SUMBER HUKUM TATA NEGARA INDONESIA
Paper
ini disusun untuk memenuhi Tugas Terstruktur Uji Kompetensi Dasar 1
Mata
Kuliah : Hukum Tata Negara
Dosen
Pengampu : Rima Vien PH, SH, MH
AGUS PRASETIYO
NIM. K6410002
Semester
: 4
PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Sumber hukum (Inggris: source of law) secara sederhana sumber hukum lebih menunjuk kepada pengertiann tempat
dari mana asal muasal suatu norma hukum tertentu berasal. Menurut Joeniarto, sumber hukum dapat dibedakan :
1.
Sumber hukum dalam pengertian sebagai asalnya hukum positif, wujudnya dalam
bentuk yang konkret berupa “keputusan dari yang berwenang” untuk mengambil
keputusan mengenai soal yang bersangkutan.
2.
Sumber
hukum dalam pengertiannya sebagai tempat ditemukannya aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
hukum positif. Wujudnya
berupa peraturan-peraturan atau ketetapan-ketetapan.
Sumber hukum dalam pengertian yang pertama mempersoalkan tentang sebab timbulnya
hukum positif dan didasarkan kepada sumber wewenang yang menimbulkan hukum
positif. Sementara dalam pengertian yang kedua, mempersoalkan tentang dimana
ditemukannya hukum positif setelah dinyatakan berlaku dan pada saat dibutuhkan
diketahui kepastian hukumnya.
3.
Selain
istilah sumber hukum dihubungkan dengan filsafat, sejarah dan masyarakat, kita
mendapatkan sumber hukum filosofis, sumber hukum historis, dan sumber hukum
sosiologis
Sumber hukum dalam arti
formal (source of law in its formal sense)
Tempat formal dalam bentuk
tertulis dari mana suatu kaedah hukum diambil atau Tempat atau sumber dari mana
suatu peraturan memperoleh kekuatan hokum. Dengan demikian sumber hukum formal merupakan bentuk
pernyataan bahwa sumber hukum materiil dinyatakan berlaku. Ini berarti bahwa
sumber hukum materiil bisa berlaku jika sudah diberi bentuk atau dinyatakan
berlaku oleh hukum formal. Untuk memperoleh sifatnya yang formal, sumber hukum
dalam arti ini setidak-tidaknya mempunyai ciri sebagai berikut :
1) Dirumuskan dalam suatu
bentuk,
2) Berlaku umum, mengikat dan
ditaati.
Sumber hukum dalam arti
materiil (source of law in its material sense)
Tempat dari mana norma itu
berasal, baik yang berbentuk tertulis ataupun yang tidak tertulis atau
Faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan hukum, faktor yang ikut
mempengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan hukum atau tempat dari mana materi
hukum itu diambil.
Bagi kebanyakan sarjana
hukum, biasanya yang lebih diutamakan adalah sumber hukum formal, baru setelah
itu sumber hukum materiil apabila dipandang perlu.
Sumber hukum dalam arti
formal ini adalah sumber hukum yang dikenali dari bentuk formalnya. Dengan
mengutamakan bentuk formalnya itu, maka sumber norma hukum itu haruslah
mempunyai bentuk hukum tertentu yang bersifat mengikat secara hukum.
Oleh
karena itu, sumber hukum formal itu haruslah mempunyai salah satu bentuk
sebagai berikut : 1) Bentuk produk legislasi ataupun produk regulasi
tertentu (regels); 2) Bentuk perjanjian atau perikatan tertentu yang
mengikat antar para pihak (contract, treaty);
3) Bentuk putusn hakum tertentu
(vonnis); 4) Bentuk-bentuk keputusan administratif (beschikking)
tertentu dari pemegang kewenangan administrasi Negara.
Khusus dalam bidang ilmu
hukum tata negara pada umumnya, yang biasa diakui sebagai sumber hukum adalah :
1. Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan
tertulis
2. Yurisprudensi peradilan
3. Konvensi ketatanegaraan
4. Hukum Internasional tertentu
5. Doktrin ilmu hukum tata negara tertentu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Undang-Undang
Dasar dan Peraturan Perundang-Undangan Tertulis
1. Undang-Undang
Dasar 1945
UUD
1945 merupakan konstitusi Indonesia saat ini, juga merupakan salah satu sumber
hukum tata negara Indonesia. UUD 1945 sebagai sumber hukum, yang merupakan
hukum dasar tertulis (basic law), yang mengatur masalah kenegaraan dan
merupakan dasar ketentuan-ketentuan lainnya. Periode UUD yang berlaku di
Indonesia :
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan
(amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945
antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR, kekuasaan yang sangat
besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir, serta
kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum
cukup didukung ketentuan konstitusi. Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah
menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM,
pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif), eksistensi negara
demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di
antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan
kenegaraan kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai NKRI, serta
mempertegas sistem pemerintahan presidensiil. Berikut lembaga negara yang ada
di dalam UUD 1945:
MPR adalah lembaga legislatif bikameral (terdiri dari anggota DPR
dan DPD) merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Idonesia. Sebelum Reformasi,
MPR merupakan lembaga tertinggi negara. Dalam konstitusi Indonesia diatur dalam pasal Pasal 2
dan 3. Fungsi MPR sesudah amandemen (Pasal 3), yaitu :
berwenang mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden, dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut UUD.
DPR adalah lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan lembaga
perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota parpol peserta pemilu yang dipilih
melalui pemilu. Fungsi DPR adalah fungsi legislasi, anggaran dan kontrol.
(lihat Pasal 20, 20A, 21, 22, 22A, 22B UUD 1945).
DPD adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, yang anggotanya merupakan perwakilan
dari setiap provinsi yang dipilih melalui
Pemilihan Umum. DPD memiliki fungsi:
1) Pengajuan
usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan
bidang legislasi tertentu 2) Pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu.
Anggota DPD
dari setiap provinsi adalah 4 orang. (lihat Pasal 22C, 22D,
22E)
Presiden adalah kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan di Indonesia. Sebagai
kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala
pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuaasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari. Presiden dan wakilnya menjabat selama 5
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu
kali masa jabatan. (lihat Pasal 4, 5, 6, 6A, 7, 7A, 7B, 8-16 UUD 1945).
Kementrian
adalah lembaga Pemerintah Indonesia yang
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Kementerian berkedudukan di ibukota negara dan berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada presiden. Landasan hukum kementerian adalah Pasal
17 UUD 1945. Lebih lanjut, kementerian diatur dalam UU No. 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara dan Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
Pemerintah daerah diatur dalam pasal 18, 18 A, 18 B.
Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Menurut UUD, BPK merupakan lembaga yang bebas
dan mandiri. Anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, dan diresmikan
oleh Presiden. Hasil pemeriksaan keuangan
negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD (sesuai dengan kewenangannya). (lihat
Pasal 23 E – 23 G)
Kekuasaan
kehakiman di Indonesia dipegang oleh MA, MK dan KY (Pasal 24, 24A, 24B, 24C,
Pasal 25). Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Mahkamah Konstitusi merupakan
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah judicial review; memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya; memutus pembubaran partai politik; dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat
(1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh
Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan
keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Mengenai perubahan UUD diatur
dalam pasal 37. selain itu didalam UUD juga memuat HAM, perihal keuangan,
perekonomian, dsb.
2.
Peraturan
perundang-undangan tertulis
Dalam UU No. 12 Tahun tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas (Pasal 7ayat 1):
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
Peraturan
Pemerintah;
e.
Peraturan
Presiden;
f.
Peraturan Daerah
Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
1.
Ketetapan MPR
Ketetapan MPR adalah bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking). Pada masa sebelum
Perubahan (Amandemen) UUD 1945, Ketetapan MPR merupakan Peraturan
Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan
di atas Undang-Undang. Pada masa awal reformasi,
ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan Perundang-undangan
di Indonesia. Namun pada tahun 2011, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011, Tap MPR kembali menjadi Peraturan
Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945. Perubahan
UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai
lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya.
2.
Undang Undang
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden. Misalnya, UU Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Materi
muatannya : 1. Mengatur lebih
lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi
manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan
kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian
daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara. 2. Diperintahkan oleh suatu
Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
3.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan
yang memaksa dan materi muatan sama dengan UU.
4.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana
mestinya. Materi muatan adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya. Untuk
melaksanakan undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dengan DPR, oleh UUD 1945 kepada presiden diberikan
kewenangan untuk menetapkan
Peraturan Pemerintah guna melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam hal ini berarti tidak
mungkin bagi presiden menetapkan
Peraturan Pemerintah sebelum ada undang-undangnya, sebaliknya suatu undang-undang tidak berlaku efektif
tanpa adanya Peraturan
Pemerintah.
5.
Peraturan Presiden
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat
oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden
adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Contoh, Peraturan
Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara.
6. Peraturan pelaksana lainnya
Yang dimaksud dengan peraturan pelaksana lainnya adalah seperti Peraturan
Menteri, Instruksi Menteri, Peraturan Daerah dan lain-lainnya yang harus dengan
tegas berdasarkan dan bersumber pada peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
B. Yurisprudensi
Peradilan
Penemuan hukum erat
kaitannya dengan peranan hakim dalam pengadilan. Bilamana hakim tidak menemukan
aturan hukumnya sedangkan dihadapkan pada sebuah sengketa maka hakim dapat
berkreasi dengan melakukan penemuan hukum. Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa: “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dalam
penjelasan pasal tersebut disebutkan: “Ketentuan dimaksud agar putusan hakim dan
hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Dalam Pasal 10 ayat (1) juga menentukan bahwa: “Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”.
Penemuan hukum pada
dasarnya menurut Sudikno Mertokusumo merupakan proses pembentukan hukum oleh
hakim atau petugas hukum lain yang diberi tugas melaksanakan hukum atau
menerapkan pereaturan hukum umum terhadap peristiwa hukum yang konkret. Dari sumber hukum yang ada salah satunya adalah
yurisprudensi peradilan. Meskipun dalam sistim peradilan Indonesia tidak
menganut asas preseden (ajaran stare decisis) namun kerap kali pengadilan
mengikuti beberapa putusan pengadilan berupa yurisprudensi tetap (vaste
jurisprudentie). Yurisprudensi peradilan mengenai hukum tata negara masih
tergolong sedikit lantaran lembaga peradilan konstitusi yakni MK tergolong
sebagai lembaga baru.
Kekosongan hukum
dimungkinkan terjadi apabila suatu undang-undang tidak dapat menjangkau sebuah
permasalahan hukum. Hal ini akan dapat diatasi melalui hakim pengadilan yang
melakukan penemuan hukum. Sehingga putusan yang dibuat oleh pengadilan dapat
mengisi celah ruang kosong yang ditinggalkan oleh UU. Dalam menghadapi
kekosongan undang-undang (wet vacuum) atau kekosongan hukum (rechts
vacuum) dapat melakukan konstruksi hukum. Praktik
dalam peradilan konstitusi juga tidak menutup kemungkinan bagi hakim untuk
melakukan konstruksi hukum meskipun belum ada undang-undang atau aturan hukum
yang mengaturnya. Sebagaimana inti dari sebuah hukum yang mewakili tiga aspek
yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Melalui penemuan hukum hakim dapat
memberikan keadilan dan kemanfaatan.
Dalam sistem hukum
Indonesia bahwa putusan pengadilan dapat dijadikan yurisprudensi apabila : 1)
putusan inkracht, 2) dinilai baik, menghasilkan keadilan, 3) sudah berulang,
dengan pola yang sama di tempat yang berbeda, 4) putusan tersebut tidak ada
dalam norma hukum tertulis, 5) putusan tersebut direkomendasikan oleh tim
ekseminasi MA dan MK.
Putusan Mahkamah Agung No.42 K/Kr/1965 tertanggal 8 Januari 1966, yang
menyebutkan bahwa “suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai
melawan hukum bukan hanya mendasarkan asas-asas keadilan dan atau asas-asas
hukum tidak tertulis dan bersifat umum”. Dalam perkara ini misalnya terdapat
faktor-faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa
sendiri tidak mendapat untung, sama hal nya dengan bidang pemerintahan maka
dapat dikatakan bahwa dengan keputusan itu telah terpenui asas-asas umum
pemerintahan yang baik atau dapat juga disebut sebagai telah memenuhi asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
C. Konvensi
Ketatanegaraan
Konvensi ketatanegaraan
tidak identik dengan kebiasaan (kebiasaan = sesuatu yang diulang-ulang).
Konvensi ketatanegaraan dapat berbebntuk kebiasaan, dapat pula berbentuk
praktek. Konvensi ketatanegaraan dianggap pula sebagai konstitusi tidak
tertulis. Contoh Konvensi ketatanegaraan di Indonesia adalah Pidato Kenegaraan
Presiden tanggal 16 Agustus, untuk masa sekarang biasa pidato berisi nota
penjelasan oleh Presden tentang APBN. Dalam perjalanan sejarah
ketatanegaraan Republik Indonesia yaitu sejak ditetapkan UUD 1945 pada tanggal
18 Agustus 1945, tercatat adanya beberapa konvensi dalam praktik
penyelenggaraan negara.
Dalam kurun waktu pertama berlakunya UUD 1945 yaitu sejak tanggal 18
Agustus 1945 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, maupun kurun waktu kedua
yaitu sejak Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sampai sekarang, dapat kita
telusuri terjadinya berbagai konvensi ketatanegaraan di Indonesia. Sebagaimana
telah disinggung di atas hadirnya konvensi adalah hal yang wajar, karena UUD
1945 mengakomodasi adanya hukum dasar yang tak tertulis yang timbul dan
terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara. Dengan Maklumat Pemerintah
tanggal 14 November 1945, terjadi perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan
di Indonesia, yaitu dengan digantinya Kabinet Presidensial menjadi Kabinet
Parlementer. Akibat perubahan itu kekuasaan eksekutif yang semula berada pada
Presiden Soekarno beralih kepada Perdana Menteri (Syahrir). Terlepas dari
adanya anggapan bahwa perubahan disebut adalah penyimpangan dari Kabinet
Presidensial yang dianut oleh UUD 1945, namun menurut Menteri Penerangan RI
pada waktu itu perubahan sistem tersebut adalah ditimbulkan dengan cara
kebiasaan politik (convention). Perubahan ke arah sistem parlementer ini
tidak diatur oleh UUD 1945, melainkan karena konvensi ketatanegaraan.
Dalam kurun waktu kedua berlakunya kembali UUD 1945, yaitu sejak Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959, sejarah ketatanegaraan Indonesia juga mencatat
adanya konvensi-konvensi yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan negara. Seperti kita ketahui, pada periode Orde Lama, setiap
tanggal 17 Agustus Presiden Republik Indonesia, mempunyai kebiasaan untuk
berpidato dalam suatu rapat umum yang mempunyai kualifikasi tertentu, seperti
rapat raksasa, rapat samodra dan lainnya. Dalam pidato itu dikemukakan hal-hal
di bidang ketatanegaraan. Namun di bawah Orde Baru kebiasaan di atas telah
ditinggalkan, sebagai gantinya pada setiap tanggal 16 Agustus Presiden Republik
Indonesia menyampaikan pidato kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR.
Periode Orde Baru, sejak tahun 1966
terdapat beberapa praktik ketatanegaraan yang dapat dipandang sebagai konvensi
yang sifatnya melengkapi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Contoh
konvensi-konvensi yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan
negara, yang sedang berjalan :
1.
Praktik di Lembaga Tertinggi Negara bernama Majelis
Permusyarawatan Rakyat (MPR), mengenai pengambilan keputusan berdasarkan
musyawarah untuk mufakat.
2.
Seperti telah diuraikan di atas yaitu pidato Presiden
setiap tanggal 16 Agustus di depan Sidang Paripurna DPR yang di satu pihak
memberi laporan pelaksanaan tugas pemerintah dalam tahun anggaran yang lewat,
dan di lain pihak mengandung arah kebijaksanaan tahun mendatang.
3.
Jauh hari sebelum MPR bersidang presiden telah
menyiapkan rancangan bahan-bahan untuk Sidang Umum MPR yang aka datang itu.
Dalam UUD 1945 hal ini tidak diatur, bahkan menurut Pasal 3 UUD 1945 MPR-lah
yang harus merumuskan dan akhirnya menetapkan GBHN. Namun untuk memudahkan MPR,
presiden menghimpun rancangan GBHN yang merupakan sumbangan pikiran Presiden
sebagai Mandataris MPR yang disampaikan dalam upacara pelantika anggota-anggota
MPR. Hal tersebut merupakan praktik ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara
dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis, yang sudah
berulang kali dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.
4.
Pada setiap minggu pertama bulan Januari, Presiden
Republik Indonesia selalu menyampaikan penjelasan terhadap Rancangan Undang-undang
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di hadapan DPR, perbuatan
presiden tersebut termasuk dalam konvensi. Hal ini pun tidak diatur dalam UUD
1945, dalam pasal 23 ayat 1 UUD 1945 hanya disebutkan bahwa "Anggaran
Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila
Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah,
maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu". Penjelasan oleh Presiden
mengenai RUU tentang APBN di depan DPR yang sekaligus juga diketahui rakyat
sangat penting, karena keuangan negara itu menyangkut salah satu hak dan kewajiban
rakyat yang sangat pokok.
5.
Adanya Menteri Negara Nondepartemen dalam praktik
ketatanegaraan di bawah Pemerintahan Orde Baru. Pasal 17 ayat 3 UUD 1945
menyebutkan bahwa : "menteri-menteri itu memimpin Departemen
Pemerintahan". Jika ditinjau dari ketentuan Pasal 17 ayat 3 UUD 1945, maka
menteri-menteri itu harus memimpin Departemen. Namun demikian dalam praktik
ketatanegaraan di masa Orde Baru dengan kabinet yang dikenal Kabinet
Pembangunan, komposisi menteri dalam tiap-tiap periode Kabinet Pembangunan di
samping ada Menteri yang memimpin Departemen, terdapat juga Menteri Negara
Nondepartemen. Adanya Menteri Nondepartemen berkaitan dengan kebutuhan pada era
pembangunan dewasa ini. Karena adanya Menteri Negara Nondepartemen sudah
berulang-ulang dalam praktik penyelenggaraan negara, maka dapatlah dipandang
sebagai konvensi dalam ketatanegaraan kita dewasa ini.
6.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui
oleh DPR. Secara konstitusional presiden sebenarnya mempunyai hak untuk menolak
mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui DPR, sebagaimana
diisyaratkan oleh pasal 21 ayat 2 UUD 1945. Tetapi dalam praktik presiden belum
pernah menggunakan wewenang konstitusional tersebut, presiden selalu
mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui oleh DPR, meskipun
Rancangan Undang-undang itu telah mengalami berbagai pembahasan dan amandemen
di DPR. Rancangan Undang-undang kebanyakan berasal dari Pemerintah (Presiden)
sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 UUD 1945.
D. Hukum
Internasional tertentu
Hukum
internasional tertentu dianggap juga menjadi sumber hukum tata negara, obyek
kajiannya ialah melihat negara dari segi eksternalnya dengan subyek
negara-negara lainnya. Traktat atau
perjanjian yaitu perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih. Kalau kita
amati praktek perjanjian internasional bebrapa negara ada yang dilakukan 3
(tiga) tahapan, yakni perundingan (negotiation), penandatanganan (signature),
dan pengesahan (ratification). Disamping itu ada pula yang dilakukan hanya dua
tahapan, yakni perundingan (negotiation) dan penandatanganan (signature). Contoh perjanjian
internasional yang mempengaruhi ketatanegaraan di Indonesia adalah KMB. Hasil dari
Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:
·
Serahterima kedaulatan dari pemerintah
kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua
bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin
menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis.
Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2
menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan bahwa
masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. Dibentuknya sebuah
persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala negara
·
Pengambil alihan hutang Hindia Belanda
oleh Republik Indonesia Serikat
Rantjangan
Piagam Penjerahan Kedaulatan : 1) Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan
atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak
bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik
Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat. 2) Republik
Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada
Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan
Nederland. 3) Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember
1949
Tanggal
27/12/1949, pemerintah sementara negara dilantik. Soekarno menhadi Presiden dan
Hatta jadi PM kabinet RIS. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik
federasi berdaulat yang terdiri 16 negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan
Kerajaan Belanda. Dari situ menggambarkan bahwa sistem indonesia menjadi
parlementer dan bentuk negara federal
E. Doktrin Ilmu Hukum Tata Negara tertentu
Doktrin ilmu hukum tata negara dapat dijadikan sebagai
salah satu sumber hukum tata negara karena pendapat seorang ilmuwan yang
mempunyai otoritas dan kredibilitas dapat dijadikan rujukan yang mengikat dalam
keputusan hukum. Contoh doktrin
hukum yang sering digunakan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia adalah
Trias Politika/ pembagian kekuasaan menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif,
dan yudikatif (Montesquieu).
Pemisahan kekuasaan juga disebut dengan istilah trias
politica adalah sebuah
ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua
atau lebih kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok
mendapatkan kuasa yang terlalu banyak. Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara
pembagian dalam tubuh pemerintahan agar tidak ada penyelahgunaan kekuasaan,
antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan juga merupakan
suatu prinsip normative bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak
diserahkan kepada orang yang sama, untuk mencegah penyalahugunaan kekuasaan
oleh pihak yang berkuasa.
Trias
Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai
negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu
negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan
harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda : Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.
Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda : Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.
Dengan
terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan
jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan
oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling
koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di
tiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa halangan. Disini akan dijelaskan
mengenai gambaran pemikiran Montesquieu, dari Perancis tentang Trias Politika.
Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu
(nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya
setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum
opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.
Sehubungan
dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam
tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan
eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara
bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum
sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum
yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang,
mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk
melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan
pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan
yudikatif.
Fungsi-fungsi
Kekuasaan Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat
undang-undang. Fungsi lembaga legislatif : 1) Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang. 2) Constituency Work adalah fungsi badan
legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. 3) Supervision and Critism of Government, berarti fungsi legislatif
untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana
menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. 4) Education adalah fungsi DPR untuk
memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. 5) Representation, merupakan fungsi dari
anggota legislatif untuk mewakili pemilih.
Fungsi-fungsi
Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang
yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi lembaga eksekutif : 1) Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau
Raja, dsb merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. 2) Head of Government, artinya adalah
kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan
eksekutif sehari-hari. 3) Party Chief
berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu
partai yang menang pemilu. 4) Commander
in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau
perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. 5) Chief Diplomat, merupakan fungsi
eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara
di seluruh dunia. 6) Dispenser of
Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian
dengan negara lain atau lembaga internasional. 7) Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan
diterbitkannya suatu undang-undang.
Fungsi-fungsi
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun
memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi lembaga yudikatif : 1) Criminal Law, penyelesaiannya biasanya
dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari
Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan
Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di
Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan
Agama. 2) Constitution Law, kini penyelesaiannya
ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. 3) Administrative
Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya
kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya. 4) International Law, tidak diselesaikan
oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
BAB III
PENUTUP
Sumber hukum (Inggris: source of law) lebih menunjuk kepada pengertiann tempat dari mana asal muasal suatu norma hukum tertentu berasal. Menurut
Joeniarto, sumber hukum dapat dibedakan : 1) Sumber hukum dalam pengertian sebagai asalnya hukum positif, wujudnya dalam
bentuk yang konkret berupa “keputusan dari yang berwenang” untuk mengambil
keputusan mengenai soal yang bersangkutan. 2) Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai tempat
ditemukannya aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan hukum positif.
3) Sumber hukum dihubungkan dengan filsafat, sejarah dan
masyarakat, kita mendapatkan sumber hukum filosofis, sumber hukum historis, dan
sumber hukum sosiologis. Sumber hukum tata negara di Indonesia adalah :
1. Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan
tertulis
Dalam
Pasal 7 ayat 1 UU No. 12 tahun 2011 hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
Peraturan
Pemerintah;
e.
Peraturan
Presiden;
f.
Peraturan Daerah
Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
2. Yurisprudensi peradilan
Dalam sistem hukum Indonesia bahwa
putusan pengadilan dapat dijadikan yurisprudensi apabila : 1) putusan inkracht,
2) dinilai baik, menghasilkan keadilan, 3) sudah berulang, dengan pola yang
sama di tempat yang berbeda, 4) putusan tersebut tidak ada dalam norma hukum
tertulis, 5) putusan tersebut direkomendasikan oleh tim ekseminasi MA dan MK.
Contoh : Putusan
Mahkamah Agung No.42 K/Kr/1965 tertanggal 8 Januari 1966, yang menyebutkan
bahwa “suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum
bukan hanya mendasarkan asas-asas keadilan dan atau asas-asas hukum tidak tertulis
dan bersifat umum”.
3. Konvensi ketatanegaraan
Konvensi
ketatanegaraan tidak identik dengan kebiasaan (kebiasaan = sesuatu yang
diulang-ulang). Konvensi ketatanegaraan dapat berbentuk kebiasaan, dapat pula
berbentuk praktek. Konvensi ketatanegaraan dianggap pula sebagai konstitusi
tidak tertulis. Contoh Konvensi ketatanegaraan di Indonesia adalah Pidato
Kenegaraan Presiden tanggal 16 Agustus, untuk masa sekarang biasa pidato berisi
nota penjelasan oleh Presiden tentang APBN.
4. Hukum Internasional tertentu
Contoh : Negara Republik Indonesia Serikat yang lahir akibat
Konperensi Meja Bundar yang dilangsungkan di s’Gravenhage tanggal 2 Nopember
1945 antara Republik Indonesia, BFO, dan Belanda yang dihadiri oleh sebuah
Komisi PBB untuk Indonesia. Isi perjanjian itu adalah : 1. Di dirikannya Negara
RIS, 2. Penyerahan
kedaulatan kepada RIS, 3. Didirikannya Uni antara RIS dan Kerajaan Belanda.
Dari situ menggambarkan bahwa sistem indonesia menjadi parlementer dan bentuk
negara federal.
5. Doktrin ilmu hukum tata negara tertentu
Doktrin ilmu hukum tata
negara dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum tata negara karena
pendapat seorang ilmuwan yang mempunyai otoritas dan kredibilitas dapat
dijadikan rujukan yang mengikat dalam keputusan hukum. Contoh doktrin hukum yang sering digunakan dalam
sistem ketatanegaraan di Indonesia adalah Trias Politika/ pembagian kekuasaan
menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Montesquieu).
DAFTAR PUSTAKA
Assidiqie, Jimly. 2006. Pengantar
Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta : Konstitusi Press.
Huda,
Ni’matul. 2005. Hukum
Tata Negara Indonesia. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Kansil.
1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar
Hukum Indonesia. Jakarta : balai Pustaka.
Wiratraman, R. Herlambang Perdana. 2008. UUD sebagai Sumber Utama hukum
Tata Negara. Surabaya : Fakultas Hukum Universitas Airlangga
miftakhulhuda.wordpress.com/2010/01/28/konvensi-ketatanegaraan/
Peraturan
Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar