ANALISIS DAN KASUS
Dosen Pengampu : Dr. Triyanto, SH, M.Hum
Mata Kuliah : Hukum dan Perundang-Undangan
AGUS PRASETIYO
NIM. K6410002
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
Pengantar
Dalam
membentuk suatu aturan perundang-undangan, hal yang tidak boleh
dilakukan adalah melenceng dari asas atau jiwa dasar peraturan tersebut.
(Dodik Setiawan Nur Heriyanto – 2011). Di dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya
pada Pasal 5 diberikan penjelasan asas-asas dalam membentuk sebuah
produk aturan perundang-undangan yakni sebagai berikut:
- Kejelasan tujuan. Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
- Kelembagaan atau organ yang tepat. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
- Kesesuaian antara jenis dengan materi muatan. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.
- Dapat dilaksanakan. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efectivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
- Kedayagunaan dan keberhasilgunaan. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Kejelasan rumusan. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
- Keterbukaan. Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari pencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai desempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Sementara itu,
menurut UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mengandung asas-asas sebagai berikut:
- Pengayoman. Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat.
- Kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
- Kebangsaan. Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Kekeluargaan. Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
- Kenusantaraan. Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
- Bhineka Tunggal Ika. Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaza khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Keadilan. Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporcional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
- Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Yang dimaksud dengan ”asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
- Ketertiban dan kepastian hukum. Yang dimaksud dengan ”asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
10. Keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan. Yang dimaksud dengan ”asas keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan” adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan
kepentingan bangsa dan negara.
11. Asas-asas lain sesuai dengan
bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan: Yang
dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain: dalam Hukum Pidana,
misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas
pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; serta dalam Hukum
Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas
kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menyatakan tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam
Pasal 7 ayat (1), sebagai berikut:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah
Jenis
Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan yang telah ada sebelumnya seperti
Ketetapan MPR dan Keputusan Presiden yang dikategorikan dalam peraturan
yang bersifat beschikking. Peraturan dan atau Keputusan Menteri atau
Kepala Lembaga Pemerintahan lainnya tetap memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dalam konteks pelaksanaan kewenangan sebagai Pejabat Negara.
ASAS HUKUM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif); peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan itu lahir. Namun demikian, mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi keadilan masyarakat.
Asas lex superior derogat legi inferior
Asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex inferior); peraturan perundang-undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan hirarkhi norma dan peraturan perundang-undangan.
Asas lex specialis derogat legi generalis
Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis).
Asas lex posteri
Peraturan
perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex
periori); dalam setiap peraturan perundang-undangan biasanya terdapat
klausul yang menegaskan keberlakuan peraturan perundang-undangan
tersebut dan menyatakan peraturan perundang-undangan sejenis yang
sebelumnya digunakan, kecuali terhadap pengaturan yang tidak
bertentangan.
ANALISIS DAN KASUS
Dalam
ilmu hukum dipelajari tentang kaedah hukum (dalam arti luas). Kaedah
hukum (dalam arti luas) lazimnya diartikan sebagai peraturan, baik
tertulis maupun lisan, yang mengatur bagaimana seyogyanya kita (suatu
masyarakat) berbuat atau tidak berbuat. Kaedah hukum (dalam arti luas)
meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai
(norma), dan peraturan hukum kongkrit.
Asas-asas hukum merupakan
pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan latar belakang peraturan
hukum konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum
yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.
Sementara itu, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma)
merupakan perumusan suatu pandangan obyektif mengenai penilaian atau
sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau
dianjurkan untuk dijalankan (merupakan nilai yang bersifat lebih
kongkrit dari asas hukum).
Hukum bukanlah suatu skema yang final
(final scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika
kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus dibedah dan digali
melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran
dalam menggapai keadilan. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa hukum
bukan hanya sebuah rumusan teks perundang-undangan, namun hukum juga
merupakan sebuah “perilaku”. Yaitu perilaku yang yang berkembang di
masyarakat.
Jika hukum hanya dipahami sebuah rumusan
perundang-undangan (sebagaimana realita yang selama ini terjadi) sungguh
hukum tidak akan pernah bisa menahan lajunya kedinamisan yang terjadi
di masyarakat dan tidak akan pernah bisa menegakan keadilan. Karena teks
undang-undang merupakan sesuatu yang mati, tidak bisa bergerak tanpa
ada yang menggerakan, yaitu manusia.
ASAS LEGALITAS
Kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, pada pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000 berbunyi “Untuk
pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa”.
Tentunya bertentangan dengan pasal 28 i UUD 1945 yang berbunyi “...dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Pertentangan
seperti ini tentunya tidak lagi menggunakan asas lex specialis derogat
legi generale melainkan asas lex superior derogat legi inferiori karena
kedua peraturan tersebut secara hierarki tidak sederajat, jadi yang
harus ditaati adalah pasal 28 i UUD 1945. Namun, peraturan
perundang-undangan tidak boleh berlaku surut (peraturan
perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa
hukum yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan itu lahir).
Namun demikian, mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka
untuk memenuhi kemanfaatan dan keadilan masyarakat.
Jadi solusinya
untuk penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi
sebelum adanya UU pengadilan HAM tersebut tentunya diselesaikan dengan
menggunakan ketentuan umum dalam KUHP yang berkaitan dengan kasus
tersebut. Sangat ironis jika dalam kasus seperti ini masih ada yang
memaksakan untuk menjerat dengan UU pengadilan HAM tanpa memperhatikan
peluang seorang pelaku dapat dibebaskan karena kesalahan seperti ini dan
sangat sulit untuk menjerat kembali dengan dakwaan yang berbeda
terhadap kasus yang sama karena kita menganut asas ne bis ni idem (asas
yang melarang seseorang untuk diadili dan dihukum untuk kedua kalinya
untuk kejahatan yang sama).
Kasus lain:
Ahli
Hukum Achyar Salmi mengatakan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal
21 jo Pasal 47 Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
telah sesuai dengan asas legalitas. Karena pasal itu tidak ditemukan
adanya ketentuan yang bertentangan dengan asas legalitas yang diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, ketika memberi keterangan sebagai ahli
dalam uji materi UU Perkebunan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ahli
hukum dari FH-UI ini juga mengatakan bahwa ketentuan tersebut tidak
bertentangan dengan UUD 1945 yang didalilkan oleh pemohon. Permohonan
uji materi Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan ini diajukan oleh empat
orang petani yakni Japin, Vitalis Andi, Sakri, dan Ngatimin. Mereka
meminta MK agar membatalkan kedua pasal tersebut karena sering digunakan
aparat untuk mengkriminalisasi rekan mereka sesama petani. Pemohon juga
menilai pasal itu dinilai sumir dan melanggar asas "lex certa" karena
tidak merumuskan secara jelas dan rinci uraian perbuatan pidananya
berikut bentuk kesalahannya, sehingga dapat merugikan kepentingan
petani. Kedua pasal itu pun dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat
(3), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.
Atas dalil
pemohon ini, Achyar berpendapat rumusan Pasal 21 jo Pasal 47 UU
Perkebunan sudah sangat jelas dan tegas yang telah mengatur perbuatan
mana yang dilarang dan apa sanksinya. Pasal itu tidak menganut prinsip
analogi dan prinsip berlaku surut, jadi sudah sesuai dengan asas
legalitas. Kuasa Hukum Pemohon, Wahyu Wagiman, usai sidang, mengatakan
UU Perkebunan pasal 21 dan 47 dinilai akan mengorbankan masyarakat adat
yang bermukim dalam satu wilayah karena perusahaan secara mudah
mengambil alih lahan yang sudah dikuasai secara turun temurun. Secara
umum yang menjadi korban adalah masyarakat adat yang secara turun
temurun menguasai wilayah adatnya. Perusahaan masuk tanpa ada
komunikasi, kemudian mengambil alih lahannya. Kasus tersebut semakin
diperparah dengan tidak adanya ketentuan yang jelas dalam pasal tersebut
tentang apa saja tindakan yang dapat mengganggu usaha perkebunan.
