LAPORAN
OBSERVASI DI KEJAKSAAN NEGERI KARANGANYAR
Dosen Pengampu : Triana Rejekiningsih, S.H., K.N., M.Pd.
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana
1.
Agus
Prasetiyo (
K6410002 )
2.
Ayu
Pujiastuti ( K6410009 )
3.
Burhanuddin
R. (
K6410010 )
4.
Erlita
Vanilawati (
K6410026 )
5.
Intan
Naur K.P. ( K6410033 )
6.
Joko
Priyanto ( K6410036 )
7.
Rido
Marta A.P.
( K6410050
)
8.
Vofka
Carissa K. (
K6410063
)
9.
Agung
Sri Kuncoro ( K6407014 )
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Judul
Kegiatan
Judul
kegiatan : Observasi di Kejaksaan Negeri Karanganyar dengan tema “Pemahaman Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan oleh Lembaga Kejaksaan Negeri Karanganyar sebagai Penegak Hukum”.
B. Tujuan
Kegiatan
1.
Mengetahui tingkat pemahaman kompetensi kewarganegaraan di lembaga Kejaksaan Negeri Karanganyar.
2.
Mengetahui perhatian lembaga Kejaksaan Negeri Karanganyar terhadap kewarganegaraan sebagai
penegak hukum dalam melayani warga negara.
3.
Mengetahui peranan lembaga Kejaksaan sebagai salah satu pilar penegakan hukum di Indonesia, khususnya daerah Karanganyar.
C. Implementasi
Kegiatan
1.
Jenis Kegiatan : Observasi pemahaman kompetensi pendidikan kewarganegaraan.
2.
Rencana Kegiatan
a.
Penyampaian
materi oleh Bapak Faisal Banu, S.H., M.Hum. selaku Kasubag Pembinaan Kejaksaan Negeri Karanganyar.
b.
Wawancara
Dalam wawancara ini, respondenya adalah. pejabat perwakilan dari Kejaksaan Negeri Karanganyar dan korespondennya adalah mahasiswa
PPKn, FKIP, UNS.
c.
Dokumentasi
d.
Analisis data
3.
Sasaran Penelitian : Pejabat-pejabat di lingkungan
Kejaksaan Negeri Karanganyar.
4.
Metode Penelitian : Wawancara
5.
Waktu Penelitian
Hari :
Kamis
Tanggal : 21 April 2011
Pukul :
08.30 – selesai
Tempat :
Kejaksaan Negeri Karanganyar, Jalan Lawu No. 631, Karanganyar, Jawa Tengah
6.
Pelaksanaan Penelitian
a.
Menyerahkan surat izin
b.
Observasi (wawancara)
c.
Dokumentasi
d.
Analisis data
BAB II
HASIL KEGIATAN
- Rencana
1.
Wawancara
Dalam wawancara ini, respondenya adalah pejabat perwakilan dari Kejaksaan Negeri Karanganyar.
Informan :
1. Kasubag Pembinaan Kejaksaan Negeri Karanganyar
2. Kasi Intelejen Kejaksaan Negeri Karanganyar
3. Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Negeri Karanganyar
Koresponden :
1.
Agus Prasetiyo
2.
Ayu Pujiastuti
3.
Burhanuddin R.
4.
Erlita Vanilawati
5.
Intan Naur K.P.
6.
Vofka Carissa K.
2.
Dokumentasi
Pengambilan gambar dilakukan oleh :
1.
Joko Priyanto
2.
Rido Marta A.P.
3.
Analisis data
Data dianalisis oleh kelompok 4 (empat) Hukum Pidana.
- Pelaksanaan
1.
Menyerahkan surat izin
2.
Observasi
3.
Dokumentasi
4.
Analisis data
- Rumusan Masalah
1.
Apa yang dipahami mereka tentang tugas-tugas
warga negara? (kaitannya dengan hak dan kewajiban)
2.
Apa kaiatannya antara pengetahuan mereka tentang
kewarganegaraan diokaitkan dengan tugas-tugas mereka?
3.
Untuk kepentingan lembaga mereka pendidikan
kewarganegaraan yang bagaimana yang diperlukan?
4.
Kompetensi kewarganegaraan yang bagaimana yang
diperlukan?
5.
Ketrampilan-ketrampilan apa yang menurut mereka
perlu diajarkan disekolah kaitannya dengan penegakan hukum?
6.
Apa yang diperlukan bagi lembaga bapak/ibu untuk
memenuhi kompetensi kewarganegaraan?
