(Studi Kasus
Gugatan Gubernur Bali melawan Bali Post)
Mata Kuliah : Hukum Acara
Perdata
Dosen
Pengampu : Rini Triastuti,
SH, M.Hum
AGUS PRASETIYO
NIM. K6410002
Semester : 4 (Genap)
Semester : 4 (Genap)
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah
negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi. Konsep Negara hukum mencerminkan
sendi-sendi kehidupan, khususnya dalam bidang hukum acara perdata terkait
dengan penyelesaian sengketa perdata melalui perdamaian. Putusan oleh hakim
tidak terlepas dari sesuatu yang diyakini dan terbukti dalam sidang pengadilan.
Untuk tegaknya
hukum perdata materiil, maka diperlukan hukum acara perdata. Hukum perdata materiil tidak mungkin berdiri sendiri
lepas dari hukum acara perdata. Sebaliknya hukum acara perdata tidak mungkin berdiri
sendiri lepas dari hukum perdata materiil.
Sehingga kepentingan
tiap-tiap orang dapat terjamin dan terpelihara dengan sebaik-baiknya. Orang
yang merasa dirugikan orang lain dan ingin mendapatkan kembali haknya, harus
mengupayakan melalui prosedur yang berlaku, melalui litigasi (pengadilan).
Di pengadilan,
penyelesaian perkara dimulai dengan mengajukan gugatan ke pengadilan yang
berwenang dan dalam pemeriksaan di persidangan, juga harus memperhatikan surat gugatan yang bisa
diubah sebelum jadwal persidangan ditentukan oleh ketua pengadilan atau oleh
hakim. Apabila dalam pengajuan gugatan ke PN
dan gugatan dinyatakan diterima
oleh pihak PN,
maka oleh hakim yang memeriksa perkara perdata, perdamaian selalu diusahakan
sebelum pemeriksaan perkara perdata dilakukan. Seperti yang tercantum dalam
pasal 130 HIR tentang pelaksanaan perdamaian di muka sidang disebutkan bahwa:
(1) Jika pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak
dating menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya berusaha
mencapai perdamaian antara kedua belah pihak.
(2) Jika dapat dicapai perdamaian sedemikian, maka
dibuatlah untuk itu suatu akta dalam sidang tersebut, dalam mana kedua pihak
dihukum untuk mentaati isi persetujuan yang telah dicapai itu, akta mana
mempunyai kekuatan yang sama dan dilaksanakan dengan cara yang sama sebagai
suatu putusan biasa.
(3) Tahap putusan sedemikian tidak dapat dimintakan
banding.
(4) Jika dalam usaha
untuk mencapai perdamaian tersebut diperlukan bantuan seorang juru bahasa, maka
diikuti ketentuan-ketentuan dalam pasal berikut:
Pada saat ini
hakim dapat berperan secara aktif sebagaimana dikehendaki oleh HIR. Untuk
keperluan perdamaian itu sidang lalu diundur untuk memberi kesempatan mengadakan perdamaian. Pada hari sidang
berikutnya apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian, disampaikanlah kepada
hakim di persidangan hasil perdamaiannya yang lazimnya berupa surat perjanjian
di bawah tangan yang ditulis di atas kertas bermaterai.
Berdasarkan adanya
perdamaian antara kedua belah pihak itu maka hakim menjatuhkan putusannya (acta
van vergelijk), yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi
perdamaian yang telah dibuat oleh mereka. Adapun kekuatan putusan perdamaian
ini sama dengan putusan biasa.
Dalam
mengupayakan perdamaian digunakan Peraturan MA No. 1 tahun 2008 Tentang
Mediasi, yang mewajibkan agar semua perkara yang diajukan ke pengadilan tingkat
pertama wajib untuk diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.
Perdamaian itu
sendiri pada dasarnya harus mengakhiri perkara, harus dinyatakan dalam bentuk
tertulis, perdamaian harus dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam
perkara dan oleh orang yang mempunyai kuasa untuk itu, dan ditetapkan dengan
akta perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum dan sifatnya final. Jadi sebelum
pemeriksaan perkara dilakukan hakim pengadilan negeri selalu mengupayakan
perdamaian para pihak di persidangan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perdamaian
dalam Hukum Acara Perdata
Perdamaian
yang dimaksud adalah suatu persetujuan kedua belah pihak dengan menyerahkan,
manjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu sengketa yang sedang
bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara, dan persetujuan perdamaian
sah apabila dibuat secara tertulis.
Apabila
pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara hadir
dalam persidangan, maka ketua majelis hakim berusaha mendamaikan pihak-pihak
yang bersengketa. Jika dicapai perdamaian, maka pada hari persidangan hari itu
juga dibuatkan putusan perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati
persetujuan yang telah disepakati itu. Putusan perdamaian yang dibuat di muka
persidangan itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dilaksanakan eksekusi
sebagaimana layaknya putusan biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
terhadap putusan perdamaian ini tidak dapat diajukan banding ke pengadilan
tingkat banding.
1.
Syarat
Formal Upaya Perdamaian
a.
Adanya
persetujuan kedua belah pihak
Dalam usaha
melaksanakan perdamaian yang dilakukan oleh majelis hakim dalam persidangan,
kedua belah pihak harus bersepekat dan menyetujui dengan suka rela untuk
mengakhiri perselisihan yang sedang berlangsung. Persetujuan itu harus
betul-betul murni datang dari kedua belah pihak. Persetujuan yang memenuhi
syarat formil adalah sebagai berikut:
1)
Adanya
kata sepakat secara sukarela (toestemming).
2)
Kedua
belah pihak cakap membuat persetujuan (bekwanneid).
3)
Obyek
persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bapaalde onderwerp).
4)
Berdasarkan
alasan yang diperbolehkan (georrlosofde oorzaak).
b.
Mengakhiri
Sengketa
Apabila
perdamaian telah dapat dilaksanakan maka dibuat putusan perdamaian yang lazim
disebut dengan akta perdamaian. Putusan perdamaian yang dibuat dalam majelis
hakim harus betul-betul mengakhiri sengketa yang sedang terjadi diantara
pihak-pihak yang berperkara secara tuntas. Putusan perdamaian hendaknya
meliputi keseluruhan sengketa yang diperkarakan, hal ini dimaksudkan untuk
mencegah timbulnya perkara lagi dengan masalah yang sama.
c.
Mengenai
Sengketa Yang Telah Ada
Syarat untuk
dijadikan dasar putusan perdamaian itu hendaknya persengketaan para pihak sudah
terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata terwujud tetapi baru
akan diajukan ke pengadilan sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah
terjadinya perkara di siding pengadilan.
d.
Bentuk
Perdamaian Harus Tertulis
Persetujuan
perdamaian itu sah apabila dibuat secara tertulis, syarat ini bersifat
imperative (memaksa), jadi tidak ada persetujuan perdamaian apabila
dilaksanakan dengan cara lisan dihadapan pejabat yang berwenang. Jadi akta
perdamaian harus dibuat secara tertulis sesuai dengan format yang telah
ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku.
2.
Nilai
Kekuatan Perdamaian
Dalam
setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan
mengusahakan perdamaian antara para pihak yang berperkara. Apabila upaya perdamaian itu
berhasil, maka dibuatlah akta perdamaian (Acta
van Vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi
perdamaian yang telah dibuat antara mereka.
Akta
perdamaian memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim dan dapat
dieksekusikan. Apabila ada pihak yang tidak mau menaati isi perdamaian, maka
pihak yang dirugikan dapat memohon eksekusi kepada Pengadilan. Eksekusi
dilaksanakan seperti menjalankan putusan hakim biasa.
Akta
perdamaian hanya bias dibuat dalam sengketa mengenai kebendaan saja yang
memungkinkan untuk dieksekusi. Akta perdamaian dicatat dalam register induk
perkara yang bersangkutan pada kolom putusan. Akta perdamaian tidak dapat
dimintakan banding, kasasi ataupun peninjauan kembali. Demikian pula terhadap
akta perdamaian tidak dapat diajukan gugatan baru lagi.
3.
Akta
Perdamaian
Pada
sidang perkara perdata, sebelum dilaksanakannya pemeriksaan pokok gugatan oleh
majelis hakim, pertama-tama hakim wajib mendamaikan para pihak
yang berperkara. Menurut pasal 130 HIR (Herziene
Indonesisch Reglement), jika pada hari sidang yang telah ditentukan kedua
belah pihak hadir, pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba
mendamaikan mereka. Jika perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam
sebuah akta (surat), dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati perjanjian
yang dibuat. Akta tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan
biasa.
Dalam
prakteknya upaya hakim untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa itu lebih
merupakan suatu upaya formalitas belaka (Yahya Harahap). Pasal 130 dan 131 HIR
dalam pelaksanaannya belum cukup efektif meningkatkan jumlah perdamaian dalam
sengketa dan mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung. Kurang efektifnya
pasal-pasal tersebut dalam menciptakan perdamaian, merupakan motivasi
dibentuknya regulasi teknis yang lebih memaksa (imperatif). Dengan
motivasi itu, kemudian Mahakamah Agung (MA) membentuk Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2008 yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 130 dan
131 HIR, yang secara tegas mengintegrasikan proses mediasi
kedalam proses beracara di pengadilan. Sifat memaksa Peraturan MA tersebut,
tercermin dalam pasal 12 ayat (2), dimana dijelaskan bahwa pengadilan baru
diperbolehkan memeriksa perkara melalui hukum acara perdata biasa apabila
proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan.
Menurut
Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2008, MEDIASI merupakan proses
penyelesaian sengketa di pengadilan yang dilakukan melalui perundingan diantara
pihak-pihak yang berperkara. Perundingan itu dibantu oleh mediator
yang berkedudukan dan berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral. Mediator
berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai alternatif penyelesaian
sengketa yang sebaik-baiknya dan saling menguntungkan. Mediator yang
mendamaikan itu dapat berasal dari mediator pengadilan maupun mediator
luar pengadilan. Dari manapun asalnya, mediator harus memenuhi syarat
memiliki sertifikat mediator.
Menurut
pasal 13, jika mediasi gagal, maka terhadap segala sesuatu yang terjadi selama
proses mediasi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Selain semua
dokumen wajib dimusnahkan, mediator juga dilarang menjadi saksi atas perkara
tersebut, pihak yang tidak cakap menjadi saksi. Pernyataan maupun pengakuan
yang timbul dalam proses mediasi, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti
persidangan perkara yang bersangkutan maupun perkara lain. Penggunaannya dalam
persidangan menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan bukti.
Kekuatan Hukum Akta Perdamaian, sebagai berikut :
· Disamakan kekuatannya dengan Putusan
Yang Berkekuatan Hukum Tetap. Menurut pasal 130
ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap – dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun
kasasi.
·
Mempunyai Kekuatan Eksekutorial. Karena
telah berkekuatan hukum tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki
kekuatan eksekutorial. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat
dimintakan eksekusi kepada pengadilan.
·
Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Dibanding.
Karena berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, maka terhadap akta
perdamaian tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.
B. Kasus Gugatan Gubernur
Bali melawan Bali Post
Masyarakat Bali disuguhkan sebuah
realitas hukum yang menarik: Gubernur
Bali, Made Mangku Pastika menggugat Harian Bali Post. Sebagaimana
diberitakan Harian Radar Bali 16 Desember 2011 halaman 1 dengan judul “Disuruh Damai, Pastika malah Ingin Pidana”,
Mangku Pastika menggugat secara perdata Bali Post dengan nilai kerugian
inmateriil mencapai Rp 150 milyar dan kerugian materiil dengan gugatan senilai
Rp 170 juta.
Kasus ini bermula dari pemberitaan
Harian Bali Post tanggal 19 September 2011, yang memuat headline di halaman 1
media tersebut berita berjudul, “Pascabentrok Kemoning-Budaga, Gubernur:
Bubarkan Desa Pakraman.’’ Mangku Pastika merasa bahwa pihaknya tidak pernah
melontarkan statemen tersebut. Mangku Pastika menjadi lebih geram kembali,
ketika ucapannya di hadapan Sidang DPRD Bali, menurut Mangku Pastika, diplintir
kembali oleh Bali Post. Merasa dikerjain berkali-kali akhirnya Mangku Pastika
mengajukan gugatan perdata. Sebagaimana diberitakan Fajar Bali Senin
(19/12/2011) di halaman 1, mantan Kapolda ini menceritakan yang terjadi.
Berikut dikutipkan berita berjudul Mangku Pastika Bantah Kekang Kebebasan Pers
sebagai berikut: Saya
tak pernah bikin kasus. Yang bikin kasus itu Bali Post, Satria Naradha
(Pemimpin Umum Bali Post).
Di bagian lain berita tersebut, ditulis
bahwa gugatan perdata tersebut tidak muncul begitu saja melainkan melalui
sejarah yang cukup panjang. Ia merasa dirinya teraniaya cukup lama oleh
serangkaian pemberitaan Bali Post. Puncaknya adalah pemberitaan tanggal 19
Desember 2011 tersebut.
1.
Substansi Berita Bali Post
Bahan berita bermula dari
kunjungan Gubernur Bali ke Kabupaten Klungkung untuk menengok korban yang
dirawat di rumah sakit akibat bentrokan yang terjadi antara warga Desa Adat
Kemoning dan Desa Adat Budaga. Bentrokan terjadi Sabtu sore pukul 16.00 akibat
rebutan Pura Dalem antara kedua desa adat. Kunjungan Gubernur didahului di
Kantor Bupati Klungkung diterima oleh Wakil Bupati Klungkung dan Sekda
Klungkung, dilanjutkan kunjungan ke rumah sakit menengok korban.
Wartawan Bali Post yang
bertugas di Kabupaten Klungkung Sdr. Bali Putra tidak pernah meliput kegiatan
kunjungan Gubernur Bali itu secara langsung. Ia tidak pernah ada di lokasi
karena sedang meliput kegiatan lain yang dilakukan Wakil Gubernur Bali
Puspayoga di lokasi lain (pada 19 September 2011 ada berita di Bali Post dengan
judul Wagub Bantu KK Miskin, Desa Pakraman Benteng Jaga Bali). Sedangkan
wartawan Bali Post bisa menulis berita karena mendapat bahan dari wartawan
TVOne Ida Bagus Mahendra. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa Bali Post tidak
pernah meliput peristiwa itu secara langsung, namun memperoleh bahan berita
dari orang lain.
2.
Perspektif Hukum Pers
Berdasarkan fakta-fakta
tersebut, dilihat dari aspek hukum pers, Bali Post telah melakukan pelanggaran
hukum khususnya Pasal 5 UU Nomor 40 Tahun 1999. Pasal 5 ayat (1) UU
Nomor 40 Tahun 1999 menyatakan: Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini
dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas
praduga tak bersalah.
Dalam konteks masalah ini,
Bali Post kurang mampu menempatkan lembaga desa adat sebagai pranata agama
Hindu di Bali yang mesti dihormati. Logika hukum dan adat di Bali dengan cepat
bisa dipahami, bahwa desa adat tidak dapat dibubarkan oleh pihak manapun. Maka,
menjadi amat ganjil pemberitaan pembubaran desa adat namun tidak berdasarkan
fakta. Seharusnya Bali Post melakukan selfsensorship sebelum berita itu
diturunkan, apa benar ada gubernur yang berani membubarkan desa adat? Apa latar
belakangnya? Apa alasan-alasannya? Ternyata dalam tubuh berita tidak ada
paparan yang menjawab semua pertanyaan itu. Bali Post hanya menulis satu
kalimat yang menjelaskan pembubaran desa adat itu di paragraf pertama: Gubernur
Mangku Pastika bereaksi keras atas bentrok Kemoning-Budaga yang menewaskan satu
orang dan puluhan luka-luka. Gubernurpun mengeluarkan statemen agar desa
pakraman dibubarkan.
Selanjutnya dalam berita
berisi 15 paragaraf itu tidak pernah terjelaskan desa pakraman mana yang
dibubarkan, mengapa dibubarkan, bagaimana alasan-alasannya, bagaimana mekanisme
pembubaran dan seterusnya. Berita hanya berhenti pada statemen gubernur
tersebut dan selesai tanpa penjelasan apapun.
Bahwa realitas wartawan
Bali Post tidak ada di lokasi namun membuat berita tersebut, dalam konteks UU,
dikategorikan tidak menghormati rasa kesusilaan masyarakat. Bukankah bersikap
jujur dalam mencari berita adalah salah satu sikap kesusilaan yang hidup di
tengah masyarakat sebagai antipati perilaku bohong. UU Nomor 40 Tahun 1999 pada
pasal 6 huruf c menyatakan Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai
berikut: mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,
akurat dan benar.
Amat
jelas jika Bali Post menjadi sumir dalam pemberitaan kasus ini sehingga
informasinya tidak tepat, akurat dan benar, karena proses memperoleh informasi
itu dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar. Apakah betul, Mangku Pastika
hendak membubarkan desa pakraman? Belakangan ditangkis sendiri oleh Gubernur
Bali bahwa pihaknya tidak ada niat membubarkan. Berita tersebut juga tidak
cermat. Jika cermat maka dengan sendirinya Bali Post akan menjelaskan kepada
pembaca kapan ucapan itu dilontarkan, apa latar belakangnya, apa alasannya dan
bagaimana mekanisme pembubaran dimaksud.
3.
Jalannya Sidang Mediasi
Sebagaimana yamg dikutip dari Harian Bali Post yang
berjudul, “Gubernur
Hadiri Mediasi”,
pada tanggal 20 Desember 2011
Denpasar (Bali Post)
- Sidang mediasi gugatan Gubernur Bali Made
Mangku Pastika terhadap media Bali Post digelar di PN Denpasar, Senin (19/12)
kemarin. Sidang dimediatori Ketua PN Denpasar, John Piter Purba, S.H., M.H.
Mangku Pastika dalam sidang mediasi didampingi kuasa hukumnya, Drs. Ketut
Ngastawa, S.H., I Nyoman Sumantha, S.H., Simon Nahak, S.H. dan I Made Djaya,
S.H. Ikut pula mendampingi Karo Humas dan Protokol Setda Bali Ketut Teneng.
Sidang mediasi berlangsung 1,5 jam. Sekitar pukul 10.30 wita Mangku Pastika turun. Dua puluhan pria berbadan kekar yang memenuhi ruang lobi pengadilan, menyambut kedatangan Pastika.
Sidang mediasi berlangsung 1,5 jam. Sekitar pukul 10.30 wita Mangku Pastika turun. Dua puluhan pria berbadan kekar yang memenuhi ruang lobi pengadilan, menyambut kedatangan Pastika.
Menjawab pertanyaan
wartawan, Gubernur Mangku Pastika menyayangkan opini yang berkembang, bahwa
gugatannya merupakan upaya pengekangan terhadap kebebasan pers. ''Selama ini,
saya selalu bersikap terbuka dan menjunjung tinggi kemerdekaan pers. Dan hal
itu sudah saya lakukan dari menjabat sebagai Ketua Investigasi Bom Bali,
Kapolda, dan Gubernur. Saudara-saudara bisa menilai sendiri, pernahkah saya
mengganggu kebebasan pers? Sedikit pun tidak pernah. Saya siap dihubungi
wartawan kapan saja,'' ungkap Pastika.
Sebagai bentuk keterbukaan tersebut, tambahnya, selama menjabat sebagai gubernur, tiap minggu terakhir tiap bulan, mengadakan simakrama atau open house. Hal itu juga diliput oleh seluruh media dan semua masyarakat boleh berbicara bebas.
Sebagai bentuk keterbukaan tersebut, tambahnya, selama menjabat sebagai gubernur, tiap minggu terakhir tiap bulan, mengadakan simakrama atau open house. Hal itu juga diliput oleh seluruh media dan semua masyarakat boleh berbicara bebas.
Mengenai gugatannya,
sama sekali tidak bermaksud mengganggu kebebasan pers. ''Apakah dengan
mengajukan gugatan hukum ke pengadilan mengganggu kebebasan pers? Saya rasa
tidak. Saya pikir ini cara paling elegan bagi seseorang atau lembaga,''
tandasnya dan segera meninggalkan PN Denpasar dikawal pria bebadan kekar sampai
ke depan lobi.
Proses mediasi
perdata yang dilakukan terhadap kasus ini, memiliki spesifikasi sendiri. Sistem
mediasi yang diterapkan adalah sitem kaukus, di mana masing-masing pihak
dipanggil secara terpisah oleh mediator. Dari penggalian keterangan dan harapan
serta keinginan ini, mediator akan menyusunnya dan dijadikan bahan acuan
laporan dari mediator. Mengenai
sistem kaukus yang digunakan, Simon Nahak mengatakan sudah menjadi kesepakatan
kedua belah pihak atas permintaan mediator.
Sidang
mediasi gugatan Gubernur, Bali Made Mangku Pastika
terhadap koran Bali Post gagal mencapai perdamaian. Karena itu
kedua pihak akan saling berhadapan di depan sidang Pengadilan Negeri Denpasar. Kegagalan mediasi disampaikan hakim mediator, Jhon Pieter
Purba, Senin, 13 Februari 2012, kepada kedua belah pihak
Menurut
Ngastawa (Kuasa Hukum
Gubernur Bali), kegagalan
perdamaian dalam tahap mediasi karena pihak Bali Post tidak
meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan dan tidak menunjukkan iktikad untuk
penyelesaian secara damai. Padahal Pastika telah menunjukkan keseriusan
mengikuti mediasi dengan selalu hadir saat persidangan. Ngastawa menyatakan pihaknya tidak menggunakan hak jawab
karena melihat mekanisme persidangan perdata akan lebih fair dan
juga sesuai dengan prosedur hukum. Sementara pihak Bali Post, menyatakan pihaknya telah siap masuk ke
persidangan dan membeberkan bukti yang ada.
BAB III
PENUTUP
Dalam sidang perdata,
sebelum dilaksanakannya pemeriksaan pokok gugatan oleh hakim, pertama hakim wajib mendamaikan
para
pihak yang berperkara. Jika pada hari sidang yang telah
ditentukan kedua belah pihak hadir, PN dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan.
Jika perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta (surat),
dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang dibuat. Akta
tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan biasa.
Sidang mediasi
gugatan Gubernur Bali Made Mangku Pastika terhadap media Bali Post digelar di
PN Denpasar, Senin (19/12). Sidang dimediatori Ketua PN Denpasar, John Piter
Purba, SH, MH proses mediasi perdata yang dilakukan terhadap kasus ini,
memiliki spesifikasi sendiri. Sistem mediasi yang diterapkan adalah sitem
kaukus, di mana masing-masing pihak dipanggil secara terpisah oleh mediator. Dari
penggalian keterangan dan harapan serta keinginan ini, mediator akan
menyusunnya dan dijadikan bahan acuan laporan.
Berdasarkan penjelasan
tersebut, dapat disampaikan langkah-langkah solusi damai atas kasus ini,
sebagai berikut:
1.
Pertama, Bali Post hendaknya
melaksanakan amanat pasal 11 Kode Etik Jurnalistik dengan mencabut secara sadar
berita tersebut dan meminta maaf kepada publik bahwa wartawannya tidak pernah
meliput kegiatan itu.
2.
Kedua, Mangku Pastika menggunakan hak
jawab terhadap berita harian Bali Post terkait pemberitaan dirinya. Pihak Bali
Post agar memberikan kesempatan pemuatan hak jawab di halaman yang sama dengan
porsi halaman yang sama sebagaimana diatur oleh Surat Edaran Dewan Pers.
3.
Ketiga, Mangku Pastika dengan berbesar
hati mencabut seluruh gugatan perdata dan mengurungkan melakukan gugatan
pidana karena berpotensi membangkrutkan Bali Post. Selanjutnya kedua belah
pihak melakukan perdamaian dan beritikad baik untuk menjadikan kasus ini
pembelajaran politik dan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir,
Muhammad. 2000. Hukum Acara Perdata
Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Subekti & Tjitrosudibio. 1998. Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta
: Pradnya Paramita.
Website :
http://elfatsani.blogspot.com/2009/04/upaya-perdamaian.html
http://www.pn-pandeglang.go.id
Perundang-undangan :
Kitab
Undang-undang Hukum Acara Perdata
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan