Judul : Perdagangan
Anak Usia Dini sebagai Pekerja Seks dengan Tujuan
Utama Kota Batam, Bentuk Eksploitasi dan Pelanggaran Hak Anak Indonesia untuk
Mengembangkan Diri, Minat dan Bakat
Masalah : Perdagangan anak sebagai
komoditas seksual di Batam
Deskripsi :
Kasus Perdagangan Anak (Trafficking)
merupakan salah satu fenomena sosial yang terjadi saat ini di masyarakat
Indonesia. Hal ini terlihat masih banyaknya permasalahan anak yang terjadi
seperti, kasus trafficking dalam dekade ini mengalami peningkatan pertahun. Ini
adalah topik yang sangat menarik dimana kasus trafficking adalah kejahatan yang
melanggar Hak Asasi Manusia karena korban dari Kejahatan ini adalah anak.
Anak-anak memiliki kedududukan dan posisi yang lemah sehingga rentan terhadap
berbagai tindak kejahatan, baik sebagai korban maupun pelaku. Anak adalah aset
dan elemen penting dalam kehidupan bangsa dan negara, kejahatan trafficking ini
mudah dilaksanakan tidak memerlukan modal besar dan mendapat keuntungan
yang luar biasa sehingga membuat banyak orang tergoda menjadi pelakunya.
Perkembangan kasus trafficking di Indonesia sangat mengkwatirkan dan
semakin meningkat tajam dari tahun ke tahun. Data tersebut
diperoleh dari data yang dirilis berbagai pihak baik lembaga maupun
perseorangan. Fenomena ini diibaratkan bak fenomena gunung es artinya
angka yang tersembunyi dibawah permukaan jauh lebih besar ketimbang yang
terlihat dipermukaan.
Masalah perdagangan anak
untuk komoditas seksual saat bukan hal yang baru. Kalau tidak ada
kehebohan/mengalami langsung, sulit bagi kita mempercayainya, jika kita tidak mengalaminya sendiri. Traficking atau perdagangan anak (yaitu seseorang yang berumur di
bawah 18 tahun) untuk tujuan apapun dan dalam berbagai bentuknya merupakan
persoalan Hak Asasi Manusia, khususnya hak-hak anak. Di dalam Konvensi Hak-hak Anak, ditegaskan bahwa anak berhak
mendapatkan perlindungan dari penculikan, perdaganagn dan penjualan anak untuk
tujuan atau dalam bentuk apapun (Pasal 35 Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan bentuk-bentuk Pekerjaan terburuk untuk Anak). Pasal 35 Konvensi ILO
No. 182 telah diratifikasi kedalam peraturan perundang-undangan Indonesia melalui UU No. 1 Tahun 2000 memasukkan unsur perdagangan anak-anak
sebagai salah satu pekerjaan terburuk untuk anak (pasal 3 ayat a).
Di dalam buku Pedoman Pencegahan Trafiking Anak dan Rehabilitasi
Sosial Anak Korban Trafiking, disebutkan bahwa UNICEF memperkirakan, ada
sekitar 1,2 juta anak di seluruh dunia menjadi korban perdagangan (human
trafficking) setiap tahun. Di Asia sendiri ada sekitar 400 ribu anak. Di Indonesia
pada tahun 2000, menurut data Polri mendeteksi 1.683 kasus perdagangan anak.
Fakta Perdagangan Anak di Indonesia :
1.
Di Indonesia sekalipun banyak
gadis yang memalsukan umurnya, diperkirakan 30 persen pekerja seks
komersil wanita berumur kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa yang
masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada 40.000-70.000 anak menjadi korban
eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan tiap tahun. Sebagian besar
dari mereka telah dipaksa masuk dalam perdagangan seks.
2.
Sebagai pelaku perdagangan ke
luar negeri, lintas batas atau domestik dan negara asal.
3. Perdagangan anak baik di lingkup domestik maupun luar negeri
meningkat.
4. Tujuan utama anak yang diperdagangkan ke luar negeri adalah
Malaysia, Singapura, Brunei, Taiwan, Jepang dan Arab Saudi.
5. Pariwisata seks menjadi isu menarik di daerah tujuan wisata seperti
di Bali dan
Lombok.
6. Terdapat banyak pelacuran di lokalisasi pelacur, karaoke, panti
pijat, mal, dan
sebagainya.
7. Mayoritas pelanggan adalah orang lokal.
Tren :
1. Jumlah anak-anak yang dieksploitasi secara seksual bertambah.
2. Melibatkan anak-anak berumur belia.
3. Ada kelompok baru yang rentan (anak-anak yang tak punya tempat
tinggal).
4. Increase in numbers of children sexually exploited.
5. Pandemi HIV/AIDS meningkat.
Project Officer Child Protection
Unit UNICEF, Julie Lebegue, mengatakan bahwa sekitar 100.000 wanita dan anak
Indonesia diperdagangkan setiap tahun. Jumlah itu adalah perkiraan kasar,
didapat berdasarkan angka perkiraan perpindahan orang serta dari data pelaku
perdagangan yang sudah ditangkap dan diadili, katanya. Psikolog dari Universitas Katolik Atmajaya,
Irwanto, Ph.D., memandang bahwa faktor utama penyebab terjadinya perdagangan
anak adalah kemiskinan. Irwanto menambahkan, yang juga memicu masalah ini
adalah demand seks. Lola Wagner, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Kesehatan dan
Kemanusiaan, yang aktif menangani kasus trafficking di Batam, mengungkapkan,
perdagangan anak di Batam belum ada tanda-tanda penurunan. Kendati
begitu, dorongan untuk mengadopsi anak tidak bisa dinafikan menjadi faktor lain
dari jual-beli anak. Dikutip dari website : http://www.femina.co.id
Berkenaan
dengan perdagangan anak untuk tujuan seksual, fakta-fakta menunjukkan bahwa
hal ini telah dan memang terjadi di sekeliling
kita. Kasus-kasus perdagangan anak (dan perempuan) yang terjadi di dalam wilayah
Indonesia ataupun melampaui lintas negara cenderung dilatarbelakangi oleh
penipuan terhadap calon tenaga kerja.
Beberapa
kasus perdagangan anak/perempuan lintas negara misalnya dengan tujuan Malaysia.
Menjelang akhir tahun 1993, pihak kepolisian berhasil membongkar sindikat
perdagangan perempuan (korban terbesar adalah anak-anak perempuan) dari
Kalimantan Timur ke Malaysia untuk dijerumuskan ke prostitusi. Para korban
dijaga ketat oleh tangan kanan sindikat yang diperkirakan sudah beroperasi
selama empat tahun (Kompas, 23/10/93). Sumber lain memperkirakan ada enam sindikat
perdagangan anak (perempuan) yang telah beroperasi sejak tahun 1985 dengan
korban berumur 14 sampai 15 tahun (Suara Pembaruan, 23/11/93). Pada tahun 1994, pihak
kepolisian kembali berhasil membongkar sindikat perdagangan dan menggagalkan
penyelundupan anak dari sulawesi ke Malaysia (Suara Pembaruan, 31/5/94, 5/6/
94, 15/12/94, 16/12/94 dan 29/12/94). Kasus lain adalah perdagangan perempuan ke Timur
Tengah yang pernah diungkapkan pada tahun 1997 oleh Mien Sugandhi (Mentri UPW pada saat itu)
yang menyatakan adanya ratusan tenaga kerja wanita di Arab Saudi yang berada
dalam prostitusi (Kompas, 7/2/97). Pernyataan ini sempat menimbulkan polemik dengan
Mentri Tenaga Kerja yang membantah pernyataan tersebut (Kompas, 15/2/97).
Mengenai
kasus perdagangan anak yang terjadi di dalam wilayah Indonesia, tampaknya sudah
terjadi di berbagai daerah baik lintas desa ke kota, antar kota maupun antar
provinsi dengan menjerat korban dengan tawaran pekerjaan. Sejauh ini, daerah
yang diidentifikasikan sebagai daerah tujuan utama adalah Kepulauan Riau dan
Batam. Lisa anggraini, seorang wartawati yang mendalami persoalan eksploitasi
seksual di Batam memperkirakan bahwa dari sekitar 6.000 para pekerja seksual
komersial yang ada, setengah lebih adalah anak–anak (Kompas, 12/8/00) Para
pengguna anak di wilayah ini berasal dari beberapa Negara seperti Singapore,
Malaysia, Thailand dan sebagainya.
Pada awal
1998, muncul laporan mengenai adanya 200 ABG (sebagian besar anak-anak) yang disekap dan
dijerumuskan ke prostitusi di Tanjung Balai Karimun Riau (Kompas, 5/2/98).
Beberapa waktu kemudian Polda Jabar berhasil mengungkap sindikat perdagangan
anak ke Batam dan berhasil menyelamatkan 113 ABG yang berasal dari Pulau Jawa
(lihat : Yogya Post, 11/9/98 ; Solopos, 23/9/98 ; Gatra No. 46 Thn. IV-3
Oktober 1998 ; Tabloid Nova No. 533 / XI - 4 Oktober 1998). Keberhasilan ini diikuti oleh
Polsek Ciawi yang berhasil menyelamatkan 23 anak asal Jawa Barat yang
diperdagangkan ke Batam dan menangkap dua pelakunya (Solo Pos, 12/12/98).
Penggrebekan pihak keamanan Bengkalis di Dumai juga berhasil menyelamatkan dua
pelajar yang dipaksa melacur. Di beberapa kota di Jawa Tengah kasus perdagangan
anak/ perempuan ke kepulauan Riau dan Batam juga terjadi. Puluhan TKW asal Jawa
Tengah,
terbesar dari Kodya Salatiga dan Semarang yang dijanjikan akan di pekerjakan ke Brunei
disekap dan dimasukkan ke prostitusi di Tanjung Pinang (Tabloid Gugat No. 32 /
Th I - 2-8
Juli 1999). Sebuah NGO di Medan melaporkan adanya 600 ABG dari berbagai Daerah yang disekap di
Dumai (Kompas, 9/3/00). Dari Semarang, Sebuah NGO anak di dalam laporan
penelitiannya mengungkapkan adanya indikasi perdagangan anak jalanan perempuan
ke Batam (Setara, 1999) dan hasil monitoring sejak Januari sampai Juni 2000 mencatat
adanya 10 anak yang diperdagangkan ke daerah tersebut (Shalahuddin, 2000).
Menyingung
pertanyaan yang diajukan di atas, setelah melihat fakta-fakta bahwa perdagangan
anak untuk tujuan seksual telah terjadi dan melibatkan banyak korban, maka
belum adanya perhatian dan penanganan atas isu ini diakibatkan oleh masih
rendahnya sensitivitas kita. Maka
dari itu sebagai warga Indonesia kita harus turut serta berperan aktif dalam mengatasi
permasalahan perdagangan anak untuk dijadikan sebagai pekerja seksual. Sehingga
setiap warga terutama anak-anak mendapatkan hak-hak dan perlindungan hukum
serta terjaminnya masa depan anak-anak Indonesia, karena anak-anak merupakan
generasi penerus bangsa yang akan menentukan nasib Indonesia di masa yang akan
datang.
Catatan Akhir
Perdagangan anak untuk tujuan seksual telah terjadi di tengah
kehidupan kita. Akibat yang ditimbulkan sangat buruk bagi para korban dan pada
perkembangannya bisa berdampak pada masalah sosial yang lebih luas. Seandainya
saja kita membayangkan bahwa dari ribuan anak yang telah menjadi korban, salah
satunya adalah anak kita, anggota keluarga atau saudara-saudara kita sendiri,
tetapkah kita berdiam diri? Pernyataan singkat yang perlu dikemukakan; “ Ayo
bergerak !“
*****
(Salah satu
tulisan yang terhimpun dalam buku : “Anak
Bukan Pemuas Nafsu“, 2004, Yayasan Setara)
Terima kasih, sangat membantu hehe
BalasHapusterima kasih sangat bermanfaat
BalasHapus