- Analisis Data
Menurut Bapak Faisal Banu, S.H., M.Hum. selaku Kasubag Pembinaan Kejaksaan Negeri Karanganyar :
Penanganan suatu perkara tindak pidana yang dimulai dari tahap
penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan pada hakekatnya
merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat terputus, meskipun ketiga tahap/
proses tersebut menyangkut pada lembaga-lembaga penegak hukum yang
berbeda-beda, namum sejatinya merupakan satu kesatuan.
Oleh karena itu para aparat penegak hukum selain berupaya meningkatkan
profesionalisme yang dilakukan dengan cara melaksanakan tugas, fungsi dan
wewenang sebagai aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku, juga melakukan koordinasi secara intensif demi suksesnya proses
penegakan hukum.
Warga
negara secara langsung mempunyai hubungan hukum dengan negara. Hak dan
kewajiban warga negara yang telah tercantum dalam UUD 1945 pada pasal 27 sampai
34 mencakup bidang sosial, politik, budaya, ekonomi dan hukum. Kejaksaan adalah
salah satu lembaga yang bertugas melakukan pengawasan terhadap warga negara
dengan cara pendataan untuk menanggulangi ancaman dari luar. Pendidikan
kewarganegraan yang diperlukan bagi Kejaksaan adalah yang menitik beratkan pada
hukum antara lain kewajiban menaati hukum dan pemerintahan, juga pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Lembaga hukum bukan hanya Kejaksaan
saja, tetapi meliputi lembaga kepolisisan dan pengadilan. Kompetensi
kewarganegaraan yang dibutuhkan dalam kejaksaan
adalah dari bidang hukum, namun tidak menutup kemungkinan dari bidang
lain yang mempunyai pengetahuan tentang hukum.
BAB
III
PEMBAHASAN
1. Tugas warga negara (kaitannya dengan hak dan kewajiban) yang dipahami
lembaga Kejaksaan
Dalam melaksanakan observasi di Kejaksaan Negeri Karanganyar, kita
memperoleh penjelasan bahwa menurut mereka tugas mereka adalah turut serta
membantu tugas-tugas lembaga kejaksaan misalnya bila ada suatu kasus sebagai
warga negara berkewajiban menjadi saksi bila dia mengetahui, mendengar,
menyaksikan atau mengalami kejadian yang merupakan tindak pidana. Selain itu warga negara harus mentaati peraturan
yang ada agar tercipta ketertiban dan kenyamanan dalam masyarakat.
2. Hubungan
antara pengetahuan lembaga Kejaksaan tentang kewarganegaraan berkaitan
dengan tugasnya
Pendidikan kewarganegaraan merupakan dasar utama yang harus dimiliki oleh anggota-anggota
lembaga kejaksaan karena tugas-tugas lembaga kejaksaan berkaitan erat dengan
masyarakat yang merupakan warga Negara.
3. Pendidikan Kewarganegaraan yang
diperlukan ontuk kepentingan lembaga Kejaksaan
Pendidikan kewarganegaraan yang diperlukan
menurut lembaga Kejaksaan adalah pendidikan yang menekankan pada pengetahuan
tentang hak-hak dan kewajiban seorang warga negara agar mereka menjadi warga negara
yang baik dan taat pada perraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan
demikian warganegara secara tidak langsung turut membantu tugas dari lembaga
kejaksaan.
4. Kompetensi Kewarganegaraan yang diperlukan
Kompetensi kewarganegaraan yang bertujuan mengembangkan
kemampuan-kemampuan yaitu dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara bertanggung jawab. Dengan
berpikir secara kritis dalam menaggapi isu kewarganegaraan yang terjadi. Dan
mengembangkan karakter-karakter masyarakat indonesia secara positif dan
demokratis agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
5. Menurut lembaga Kejaksaan ketrampilan-ketrampilan yang perlu diajarkan disekolah kaitannya
dengan penegakan hukum
Menurut lembaga kejaksaan ketrampilan-ketrampilan
yang perlu diajarkan disekolah kaitannya dengan penegakan hukum yaitu lebih
menekankan pada kedisiplinan dalam mentaati peraturan sekolah yang sudah ada,
agar karakter siswa tersebut dapat terbentuk dengan baik. dan mengajarkan siswa
agar dapat berpikir secara kritis dan demokratis.
6. Yang diperlukan bagi lembaga Kejaksaan untuk
memenuhi kompetensi kewarganegaraan
·
Mengetahui hakekat kewarganegaraan
(kaitannya dengan hak dan kewajiban warga negara).
·
Memahami dan mengerti pengertian hukum
dan melaksakan hukum untuk memperoleh keadilan.
·
Menjunjung moral dan etika profesi dalam
menjalankan tugas sebagai jaksa(salah satu pilar penegakan hukum di Indonesia).
·
Melaksanakan penegakan hukum sesuai
dengan hukum positif/ peraturan yang berlaku di Indonesia.
·
Melaksanakann tugas dan wewenang sebagai
penegak hukum
BAB
IV
ANALISIS
A.
Kejaksaan
Republik Indonesia
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka di bidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Pelaksanaan kekuasaan
negara tersebut diselenggarakan oleh :
- Kejaksaan Agung,
berkedudukan di ibukota negara Indonesia dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia. Kejaksaan
Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang
merupakan pejabat negara, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi
kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang
Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
- Kejaksaan tinggi,
berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan tinggi
yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin,
mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah
hukumnya.
- Kejaksaan negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Kejaksaan Negeri dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan negeri yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
Ø Sejarah Kejaksaan
Republik Indonesia
· Sebelum reformasi
Istilah Kejaksaan
sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di
Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan
dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan.
Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama
dalam Bahasa Sansekerta. Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan
bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di
saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang
diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para
dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin
dan mengawasi para dhyaksa tadi.
Kesimpulan ini didukung
peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah
pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van
Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih
terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa. Pada
masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan
antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan
pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di
dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan
Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) dibawah perintah langsung dari
Residen / Asisten Residen. Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih
cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa
dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung yakni
antara lain : Mempertahankan segala peraturan Negara Melakukan penuntutan
segala tindak pidana Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam
menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat
dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).
Peranan Kejaksaan
sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali
oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang
kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944.
Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak
Saikoo Hoooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo
Hooin (pengadilan negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan
memiliki kekuasaan untuk. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran Menuntut
Perkara Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal. Mengurus
pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum. Begitu Indonesia merdeka,
fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu
ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum
Negara R.I. membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku. Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah
ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945.
Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam
struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen
Kehakiman.
Kejaksaan RI terus
mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai dengan
kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga
kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa
Agung. Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan
pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami
berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat,
serta bentuk negara dan sistem pemerintahan. Menyangkut Undang-Undang tentang
Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat
pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan
sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal
1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa Agung
(Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait
kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan
penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan
Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi. Pada
masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan
perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1991, tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga
mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi
Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991
tertanggal 20 November 1991.
·
Masa reformasi
Masa Reformasi hadir
ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga
penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi.
Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan juga
mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Kehadiran
undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai
peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah, maupun pihak lainnya.
Undang-Undang No.16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan
R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai
pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam
penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah
suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang
sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis,
Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana
(executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini
dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai
lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan. Mengacu pada UU tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang
diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini
tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas
profesionalnya.
Pada masa reformasi pula
Kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya berbagai lembaga baru untuk berbagi
peran dan tanggungjawab. Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab
yang spesifik ini mestinya dipandang positif sebagai mitra Kejaksaan dalam
memerangi korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap
tindak pidana korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja dialami
oleh Kejaksaan, namun juga oleh Kepolisian RI serta badan-badan lainnya.
Kendala tersebut antara lain:
- Modus operandi yang tergolong canggih;
- Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan,
atau teman-temannya;
- Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena
berkaitan dengan berbagai peraturan;
- Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan;
- Manajemen sumber daya manusia;
- Perbedaan persepsi dan interprestasi; (di
kalangan lembaga penegak hukum yang ada)
- Sarana dan prasarana yang belum memadai; dan
- Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan
negatif, bahkan penculikan serta pembakaran rumah penegak hukum.
Upaya pemberantasan
korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan pembentukan berbagai lembaga. Kendati
begitu, pemerintah tetap mendapat sorotan dari waktu ke waktu sejak rezim Orde
Lama. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang lama yaitu UU No. 31 Tahun 1971,
dianggap kurang bergigi sehingga diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999. Dalam UU
ini diatur pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi
yang lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor. Belakangan UU ini juga
dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak adanya
Aturan Peralihan dalam UU tersebut. Polemik tentang kewenangan jaksa dan polisi
dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa diselesaikan oleh UU
ini. Akhirnya, UU No. 30 Tahun 2002 dalam penjelasannya secara tegas menyatakan
bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dilakukan secara
konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu,
diperlukan metode penegakan hukum luar biasa melalui pembentukan sebuah badan
negara yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan
manapun dalam melakukan pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah
dikategorikan sebagai extraordinary crime .
Karena itu, UU No. 30
Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi. Sementara
untuk penuntutannya, diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK) yang terdiri dari Ketua dan 4 Wakil Ketua yang masing-masing membawahi
empat bidang, yakni Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, Pengawasan
internal dan Pengaduan masyarakat. Dari ke empat bidang itu, bidang penindakan
bertugas melakukan penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari
Kepolisian dan Kejaksaan RI. Sementara khusus untuk penuntutan, tenaga yang
diambil adalah pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai perubahan
fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan
Ø Tugas dan wewenang kejaksaan
UU No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai
tugas dan wewenang:
- Melakukan penuntutan;
- Melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
- Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan undang-undang;
- Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu
dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan
yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha
negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar
pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan
ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :
- Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
- Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
- Pengamanan peredaran barang cetakan;
- Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat
membahayakan masyarakat dan negara;
- Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan
agama;
- Penelitian dan pengembangan hukum statistik
kriminal.
Selain itu, Pasal 31 UU
No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk
menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau
tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau
disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau
dirinya sendiri. Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan
bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan
dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya
Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan
membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan
negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan
dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah
lainnya.
B.
Etika
dan Etika Profesi
Etika berasal
dari kata Yunani “ethos” yang berarti sifat (sifat pribadi) menjadi orang baik.
Ethos diartikan sebagai kesusilaan, perasaan batin atau kecenderungan hati
seseorang untuk berbuat kebaikan. Dengan etika, seseorang dapat menilai mana
yang baik dan mana yang buruk. Etika akan memberi semacam batasan maupun
standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Secara
khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika kemudian dirupakan dalam
bentuk aturan tertulis yang secara sistematis sengaja dibuat berdasarkan
prinsip-prinsip moral yang ada, dan pada saat dibutuhkan akan bisa difungsikan
sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika rasional
umum dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi
dari apa yang disebut dengan “self control,” karena segala sesuatunya dibuat
dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial/profesi itu sendiri.
Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian
dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang
berkualitas dan berstandar tinggi, yang dalam menerapkan semua keahlian dan
kemahirannnya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh
rekan sejawat, sesama profesi sendiri.
C.
Profesi
Jaksa
Profesi jaksa
sudah ada dan dikenal sejak lama sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum ada
negara Indonesia. Pada masa Kerajaan Majapahit, jaksa dikenal dengan ilstilah
dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa. Dhyaksa dikatakan sebagai pejabat negara
yang dibebani tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah
pengawasan Majapahit. Gajah Mada selaku pejabat adhyaksa, sedangkan
dharmadhyaksa berperan sebagai pengawas tertinggi dari kekayaan suci dalam
urusan kepercayaan, dan menjabat sebagai ketua pengadilan. Kata dhyaksa ini
kemudian menjadi jaksa. Setelah Indonesia merdeka, lembaga jaksa tetap
dipertahankan, yakni dengan mengambil alih peraturan yang pernah berlaku pada
masa penjajahan Jepang. Jaksa adalah pejabat fungsional dari lembaga
pemerintahan, berbeda dengan hakim, pengangkatan dan pemberhentian jaksa tidak
dilakukan oleh kepala negara, tetapi oleh jaksa agung sebagai atasannya. Agar
kejaksaan dapat mengemban kewajibannya dengan baik, maka berdasarkan Keputusan
Jaksa Agung No. Kep-052/J.A/8/1979 ditetapkan pula tentang Doktrin Adhyaksa Tri
Krama Adhyaksa. Doktrin tersebut berunsurkan Catur Asana, Tri Atmaka, dan Tri
Krama Adhyaksa.
Catur Asana
merupakan empat landasan yang mendasari eksistensi, peranan, wewenang, dan
tindakan kejaksaan dalam mengemban tugasnya baik di bidang yustisial,
nonyustisial, yudikatif, maupun eksekutif. Landasan idiilnya adalah Pancasila,
landasan konstitusionalnya adalah UUD 1945, dan landasan peraturan perudangan
yang lainnya.
Tri Atmaka
merupakan tiga sifat hakiki kejaksaan yang membedakan dengan alat negara
lainnya. Tiga sifat itu adalah tunggal, mandiri, dan mumpuni. Bersifat tunggal
karena kejaksaan adalah satu-satunya lembaga negara yang mewakili pemerintah
dalam urusan pengadilan dan dengan sistem hierarki tindakan setiap jaksa
dianggap sebagai tindakan seluruh korps. Dikatakan mandiri karena kejaksaan
merupakan lembaga yang berdiri sendiri terlepas dari Departemen Kehakiman, dan
mandiri dalam arti memiliki kekuasaan istimewa sebagai alat penegak hukum yang
mewakili pemerintah dalam bidang yudikatif, satu-satunya aparat yang berwenang
mengenyampingkan perkara, menuntut tindak pidana di pengadilan, dan berwenang
melaksanakan putusan pengadilan. Kekhususan ini merupakan ciri khas lembaga
kejaksaan yang membedakan dirinya dari lembaga atau badan penegak hukum
lainnya. Mumpuni menunjukkan bahwa kejaksaan memiliki tugas luas, yang
melingkupi bidang-bidang yustisial dan nonyustisial dengan dilengkapi
kewenangan yang cukup dalam menunaikan tugasnya.
Tri Krama
Adhyaksa adalah sikap mental yang baik dan terpuji yang harus dimiliki oleh
jajaran kejaksaan, yang meliputi sifat satya, adi, dan wicaksana.
D.
Menjaga
Idealisme Profesi Jaksa
Profesi jaksa
adalah sebuah profesi dalam posisi yang sangat penting dalam penegakan hukum di
peradilan. Lembaga kejaksaan secara umum dan jaksa secara khusus adalah lembaga
independen yang mewakili pemerintah dalam hal peradilan. Kedudukan ini membuat
banyak sorotan terhadap kinerja jaksa dalam menjalankan profesinya.
Posisi jaksa
sangat riskan menghadapi tantangan baik dari internal maupun tantangan
eksternal. Jaksa mudah saja memanfaatkan posisinya untuk mencari keuntungan
pribadi. Ini adalah tantangan eksternal, yang berasal dari luar diri jaksa
dimana pihak-pihak yang sedang dalam perkara dalam peradilan meminta jaksa agar
memberi keringanan dalam tuntutan dengan memberi sejumlah imbalan/hadiah.
Tantangan internal adalah sikap moral, hati nurani, dan perasaan yang dimiliki
jaksa. Seorang jaksa yang tidak memiliki moral dan hati nurani yang baik akan
mudah terpengaruh untuk memanfaatkan kondisi tersebut. Sebagai contoh nyata
adalah terungkapnya dugaan penyuapan yang diterima Jaksa Urip Tri Gunawan yang
sedang menangani kasus BLBI. Kasus ini seolah mengungkap betapa carut-marutnya
lembaga kejaksaan dan jaksa yang ada di dalamnya. Betapa tidak, kedudukan jaksa
dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi, bukannya menjaga wibawa negara
dan menegakkan nilai-nilai keadilan.
Menjaga
idealisme dan etika profesi jaksa berkaitan dengan moral dan hati nurani seorang
jaksa. Peraturan hukum dan undang-undang yang ada hanya sebagai jalur dan
rambu-rambu untuk jaksa dalam melaksanakan tugasnya. Sebagus apapun peraturan,
saat diri pribadi jaksa tidak mempunyai kesadaran yang tinggi untuk menegakkan
nilai-nilai hukum. Sebaliknya, dengan peraturan yang tidak terlalu banyak namun
ada moral dan hati nurani yang baik, peraturan tersebut dapat dilaksanakan
dengan baik pula. Nilai-nilai hukum dapat ditegakkan dan dijunjung tinggi.
BAB V
PENUTUP
- Kesimpulan
Hak dan
kewajiban warganegara di mata hukum itu adalah sama, juga tercantum dalam UUD
1945 pasal 27 sampai 34. Kompetensi kewarganegaraan yang dibutuhkan di
kejaksaan adalah yang berkaitan dengan bidang hukum namun tidak menutup
kemungkinan bagi masyarakat dari bidang
hukum namun paham dan menguasai kompetensi di bidang hukum. Sejauh
ini para pejabat Kejaksaan Negeri Karanganyar sudah memenuhi kompetensi di bidang kewarganegaraan
dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Beliau juga memiliki
perhatian terhadap kewarganegaraan, contohnya perhatian terhadap pentingnya
penanaman pengamalan pancasila, nasionalisme dan kejujuran sejak dini.
Dalam penegakan hukum, para jaksa harus memiliki etika yang sudah ada dalam
peraturan tentang etika yang dimiliki oleh seorang jaksa sesuai dengan
peraturan yang ada dan norma yang ada di masyarakat.
- Saran
Pentingnya
penanaman butir-butir sila Pancasila sebagai dasar pengamalan Pancasila perlu
diajarkan kembali di lingkungan pendidikan. Sebagai warga negara yang baik
hendaknya ikut berperan serta dalam penegakan hukum
serta para penegak hukum harus menjalankan sesuai wewenangnya. Dan penegak
hukum harus memiliki etika dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai
penegak hukum sekaligus warga negara.
LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar