehingga kedudukan hukum nasional lebih tinggi dari hukum internasional
dengan adanya ratifikasi.
2. Saddam
Hussein Sebagai Subjek Hukum Internasional
Subyek Hukum Internasional dewasa ini bukan hanya negara saja. Selain
itu ada subjek lain, yaitu tahta suci vatikan, palang merah
internasional, organisasi
internasional, individu, pemberontak, pihak dalam sengketa
dan subjek lain yang diatur menurut hukum internasional. Pada kasus Saddam
Hussen, ia dianggap subjek hukum internasional, yaitu sebagai individu.
Melihat perkembangan tersebut
berkaitan dengan individu sebagai subjek
hukum internasional Pengadilan Nurenberg dan Tokyo memiliki arti sejarah yang sangat penting.
Sangat jelas bahwa dalam hukum
internasional, seseorang atau pribadi dianggap mampu
bertanggungjawab langsung sebagai individu atas perbuatannya, dan ia tidak
mendapat perlindungan dari negaranya.
Tahap terpenting pengakuan individu
sebagai subyek hukum internasional
adalah ketika adanya penuntutan
penjahat-penjahat perang di hadapan Mahkamah Kejahatan Internasional. Saddam Hussein harus
mempertanggungjawabkan secara
pribadi atas tuduhan kejahatan
kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida semasa memerintah Irak. Kejahatan yang ditudukkan tersebut, diatur dalam hukum
internasional. Sehingga Saddam
Hussein-lah yang berdiri sebagai subyek hukum internasional bukan negara Irak. Dengan kata lain, kedudukan Saddam Husseinsebagai subjek
hukum internasional adalah sebagai individu.
B. Saran
Penulis
dapat memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Hendaknya apabila Saddam Hussein diadili menurut hukum
nasional Irak, hakimnya dipilih oleh menurut aturan yang berlaku. Sistem
peradilan yang mengadilinya pun independen, terlepas dari kekuasaan eksekutif
maupun legislatif. Peradilan yang bersih dapat memberi rasa keadilan baik bagi
terdakwa maupun korban. Selain itu, seperti kasus Saddam Hussein hendaknya
diadili Mahkamah Kejahatan Internasional bukan di pengadilan “buatan”
pemerintah Irak, karena kejahatan yang dituduhkan merupakan kewenangan Mahkamah.
2. Sebagaimana
asas hukum yang berlaku universal, seharusnya Saddam Hussein tetap diperlakukan
sebagai orang yang belum bersalah sebelum divonis pengadilan (asas praduga tak
bersalah). Hak-haknya tetap harus dilindungi sebagai terdakwa, terutama
mendapat bantuan hukum. Ia harus tetap diperlakukan secara adil dan manusiawi,
walaupun kebanyakan orang menganggap ia adalah penjahat.
DAFTAR
PUSTAKA
Amnesti
Internasional. Diperoleh 7 April 2013, dari: http://www.amnesty.org/.
Bowett, D.W. 1992. Hukum Organisasi Internasional.
Diterjemahkan oleh: Bambang Iriana Djajaatmadja, SH. Jakarta: Sinar Grafika.
Bownlie, Ian. 1998. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional Publik.
Diterjemahkan oleh: Edy Suryono, SH, MH. Surakarta: UNS Press.
Effendi, H.A.
Mansyur. 1994. Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata.
Surabaya: Usaha Nasional.
Hiariej, Eddy O.S.
2009. Pengantar Hukum Pidana
Internasional. Jakarta: Erlangga.
I Wayan, Parthiana.
1990. Ekstadisi Dalam Hukum Internasional
dan Hukum Nasioanal Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
_______. 1990. Pengantar Hukum Internasional. Bandung:
Mandar Maju.
Kanal Berita
Liputan6.com. Kronologi
Penangkapan Saddam Hussein. Diperoleh 7 April 2013, dari:
http://news.liputan6.com/.
Kusumaatmadja, Mochtar.
1999. Pengantar Hukum Internasional Buku
I – Bagian Umum. Bandung: Putra Abardin.
Likadja, F.E. &
Bessie, D.F. 1988. Desain Intruksional
Dasar Hukum Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Starke, J.G. 1992. Pengantar Hukum Internasional Edisi
Kesepuluh. Diterjemahkan oleh: Bambang Iriana Djajaatmadja, SH. Jakarta
Sinal Grafika.
Suryokusumo, Sumaryo.
1997. Studi Kasus Hukum Organisasi
Internasional. Alumni: Bandung. Halaman
Wallace, Rebecca M.M.
1993. Pengantar Hukum Internasional.
Diterjemahkan oleh: Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Wikipedia Ensiklopedia.
Diperoleh 7 April 2013, dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Saddam_Hussein/.
Wikipedia Ensiklopedia. Diperoleh 7
April 2013, dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Saddam_Hussein/.
Footnote
[2] J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Diterjemahkan oleh: Bambang
Iriana Djajaatmadja, SH., Jakarta Sinal Grafika, 1992, Halaman 3.
[3] Frans E. Likadja dan
Daniel Fras Bessie, Loc.Cit., Halaman 51.
[4] I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung:
Mandar Maju, 1990, Halaman 58.
[5] Ian Bownlie, Prinsip-Prinsip Hukum Internasional Publik, Diterjemahkan oleh: Edy
Suryono, SH, MH., Surakarta: UNS Press, 1998, Halaman 67.
[6] I Wayan Parthiana. Loc.Cit., Halaman 58.
[7] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional Buku I – Bagian
Umum, Bandung: Putra Abardin, 1999, Halaman 68-70.
[8] I Wayan Parthiana. Op.Cit., Halaman 59.
[9] Rebecca M.M. Wallace, Pengantar Hukum Internasional,
Diterjemahkan oleh: Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH., Semarang: IKIP Semarang
Press, 1993, Halaman 58.
[10] Rebecca M.M. Wallace. Ibid.
[11] I Wayan Parthiana, Op.Cit., Halaman 255.
[12] Frans E. Likadja dan Daniel Fras Bessie,
Op.Cit., Halaman 64.
[13] Mochtar Kusumaatmadja,
Op.Cit,. Halaman 40-43.
[14] Rebecca M.M. Wallace. Loc.Cit., Halaman
58.
[15] Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., Halaman
42.
[16] I Wayan Parthiana, Op.Cit., Halaman 254.
[17] Frans E. Likadja dan
Daniel Fras Bessie, Op.Cit., Halaman 64-65.
[18] Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., Halaman
44-45.
[19] I Wayan Parthiana, Op.Cit., Halaman 254.
[20] Frans E. Likadja dan Daniel Fras Bessie,
Op.Cit., Halaman 64.
[21] Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., Halaman 43-44.
[22] D.W. Bowett, Hukum Organisasi Internasional,
Diterjemahkan oleh: Bambang Iriana Djajaatmadja, SH. Jakarta: Sinar Grafika, 1992,
Halaman 323.
[23] Wikipedia Ensiklopedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Saddam_Hussein
[24] Sumaryo Suryusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional,
Alumni: Bandung, 1997, Halaman 14.
[25] H.A. Mansyur Effendi, Hukum Humaniter Internasional dan
Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata, Surabaya: Usaha Nasional, 1994, Halaman 152.
[26] Amnesti Internasional, http://www.amnesty.org/
[27] Kanal Berita Liputan6.com, Kronologi Penangkapan
Saddam Hussein, http://news.liputan6.com/read/68171/kronologi-penangkapan-saddam-hussein
[35] I Wayan Parthiana, Ekstadisi Dalam Hukum Internasional dan
Hukum Nasioanal Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1990, Halaman 80-81.
[36] Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional,
Jakarta: Erlangga, 2009. Halaman 55-56.
[37] Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit.,
Halaman 70-71.
[38] Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit.,
Halaman 71-73
[39] Eddy O.S. Hiariej, Ibid.
[40] I Wayan Parthiana, Op.Cit., Halaman
91-93.
[41] I Wayan Parthiana, Ibid.
[42] Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., Halaman
74-76.
[43] I Wayan Parthiana, Op.Cit., Halaman
91-93.
[44] Eddy O.S. Hiariej,
Op.Cit., Halaman 46.
[45] Eddy O.S. Hiariej,
Ibid.