Perbuatan yang mengganggu usaha perkebunan harus disebutkan secara
rinci. Aturan dalam pasal tersebut membahayakan sebab sebagian petani
akan dikriminalkan sementara mereka telah menjadi korban karena lahannya
diambil perusahaan.
ASAS LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIOR
Pemerintah
Republik Indonesia melalui DPR berencana hendak memositipkan suatu
produk hukum baru yang mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat secara
luas, yakni Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi sebagai
penyempurnaan dari RUU sebelumnya yang bernama RUU Anti Pornografi dan
Pornoaksi (RUU-APP) .
Menurut tradisi Civil Law System sebagai
sistem hukum yang secara formal berlaku di Indonesia, maka berdasarkan
teori Ulpianus hukum berdasarkan lapangan kepentingan yang diaturnya
dibagi menjadi dua ruang: hukum privat adalah hukum yang mengatur
hal-hal yang sifatnya personal, yakni kepentingan-kepentingan individu
(kepentingan privat) serta hubungan antar individu yang berlatar
belakang adanya kepentingan privat, sedangkan hukum publik adalah hukum
yang mengatur hubungan antara negara dengan masyarakat.
Kepentingan
privat adalah kepentingan individu yang sifatnya pribadi, sehingga
sekali lagi kepentingan ini antara orang satu dengan yang lain tidak
dapat disamakan. Contoh dari kepentingan privat ini adalah masalah
perkawinan, agama, keyakinan, harta pribadi, warisan, dan semacamnya.
Berkait dengan RUU Pornografi, maka jelas bahwa substansi RUU ini hendak
mengatur materi-materi seksualitas, bahkan hingga pengaturan atas salah
satu cara ekspresi seksualitas diri pribadi seseorang. Masalah
seksualitas, termasuk pengalaman dan cara ekspresi seksualitas adalah
hal yang tidak bisa dipisahkan dari kedirian manusia, oleh karena itu
hal ini jelas merupakan kepentingan yang sifatnya personal. Pengaturan
masalah seksualitas sebagaimana yang ada dalam RUU Pornografi adalah
tindakan keliru oleh negara karena menabrak batasan ruang privat yang
seharusnya dilindungi oleh negara itu sendiri.
Dalam hukum berlaku asas perundang-undangan yang berbunyi lex superior derogat legi inferior,
artinya bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus mendasarkan diri
dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di
atasnya. Materi dalam RUU Pornografi terutama yang ada dalam bab II
(pasal 4-14) cenderung memiliki potensi untuk bertentangan dengan UUD
1945, antara lain dengan pasal:
- Pasal 28 E ayat 2 UUD 1945:“Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikirandan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
- Pasal 28 F UUD 1945:“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
- Pasal 28 H ayat 4 UUD 1945:“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun.”
- Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945:“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
- Pasal 28 J ayat 1 UUD 1945:“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Berdasarkan kelemahan-kelemahan substansiil baik secara yuridis
dogmatis maupun secara yuridis teoretis dan filosofis sebagaimana
terjabarkan di atas. Maka pemaksaan atas rencana pemositipan RUU
Pornografi akan menimbulkan permasalahan kebangsaan yang serius melebihi
dari bahaya pornografi seperti yang digembar-gemborkan itu sendiri,
yakni berupa retaknya integrasi sosial. Jika sebuah negara plural dan
majemuk yang bernama Indonesia ini telah hilang dikarenakan disintegrasi
sosial bangsanya akibat adanya usaha penyeragaman dan totalisasi
standar nilai-nilai tertentu.
Jika latar belakang
pembuatan RUU Pornografi ini berpangkal pada kehendak untuk memberikan
pembinaan dan pendidikan moral (pasal 3 RUU Pornografi), maka perlu
diingat bahwa masalah moral, kesusilaan, serta nilai-nilai etika adalah
persoalan kultural yang sangat relatif-subyektif sifatnya. Adanya
keberagaman nilai-nilai etis moral dan kesusilaan yang ada di nusantara
membuktikan hal itu. Jika hal ini dilanggar maka resultante yang ada
adalah praktek totaliterisme dan otokratisme negara pada rakyat
sebagaimana yang terjadi di Eropa abad pertengahan lampau (dalam sistem
politik teokrasi) sehingga yang terjadi bukanlah terbangun kokohnya
nilai-nilai kemanusiaan, melainkan justru penindasan atas nilai-nilai
kemanusiaan itu sendiri. Bagaimanapun, penanganan atas persoalan
kultural yang paling baik adalah melalui saluran kultural itu sendiri
(semisal melalui pendekatan agama, pendidikan, dan semacamnya) dan bukan
melalui campur tangan negara. Justru dengan cara demikianlah yang akan
memperkaya khasanah kita sebagai bangsa yang berbudaya.
Kasus lain:
Mahkamah
Konstitusi menyatakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan (UU BHP) bertentangan dengan UUD 1945
(inkonstitusional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Demikian
amar putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 yang dibacakan oleh
Ketua MK Moh. Mahfud MD, Rabu (31/3), di Gedung MK. Para Pemohon
terdiri dari elemen mahasiswa, orang tua siswa, dan badan hukum yang
bergerak di bidang pendidikan, serta yayasan pendidikan swasta.
Dalam konklusinya, MK menyatakan Para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam perkara a quo. Dalil-dalil para pemohon sebagian cukup berdasar dan beralasan hukum.
Hakim
Konstitusi Harjono menjelaskan bahwa MK menyatakan UU BHP mempunyai
banyak kelemahan baik dari aspek yuridis, kejelasan maksud, dan
keselarasan dengan UU lain. UU BHP mendasarkan pada asumsi bahwa
penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan yang sama
untuk melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam UU BHP meskipun diberi
batas waktu selama enam tahun untuk menyesuaikan dengan UU BHP. Hal
demikian tanpa melihat realitas bahwa kesamaan status sebagai perguruan
tinggi negeri (PTN) saja tidak berarti secara serta-merta semua PTN di
Indonesia mempunyai kemampuan yang sama. Perbedaan kemampuan antara
PTN-PTN di Indonesia sangatlah jelas terlihat.
Sementara itu,
adanya ketentuan penyelenggaraan pendidikan harus dalam satu bentuk
badan hukum tertentu saja sebagaimana ditetapkan dalam UU BHP bagi
sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM) dengan cara melarang
bentuk perserikatan dan perkumpulan adalah jelas-jelas bertentangan
dengan UUD 1945. Di samping tidak boleh melanggar konstitusi, sistem
pendidikan nasional seharusnya memberi ruang kepada potensi yang masih
eksis sebagai modal nasional dalam penyelenggaraan pendidikan yang
terbukti pada masa lalu dengan segala keterbatasan, justru mampu menjadi
tulang punggung pendidikan bangsa dan potensi tersebut masih mempunyai
hak hidup secara konstitusional.
Sedangkan mengenai sekolah
swasta, MK berpendapat bahwa sekolah-sekolah swasta yang dikelola dengan
keragaman yang berbeda telah turut berjasa dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, baik pada masa penjajahan maupun pada masa
kemerdekaan. Di luar peran sertanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,
lanjut Harjono, yang paling harus dihargai oleh negara ialah
sekolah-sekolah swasta turut menjadi pelopor dan pembangkit semangat
nasional dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu
negara seharusnya memberdayakan sekolah-sekolah swasta tersebut supaya
bersama-sama dengan pemerintah menjadi mitra dalam memajukan pendidikan
nasional.
Mengenai perlunya penyeragaman penyelenggaraan
pendidikan, MK tidak menemukan alasan yang mendasar diperlukannya
penyeragaman penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat dalam bentuk badan hukum pendidikan sebagaimana diatur dalam
UU BHP. Keperluan praktis dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan
pendidikan tidak cukup menjadi alasan pembenar untuk mengurangi hak
konstitusional warga Negara.
Penyeragaman bentuk hukum badan hukum
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM), tidak sesuai
dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh MK dalam putusan perkara
Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007. Hal tersebut melanggar
hak konstitusional para Pemohon sehingga dalil-dalil para Pemohon dalam
perkara Nomor 126/PUU-VII/2009 beralasan karena pada intinya para
Pemohon berkeberatan atas penyeragaman yang diatur dalam UU BHP.
Selain
itu, MK juga berpendapat bahwa UU BHP yang menyeragamkan bentuk hukum
badan hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM)
adalah tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh MK
dalam putusan perkara Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007.
Hal tersebut juga telah melanggar hak konstitusional para Pemohon
sehingga dalil-dalil para Pemohon dalam perkara Nomor 126/PUU-VII/2009
beralasan karena pada intinya para Pemohon berkeberatan atas
penyeragaman yang diatur dalam UU BHP.
Hal tersebut merupakan salah satu contoh kasus asas hukum lex superior derogat legi inferior, dimana hukum yang kedudukan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. UU BHP (legi inferior) bertentangan dengan UUD 1945 (lex superior),
maka UU tersebut dapat dibatalkan. Apabila terjadi disharmonisasi
peraturan, untuk pengujian materi UU terhadap UUD dilakukan kepada
Mahkamah Konsitusi (judicial review). Dan dalam putusannya mengenai UU
BHP, MK membatalkan UU tersebut. Artinya UU BHP dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945, maka UU tersebut sudah tidak berlaku lagi (dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan) dan diganti dengan UU baru.
ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALIS
Generalis,
maka UU ini nantinya akan berlaku sebagai hukum khusus, yang akan
mengesampingkan hukum umum (dalam hal ini adalah KUHP) jika terdapat
pertentangan diantara keduanya. Hal ini sudah banyak terjadi dalam UU di
Indonesia, sebagai contoh adalah UU Kesehatan sebagai lex specialis
(hukum yang khusus) dengan KUHP sebagai lex generalis (hukum yang umum).
Dalam
Pasal 15 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan diatur perihal
diperbolehkannya aborsi atas indikasi medis, yaitu dalam keadaan
darurat yang membahayakan jiwa ibu hamil dan atau janinnya. Berbeda
dengan UU Kesehatan, KUHP sama sekali tidak memperkenankan tindakan
aborsi, apapun bentuk dan alasannya. Artinya dalam hal ini, jika terjadi
suatu kasus aborsi atas indikasi medis (seperti diatas), berdasarkan
asas Lex Specialis derogate Legi Generalis, maka yang berlaku adalah UU
Kesehatan dan bukan KUHP.
Kasus lain:
Pembangunan
nasional Indonesia untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencapai
berbagai kemajuan termasuk di bidang ekonomi dan moneter, sebagaimana
tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan tingkat inflasi
yang terkendali. Sementara itu, dalam pembangunan tersebut terdapat
kelemahan struktur dan sistem perekonomian Indonesia yang menimbulkan
penyimpangan-penyimpangan antara lain ketidakhati-hatian dan kecurangan
dunia perbankan dalam pengelolaan suatu bank. Hal tersebut semakin
diperparah dengan kurang memadainya perangkat hukum, lemahnya penegakan
hukum sehingga mengakibatkan banyaknya distorsi, pada akhirnya terjadi
penyimpangan dari praktik ekonomi pasar mengakibatkan semakin lemahnya
fondasi perekonomian nasional.
Salah satu bentuk penyimpangan
dalam praktik perbankan yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus
Bank Global Tbk. Dalam kasus ini, pengurus dan sekaligus pemilik bank
tersebut melakukan praktik yang dilakukan oleh seorang bankir dan
merupakan tindakan kriminal dari kacamata hukum. Serangkaian praktik
memelukan dan berbau kriminal telah terjadi pada bank tersebut. Mulai
dari tidak bersedia memberikan dokumen dan tidak mau memberikan
keterangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas perbankan,
berupaya memusnahkan dokumen sampai menerbitkan surat berharga fiktif.
Dalam
literatur ilmu hukum pidana, ada berbagai istilah bagi kejahatan atau
tindak pidana yang terjadi di bidang perbankan. Di antaranya tindak
pidana perbankan, tindak pidana di bidang perbankan, kejahatan di bidang
perbankan, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini
belum ada satu Undang-Undang pun yang merumuskan secara yuridis apa yang
dimaksud dengan tindak pidana di bidang perbankan. Terhadap persoalan
ini, menjadi relevan dimunculkan pertanyaan kapan suatu pelanggaran
Undang-Undang Perbankan dapat dijerat dengan ketentuan UU Perbankan?
Kemudian, dalam hal-hal apa tindak pidana dibidang perbankan dapat
dijerat dengan ketentuan tindak pidana korupsi?
Aturan hukum yang
memuat asas lex specialis derogate legi generali dilihat menurut teori
sistem hukum dari Hart, termasuk kategori rule of recognition. Mengingat
asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui abash sebagai suatu
aturan yang berlaku. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu
secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana
primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan
(aparat) negara dalam mengadakan suaru represi terhadap pelanggaran atas
aturan tentang perilaku tersebut.
Sebagai asas yang mengatur
penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal law policy
dari Ancel, asas lex specialis derogat legi generali merupakan asas
hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy).
Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan
tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules
dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi
aparat penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang
“ini” atau yang “itu”. Sementara, yang “ini” atau “itu” tersebut
ditentukan oleh manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang
bersifat umum, sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang bersifat
khusus.
Berdasarkan uraian diatas, dikaitkan dengan putusan
Pengadilan Negeri NO. 2068/PIDANA BIASA/2005/PN JAKARTA SELATAN, yang
membebaskan Neloe, CS karena tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi
dan Putusan Mahkamah Agung Indonesia No. 1144 K/Pid/2006 yang kemudian
menghukum Neloe CS dengan hukuman 10 Tahun Penjara, karena terbukti
perbuatan terpidana telah melanggar Undang-undang Korupsi. Mahkamah
Agung telah mengabaikan dan melanggar doktrin specialite sistematische.
Dengan
keputusan ini Mahkamah Agung telah menyatakan diri secara tegas bahwa
undang-undang Perbankan sebagai undang yang bersifat umum, sedangkan
undang-undang korupsi merupakan ketentuan yang lebih khusus. Meminjam
istilah Andi Hamzah, dengan demikian undang-undang korupsi bisa
mengonsumir, mendesak dan menghabiskan ketentuan undang-undang perbankan
(lex consumens derogat legi consumtae).
Disinilah hal yang
menjadi keberatan saya terhadap putusan Mahkamah Agung, karena Mahkamah
Agung telah menghilangkan ketentuan hukum perbankan secara semena-mena,
tanpa mempertimbangkan dampak ketidakpastian hukum yang ditimbulkan
dalam putusan tersebut. Padahal, apabila kita merujuk sejarah lahirnya
undang-undang perbankan, jelas terlihat bahwa lahirnya Undang-undang
Perbankan ditujukan untuk menggantikan Penuntutan Kejahatan Perbankan
dengan sarana hukum tindak pidana korupsi.
Dengan bahasa lain
dapat dikatakan bahwa lahirnya undang-undang perbankan ditujukan agar
kedepan kasus-kasus tindak pidana perbankan yang terjadi dapat dijerat
dengan undang-undang perbankan. Hal ini dikarenakan adannya “kesadaran
bersama” bahwa susbtansi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi No 3 Tahun 1971, lebih merupakan kehendak politik (political
will) pemerintah untuk memberantas korupsi dari pada hasil kerja suatu
perundang-undangan. Terlebih, dalam perdebatan-perdebatan mengenai
rancangan undang-undang tersebut tidak pernah terdapat pembicaraan
bagaimana sebaiknya suatu tindak pidana dirumuskan. Konsekwensi yuridis
selalu dilupakan.
Tetapi seperti dikatakan oleh Hart dan Peters,
yang dikutip oleh Davit Downes, “The paradigm now constituted a problem
rather than a solution : not waiving but drowning. The public
prosecutorial ‘executive’ had re-organized and re-orianted the criminal
justice process from a case to a policy basis. The executive has become
the prime mover in the criminal justice sphere”.
Akibatnya dalam
penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan
kejanggalan-kejanggalan, atau bahkan menyiratkan ketidak-adilan. Jika
demikian maka putusan yang dihasilkan malah mengaburkan substansi
norma-norma yang seharusnya dilindungi dari undang-undang tersebut. Dari
perkara ini, kejanggalan yang terlihat adalah hakim dalam memutus
perkara lebih menitik beratkan pertimbangan unsur merugikan keuangan
negara ketimbang pelanggaran pasal 49 ayat 2 undang-undang perbankan.
Padahal unsur kerugian keuangan negara yang dimaksud juga masih bisa
diperdebatkan.
Dari hal tersebut diatas, dalam kasus Neloe, aya
mengatakan bahwa penerapan hukum tindak pidana perbankan sebagai tindak
pidana korupsi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia telah melanggar
ketentuan sistematische specialite sebagai secondary rules yang
harusnya dipatuhi.
Akibat putusan ini, Mahkamah Agung telah
berkontribusi mendeligitimasi undang-undang perbankan, karena putusan
ini berimplikasi terhadap habisnya kepentingan-kepentingan hukum yang
ingin dilindungi oleh undang-undang perbankan. Padahal, menurut Lili
Rasjidi, mengutip pendapat Roscoe Pound mengklasifikasikan
kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum dalam 3 katagori
pokok : Public Interest (kepentingan umum), social interst (kepentingan
masyarakat), private interst (kepentingan pribadi).
Dari hal-hal yang telah dijelaskan terdahulu, penulis ingin membuktikan beberapa hal, yaitu: Pertama,
penerapan dan penegakan hukum tindak pidana perbankan dalam kasus Neloe
bersifat sangat luas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena
disamping perbuatan yang dilakukan tersangka secara normatif tidak
berkualifikasi tindak pidana korupsi, jika ditinjau dari pasal 14 UU No
31 Tahun 1999 Jo UU 20 tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Juga
hal yang seharusnya dipertanggungjawab kan kepada pelaku tidak
dibuktikan di persidangan. (pasal 49 ayat 2 UU No 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan). Kedua, pertimbangan-pertimbanagn hukum putusan
pengadilan sama sekali mengabaikan asas-asas hukum pidana, sehingga
terkesan hakim bebas menerapkan semua ketentuan perundang-undangan
selama hal tersebut didalilkan dalam tuntutan jaksa penuntut umum. Ketiga,
menimbulkan persepsi bahwa undang-undang perbankan bisa serta merta
dikesampingkan oleh undang-undang korupsi, dengan kata lain
undang-undang ini tidak berkaitan satu sama lain dalam satu sistem
hukum. Keempat, menumbuhkan sikap tidak menghormati undang-undang.
ASAS LEX POSTERIOR DEROGAT LEGI PRIORI
Asas
ini dipergunakan ketika terdapat pertentangan antara aturan yang
derajatnya sama. Misalnya UU 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
mengenyampingkan UU No 1 Tahun 1995. Apabila ada peraturan yang mengatur
hal yang sama tapi beda tahun pembuatannya, maka aturan baru
mengesampingkan aturan lama (aturan baru yang digunakan dan aturan lama
tidak berlaku).
Kasus lain:
Dalam
kaitan dengan putusan bebas P Kelas IA Tanjungkarang atas H. Satono,
SH, SP (Bupati Lampung Timur non aktif) dan Andy Achmad Sampurnajaya
(mantan Bupati Lampung Tengah(, majelis hakim merujuk kepada UU yang
sudah tidak berlaku lagi. “Inilah kesalahan besar Hakim dalam membuat
putusan bebas atas Satono dan Andi Achmad. Ini cukup fatal,” ujar Dr.
Yuswanto, S.H., M.H, Dosen Hukum Administrasi, Hukum Pajak, dan Hukum
Keuangan, FH Universitas Lampung. Majelis hakim merujuk kepada
undang-undang yang sudah tidak berlaku lagi. Dalam pertimbangannya Hakim
berpendapat bahwa ”dalam sistem ketatanegaraan Indonesia produk
legislasi adalah Undang-Undang dan Peraturan Daerah sebagaimana dalam
Pasal 14 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan”, dan seterusnya. “UU No. 10/2004 sudah tidak berlaku
lagi sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pada tanggal 12 Agustus 2011
yang lalu,” jelas Yuswanto.
Selain itu, jika Hakim berpendapat
bahwa pelanggaran terhadap PP tidak dikenakan sanksi, karena yang memuat
sanksi hanya UU dan Perda. Dapat dikategorikan, bahwa Hakim telah salah
menerapkan hukum. Ada 2 alasan yang bisa dikemukakan. Pertama,
berdasarkan undang-undang maupun secara teoritik, PP tidak memuat
sanksi. Kedua, PP merupakan ”peraturan delegasi” (delegated
legislation), sedangkan undang-undang ”peraturan orisinal/asli”
(original legislation). PP dibuat untuk menjalankan UU. Artinya,
pelanggaran terhadap PP merupakan pelanggaran terhadap UU.
Kesalahan
lain dalam putusan atas Satono dan Andi Achmad tersebut, tidak pasnya
majelis hakim dalam meletakkan asas ”lex specialis derogat leg
generalis” (ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum). Ada tiga
prinsip yang harus diperhatikan penerapan asas ini. Pertama,
ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku,
kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. Kedua,
ketentuan ”lex specialis” harus sederajat dengan ketentuan ”lex
generalis”. Ketiga, ketentuan-ketentuan ”lex specialis” harus berada
dalam lingkungan (regim) hukum yang sama dengan ketentuan-ketentuan ”lex
generalis”.
Berdasarkan prinsip yang ketiga tersebut, maka
menempatkan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
sebagai ”lex specialis” dari PP no. 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Keuangan Negara/Daerah sebagai ”lex generalis” adalah tindakan yang
salah. Alasannya, karena baik PP No. 58 Tahun 2005 maupun PP 39 Tahun
2007 merupakan anak cabang dari hukum yang sama yaitu Hukum Keuangan
Negara, dan bukan berada di lingkungan hukum yang sama. Contoh yang
berada pada lingkungan hukum yang sama adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD),
yakni sama-sama berada dalam regim hukum perdata..
Semestinya, asas yang tepat untuk diterapkan dalam putusan tersebut adalah lex posterior derogat legi priori,
yakni ketentuan yang baru mengesampingkan ketentuan yang lama. Kutipan
pendapat mantan Ketua MA Bagir Manan. Asas ini sebenarnya tidak memilih,
melainkan “mewajibkan” untuk menggunakan hukum yang lebih baru.
Penerapan asas ”lex posterior derogat legi priori” dilakukan dengan dua
prinsip. Pertama, aturan hukum yang baru harus sederajat dengan aturan
hukum yang lama. Kedua, baik aturan hukum yang baru maupun yang lama,
sama-sama mengatur obyek yang sama.
Oleh sebab itu, dalam putusan
atas perkara Satono dan Andi Achmad, hakim harus menggunakan asas lex
posterior derogat legi priori. “Jika asas lex specialist derogat legi
generalis yang digunakan, maka Hakim telah salah menerapkan hukum,”
terang dia. Artinya, ketika ada dua PP yang harus diikuti antara PP No.
58 Tahun 2005 dan PP No. 39 Tahun 2007, maka berdasarkan asas lex
posterior derogat legi priori, maka yang wajib digunakan adalah PP No.
39 Tahun 2007.
Kedua putusan yang kontroversi ini dalam perjalanan
selanjutnya tetap akan menuai kontroversi. Yang baik adalah putusan
yang ditetapkan berdasarkan hukum dan juga beralasan hukum yang baik
pula. Putusan yang baik sudah tentu sesuai dengan tujuan hukum itu
sendiri, yakni akan memberikan keadilan, kepastian hukum, dan
bermanfaat. Sikap Jaksa yang mengajukan Kasasi merupakan sebuah harapan
untuk menggapai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Nanti di
tingkat kasasi, akan diuji apakah memang benar putusan atas Satono dan
Andi Achmad itu merupakan putusan yang buruk, atau malah sebaliknya,
merupakan putusan yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar