PENYIMPANGAN
PERKAWINAN SEBAGAI UPAYA MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN INDONESIA TANPA
NATURALISASI
Dosen
Pengampu : Wijianto, S.Pd.
Mata
Kuliah : Ilmu Kewarganegaraan
disusun
oleh :
AGUS PRASETIYO
NIM. K6410002
PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hukum mengatur
hubungan antara manusia dalam masyarakat, serta dapat memaksa seseorang untuk
memenuhi peraturan tersebut. Dengan demikian hukum dapat berada pola tingkah
laku yang dapat diterima bersama. Peran hukum hanya mempertahankan apa yang
telah menjadi kencenderungan yang tetap dan dapat diterima dalam tatanan
kehidupan masyarakat. Hukum dapat berfungsi lain yakni dengan tujuan untuk
mengadakan perubahan dalam masyarakat. Salah satu ciri yang menonjol dari hukum
pada masyarakat yang modern adalah penggunanya secara sadar oleh masyarakatnya
(kesadaran hukum). Hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola
kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk
mengerahkannya kepada tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang
dipandang tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan
sebagainya. Inilah disebut sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang
menjurus kepada penggunaan hukum sebagai instrumen.
Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (disingkat UUP) dilihat dari segi materinya
dapat dipandang sebagai sarana rekayasa masyarakat (a tool of social enginering).
Peraturan yang efektif apabila materinya sejalan dengan nilai-nilai yang dianut
masyarakat. Dalam usia peraturan ini yang hampir mencapai 3 dasawarsa, faktanya
masih terjadi penyimpangan dalam implementasi di masyarakat. Adanya penyimpangan
dalam perkawinan berindikasi bahwa masih ada ketentuan dalam UUP yang perlu
dicermati dan harus dipandang secara
kritis, apakah UUP masih layak dipertahankan atau diadakan perubahan dalam
peraturan tersebut. Lembaga perkawinan merupakan faktor yang penting sebagai
salah satu sendi kehidupan dan susunan masyarakat Indonesia dan perkawinan itu
sendiri merupakan masalah hukum, agama dan negara. Perkawinan dan perceraian
adalah persoalan yang sangat erat dengan hakekat kemanusian. Itu sebabnya ada Undang-Undang
yang mengatur hal tersebut, merupakan suatu hal yang tidak boleh tidak (conditio
sine qua non). Maka UUP merupakan wujud realisasi cita-cita bangsa Indonesia
untuk memiliki peraturan perkawinan bersifat unifikasi. Tdak ada suatu
peraturan perundangan yang secara sempurna dapat mengatur segenap aspek
ketertiban hidup masyarakat, oleh karena perkembangan masyarakat selalu lebih
cepat dari pada perkembangan hukum. Di lain pihak adalah suatu tantangan
terhadap hukum bagaimana ia dapat menjangkau masa depan. Hal ini merupakan
suatu yang sangat ideal, namun karena hukum pada akhirnya menyangkut manusia
sulit diramal, sehingga tidaklah mudah untuk menciptakan hukum yang menjangkau
masa depan.
Dalam ketentuan
penutup UUP yakni pasal 66 telah memberikan jalan keluar terhadap ketentuan
mengenai perkawianan yang belum ada peraturannya dalam UUP. Demikian pula
diatur dalam Bab tentang Pencegahan dan Bab tentang Pembatalan Perkawinan,
tidak semua penyimpangan atau pelanggaran perkawinan yang terjadi bisa dicegah
karena memang ada ketentuan dalam UUP yang merupakan celah yang bisa di terobos
untuk melakukan penyimpangan yang dimaksud.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, timbul
permasalah-permasalah yang dirumuskan dalam penulisan makalah ini, sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah
penyimpangan yang terjadi perkawinan semu dengan tujuan untuk memperoleh
kewarganegaraan RI secara mudah dan murah dapat dilakukan?
2. Bagaimanakah
keabsahan perkawinan semu tersebut secara yuridis?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan
karya ilmiah ini, antara lain :
1. Mendeskripsikan
masalah penyimpangan perkawinan dengan tujuan untuk memperoleh kewarganegaraan
Republik Indonesia.
2. Mengidentifikasi
keabsahan perkawinan semu tersebut secara yuridis.
D.
Manfaat
Penulisan
1.
Bagi Penulis
Penulisan
makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas terstruktur dari mata
kuliah Ilmu Kewarganegaraan semester II (Genap).
2.
Bagi Pembaca
Makalah ini
diharapkan dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan dengan
permasalahan penyimpangan perkawinan campuran
sebagai upaya memperoleh status kewarganegaraan tanpa proses naturalisasi
(pewarganegaraan).
BAB II
PERMASALAHAN
Abstrak :
Bentuk penyimpangan yang dikenal sebagai
perkawinan semu merupakan penyimpangn perkawinan yang dilakukan untuk
memperoleh kewaganegaraan Indonesia secara mudah dan murah khususnya yang
dilakukan seorang wanita Warga Negara Asing, tanpa harus melalui naturalisasi
biasa. Hal ini dimungkinkan dengan memanfaatkan ketentuan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia. Seorang wanita Warga Negara Asing dapat
menjadi Warga Negara Indonesia dengan hanya menyatakan maksudnya dihadapan
Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu satu tahun setelah perkawinannya
dilangsungkan. Dari sinilah muncul perkawinan yang menyimpang dari tujuan ideal
perkawinan yang dimaksud UU Perkawinan, yakni membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekel berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kata Kunci :
Penyimpangan Perkawinan dan Kewarganegaan
BAB III
PEMBAHASAN
1. Terjadinya Penyimpangan Perkawinan Semu
Menurut ketentuan Pasal 1 UUP, Perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Disinilah Nampak tujuan ideal suatu
perkawinan, yang mana perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir, tetapi
juga unsur batin/rohani. Kaitannya dengan tujuan perkawinan, maka dalam salah
satu asas perkawinan disebutkan bahwa UUP ini menganut prinsip untuk
mempersukar perceraian. Kenyataannya banyak pelanggaran perkawinan yang
terjadi, diantaranya penyelundupan hukum terhadap perkawinan campuran antar
agama/interreligius, adanya perkawinan dengan motif bisnis, munculnya kawin
sponsor, merebaknya kawin semu, ataupun berbagai bentuk penyimpangan perkawinan
yang lebih merupakan pelanggaran moral seperti poligami gelap dan sebagainya. Muncul
pula bentuk perkawinan yang tidak pernah dibayangkan ada sebelumnya yakni
bentuk perkawinan lewat telepon. Dari fenomena tersebut, kita bisa mengkritisi
implementasi UUP dari sisi positif dan negatif. Munculnya gejala baru bisa
dikatakan memperkaya khasanah di bidang perkawinan tanpa harus menggugat nilai
dasarnya, seperti munculnya tata cara perkawinan lewat telepon, yang sebelumnya
diwarnai oleh polemik berkepanjangan untuk menentukan sah tidaknya perkawinan
tersebut.
Salah satu bentuk penyimpangan perkawinan yang perlu
mendapat perhatian adalah perkawinan semu bentuk penyimpangan perkawinan ini
adalah dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh kewarganegaraan RI secara mudah
dan murah dengan mengabaikan tujuan ideal suatu perkawinan sebagaimana yang
dikehendaki oleh UUP, bahkan dibalik itu ada motif uang. Perkawinan semu ini
merupakan perkawinan campuran antara seorang Warga Negara Asing (WNA) khususnya
wanita dengan seorang Warga Negara Indonesia (WNI), yang termasuk dalam
pengertian perkawinan campuran internasional dalam arti sempit sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 57 UUP. Dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik
Indonesia (UU No. 12 Tahun 2006) dijelaskan bahwa kewarganegaraan RI dapat
diperoleh karena : kelahiran permohonan, pewarganegaraan, perkawinan, turut
ayah/ ibunya,
dan pernyataan. Jadi memang dimungkinkan melalui perkawinan adalah merupakan
salah satu cara untuk dapat memperoleh kewarganegaraan RI. Hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 58 UUP bahwa bagi orang-orang yang berlainan
kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh
kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam UU
Kewarganegaraan RI. UU Kewarganegaraan Indonesia membedakan perkawinan antara
laki-laki WNI dan perempuan WNA dengan laki-laki WNI boleh menjadi WNI segaera
setelah dia mengajukan permohonan untuk itu dengan syarat melepaskan
kewarganegaraan asalnya. Di lain pihak seorang laki-laki WNA yang menikah
dengan perempuan WNI tidak mendapatkan perlakuan hukum yang serupa. Laki-laki
tersebut tetap WNA dan isterinya boleh tetap WNI. Sedangkan mengenai cara untuk
memperoleh kewarganegaraan RI melalui perkawinan dijelaskan dalam UU
Kewarganegaraan yang menyatakan : Seorang perempuan asing yang kawin dengan
seorang warga Negara RI, memperoleh kewarganegaraan RI apabila dan pada waktu
ia dalam satu tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan
untuk itu, kecuali jika ia apabila memperoleh kewarganegaraan RI masih mempunyai
kewarganegaraan lain, dalam hal mana keterangan itu tidak boleh dinyatakan.
Dalam pada itu permohonan untuk
memperoleh kewarganegaraan RI melalui naturalisasi memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
1.
Telah
berusia 21 Tahun.
2.
Lahir
di wilayah RI / bertempat tinggal yang paling akhir min. 5 thn berturut-turut
atau 10 tahun tidak berturut-turut.
3.
Apabila
ia seorang laki-laki yang sudah kawin, ia perlu mendapat persetujuan istrinya.
4.
Dapat
berbahasa Indonesia.
5.
Sehat
jasmani dan rohani.
6.
Bersedia
membayar kepada kas negara uang sejumlah Rp. 500,00 sampai Rp. 10.000,00
bergantung kepada penghasilan setiap bulan.
7.
Mempunyai
mata pencaharian tetap.
8.
Tidak
mempunyai kewarganegaraan lain apabila ia memperoleh kewarganegaraan atau
kehilangan kewarganegaraan RI.
Apabila melihat proses dan persyaratan permohonan
kewarganegaraan melalui naturalisasi dan membandingkan dengan permohonan
kewarganegaraan melalui perkawinan dengan jelas terlihat bahwa cara melalui
perkawinan merupakan cara yang paling mudah dan murah. Dimana pemohon tinggal menyatakan
maksudnya di hadapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu satu tahun
setelah perkawinannya dilangsungkan. Peluang inilah sering dimanfaatkan untuk
melakukan perkawinan semu. Jadi bisa saja seorang WNA dengan maksud memperoleh
kewarganegaraan secara mudah dan murah melangsungkan perkawinan dengan seorang
laki-laki WNI melalui suatu perjanjian bahwa perkawinannya bukanlah perkawinan
dengan tujuan ideal perkawinan sebagaimana yang ditentukan oleh UUP. Dibalik
itu ada konpensasi berupa imbalan atas sejumlah uang tertentu. Selama
perkawinan pasangan tersebut tidak pernah berkumpul dan setelah tujuannya untuk
memperoleh kewarganegaraan RI tercapai dengan gampang perkawinan diakhiri.
Penyelundupan hukum ini kebanyakan dilakukan oleh
perempuan WNA, karena prinsip UU Kewarganegaraan RI mengutamakan asas kesatuan
kewarganegaraan dari kedua mempelai. Pada dasarnya yang menetukan kesatuan
kewarganegaraan itu adalah suami. Hanya saja asas ini tidak dijalankan apabila
menimbulkan kelebihan kewarganegaraan atau tanpa kewarganegaraan, atau
dirasakan berat apabila mengasingkan seorang warga Negara yang kawin dengan
orang asing. Berhubung dengan dirasakan berat untuk mengasingkan seorang warga
Negara karena perkawinannya, maka menurut undang-undang ini seorang warga
Negara RI perempuan yang kawin dengan seorang asing, tidak kehilangan
kewarganegaraannaya karena perkawinan itu kecuali apabila ia melepaskan
sendiri, dan dengan melepaskan itu ia tidak akan memiliki kewarganegaraan. Demikian
pula berhubung dengan mencegah timbulnya berkelebihan kewarganegaraan, maka
seorang perempuan asing yang kawin dengan seorang warga Negara RI tidak selalu
memperoleh kewarganegaraan RI. Memang tidak semua perkawinan campuran
internasional dalam arti sempit antara seorang WNI dengan WNA adalah perkawinan
semu, karena banyak juga perkawinan yang terjadi dilakukan dengan landasan
kecocokan dan berdasarkan tujuan ideal perkawinan sebagaimana dimaksudkan oleh
UUP.
2.
Keabsahan
Perkawinan Semu
Perkawinan
semu sebagaimana dijelaskan di muka termasuk dalam pengertian perkawinan
campuran internasional dalam arti sempit. Perkawinan demikian akan melibatkan
dua hukum yang dinyatakan dalam pasal 57 UUP, yakni yang diamksud dengan
perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dari pengertian ini diketahui pengertian
perkawinan campuran menurut UUP termasuk kedalam pengertian campuran internasional
dalam arti sempit, yakni antara WNI dengan WNA yang seiman. Pengertian
perkawinan campuran tersebut di atas apabila dibandingkan dengan pengertian
perkawinan campuran yang diatur dalam Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling
opde gemongde Huwelijken/ GHR) S. 1898 No 158 yang diberlakukan sebelum UUP
berlaku efektif. Menurut Pasal 1 GHR yang dimaksud dengan perkawinan antara
orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan. Hukum yang
berlainan ini dapat meliputi perbedaan antar :
1.
Stelsel hukum (intergentil)
2.
Tempat (interlocal)
3.
Agama (interreligious)
4.
Warganegara (internasional)
Dari pengertian tersebut terlihat bahwa pengertian
perkawinan campuran menurut GHR adalah pengertian perkawinan campuran dalam
arti luas. Dan hal ini dipertegas lagi dalam ketentuan pasal 7 ayat (2) GHR
yang menentukan bahwa perbedaan agama, bangsa atau asal itu sama sekali
bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan itu. Selanjutnya Pasal 57 ayat (2)
UUP menyatakan bahwa perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia
dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini. Dengan demikian siapapun yang hendak
melangsungkan perkawinan di Indonesia harus tunduk dan mengikuti ketentuan UUP
meskipun orang tersebut WNA (prinsip teriorial).
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian yang telah dijelaskan dalam Bab III : Pembahasan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1.
Bentuk perkawinan yang dikenal sebagai
perkawinan semu merupakan penyimpangan perkawinan dengan tujuan untuk
memperoleh kewarganegaraan secara mudah dan murah tanpa melalui proses
naturalisasi biasa. Perkawinan demikian bisa terjadi karena dimungkinkan oleh
undang-undang dan merupakan celah hukum yamg bisa diterobos.
2.
Sebagaimana perkawinan lainnya,
perkawinan semu juga dilakukan dengan memenuhi persyaratan perkawinan yang
ditentukan UUP. Dengan demikian perkawinan tersebut tetap sah. Upaya pembatalan
perkawinan semu sulit dilakukan sebab tidak ada pelanggara terhada
syarat-syarat perkawinan dalam peraturan perundang-undangan.
B.
Saran
Dalam ketentuan
penutup Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 66 telah
memberikan penyelesaian terhadap ketentuan mengenai perkawinan yang belum ada
peraturannya dalam UU ini. Dalam hal ini dapat menggunakn peraturan lama
sepanjang tidak bertentangan dengan UUP. Demikian pula diatur dalam Bab tentang
Pencegahan dan Bab tentang Pembatalan Perkawinan, yang dimaksud agar setiap
perkawinan salah sebagai produk undang-undang yang sifatnya ideal, sehingga dapat
dihindari adanya perkawinan yang sifatnya menyimpang dari ketentuan UUP. Tidak
semua penyimpangan atau pelanggaran perkawinan yang terjadi bisa dicegah karena
memang ada ketentuan dalam UUP yang merupakan celah yang bisa di terobos untuk
melakukan penyimpangan yang dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Hasbulah KH. 1985. Kumpulan
Lengkap UU dan Peraturan Perkawinan di Indonesia. Jakarta : Djambatan.
Gautama, Sudargo. 1987. Warga
Negara dan Orang Asing. Bandung : Alumni.
Harahap, Yahya M. 1990. Kedudukan
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta : Pustaka Kartini.
Kansil, S.H., Drs. C.S.T. 1986. Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Mertokusumo, Sudikno. 1996.
Mengenal Hukum (Suatu pengantar), Edisi Keempan Cetakan Pertama. Yogyakarta
: Liberty.
Rahardjo, Sutjipto. 1991. Ilmu
Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Sitorus, Junita. 2002. Perkawinan
Campur Dalam Hukum Kewarganegaraan Dan Keimigrasian. Harian Kompas :
tanggal 13 Mei 2002.
Sjahriful (James), Abdullah, H. 1993. Memperkenalkan
Hukum Keimigrasian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Winarno, Wijianto. 2010. Ilmu
Kewarganegaraan Dalam Konteks Pendidikan Kewarganegaraan (Ikn – Pkn).
Surakarta : UNS Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar