BAB
I
PENDAHULUAN
Ketenagakerjaan
pada awalnya merupakan bidang yang berada dalam ruang lingkup hukum privat.
Namun karena ketenagakerjaan dianggap menjadi bidang yang penting untuk diatur
secara langsung oleh negara. Maka negara turun tangan langsung dengan membuat
regulasi yang mengatur mengenai ketenagakerjaan. Sehingga, ketenagakerjaan
tidak lagi bagian dari hukum privat tetapi menjadi bagian dari hukum publik.
Alasan lain mengapa langkah ini dilakukan oleh negara adalah karena banyaknya
kasus yang menjadikan Tenaga Kerja Indonesia dalam maupun luar negeri menjadi
korban dan kurang mendapat perlindungan. Pembuatan regulasi yang mengatur
secara khusus ketenagakerjaan dituangkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Masalah yang
sering terangkat ke permukaan dan menjadi berita utama serta buah bibir
dimasyarakat adalah perlakuan diskriminasi. Perlakuan tidak adil antara sesama
pekerja/buruh maupun antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dalam Pasal 5 dan 6
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hal ini telah diatur agar tidak
adanya diskriminasi. Masalah lain yang saat ini juga sedang menjadi bahan
pembicaraan dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah outsourcing.
Dimana praktekoutsourcing ini menyengsarakan pekerja atau buruh dan
menyebabkan kaburnya hubungan kerja serta industrial antara pekerja dengan
pengusaha. Seain itu masih banyak permasalah
ketenagakerjaan yang penerapannya menimbulkan pro dan kontra yaitu, perjanjain
kerja, pengupahan, tenaga kerja asing, dan lainnya.
Dengan
berbagai masalah penerapan UU Nomor 13 Tahun 2003, maka disusunlah paper dengan
judul, “Analisis
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan”. Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk
menganalisis terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
terkait berbagai permasalahan yang menjadi isu aktual dan menimbulkan berbagai
pro dan kontra dalam penerapannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG
KETENAGAKERJAAN
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melanggar konstitusi
dan ada pula yang berpendapat sebaliknya. Dewasa ini masih menjadi perdebatan
mengenai hal tersebut, mungkin tak akan ada jawaban seragam mengenai
pernyataan. Tapi yang pasti fakta menunjukkan banyak pasal dari
undang-undang itu yang “dirontokkan” Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap
bertentangan dengan UUD 1945. Tercatat sampai saat ini ada
tujuh kali pengujian UU Ketenagakerjaan yang semuanya diajukan oleh buruh atau
serikat buruh. Hanya satu pengujian yang ditolak MK. Selebihnya diterima MK
dengan menyatakan pasal tertentu tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau
ada juga pasal yang tetap dinyatakan konstitusional sepanjang memenuhi
syarat-syarat tertentu yang ditetapkan MK.
Meski kondisi UU Ketenagakerjaan
sudah ‘compang-camping’, ternyata banyak kalangan yang belum mengetahuinya.
Termasuk para pelaku hubungan industrial yaitu buruh dan pengusaha. Juanda
Pangaribuan adalah Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Lewat bukunya berjudul “Aneka Putusan Mahkamah Konstitusi
Bidang Hukum Ketenagakerjaan”,
beliau tak sekedar mengumpulkan pertimbangan dan putusan MK. Tapi ia juga
menambahkan ulasan hukum terhadap lima putusan MK dan dampaknya pada praktik
hubungan industrial. (Sumber: Hukum Online, website: http://www.hukumonline.com)
Berikut permasalahan aktual
berkaitan dengan ketenagakerjaan di Indonesia (Sumber: Okezone.com), yaitu :
1. Situasi perekonomian Indonesia pada tahun yang akan datang
dipenuhi dengan tantangan yang cukup berat dengan adanya krisis ekonomi yang
melanda negara Eropa saat ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa
tahun terakhir diklaim meningkat, terlihat pada triwulan kedua 2012 mencapai
6,4%.
2. Permasalahan kedua, rendahnya kualitas angkatan kerja.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Februari 2012, rendahnya kualitas
angkatan kerja terindikasi dari perkiraan komposisi angkatan kerja yang
sebagian besar berpendidikan SD ke bawah yaitu 47,87 persen, SMP 18,28 persen
dan yang berpendidikan lebih tinggi termasuk perguruan tinggi hanya 9,72
persen.
3. Besarnya pengangguran. Pada Februari 2012, angkatan kerja
Indonesia berjumlah 120,41 juta orang. Dari jumlah itu, pengangguran terbuka
mencapai 7,61 juta orang atau 6,32 persen.
4.
Permasalahan keempat
yakni globalisasi arus barang dan jasa, permasalahan ini dangat terkait dengan
bidang ketenagakerjaan. Sebagai contoh dalam sistem perdagangan bebas baik
dalam kerangka WTO, APEC, dan AFTA mempengaruhi perpindahan manusia untuk
bekerja dari suatu negara ke negara lain yang telah menjadi salah satu
modalitas perdagangan jasa yang harus ditaati oleh setiap anggota.
Sedangkan dari segi aturan hukum, UU
Ketengakerjaan pun menimbulkan pro dan kontra dalam penerapannya. Berikut pasal
demi pasal yang menjadi pro dan kontra dalam penerapannya :
1. Pasal 52-54
Perjanjian
Kerja/Kontrak Kerja. Memiliki kontrak kerja
sangat penting dalam hubungan profesional. Tanpa kontrak kerja, kejelasan
tentang hak dan kewajiban menjadi tak terjamin. Oleh karena itu ada hal-hal
yang perlu dicermati dalam kontrak kerja yaitu : 1) Mengikat pengusaha dan
pegawai. 2) Dibuat dengan Jelas. 3) Tambahan yang perlu diperhatikan: tunjangan
dan fasilitas, masalah pengangkatan, kontrak khusus, jadwal kerja, pemutusan
hubungan kerja, kontrak kerja masa percobaan. Kebanyakan para pengusaha membuat
perjanjian kerja yang merugikan buruh dikemudian hari, hal itu disebabkan masih
rendahnya tingkat pendidikan buruh di Indonesia.
2. Pasal 64; 65; 66
Outsourcing. Outsourcing
tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing
perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan
outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari
pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi,
benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam
bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern
perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain
yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa
permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan. Karyawan outsourcing selama
ditempatkan diperusahaan pengguna jasa outsourcing wajib mentaati ketentuan
kerja yang berlaku pada perusahaan outsourcing, dimana hal itu harus
dicantumkan dalam perjanjian kerjasama. Mekanisme Penyelesaian perselisihan
ketenagakerjaan diselesaikan secara internal antara perusahaan outsourcing
dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dimana perusahaan outsourcing
seharusnya mengadakan pertemuan berkala dengan karyawannya untuk membahas
masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi dalam pelaksanaan outsourcing.
3. Pasal 35 dan 37
Masalah
pada Pasal 35 ayat (1), “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat
merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan
tenaga kerja.” Dan ditambah dengan Pasal 37 ayat (1), “Pelaksana penempatan
tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari: (a)
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan (b)
lembaga swasta berbadan hukum.” Dan dilengkapi dengan Pasal 56 ayat (1),
“Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.”
Kesengsaraan yang ditimbulkan akibat pasal tersebut : Pertama, sulit
mendapatkan jenjang karir, atau mungkin tidak sama sekali. Kedua, Pemotongan
upah yang besar. Kesengsaraan ketiga,
jaminan sosial tenaga kerja tidak diurus.
4. Pasal 78
Lembur. Upah Kerja Lembur adalah upah yang
diterima pekerja atas pekerjaannya sesuai dengan jumlah waktu kerja lembur yang
dilakukannya. Perhitungan Upah Lembur didasarkan upah bulanan dengan cara
menghitung upah sejam adalah 1/173 upah sebulan. Berdasarkan ketentuan yang
tertuang dalam Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004.
Yang
harus dipahamin bahwa lembur bukan merupakan Penghasilan dan Lembur itu adalah
sukarela. Kedua hal itu penting untuk di”mind set” kan sebab tidak selamanya
pekerja/buruh akan melakukan kerja lembur. Setelah bekerja beberapa tahun dapat
saja pekerja/buruh memperoleh posisi yang sudah tidak lagi membutuhkan lemburan.
Selain itu tidak setiap saat pekerja/buruh sedia melaksanakan pekerjaan
melewati waktu kerja karena adanya kebutuhan lain yang mesti dikerjakan pada
saat yang bersamaan. Disamping itu ada satu hal penting lain yang mestinya
menjadi bahan pertimbangan seorang pekerja/buruh melaksanakan lembur meski
tidak mudah dilakukan adalah pada waktu perintah untuk lembur diberikan segera
sediakan Formulir Lembur untuk diisi dan ditanda tangani oleh pekerja/buruh
dengan pejabat berwenang atau yang memerintahkan lembur disesuaikan dengan
masing-masing perusahaan. Jelas diatur dalam Kepmen bahwa untuk melakukan kerja
lembur harus ada perintah tertulis dan persetujuan tertulis dari kedua belah
pihak antara pekerja/buruh dan pejabat yang memerintahkan lembur. Dalam
peraturan ketenagakerjaan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling
banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu.
Sesuai
ketentuan dalam Kepmen 102/2004 Pasal 10 dalam hal upah terdiri dari Upah Pokok
dan Tunjangan Tetap maka dasar perhitungan upah lembur adalah 100 % (seratus
perseratus) dari upah. Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap
dan tunjangan tidak tetap, apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih
kecil dari 75 % (tujuh puluh lima perseratus) keseluruhan upah maka dasar perhitungan
upah lembur 75 %. (tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah. Cara
perhitungan lembur ini sekali lagi landasannya adalah Kepmen 102/2004. Apabila
lebih rendah dari ketentuan UU maka hal itu tidak diperkenankan.
5. Pasal 88-98
Struktur dan skala upah. Pada prakteknya,
sering kali jumlah tunjangan menjadi lebih besar dari gaji pokok yang diterima
oleh seorang pekerja. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan salah pengertian di
dalam hubungan kerja yang akhirnya akan dapat mengganggu hubungan antara
pengusaha dengan pekerja. Karena tunjangan yang diberikan besar maka jumlah
gaji keseluruhan (take home pay) dirasa telah melebihi Upah Minimum, padahal
Upah Minimum hanya terdiri dari Gaji pokok + tunjangan tetap saja. Setiap tahun
terjadi demo yang dilakukan buruh untuk meminta kenaikan UMP. Pemerintah
hendaknya mengkaji ulang struktur dan skala pengupahan yang adil, bagi
pengusahan maupun buruh. Jangan hanya karena demo buruh, maka UMP naik. Perlu
diperhatikan bahwa demo buruh dan mengganggu produksi dan membuat investor
enggan berinvestasi. Kepentingan buruh dan pengusaha hendaknya diakomodir
dengan baik agar tidak saling merugikan.
6. Pasal 108-115
Peraturan Perusahaan.
Peraturan perusahaan merupakan salah satu unsur penting bagi stabilitas usaha
dan pembianaa karyawan. Peraturan perusahaan merupakan sebuah kebutuhan dasar
ketika usaha mulai berkembang dan menggaji orang sebagai karyawan. Pada pasal
108-155 Undang-undang Tenaga Kerja No 13 Tahun 2003 mengatur mengenai hal ini.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Peraturan perusahaan disusun oleh dan
menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan. Setelah kita lihat
bahwa maksud dan fungsinya peraturan perusahaan adalah baik, seharusnya
perusahaan tidak menunda untuk membuat dan mengesahkan peraturan perusahaannya.
Akan tetapi masih banyak perusahaan yang tidak memiliki, menunda untuk
mengesahkannya dan bahkan membuatnya tapi tidak mengesahkan dan tidak
mensosialisasikannya ke karyawan. Akhirnya banyak masalah datang, keharmonisan
terganggu dan kinerja menurun.
Selain keenam permasalahan tersebut,
masih banyak pasal demi pasal UU Ketenagakerjaan yang perli dikritisi dan
ditelaah. UU Ketenagakerjaan tersebut belum mampu menciptakan rasa kepastian,
keadilan dan kemanfaatan hukum bagi pihak terkait. Masalah lainnya pada
penerapan UU dan peraturan terkait dalah: lemahnnya perlindungan kerja terutama
TKI di luar negeri, diskriminasi terhadap gender dan penyandang cacat, pekerja
anak, pelatihan kerja yang buruk, jaminan sosial dan kesehatan, diskriminasi
pekerja lokal dan asing, birokrasi panjang yang menyulitkan pengusaha dan
investor, demonstasi, dan masih banyak lagi permasalahan ketenagakerjaan di
Indonesia.
B. ANALISIS ISU AKTUAL KETENGAKERJAAN
Penulis hanya akan menganalisis
secara mendalam dua permasalahan ketenagakerjaan yang menimbulkan pro kontra di
masyarakat, yaitu PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja) karena
kesalahan berat dan Outsourcing. Berikut analisis
mengenai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, terkait
berbagai permasalahan yang menjadi isu aktual dan menimbulkan berbagai pro dan
Kontra dalam penerapannya :
1. PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja) karena kesalahan berat
Selanjutnya, putusan MK pertama kali yang dibahas adalah putusan
No.012/PUU-I/2003 yang salah satunya membatalkan Pasal 158 tentang PHK karena
kesalahan berat. Praktiknya, masih banyak pekerja yang dipecat dengan alasan
atau dasar Pasal 158 UU Ketenagakerjaan.
Pada awal diundangkanya UU No.
13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), salah satu alasan Pemutusan Hubungan
Kerja adalah, karena “kesalahan berat”, yang diatur dalam ketentuan Pasal 158.
Alasan kesalahan berat pada
pokoknya mengatur tentang perbuatan pidana yang telah diatur dalam KUHP, sehingga untuk menyatakan pekerja telah melakukan
kesalahan berat harus atas dasar pekerja tertangkap tangan, ada pengakuan
pekerja yang bersangkutan atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat
oleh pihak berwenang, di perusahaan yang bersangkutan, dengan didukung oleh dua
orang saksi.
Apabila hal tersebut terpenuhi maka
pengusaha diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan pemutusan hubungan
kerja secara sepihak tanpa wajib membayar uang penggantian hak, uang pesangon
dan atau uang penghargaan masa kerja.
UU Ketenagakerjaan sendiri tidak
memberikan pengertian “kesalahan berat”, sehingga dalam praktik kualifikasi
kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 ayat (1) menjadi terbatas. Atau
dengan perkataan lain, tidak boleh ada kualifikasi perbuatan lain yang
digolongkan menjadi kesalahan berat.
Padahal umumnya setiap sektor
industri atau jasa memiliki kualifikasi kesalahan berat di luar ketentuan Pasal
158 ayat (1). Contohnya kesalahan berat bagi pekerja yang merokok di lokasi
kerja berbahaya yang mudah terbakar seperti di perusahaan minyak dan gas. Atau
penjaga perlintasan kereta yang membiarkan kereta lewat tanpa menutup pintu
perlintasan.
Contoh kasus seperti di atas bagi
perusahaan lain mungkin tidak merupakan kesalahan berat, namun beda ceritanya
bagi perusahaan terkait. Dalam praktik, sebagian praktisi menganggap bahwa
kesalahan berat harus selalu tindak pidana sedangkan yang lain berpandangan
kesalahan berat tidak selalu harus tindak pidana.
Putusan MK dan Dampaknya
Ketentuan Pasal 158 UU
Ketenagakerjaan ini dinilai oleh pihak pekerja dan serikat pekerja telah
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak
bersalah/preassumption of innocence. Berdasarkan alas hukum tersebut
maka dilakukan permohonan hak uji materi UU Ketenagakerjaan.
Atas permohonan pekerja dan serikat
pekerja, Mahkamah Konsitusi (MK) menjatuhkan putusan No.012/PUU-I/2003,
tertanggal 28 Oktober 2004, yang amar putusannya pada pokoknya menyatakan
ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pasca putusan MK, muncul banyak
penafsiran dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial mengenai
pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan perbuatan yang
dikualifikasikan dalam ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan.
Menyikapi hal tersebut Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 7 Januari 2005 menerbitkan Surat Edaran
Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005. Isi pokok dari surat edaran menteri itu adalah
penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan
kesalahan berat harus memperhatikan dua hal. Yakni, PHK dapat dilakukan setelah
ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila pekerja
ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan pasal 160
UU Ketenagakerjaan.
Selain itu, surat edaran menteri
juga menyatakan, dalam hal terdapat “alasan mendesak” yang berakibat hubungan
kerja tidak dapat dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian
melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Belum tuntas perbedaan penafsiran
mengenai “kesalahan berat” Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
memunculkan istilah “alasan mendesak” tanpa memberikan pengertian yang jelas.
Berdasarkan penelusuran pustaka,
“alasan mendesak” ternyata ditemukan pada buku III Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Pasal
1603 o, yang isinya sebagian besar sama dengan ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan.
Berbeda
Penafsiran
Perbedaan penafsiran dan pandangan
mengenai pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat pasca putusan MK dan
SE Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi oleh pengusaha, mediator dan hakim
ditafsirkan secara berbeda dengan argumentasi hukum masing-masing.
Mendasarkan
pada praktik penerapan pemutusan hubungan kerja yang ada, diketahui bahwa
pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat dapat diselesaikan melalui
proses hukum acara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur
dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Melihat kenyataan
tersebut kedepan diharapkan mediator tidak lagi menolak untuk melakukan mediasi
dan hakim diharapkan bersedia memeriksa dan mengadili gugatan pemutusan
hubungan kerja karena kesalahan berat.
Berdasarkan
fakta yang terjadi dalam penerapan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan
berat maka sudah saatnya untuk menyamakan persepsi bahwa melakukan proses
pidana terhadap pekerja yang melakukan kesalahan berat harus ditafsirkan
sebagai hak pengusaha, sehingga mediator dan hakim tidak lagi mewajibkan
kesalahan berat harus diproses secara pidana terlebih dahulu.
2. Outsourcing
Undang-Undang 13/2003 sebenarnya
turut mengatur masalah para tenaga kerja outsourcing (alih daya), akan tetapi,
pada pelaksanaannya, sampai kini, masih banyak permasalahan yang berkaitan
dengan para tenaga kerja tersebut.
Kata outsourcing memang tidak ada
di dalam istilah yang digunakan pada Undang-undang ketenagakerjaan karena
outsourcing adalah istilah dalam bahasa asing, namun makna dari istilah
outsourcing lebih kurang sama seperti yang tercantum dalam undang-undang no.13
tahun 2003 pada pasal 64 yaitu: Perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis. Dalam Undang-undang makna dari outsourcing adalah
menyerahkan sebagian dari pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam
kenyataan di lapangan, praktek outsourcing lebih dikenal dengan istilah
penggunaan yayasan sebagai penyalur tenagakerja.
Penawaran tenaga kerja Perusahaan
outsourcing amat beragam, mulai dari perusahaan outsourcing yang
spesialisasinya hanya sebagai penyedia outsourcing tenaga security sampai
perusahaan outsourcing yang menyediakan tenaga kerja dari bermacam-macam
bidang. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa perusahaan outsourcing memiliki
peran yang sangat besar dalam dunia usaha. Mengapa? Karena dilihat dari sudut
pandang pengusaha, menggunakan jasa outsourcing dapat mempermudah merekrut
tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Termasuk juga mudah ketika
ingin memutuskan hubungan kerja. Dengan adanya bentuk outsourching tersebut,
perusahaan juga tidak bingung memikirkan nasib para pekerjanya, karena
perusahaan berkontrak dengan perusahaan penyedia jasa outsourching tersebut,
tidak dengan masing-masing karyawan yang bersangkutan.
Namun, sebagian besar karyawan merasa
bahwa praktik outsourcing ini merugikan hak-hak karyawan, sehingga diajukanlah
permohonan pengujian Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Ketua Umum
Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML) Didik Suprijadi.
Yang menjadi masalah di lapangan
adalah terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam Undang-undang.
Untuk masalah outsourcing, yang sering terjadi adalah pengusaha melakukan
praktek out sourcing untuk jenis usaha yang masuk dalam kategori pekerjaan
utama. Alasan yang sering digunakan oleh para pengusaha adalah bahwa penafsiran
tentang definisi dari pekerjaan utama masih belum jelas padahal kalau merujuk
pada penjelasan undang-undang No.13 tahun 2003 pasal 66 ayat 1 (satu) terlihat
jelas bahwa yang boleh dioutsourcing hanyalah 5 jenis kegiatan saja. Jadi
penafsiran terkait dengan defenisi pekerjaan utama harusnya merujuk pada
penjelasan tersebut.
Salah satu ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang menjadi sorotan banyak
pihak adalah soal penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain
atau outsourcing. Seperti diketahui, MK telah menjelaskan hal
tersebut dalam putusan No.27/PUU-IX/2011. Selain menjelaskan tentang dua sisi
berbeda dalam putusan tersebut, buku ini menjabarkan polemik dan fakta-fakta
yang ada dalam praktik outsourcing di Indonesia. Putusan
MK No.19/PUU-IX/2011 yang menyatakan
pengusaha tidak dibolehkan melakukan PHK jika perusahaan tidak tutup permanen. Pengusaha
dapat melakukan PHK dengan alasan efisiensi jika telah melewati delapan syarat
yang ditetapkan MK.
Praktek
outsourcing di Indonesia
Praktek outsourcing di Indonesia Outsourcing sudah banyak dipraktekan
di dunia bisnis di Indonesia. Sebenarnya ide dan konsep outsourcing sudah
dimulai lama sekali, saat suatu organisasi telah meminta suatu group di luar
organisasi untuk membantu pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan secara
internal. Penggunaan kata “outsourcing” sendiri sudah mulai dipakai sekitar
tahun 1970 di dunia manufacturing. Sejak saat itu outsourcing mulai dikenal dan
di implementasikan secara global.Satu sisi keberadaaan outsourcing akan sangat
membantu pekerjaan perusahaan. Diluar negeri alasan utama melakukan outsourcing
adalah untuk efisiensi biaya (yang artinya sebetulnya internal perusahaan
memiliki kemampuan akan tetapi lebih mahal jika dikerjakan sendiri). Sedangkan
di dalam negeri Alasan utama untuk melakukan outsourcing adalah karena tidak
adanya sumber daya yang mampu mengerjakan. Kondisi ini terjadi banyak pada
sektor IT. dimana beberapa perusahaan yang meng-outsource-kan komputer
desktop-nya, karena trend IT yang terus berubah dan lifecycle product yang
pendek Sektor perbankan misalnya dengan adanya kebijakan di dunia
perbankan untuk menekan aset Bank. Banyak jasa outsourcer bermunculan misalnya,
Industri car rental ; perusahaan tidak perlu dipusingkan oleh urusan
transportasi dan services karena semuanya telah ditangani oleh Car rental yang
telah menjadi bisnis rekanan perusahaan, industri security (keamanan)
perusahaan tidak dipusingkan lagi dengan urusan keamanan dan system,industri
penyewaaan alat-alat kantor dan foto copy dan yang paling fenomenal adalah
industri yang bergerak dibidang IT (teknologi dan informasi) Outsourcing
menjadi dewa penyelamat bagi banyak industri dan perusahan. Mengapa ? Dengan
outsourcing terjadi peningkatan produktifitas dan efficiency perusahaan.
Bagaimana caranya ? dari sisi budgeting (anggaran) perusahaan akan lebih focus
padapengunaan alokasi budget mereka, dari sisi operational perusahaan akan
lebih focus mengerjakan core business mereka saja, dari sisi keuangan (finance)
akan terjadi kemudahaan dan penghematan karena perusahaan tidak perlu lagi
mengeluarkan investasi peralatan yang tidak sesuai dengan core business, biaya
perawatan (maintainance) dsb, dari sisi SDM (human resources) perusahaan tidak
lagi dipusingkan oleh rekruitmen, pelatihan dan pengembangan, bahkan dengan
mudah mem “PHK” kan buruh. Pendeknya outsourcing sangat menguntungkan
perusahaan. Bagaimana dari sisi karyawan (buruh)?, apakah buruh juga
diuntungkan seperti perusahaan? Dalam kondisi ini ternyata keuntungan
buruh tidak sebanding dengan keuntungan perusahaan. Sehingga membicarakan
outsourcing menjadi fenomena yang menarik dalam dunia bisnis. Sejak
diundangkannya UU No.13/2003, outsourcing pekerja menjadi menjamur. Hal ini
disebabkan pengusaha dalam rangka efisiensi merasa aman jika buruh yang
dioutsource adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Disisi yang lain teryata
outsourcing mengundang permasalahan baru yakni legal issue dimana status dari
pada karyawan kurang jelas. apakah ia karyawan dari perusahaan itu atau ia
karyawan dari perusahaan outsourcing? dan yang selanjutnya kemana ia harus
mengajukan keberatan atas tindakan yang dilakukan oleh si employer. Dalam
kondisi ini jika ada masalah buruh akan menjadi bulan-bulanan antara si
outsourcing company dan si perusahaan. Mengapa bisa begini ? Ada dua
pandangan, pandangan pertama perusahaan merasa tidak bertangungjawab. Sehingga
yang bertanggung jawab terhadap buruh outsource tadi adalah perusahaan jasa
pekerja. Perusahaan-perusahaan ini merasa diback up oleh pasal 6 ayat 2 a yang
menyatakan bahwa antara perusahaan jasa pekerja harus ada hubungan kerja dengan
buruh yang ditempatkan pada perusahaan pengguna. Pandangan yang kedua
pihak buruh yang dioutsource juga merasa diback up oleh pasal 1 butir 15 yang
menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan jasa pekerja
melainkan dengan perusahaan pengguna. contohnya adalah Cleaning Services, Satpam
dan Pengemudi. Dalam mekanisme outsourcing ini pemborong penyedia tenaga kerja
memasok tenaga kerja kepada perusahaan pemberi kerja berdasarkan kontrak
penyediaan jasa tenaga kerja. Kemudian Cleaning Services, Satpam, Pengemudi
bekerja di perusahaan tersebut bukan dengan penyedia jasa tenaga kerja. Yang
memberi upah, pekerjaan dan perintah bukan dengan perusahaan jasa pekerja
melainkan perusahaan pengguna Prof.Dr. Aloysius Uwiyono, SH.,MH
menyebutkan kedua pasal ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi
pengusaha dan buruh apalagi outsourcing pekerja pada saat ini lagi ngetren.
Banyak perusahaan memutuskan hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk
selanjutnya direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing
pekerja). Hal ini berarti bahwa melalui pasal 6 ayat 2 a UU No.13/2003
Pemerintah melegalkan bukan sekedar perbudakan modern melainkan juga termasuk
human-trafficking. Suatu pelanggaran hak asasi manusia. (Sumber: http://shelmi.wordpress.com/2008/03/31/praktek-outsourcing-di-indonesia/)
Pasca Putusan MK
Putusan MK ini mengakibatkan
pemahaman yang berbeda antara pengusaha dan pekerja. Pengusaha menginginkan
kepastian berusaha. Putusan MK dinilai melindungi hak normatif pekerja. Seperti
yang diulas di dalam www.hukumonline.com, kalangan pekerja dan pengusaha masih
berbeda pandang melihat putusan MK terkait pengujian UU Ketenagakerjaan pada 17
Januari lalu. Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi mencoba menindaklanjuti putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu
melalui surat edaran tentang outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT).
C. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
BERKAITAN DENGAN UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN
Mengutip artikel Apakah MK Berwenang
Membuat Norma Hukum Baru?pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak
dapat mengubah isi suatu pasal atau suatu ayat dan undang-undang yang
dimintakan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD
1945”), dalam hal ini adalah UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). MK hanya memberikan tafsir
atas isi ketentuan pasal atau ayat UUK yang dimohonkan pengujiannya. Sampai
saat ini, telah ada sebanyak 7 (tujuh) putusan MK yang berkaitan dengan UUK.
Dari 7 putusan tersebut, 1 (satu) putusan menyatakan menolak permohonan untuk
seluruhnya, dan 6 (enam) putusan menyatakan menerima permohonan. Dari 6 putusan
tersebut, sebagian menyatakan pasal/ayat UUK tertentu tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, dan sebagian lagi menyatakan pasal/ayat UUK tertentu tetap
berlaku sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan MK.
Di bawah ini kami sajikan informasi
mengenai 6 putusan MK berkaitan dengan pengujian UUK terhadap UUD 1945 yang
menerima permohonan pemohon. Informasi di bawah ini kami olah kembali dari
laman resmi MK (www.mahkamahkonstitusi.go.id)
dan buku Aneka Putusan Mahkamah Konstitusi Bidang Hukum
Ketenagakerjaan yang ditulis Juanda Pangaribuan, S.H., M.H.:
No.
|
No. Putusan
|
Pasal yang Dimohon untuk Diuji
|
Amar Putusan
|
1
|
Seluruh
Pasal UUK
|
Menyatakan
UUK:
• Pasal 158;
• Pasal 159;
• Pasal
160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan
pengusaha …”;
• Pasal
170 sepanjang mengenai anak kalimat “.… kecuali Pasal 158 ayat (1), …”;
• Pasal
171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1)…”;
• Pasal
186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat
(1)…”; bertentangan dengan UUD 1945;
Menyatakan
Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak
kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”; Pasal 170
sepanjang mengenai anak kalimat “…. kecuali Pasal 158 ayat (1) …”;
Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) …”;
dan Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal
138 ayat (1) …” UUK tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
|
|
2
|
Pasal 120
ayat (1) UUK, Pasal 121 UUK
|
• Menyatakan
Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UUK bertentangan dengan UUD 1945;
• Menyatakan
Pasal 120 ayat (3) UUK konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)
sepanjang:
frasa, “Dalam hal
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi,
maka...”, dihapus, sehingga berbunyi, “para
serikatpekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya
ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat
pekerja/serikat buruh”, dan ketentuan tersebut dalam angka (i)
dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu
serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang
berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu
perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan
serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% dari seluruh
pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;
• Menyatakan
Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UUK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
• Menyatakan
Pasal 120 ayat (3) UUK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang:
frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau
ayat (2) tidak terpenuhi, maka...”, tidak dihapuskan, dan ketentuan
tersebut tidak dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih
dari satu serikat pekerja/serikat buruh, jumlah serikat pekerja/serikat buruh
yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu
perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan
serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% dari
seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;
|
|
3
|
Pasal 155
ayat (2) UUK
|
· Frasa
”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UUKadalah bertentangan
dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
· Frasa
”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UUKtidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
|
|
4
|
Pasal 59,
64, 65, dan 66 UUK
|
• Frasa
“…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa
“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UUK
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak
disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek
kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan
sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
• Frasa
“…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa
“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UUK
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja
tersebut tidak disyaratkan adanya
pengalihan perlindungan hak-hak
bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian
perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain
atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
|
|
5
|
Pasal 164
ayat (3) UUK
|
• Menyatakan
Pasal 164 ayat (3) UUK
bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang frasa“perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan
tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;
• Menyatakan
Pasal 164 ayat (3) UUK
pada frasa “perusahaan
tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk
sementara waktu”;
|
|
6
|
Pasal 169
ayat (1) huruf c UUK
|
• Pasal
169 ayat (1) huruf c UUK bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak
dimaknai: “Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3
(tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah
secara tepat waktu sesudah itu”;
• Pasal
169 ayat (1) huruf c UUK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai:
“Pekerja/buruh dapat mengajukan
permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu
yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih,
meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”;
|
Jadi, putusan MK tidak untuk
mengubah isi pasal atau ayat dalam undang-undang, termasuk UUK, tetapi
memberikan tafsir atas isi ketentuan pasal atau ayat undang-undang yang
diajukan pengujiannya terhadap UUD 1945 tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan pada Bab II, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pasal
demi pasal UU Ketengakerjaan pun menimbulkan pro dan kontra dalam penerapannya sebagai
berikut :
a.
Pasal 52-54 tentang Perjanjian
Kerja/Kontrak Kerja.
b. Pasal 64; 65; 66 tentang Outsourcing
c. Pasal 35 dan 37 tentang perekrutan dan penempatan kerja
d.
Pasal 78 tentang Lembur
e.
Pasal 88-98
tentang Struktur
dan skala upah
f.
Pasal 108-115 tentang
Peraturan Perusahaan
Selain keenam permasalahan tersebut, masalah lainnya pada penerapan UU dan
peraturan terkait dalah: lemahnnya perlindungan kerja terutama TKI di luar
negeri, diskriminasi terhadap gender dan penyandang cacat, pekerja anak,
pelatihan kerja yang buruk, jaminan sosial dan kesehatan, diskriminasi pekerja
lokal dan asing, birokrasi panjang yang menyulitkan pengusaha dan investor,
demonstasi, dan masih banyak lagi permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia.
2.
Penulis mengambil dua isu aktual mengenai UU
Ketenagakerjaan yang menimbulkan pro dan kontra, yaitu :
a.
PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja) karena
kesalahan berat
Putusan MK
No.012/PUU-I/2003 yang salah satunya membatalkan Pasal 158 tentang PHK karena
kesalahan berat. Praktiknya, masih banyak pekerja yang dipecat dengan alasan
atau dasar Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. UU
Ketenagakerjaan sendiri tidak memberikan pengertian “kesalahan berat”, sehingga
dalam praktik kualifikasi kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 ayat (1)
menjadi terbatas. Atau dengan perkataan lain, tidak boleh ada kualifikasi
perbuatan lain yang digolongkan menjadi kesalahan berat.
Padahal umumnya setiap sektor industri atau jasa
memiliki kualifikasi kesalahan berat di luar ketentuan Pasal 158 ayat (1).
Contohnya kesalahan berat bagi pekerja yang merokok di lokasi kerja berbahaya
yang mudah terbakar seperti di perusahaan minyak dan gas. Atau penjaga
perlintasan kereta yang membiarkan kereta lewat tanpa menutup pintu
perlintasan.
b.
Outsourcing
Undang-Undang 13/2003 sebenarnya
turut mengatur masalah para tenaga kerja outsourcing (alih daya), akan tetapi,
pada pelaksanaannya, sampai kini, masih banyak permasalahan yang berkaitan
dengan para tenaga kerja tersebut. Yang menjadi masalah di lapangan adalah
terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam Undang-undang. Untuk
masalah outsourcing, yang sering terjadi adalah pengusaha melakukan praktek out
sourcing untuk jenis usaha yang masuk dalam kategori pekerjaan utama. Alasan
yang sering digunakan oleh para pengusaha adalah bahwa penafsiran tentang definisi
dari pekerjaan utama masih belum jelas padahal kalau merujuk pada penjelasan
undang-undang No.13 tahun 2003 pasal 66 ayat 1 (satu) terlihat jelas bahwa yang
boleh dioutsourcing hanyalah 5 jenis kegiatan saja. Jadi penafsiran terkait
dengan defenisi pekerjaan utama harusnya merujuk pada penjelasan tersebut. Putusan
MK No.19/PUU-IX/2011 yang menyatakan
pengusaha tidak dibolehkan melakukan PHK jika perusahaan tidak tutup permanen.
Pengusaha dapat melakukan PHK dengan alasan efisiensi jika telah melewati delapan
syarat yang ditetapkan MK.
3.
Judicial Review UU Ketenagakerjaan
Sampai saat ini, telah ada sebanyak 7 (tujuh) putusan MK yang berkaitan
dengan UUK. Dari 7 putusan tersebut, 1 (satu) putusan menyatakan menolak
permohonan untuk seluruhnya, dan 6 (enam) putusan menyatakan menerima
permohonan. Dari 6 putusan tersebut, sebagian menyatakan pasal/ayat UUK
tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan sebagian lagi menyatakan
pasal/ayat UUK tertentu tetap berlaku sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan
MK. Berikut 6 putusan MK berkaitan dengan pengujian UUK terhadap UUD 1945 yang
menerima permohonan pemohon :
B. SARAN
Penulis
dapat memberikan saran bahwa, UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan hendaknya direvisi. Hal itu dikarenakan dalam pasal-pasalnya
banyak merugikan kepentingan buruh dan dalam judicial review di MK banyak pasal
yang dibatalkan. Revisi tersebut bertujuan untuk memberi keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum bagi pihak yang terkait dalam hubungan industrial yaitu,
pekerja, pengusaha dan pemerintah.
DAFTAR
PUSTAKA
Husni, Lalu. 2010. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada.
Pangaribuan, Juanda. 2012. Aneka Putusan Mahkamah Konstitusi Bidang
Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta:
Muara Ilmu Sejahtera Indonesia.
Website :
Hukum Online, website; http://www.hukumonline.com
http://cintyasherry.wordpress.com/2012/10/08/analisa-undang-undang-tenaga-kerja-no-13-tahun-2003/
Peraturan
Perundang-undangan :
thank u info nya gan sangat bermanfaat sekali
BalasHapus