ISU LINGKUNGAN HIDUP : KONFERENSI
PERUBAHAN IKLIM BALI 2007
Konferensi Internasional Perubahan Iklim di Bali
Jumat, 13 Juli 2007 15:29 WIB
Denpasar (ANTARA News) - Sebanyak 189
negara anggota PBB yang konsen terhadap lingkungan hidup sepakat mengadakan
konferensi internasional mengenai perubahan iklim di Bali 3 - 14 Desember 2007.
Dipilihnya Bali sebagai tempat konferensi
tersebut karena Bali dipandang memiliki konsep hidup untuk mencintai
lingkungan, melalui "Tri Hita Karana" (hubungan harmonis dengan
lingkungan, antarmanusia dan Tuhan), kata Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ir
Rachmat Witoelar di Kedonganan-Kuta, Bali, Jumat.
"Kita harus bangga sebagai bangsa
Indonesia, negara-negara yang peduli dengan lingkungan memberi kepercayaan
untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut, dan sekaligus akan melihat secara
langsung bagaimana cara penerapan konsep itu oleh masyarakat Bali,"
ujarnya.
Menurut Menteri, kegiatan tersebut akan
membahas mengenai upaya menanggulangi semakin meningkatnya pemanasan global,
dan berbagai upaya kelestarian lingkungan agar tetap terjaga di beberapa negara
yang keberadan hutannya mulai berkurang.
Oleh karena itu, kata Menteri, harus mampu
menunjukkan konsep lingkungan itu kepada masyarakat dunia. Melalui kegiatan
pelestarian lingkungan yang telah dicanangkan oleh masing-masing propinsi di
Tanah Air.
Rachmat menambahkan, untuk penanaman pohon
penghijauan tidaklah sulit, tetapi harus diikuti pemeliharaan yang konsisten.
Tanpa ada pemeliharaan yang konsisten kegiatan tersebut akan menjadi sia-sia.
"Kami mengharapkan semua masyarakat
agar berperan aktif dalam menjaga lingkungan agar tetap lestari, di samping
juga menggalakkan kegiatan penghijauan lingkungan," katanya.
Terhadap kegiatan penanaman pohon penghijauan itu, kata Rachmat, pemerintah akan memfasilitasi dan menyiapkan pohon penghijauan tersebut. (*)
Terhadap kegiatan penanaman pohon penghijauan itu, kata Rachmat, pemerintah akan memfasilitasi dan menyiapkan pohon penghijauan tersebut. (*)
Editor: Bambang
Konferensi Puncak Iklim di Bali Dimulai
Fokus | 03.12.2007
Lebih dari 10 ribu politisi dan pakar ambil bagian dalam konferensi
ini, sebagai usaha menghentikan terjadinya perubahan iklim. Tahun 2012
mendatang, Protokol Kyoto akan berakhir masa berlakunya. Dengan dilakukannya
serangkaian perundingan, diharapkan pada tahun 2009 mendatang sudah dapat
dicapai hasil kesepakatan baru mengenai perubahan iklim sebagai pengganti
Protokol Kyoto.
Dari konferensi di Nusa Dua, Bali, diharapkan dapat muncul langkah dan
tindakan yang lebih nyata guna mencegah perubahan iklim sebagai
dampak dari meningkatnya emisi gas rumah kaca nag cepat. Dalam pembukaan
konferensi, Ketua Konvensi Iklim PBB Yvo de Boer mengungkapkan, dalam
pembicaraannya terutama dibahas sebuah road map bagi perjanjian mendatang.
Jadi sebuah pedoman bagi perundingan berikutnya. Ditambahkannya:
“Dari pengalaman di tahun belakangan, kami mengetahui, pembicaraan mengenai
tema yang sulit seperti ini, hanya dapat disebut sebagai perundingan yang
berat. Saya punya harapan, bahwa kami di Bali dapat mencapai terobosan bagi
sebuah rencana perundingan yang resmi. Saya yakin para peserta konferensi
akan dapat menangani tantangan yang digambarkan para pakar. Tugas yang
kami hadapi sangat besar.“
Menteri Lingkungan Indonesia Rachmat Witoelar, sebagai ketua
Konferensi Iklim PBB di Bali, kepada para peserta konferensi mengingatkan
bahwa perubahan iklim merupakan elemen penting bagi masa depan umat manusia. Ia
mengungkapkan negara-negara berkembang yang kurang
berkontribusi dalam produksi emisi gas rumah kaca, justru yang pada
akhirnya paling terkena dampak perubahan iklim. Negara-negara
berkembang menanggung dampaknya yang besar, terutama masyarakat miskin yang ada
di dalamnya. Kepada semua pihak Menteri Lingkungan Indonesia Rachmat Witoelar
menyerukan untuk mengetahui tema yang sangat mendesak. Dengan dasar langkah
perlindungan iklim, kita harus menyepakati sebuah perjanjian yang adil.
Menteri Lingkungan Rachmat Witoelar juga mengungkapkan sejumlah
gagasan yang diusulkan pemerintah Indonesia untuk membantu mengatasi perubahan
iklim, diantaranya program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. Ia
mengharapkan, dalam konferensi puncak iklim PBB di Nusa Dua Bali ini, dapat
dicapai kesepakatan bagi langkah konkrit untuk melaksanakan proses adaptasi.
Misalnya penyediaan dana adaptasi serta alih tehnologi.
Sementara itu pelindung lingkungan menyerukan kepada delegasi dari lebih
190 negara agar mengambil langkah yang konkrit untuk menghentikan perubahan
iklim. Meningkatnya panas bumi harus dibatasi maksimal dua derajat Celsius.
Demikian dikatakan pakar iklim dari organisasi lingkungan Greenpeace
Jerman, Gabriella von Goerne. Ditambahkannya perubahan iklim yang
terjadi saat ini sangat dramatis.Peringatan yang sama juga disampaikan
Direktur Progrann Perubahan Iklim Global WWF, Hans Verolme. Sementara
itu, perubahan politik yang terjadi di Amerika Serikat dan Australia, dua
negara yang sampai sekarang tidak menandatangani Protokol Kyoto,
memberikan alasan untuk secara hati-hati bersikap optimis. Amerika Serikat mengakui
pentingnya usaha mencegah perubahan iklim. Sedangkan pemerintah baru
Australia menyatakan merubah haluan dalam politik lingkungan. Dan
akan menandatangani protokol Kyoto.
Sumber : www.dw-world.de
Tajuk: Pandangan Dunia Terfokus ke Bali
Internasional | 04.12.2007
Pengatur suhu ruangan di Convention Centre Bali dipasang seadanya, untuk
menghemat listrik dan tidak membebani iklim. Tata busana para utusan pun
santai. Tanpa dasi atau jas. Itu saja memang tidak akan menyelamatkan iklim
dunia, tetapi mungkin dapat mengurangi ketegangan dalam melakukan negosiasi.
PBB punya gambaran akan hasil yang ingin dicapai dalam dua minggu
mendatang, yaitu jadwal yang pasti tentang politik iklim setelah tahun 2012,
untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Sampai tahun 2009 sudah harus ada dokumen
yang siap ditanda-tangani dan disahkan dalam konferensi yang akan
diselenggarakan di Kopenhagen.
Jadwal atau "roadmap" itu seharusnya dapat dicapai oleh sekitar
10.000 utusan dari 190 negara yang hadir di Bali. Kalau konferensi ini berjalan
lancar, mungkin dapat dicapai lebih banyak lagi, termasuk sasaran jelas,
seperti yang sudah lama dituntut oleh para ilmuwan, yaitu pengurangan sampai
separuhnya emisi CO2 hingga tahun 2050.
Tapi itu sulit, karena India dan Cina yang pertumbuhan ekonominya sangat
tinggi harus dapat diyakinkan agar mau terlibat. Sedangkan keduanya menuding
negara-negara industri yang dalam seratus tahun terakhir telah membangun
kekayaan mereka dengan menguras sumber alam tanpa mempedulikan dampaknya bagi
lingkungan dan iklim. Jadi dalam perembukan ini dipentingkan pula keadilan.
Sulit, karena negara-negara miskin, yang paling merasakan dampak perubahan
iklim, harus dibantu dalam menyesuaikan diri dengan apa yang tidak bisa dicegah
lagi, yaitu meningkatnya kekeringan, berkurangnya panen dan semakin tidak
menentunya cuaca.
Juga sulit, karena Uni Eropa memang datang ke Bali dengan tujuan
mulia, terkait niat untuk mengurangi 20 persen emisi gas rumah kaca dalam 13
tahun mendatang, tetapi beberapa negara Uni Eropa sekarang pun sudah sulit
untuk menepati ketentuan dalam Protokol Kyoto. Misalnya tercatat, emisi CO2 di
Spanyol justru meningkat lebih dari dua kali lipat. Tentunya ini bukan contoh
yang baik.
Sulit pula, karena Indonesia sebagai tuan rumah mewakili negara-negara yang
memiliki hutan tropis yang luas, hendak mencantumkan perlindungan hutan dalam
perjanjian baru sebagai kontribusi bagi perlindungan iklim. 20 persen emisi gas
rumah kaca setiap tahunnya diakibatkan oleh pembalakan hutan yang sebenarnya
merupakan gudang cadangan zat karbon.
Tetapi konferensi bisa berhasil. Walaupun, birokrasi PBB biasanya hanya
menghasilkan langkah-langkah kecil, karena tidak ada yang boleh tertinggal di
perjalanan. Tetapi dukungan bisa datang secara tak terduga. Sebelum konferensi
berlangsung PM baru Australia Kevin Rudd menanda-tangani Protokol Kyoto. Dengan
demikian AS kehilangan mitra pentingnya dalam menjalankan politik anti Kyoto.
Dan tiba-tiba pula orang jadi tercengang karena AS menjanjikan peranan
konstruktif dalam mengolah perjanjian perlindungan iklim yang baru.
Setelah gagalnya konferensi iklim di Nairobi setahun lalu, tekanan untuk
berhasil kali ini sangat tinggi. Terutama dengan adanya kesimpulan ilmiah
terbaru. Kalau konferensi di Bali gagal, maka politik iklim yang dijalankan PBB
mandek. Oleh sebab itu harapan tidak digantungkan terlalu tinggi.Kalau pada
akhir pertemuan dapat disepakati jadwal bagi sejumlah perembukan baru, maka
sekitar 40.000 ton karbondioksida yang dilepaskan ke udara terkait kedatangan
ribuan utusan ke Bali itu, artinya tidak percuma.
Gore Salahkan AS atas Macetnya Konferensi Perubahan Iklim di Bali
Kamis, 13 Desember 2007
Mantan Wakil Presiden Amerika Al Gore mengatakan Amerika “terutama bertanggung-jawab”
menghalangi kemajuan dalam konferensi sedunia yang disponsori oleh PBB mengenai
perubahaan iklim di Bali. Gore menyerukan kepada para delegasi agar bergerak
maju dan membuat persetujuan tanpa Amerika Serikat.
Jurubicara Gedung Putih Dana Perino mengatakan komentar Gore “tidak
konstruktif” terhadap pembicaraan yang sedang dilakukan. Perino
menambahkan tidak hanya Amerika Serikat yang menyatakan kekhawatiran dan tidak
menduga bahwa rancangan dokumen termasuk pengurangan jumlah secara spesifik
emisi gas rumahkaca.
Uni Eropa dan sebagian besar 190 negara dalam konferensi di Bali itu
menyerukan kepada negara-negara industri untuk mengurangi emisi 25 sampai 40%.
Uni Eropa telah mengancam akan memboikot pembicaraan yang dipimpin Amerika
mengenai pemanasan global bulan depan, menuduh Washington menghalangi tujuan
untuk melakukan pengurangan besar terhadap pencemaran. Tetapi, ketua delegasi
Amerika, Paula Dobriansky berharap, jalan keluar akan ditemukan sebelum
konferensi ditutup.
Bali Roadmap Disepakati
Fokus | 16.12.2007
Setelah diskusi maraton selama berjam-jam yang sepertinya mengarah pada
kegagalan, akhirnya sidang menyetujui Peta Jalan Bali (Bali Roadmap) yang akan
membuka jalan untuk mencapai perjanjian baru tentang pemanasan global tahun
2009. Terobosan bisa dicapai setelah AS yang menerima sejumlah tekanan pada
sidang pleno, akhirnya menyepakati peta jalan untuk menegosiasikan perjanjian iklim
yang baru, menggantikan Protokol Kyoto yang berakhir tahun 2012. Namun sejumlah
organsiasi lingkungan mengkritik hasil yang dicapai konferensi iklim. Oxfam
internasional mengatakan, peta Jalan bali tidak menetapkan tujuan yang jelas
bagi pengurangan emisi global.
Menteri Lingkungan Jerman Sigmar Gabriel yang memimpin delegasi Jerman di
Bali menyatakan puas terhadap hasil yang dicapai dalam konferensi internasional
tentang iklim di Bali, walaupun target Jerman dan Uni Eropa untuk mencantumkan
angka konkrit reduksi emisi gas rumah kaca pada Peta Jalan Bali gagal. Hasilnya
lebih dari perkiraan berdasarkan pada kepentingan para peserta konferensi, kata
Gabriel. Sejumlah perundingan yang alot menghasilkan lebih sedikit dari yang
diharapkan Uni Eropa dan Jerman. Namun Gabriel menekankan, yang penting,
negara-negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, menyepakati kerangka
kerjasama baru untuk mememerangi pemanasan global. Ia juga menyebut sebagai
keberhasilan, bahwa untuk pertama kalinya, negara-negara berkembang diikutkan
dalam tindakan perlindungan iklim.
Kanselir Jerman Angela Merkel menilai hasil Konferensi PBB mengenai Iklim
yang berakhir kemarin di Bali, sebagai suatu keberhasilan. Jalan kini terbuka
bagi perundingan sebenarnya mengenai kebijakan yang berpengaruh bagi
perlindungan iklim, demikian kata Merkel di Berlin.
Reaksi Jerman atas Konferensi Iklim di Bali
Sosial | 16.12.2007
Merkel yakin, mandat Bali dalam waktu dekat akan memainkan peranan
perintis dan menentukan. Demikian dikemukakan Kanselir Merkel di Berlin.
Sedangkan pihak oposisi pemerintah Jerman dan sejumlah organisasi lingkungan
mengaggap hasil konferensi tidak memadai. Berikut ini rangkuman reaksi Jerman
atas hasil konfrensi iklim di Bali.
Kanselir Jerman Angela Merkel memuji kesatuan sikap negara-negara Eropa
pada Konferensi PBB mengenai Iklim yang baru saja berakhir di Bali. Selanjutnya
dia mengatakan, "Keberhasilan tidak akan ada tanpa konferensi itu.“
Kesatuan sikap mengenai hasil di Bali juga tercermin pada koalisi besar
pemerintah Jerman. Menteri Luar Negeri Frank-Walter Steinmeier dari
Partai Sosial Demokrat SPD mengemukakan, adalah suatu keberhasilan besar
bahwa semua negara-negara penting ikut terlibat, terutama Amerika Serikat dan
China.
Jerman dan Eropa memang mengharapkan langkah yang lebih berani, namun pada
dasarnya berdiri di belakang sikap kompak komunitas internasional.
Karena hanya dengan demikian kemajuan yang meluas dan menentukan dapat
tercapai. Demikian Steinmeier.
Selanjutnya Kanselir Jerman yang merupakan Ketua Partai Kristen Demokrat
CDU menegaskan, mandat Bali membuka jalan bagi perundingan sebenarnya mengenai
langkah-langkah yang menentukan bagi perlindungan iklim. Kemudian, lanjut
Angela Merkel, akan dirembukkan target-target yang mengikat untuk pengurangan
emisi CO2. Namun, perlu dicatat bahwa dalam dokumen Bali soal ini tidak
tercantum secara eksplisit.
Bagi pihak oposisi di parlemen Jerman, masalah tersebut merupakan kekurangan
yang terbesar. Ketua Fraksi Partai Hijau, Renate Künast menyatakan, konferensi
Bali nyaris gagal. Dia menuntut pemerintah Jerman untuk menunjukkan
kredibilitasnya dalam upaya untuk memimpin perlindungan iklim.
"Kita punya waktu dua tahun untuk berunding. Dalam dua tahun ini Eropa
dan Jerman harus menunjukkan bahwa mereka melaksanakan kebijakannya. Tidak
boleh segan untuk menetapkan batas kecepatan kendaraan. Perusahaan-perusahaan
energi juga harus ikut berupaya, selangkah demi selangkah hal ini harus dilaksanakan
sekarang juga.“
ISU LINGKUNGAN HIDUP : KONFERENSI
PERUBAHAN IKLIM DURBAN 2011
Kegagalan Negosiasi tentang Iklim
Menempatkan Indonesia pada Pilihan
Rabu, 7 Desember 2011 15:40 WIB | 661
Views
Duta Besar dan Ketua World Growth Alan Oxley mengeluarkan pernyataan
sebagai berikut: "Ekonomi negara-negara berkembang dalam kelompok
BASIC (Brazil, Afrika Selatan, India dan China) telah menjelaskan kepada Uni Eropa
dan Amerika Serikat bahwa mereka tidak akan menyetujui pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi emisi sampai negara-negara berkembang mengambil alih pimpinan
menurut Protokol Kyoto. Posisi ini juga telah didukung oleh Thailand dan
Malaysia.
Di sisi lain, Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi sebesar 26 hingga
40 persen dalam beberapa tahun ke depan. "Hal tersebut tidak hanya
merupakan komitmen yang lebih besar dari negara-negara berkembang, ini adalah
komitmen yang lebih besar dari negara-negara kaya yang utama: Jepang dan Kanada
melangkah jauh dari Protokol Kyoto, dan AS tidak akan meratifikasi perjanjian
ini. Mereka tidak mungkin menciptakan komitmen baru yang mengikat di masa
mendatang. "Indonesia harus mempertimbangkan kembali komitmennya
untuk mengurangi emisi, sementara negara-negara kaya secara efektif tidak
melakukan apa-apa. "Hal ini digarisbawahi oleh penelitian baru yang
dilakukan oleh Norwegia dan Bank Dunia yang telah mengurangi penilaian resmi
PBB terhadap emisi dari penebangan hutan di Indonesia sebesar 75 persen.
"Janji Indonesia saat ini akan berdampak merugikan atas pertumbuhan
industri kehutanan, perkebunan dan pertambangan di seluruh wilayah, dan dengan
demikian berdampak ke seluruh perekonomian. Ini akan menghambat pembangunan
ekonomi dan langkah-langkah pengurangan kemiskinan dan mencegah Indonesia dari
mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
"Melihat periode ketidakpastian ekonomi yang tengah memburuk oleh
krisis zona Euro, Indonesia harus melakukan segala sesuatu agar dapat menjaga
pertumbuhan ekonomi."
World Growth adalah LSM internasional yang didirikan untuk memperluas
penelitian, informasi, advokasi, dan sumber daya lainnya guna meningkatkan
kondisi ekonomi dan standar kehidupan antara negara berkembang dan negara-negara
lainnya. Di World Growth, kami menerima era globalisasi dan kekuatan
perdagangan bebas untuk memberantas kemiskinan dan menciptakan peluang dan
lapangan kerja. World Growth mendukung produksi minyak kelapa sawit dan
penggunaan hutan sebagai sarana mempromosikan pertumbuhan ekonomi, mengurangi
kemiskinan dan emisi gas rumah kaca. World Growth yakin bahwa budidaya minyak
kelapa sawit dan hutan yang baik memberikan sarana yang efektif dalam
pengelolaan lingkungan yang dapat berfungsi sebagai katalis untuk meningkatkan
pembangunan sosial dan ekonomi. Untuk informasi lebih lanjut mengenai World
Growth, kunjungi : www.worldgrowth.org.
Indonesia ambil langkah maju tekan emisi
Senin, 12 Desember 2011 18:17 WIB | 1599
Views
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia memberikan perhatian utama terhadap
pembangunan ramah lingkungan dan rendah emisi gas rumah kaca dalam Konferensi
PBB untuk Perubahan Iklim (COP 17 UNFCCC) di Durban, Afrika Selatan.
Ketua Tim Negosiasi RI Tazwin Hanif di Durban dalam keterangan persnya
Senin mengatakan, Indonesia telah mengambil langkah maju dibanding
negara-negara lain dengan adanya komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dan 15 persen tambahan
dengan bantuan internasional, yang disandingkan bersama target pertumbuhan
ekonomi 7 persen per tahun.
Ketua Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ yang juga Kepala UKP4 Kuntoro
Mangkusubroto dalam diskusi tentang REDD+ bersama UNEP dan Kementerian
Lingkungan Hidup Norwegia di Durban, sebelumnya mengatakan bahwa panduan
pembangunan ekonomi hijau dilakukan terintegrasi dengan Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) dan program percontohan REDD+.
"Kami sedang menyusun program bersama UNEP dengan menggunakan
Kalimantan Tengah sebagai Provinsi Percontohan untuk REDD + di Indonesia,"
kata Kuntoro. Dia menjelaskan, Presiden RI memilih Kalteng sebagai
provinsi percontohan pelaksanaan REDD+ karena diproyeksikan emisi meningkat 50
persen pada 2020 dibandingkan tahun 2005 kalau pembangunan dilakukan secara "business
as usual", yang menjadikan Kalteng salah satu provinsi dengan
emisi tertinggi di Indonesia.
Tingkat emisi tersebut dihasilkan dari kebakaran hutan, pembukaan lahan
untuk kelapa sawit dan dekomposisi gambut. Pemerintah Indonesia,
lanjutnya, menggandeng UNEP melalui UNORCID-- Kantor Koordinasi PBB untuk REDD+
di Indonesia-- untuk melihat, menghubungkan, menganalisis sampai menerapkan
model pelaksanaan REDD+ dengan memasukkan unsur-unsur penting dari ekonomi.
Menyelesaikan analisis dengan unsur yang tidak dipertimbangkan sebelumnya -
karbon, keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem dan dengan mempertimbangkan
baik biaya dan manfaat yang relevan.
Kuntoro mengatakan pemodelan pembangunan hijau di Kalteng yang bertujuan
melindungi, memulihkan dan mengelola lanskap hutan, sambil mengembangkan
pertumbuhan rendah karbon ekonomi, menggunakan metodologi yang dikembangkan
dalam Laporan Ekonomi Hijau UNEP 2011.
Dia melanjutkan salah satu bentuk pelaksanaan pembangunan rendah karbon
adalah dengan dikeluarkannya Perpres No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, yang akan dilanjutkan dengan Rencana Aksi
Daerah (RAD) di tingkat provinsi.
Pemerintah juga telah mengeluarkan Perpres No. 71/2011 tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.
Instrumen mitigasi
Menteri Lingkungan Hidup RI Balthasar Kambuaya dalam acara pembukaan
Pavilion Indonesia di South Plaza Marquee, kompleks ICC Durban, Selasa
(6/12/2011) mengatakan, dua keputusan presiden tersebut menjadi dasar hukum
untuk instrumen mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Juga pedoman bagi
pemangku kepentingan tentang bagaimana merumuskan tindakan mitigasi dan
bagaimana mengukur dan memantau hasil pelaksanaannya.
Sedangkan Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian
PPN/Bappenas, Endah Murniningtyas mengatakan Indonesia memandang bahwa
perubahan iklim merupakan bagian dari atau tak terpisahkan dari pembangunan
secara keseluruhan yaitu untuk pertumbuhan ekonomi. Serta penciptaan
lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan sehingga perubahan iklim adalah
bagian dari pembangunan nasional.
"Indonesia serius dan tidak berhenti hanya pada komitmen tetapi melaksanakan
komitmen tersebut ke dalam aksi bersama antara pemerintah, kalangan swasta dan
seluruh masyarakat," kata Endah. "Dengan cara itu, dengan
membuat dan menunjukkan komitmen indonesia kita ingin mendorong semua negara
maju dan negara berkembang benar-benar melaksanakan penurunan dampak perubahan
iklim," tambah Endah. Editor: Suryanto
Pengamat: KTT Durban membuat PR bagi
Indonesia
Rabu, 14 Desember 2011 08:37 WIB | 1510
Views
Jakarta (ANTARA News) - Konferensi Tingkat
Tinggi Perubahan Iklim ke-17 di Durban, Afrika Selatan, yang menghasilkan
beberapa kesepakatan menimbulkan lebih banyak pertanyaan lanjutan akan
keseriusan negara-negara yang terlibat untuk menanggulangi perubahan iklim dan
membuat pekerjaan rumah bagi Indonesia, kata seorang pengamat perubahan iklim
di Australian National University.
"Hasil kesepakatan tersebut juga
malahan membuat pekerjaan rumah tambahan bagi Indonesia dan negara lain untuk
bekerja lebih keras karena sampai saat ini belum ada payung perjanjian global
yang bisa menjamin bahwa stabilisasi iklim bisa dicapai secara global,"
kata Fitrian Ardiansyah dalam surat elektroniknya yang diterima ANTARA di
Jakarta, Rabu. KTT yang berlangsung dua pekan dan dengan perpanjangan
waktu satu setengah hari berakhir pada Minggu (11/12).
Negosiasi yang cukup melelahkan di KTT
Durban akhirnya menghasilkan beberapa kesepakatan, yang dikenal sebagai
Landasan Durban (Durban Platform) di antaranya berupa disepakatinya periode
kedua Protokol Kyoto, peta jalan untuk pembahasan kesepakatan yang mengikat
untuk pengurangan emisi seluruh negara, Green Climate Fund, Komite Adaptasi dan
REDD+.
Fitrian, yang menanggapi hasil kesepakatan
tersebut dan terlebih dampaknya terhadap bumi serta Indonesia secara khusus,
mengatakan bahwa didapatkannya kesepakatan tentang periode kedua Protokol
Kyoto, yang akan dimulai pada Januari 2013 sepertinya sangat penting
dikarenakan satu-satunya perjanjian yang mengikat 37 negara industri (maju) untuk
pengurangan emisi sekitar lima persen berdasarkan tingkatan tahun 1990, akan
berakhir periode pertamanya pada tahun 2012.
"Hanya saja, yang perlu
dipertanyakan, apakah di periode kedua tersebut, Protokol Kyoto akan mempunyai
kekuatan yang sama karena beberapa negara maju seperti Kanada, Jepang dan Rusia
sempat menyatakan untuk tidak akan terlibat di periode kedua ini apalagi ditambah
bahwa Amerika Serikat memang tidak pernah meratifikasi protokol ini,"
katanya.
Mengenai kesepakatan akan peta jalan untuk
mendapatkan kesepakatan yang mengikat bagai pengurangan emisi seluruh negara
yang diharapkan bisa dicapai pada tahun 2015, dan berlaku pada 2020, dia
mengatakan kesepakatan itu terkesan sebagai taktik mengulur waktu dan
dikhawatirkan bahwa emisi yang dilepaskan ke atmosfir sudah melewati ambang
batas untuk manusia bisa melakukan stabilisasi iklim agar tidak menimbulkan
dampak yang parah.
Menurut dia, tidak ada jaminan bahwa kesepakatan tersebut nantinya bisa mengatur suhu rata-rata muka bumi menjadi di bawah dua derajat Celsius dikarenakan tidak adanya komitmen baru dari negara-negara yang terlibat sejak Kopenhagen. "Komitmen yang ada sekarang terhitung malahan bisa menjurus kepada peningkatan suhu rata-rata muka bumi yang bisa mencapai 3.5 derajat Celsius lebih," kata Firian.
Menurut dia, tidak ada jaminan bahwa kesepakatan tersebut nantinya bisa mengatur suhu rata-rata muka bumi menjadi di bawah dua derajat Celsius dikarenakan tidak adanya komitmen baru dari negara-negara yang terlibat sejak Kopenhagen. "Komitmen yang ada sekarang terhitung malahan bisa menjurus kepada peningkatan suhu rata-rata muka bumi yang bisa mencapai 3.5 derajat Celsius lebih," kata Firian.
Dia juga mengatakan tidak ada jaminan
bahwa kesepakatan yang dicapai nantinya bisa diratifikasi oleh negara-negara
yang terlibat. Pengalaman Protokol Kyoto, katanya, menunjukkan butuh waktu yang
cukup lama untuk banyak negara meratifikasi protokol tersebut.
Mengenai kesepakatan akan desain dan rencana kerja Green Climate Fund, dia berpendapat terdapat kesepakatan untuk mobilisasi pendanaan dari sumber-sumber pemerintah dan swasta, namun yang jadi pertanyaan adalah bagaimana realisasinya ke depan.
Mengenai kesepakatan akan desain dan rencana kerja Green Climate Fund, dia berpendapat terdapat kesepakatan untuk mobilisasi pendanaan dari sumber-sumber pemerintah dan swasta, namun yang jadi pertanyaan adalah bagaimana realisasinya ke depan.
Hal ini dikarenakan banyak negara yang
biasanya akan berdalih dengan krisis keuangan global dan kemudian tidak akan
menepati janjinya mengucurkan pendanaan yang diperlukan untuk mengurangi emisi
dan beradaptasi terhadap perubahan iklim, terutama untuk negara berkembang.
Kesepakatan akan pendanaan REDD+ dari sumber publik, swasta dan juga mekanisme pasar walau tidak tercapai kesepakatan akan jendela khusus dari Green Climate Fund untuk REDD+ bisa membuka peluang untuk investasi baru dan jangka panjang untuk REDD+, katanya.
"Hanya saja banyak aspek lainnya tentang REDD+ tidak didapatkan kesepakatan di Durban dan hal ini bisa dikategorikan akan mempersulit pengembangan REDD+ yang lebih kredibel ke depannya," kata Fitrian, penerima "Australian Leadership Award and Allison Sudradjat Award".
Tentang kesepakatan akan terbentuknya Komite Adaptasi, dia berpendapat terbentuknya komite itu merupakan satu langkah penting untuk membantu negara-negara yang rentan akan dampak perubahan iklim, termasuk Indonesia. (M016) Editor: B Kunto Wibisono
Kesepakatan akan pendanaan REDD+ dari sumber publik, swasta dan juga mekanisme pasar walau tidak tercapai kesepakatan akan jendela khusus dari Green Climate Fund untuk REDD+ bisa membuka peluang untuk investasi baru dan jangka panjang untuk REDD+, katanya.
"Hanya saja banyak aspek lainnya tentang REDD+ tidak didapatkan kesepakatan di Durban dan hal ini bisa dikategorikan akan mempersulit pengembangan REDD+ yang lebih kredibel ke depannya," kata Fitrian, penerima "Australian Leadership Award and Allison Sudradjat Award".
Tentang kesepakatan akan terbentuknya Komite Adaptasi, dia berpendapat terbentuknya komite itu merupakan satu langkah penting untuk membantu negara-negara yang rentan akan dampak perubahan iklim, termasuk Indonesia. (M016) Editor: B Kunto Wibisono
ISU GENDER : HUKUMAN MATI RUYATI, TKW
DI ARAB SAUDI
Ruyati Bunuh Istri Majikan
Minggu, 19 Juni 2011 14:28 WIB | 6624 Views
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat menyatakan bahwa TKI Ruyati
binti Satubi, yang dihukum mati di Arab Saudi pada Sabtu (18/6), karena
membunuh istri majikannya, Khoiriyah Omar Moh Omar Hilwani. "Dalam
persidangan, Ruyati dengan gamblang mengakui membunuh setelah bertengkar karena
keinginannya untuk pulang tidak dikabulkan," kata Jumhur di Jakarta,
Minggu. Ruyati, TKI asal Kampung Ceger RT 03/01, Kecamatan Sukatani, Bekasi,
Jawa Barat, menjalani hukuman mati dengan cara dipancung di Makkah, Arab Saudi,
pada Sabtu (18/6).
Jumhur mendapat laporan bahwa Ruyati yang dikirim untuk bekerja di Arab
Saudi oleh pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS), PT Dasa Graha Utama,
membunuh Khoiriyah pada 12 Januari 2010 dengan cara membacok beberapa kali
kepala korban dengan parang dan menusuk leher korban dengan pisau dapur.
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, katanya, telah
meminta akses seluas-luasnya kepada Kementerian Luar Negeri Arab Saudi dan
fasilitas pendampingan terhadap Ruyati melalui dua nota diplomatik. Pihak KJRI
mendampingi Ruyati dalam dua kali persidangan di Mahkamah Am (tingkat I) pada 3
dan 10 Mei 2010.
Namun, Mahkamah Tamyiz mengesahkan putusan hukuman mati dengan cara
dipancung (qishas) pada 14 Juli 2010 dan Mahkamah Agung Arab Saudi
menguatkan putusan itu, katanya.
Pihak KJRI, katanya, juga telah mengupayakan pemaafan dari ahli waris korban melalui Lembaga Pemaafan agar Ruyati tidak dihukum mati namun gagal. Terakhir Kerajaan Saudi memerintahkan pelaksanaan hukuman pancung atas permohonan ahli waris korban.
Pihak KJRI, katanya, juga telah mengupayakan pemaafan dari ahli waris korban melalui Lembaga Pemaafan agar Ruyati tidak dihukum mati namun gagal. Terakhir Kerajaan Saudi memerintahkan pelaksanaan hukuman pancung atas permohonan ahli waris korban.
Atas eksekusi itu, Kepala BNP2TKI sangat berduka cita. "Kami
menyampaikan duka cita mendalam kepada keluarga atas hukuman mati terhadap
almarhumah," kata Jumhur.
(T.B009/A011) Editor: Priyambodo RH
(T.B009/A011) Editor: Priyambodo RH
Sumber : www.antaranews.com
Hukuman Mati Ruyati, Tamparan buat SBY
Ary Wibowo | Glori K. Wadrianto | Minggu, 19 Juni 2011 | 18:10 WIB
JAKARTA, Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarty menilai eksekusi hukuman mati
tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia, Ruyati binti Satubi, merupakan tamparan
bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kematian Ruyati telah
menunjukan bahwa Presiden telah gagal melindungi hak asasi buruh migran
Indonesia yang berada di luar negeri. Seperti yang diberitakan, Ruyati binti
Satubi pada Sabtu (18/6/2011) dihukum mati setelah mengakui telah membunuh
wanita asal Arab Saudi bernama Khairiya binti Hamid Mijlid pada 2010.
"Pemerintah harus bertanggung jawab. Ini merupakan tamparan bagi SBY,
dalam arti sebelumnya, dalam pidatonya pada sidang ke-100 ILO di Swiss, yang
menyatakan mekanisme perlindungan pembantu rumah tangga (PRT) migran di luar
negeri sudah berjalan itu tidak terbukti," ujar Poengky di Kantor
Imparsial, Jakarta, (19/6/2011).
Ditambahkan, kasus hukuman mati Ruyati harus dicermati dan dijadikan
pembelajaran bagi pemerintah agar tidak kembali terulang. Dia menyarankan agar
pemerintah melakukan upaya maksimal dalam menjamin keamanan para WNI yang
berkerja di luar negeri. Salah satunya adalah terhadap 23 WNI di Arab yang
mayoritas sebagai PRT Migran, yang sedang menghadapi ancaman hukuman mati.
"Jadi, pemerintah harus me-review kasus-kasus yang menimpa
buruh migran di luar negeri. Karena paling banyak kan kasusnya
itu di Arab Saudi dan Malaysia, jadi kedua negara itulah yang harus menjadi
fokus perhatian Pemerintah Indonesia dan terus secara keras mengupayakan 23 WNI
di Arab itu agar diberi pengampunan untuk lolos dari hukuman mati,"
jelasnya.
Selain itu, lanjut Poengky, undang-undang yang mengatur tentang buruh
migran Indonesia juga perlu diatur. Menurut dia, dengan melihat banyaknya kasus
yang menimpa buruh migran di luar negeri adalah bentuk gagalnya pemerintahan
dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. "Itu kegagalan
pemerintah yang paling besar. Jadi, sebagai gantinya, pemerintah harus bisa
melindungi tenaga kerja kita yang ingin keluar negeri. Katakan saja, misalnya,
pemerintah bisa memberikan pelatihan-pelatihan sebelumnya kepada orang-orang
yang mau bekerja keluar negeri, sehingga setidaknya kehidupan mereka di sana
itu bisa terjamin," tegasnya.
Sebelumnya, secara terpisah, pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana
mengatakan pemerintah harus bersikap tegas terhadap Pemerintah Arab Saudi.
Ketegasan tersebut, menurut dia, dapat diwujudkan dengan melakukan penghentian
pengiriman TKI ke Arab Saudi. Dia juga menyarankan agar pemerintah dapat
melakukan tindakan diplomatik untuk memperlihatkan ketidaksenangan Indonesia
atas perlakuan warganya, salah satunya dapat berupa pemanggilan pulang Duta
Besar Indonesia di Arab Saudi atau mengurangi jumlah personel perwakilan
Indonesia di negara tersebut.
"Ketegasan perlu dilakukan agar Pemerintah Arab Saudi lebih sensitif
terhadap nasib para TKI di negeri tersebut yang kerap menderita perlakuan kasar
dan kekerasan. Ini semua berujung pada para TKI melakukan tindakan yang
dituduhkan pada Ruyati, yaitu pembunuhan atas majikan. Apalagi bila otoritas
Arab Saudi tidak serius dalam melakukan proses hukum, bahkan cenderung
melindungi warganya yang melakukan kekejaman terhadap para TKI," kata
Hikmahanto.
Sumber : nasional.kompas.com
ISU KEDAULATAN : KONFLIK DARFUR, SUDAN
Utusan AS Kunjungi Sudan Jelang Referendum Bulan Depan
Selasa, 07 Desember 2010
Utusan Khusus Amerika untuk Sudan Scott Gration mengunjungi Khartoum untuk
membicarakan pelaksanaan Persetujuan Perdamaian Menyeluruh tahun 2005, yang
mengakhiri perang saudara yang sudah berlangsung puluhan tahun di Sudan.
Perjanjian tersebut menetapkan referendum mengenai kemerdekaan bagi bagian
selatan Sudan akan diadakan bulan depan. Gration akan bertemu dengan para
pejabat tinggi Sudan dan mendesak agar referendum diadakan sesuai dengan
jadwal.
Gration juga akan berkunjung ke Darfur, bagian barat Sudan, mengadakan
pertemuan tiga hari dengan para pejabat Misi Uni Afrika PBB di Darfur untuk
membicarakan keamanan dan keadaan kemanusiaan di sana.
Kunjungan Gration akan berakhir di Qatar untuk mengadakan pembicaraan
dengan para pejabat pemerintah Qatar serta pejabat dari PBB dan Uni Afrika
mengenai cara membantu pembicaraan perdamaian yang sedang berlangsung,
yang melibatkan semua pihak dalam sengketa di Darfur.
Partai Sudan Selatan Umumkan Dukungan bagi Kemerdekaan
Sabtu, 11 Desember 2010
Partai berkuasa di Sudan Selatan secara resmi mendukung kemerdekaan Sudan
Selatan untuk pertamakalinya menjelang referendum yang akan membagi Sudan itu.
Seorang pejabat tinggi Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan Selatan SPLM, Anne
Itto, kepada wartawan mengatakan hari Sabtu bahwa Sudan utara tidak berhasil
membuat Sudan sebagai negara kesatuan. Oleh karena itu, partainya menggalakkan
apa yang diinginkan rakyat, diminta untuk menjelaskan, dia mengatakan,
pemisahan.
Komentarnya itu tampaknya bertentangan dengan perjanjian perdamaian tahun
2005 yang menetapkan baik SPLM mau pun Partai Kongres Nasional yang berkuasa di
Sudan utara harus berupaya agar terbentuk negara kesatuan Sudan.
Perjanjian Perdamaian Komprehensif mengakhiri perang saudara 21 tahun dan
menjanjikan referendum tentang kemerdekaan Sudan selatan.
Ketegangan meningkat menjelang referendum 9 Januari, dimana kedua pihak
saling menuduh menempatkan tentara di sepanjang perbatasan kedua wilayah
UNICEF Siapkan Antisipasi Jika Pecah Konflik Sudan Pasca Referendum
Rabu, 15 Desember 2010
Badan PBB untuk anak-anak atau UNICEF mengatakan sedang bersiap-siap
menghadapi kasus-terburuk jika terjadi konflik setelah referendum kemerdekaan
bagi Sudan Selatan bulan depan. UNICEF mengatakan tidak bisa diperkirakan apa
yang akan terjadi, tetapi badan itu harus siap menyediakan layanan darurat bagi
ratusan ribu anak-anak.
Sudan Selatan dalam keadaan yang relatif stabil sejak menandatangani
perjanjian damai dengan Sudan Utara lima tahun yang lalu. Periode yang relatif
tenang saat ini telah menciptakan beberapa peluang untuk membangun, tapi belum
cukup.
UNICEF menggambarkan bahwa situasi kemanusiaan di sana mengerikan. Dan, Direktur Program UNICEF di Daerah Sudan Selatan, Yasmin Ali Haque, mengatakan lembaga-lembaga bantuan bisa menghadapi krisis kemanusiaan sebagai konsekuensi dari referendum kemerdekaan pada bulan Januari. Yasmin Haque mengatakan PBB sedang mengupayakan sebuah rencana darurat untuk menghadapi segala kemungkinan. "Diperhitungkan bahwa mungkin akan terjadi konflik, dalam hal ini, ada kemungkinan perpindahan populasi, pengungsian dan lain-lain. Jadi, dalam hal kesiapsiagaan, benar-benar dilihat bagaimana UNICEF dan badan-badan lainnya dalam memenuhi komitmen mereka untuk menghadapi krisis kemanusiaan." Haque selanjutnya mengatakan prioritas UNICEF adalah anak-anak di Sudan Selatan. Ia menyebut keadaan mereka sangat menyedihkan, dan data statistik mendukung hal itu.
UNICEF menggambarkan bahwa situasi kemanusiaan di sana mengerikan. Dan, Direktur Program UNICEF di Daerah Sudan Selatan, Yasmin Ali Haque, mengatakan lembaga-lembaga bantuan bisa menghadapi krisis kemanusiaan sebagai konsekuensi dari referendum kemerdekaan pada bulan Januari. Yasmin Haque mengatakan PBB sedang mengupayakan sebuah rencana darurat untuk menghadapi segala kemungkinan. "Diperhitungkan bahwa mungkin akan terjadi konflik, dalam hal ini, ada kemungkinan perpindahan populasi, pengungsian dan lain-lain. Jadi, dalam hal kesiapsiagaan, benar-benar dilihat bagaimana UNICEF dan badan-badan lainnya dalam memenuhi komitmen mereka untuk menghadapi krisis kemanusiaan." Haque selanjutnya mengatakan prioritas UNICEF adalah anak-anak di Sudan Selatan. Ia menyebut keadaan mereka sangat menyedihkan, dan data statistik mendukung hal itu.
UNICEF melaporkan untuk setiap 1.000 kelahiran, ada 102 bayi yang
meninggal. Data itu menunjukkan banyak anak yang menderita kekurangan gizi akut
dan kronis, dan Sudan selatan adalah salah satu negara dengan tingkat imunisasi
rutin terendah di dunia. Lebih dari 90 persen penduduk hidup dengan uang kurang
dari satu dolar per harinya. Sebagian besar penduduk tidak punya sumber air minum
yang bersih dan kebanyakan anak-anak di Sudan Selatan mendapat pendidikan
Sekolah Dasar kurang dari lima tahun.
Sebagai bagian dari persiapan tersebut, Haque mengatakan UNICEF menempatkan
sejumlah posko-posko layanan utama bagi anak-anak. Haque menambahkan,
"Bagaimana kita menangani kebutuhan anak-anak yang mungkin terpisah dari
keluarga mereka, dan memastikan bahwa hal itu tidak akan terjadi. Ataupun, jika
terjadi, kita akan punya sistem yang digunakan untuk melacak keluarga-keluarga
dan mempersatukan kembali anak-anak dengan keluarganya, terutama melihat
berbagai ancaman yang dihadapi anak-anak dalam situasi konflik."
Pejabat Tinggi Sudan Ramalkan Sudan akan Terbagi Dua
Kamis, 16 Desember 2010
Seorang pejabat tinggi Sudan mengatakan negara itu dapat dipastikan akan
terpecah menjadi dua sebagai akibat referendum mengenai kemerdekaan di selatan
bulan depan.
Kantor berita pemerintah SUNA mengatakan Nafie Ali Nafie, seorang pembantu
Presiden Omar al-Bashir, membuat perkiraan itu dalam pidato hari Kamis di
hadapan para petani dan penggembala.
Nafie mengatakan pemerintah di Khartoum terus mendesak agar Sudan tetap
bersatu. Tetapi ia mengatakan sekarang dapat diperkirakan bahwa bagian selatan
yang menghasilkan minyak akan terpisah dari utara setelah referendum 9 Januari.
Ia menambahkan para pejabat pemerintah sebaiknya menerima kenyataan itu dan
tidak membohongi diri mereka sendiri.
Ketegangan antara bagian selatan dan pemerintah pusat Sudan terus meningkat
menjelang referendum itu, sementara sengketa mengenai pendapatan dari minyak
dan berbagai isu lain masih belum terselesaikan.
Nafie mencoba menenangkan kekhawatiran mengenai terlepasnya Sudan selatan,
dan mengatakan bagian utara bisa berhasil secara ekonomi melalui pertanian dan
pertambangan.
SABTU, 15 JANUARI 2011 13:26
JUBA, Sudan (Berita SuaraMedia) – Pemisahaan yang memuncak atas Sudan
setelah pemilihan kemerdekaan pekan ini di selatan mengajukan
tantangan-tantangan bagi China, yang menghadapi ketergantungan selama hampir
lima persen impor minyaknya pada sebuah negara baru yang lama mencurigai
ikatannya dengan Khartoum. Sejumlah 80 persen ladang minyak di Sudan, yang mana
Perusahaan Petrolium Nasional China (China National Petroleum Corporation –
CNPC) dijalankan oleh pemerintah telah memompa milyaran dolar ke dalam pengembangannya,
terbentang di bagian selatan Sudan.
Kesepakatan senjata
Beijing dengan rejim Khartoum dan pertahanannya yang membuntuti di dalam forum
internasional telah berakibat dalam mantan perlawanan yang dirancang untuk
menuntun negara baru memiliki hubungan yang jauh lebih dekat dengan
negara-negara Barat yang menyediakan batuan selama perang sipil 1983-2005 dan
memipin upaya untuk mengakhiri kondisi tersebut. China benar-benar membuka
sebuah konsulat di kawasan selatan ibukota Juba pada tahun 2008 tiga tahun
setelah perjanjian perdamaian.
Namun hanya setelah
beberapa bulan terkahir bahwa konsulat tersebut sepenuhnya telah terjaga pada
prospek yang mungkin segera terjadi tentang kemerdekaan, mengirim seorang
delegasi senior para pemimpin Partai Komunis ke selatan Oktober lalu dan
memperbarui perwakilannya pada tingkatan duta besar pada bulan berikutnya.
"China, didukung
oleh CNPC, telah menyusun sebuah serangan daya tarik di selatan yang telah
terdiri dari membawa beberapa lusin pemimpin politik… ke China untuk
mengunjungi CNPC dan melihat model Ekonomi China secara keseluruhan,"
seorang diplomat Barat di selatan Sudan mengatakan. "CNPC juga telah
membangun sebuah laboratorium komputer di Universitas Juba yang bernilai
beberapa juta dolar," diplomat tersebut menambahkan. "Telah ada
beberapa sukses dalam mengubah atmosfir di selatan terhadap mereka."
Namun para pemimpin
Sudan bagian selatan bukan tanpa perasaan takut akan diri mereka sendiri.
Mereka bergantung pada pemasukan dari hasil minyak, pembagiannya oleh CNPC,
untuk 98 persen pemasukan pemeritah, dan sangat membutuhkan produksi China
untuk melanjutkannya tanpa gangguan.
Dalam sebuah wawancara
dengan kantor berita AFP pekan ini, menteri minyak bagian selatan Garang Diing
menjanjikan: "Kami akan menghormati segala kotrak kami yang ditandatangani
sebelum perjanjian perdamaian pada tahun 2005." Konfirmasi tentang hak-hak
CNPC untuk konsesinya tidak akan datang tanpa sebuah harga, walaupun, ketika
Sudan selatan bergerak untuk menarik sebuah kebijakan nasional minyak untuk
negara baru. Keluhan yang bertahan lama tentang kebijakan lingkungan CNPC dan
hak asasi manusia dan kurangnya transparansi finansial nampaknya menuntun pada
pembebanan standar yang lebih tinggi untuk perusahaan yang mengoperasikan
konsesi dan pada pengawasan yang lebih ketat.
Organisasi
non-kepemerintahan seperti Global Witness telah mendokumentasikan kontaminasi
lahan basah dari Upper Nile dan negara-negara Persatuan, di mana CNPC
beroperasi, dengan bahan kimia dan air yang tidak terawat dari proses ekstraksi
minyak, menuntun pada kematian air minum yang terpolusi. "Dalam kontrak
dengan China selama perang tersebut, banyak hal yang tidak dipedulikan, seperti
perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan," menteri minyak bagian selatan
mengatakan. "Hal ini telah menyisakan banyak orang terlantar yang
membutuhkan kompensasi," ia mengatakan. "Dalam masalah lingkungan,
ada kontaminasi air." Diing nampaknya menemukan dukungan untuk
memberlakukan standar yang lebih ketat dari mayoritas minyak Barat ketika ia
mengejar ambisinya dalam jangka waktu yang lebih panjang tentang diversifikasi
sektor minyak Sudan selatan dan penerimaan pemerintah.
Seorang juru bicara
untuk Total Perancis, yang memegang sebuah konsesi yang besar di selatan yang
masih tetap belum dimanfaatkan karena perang sipil dan sanksi AS terhadap
Khartoum, mengatakan bahwa perusahaan tersebut akan bersikeras tentang
"pemberlakuan standar kami di dalam masalah lingkungan, sikap etis dan
transparansi." Namun dalam jangka pendek, perusahaan minyak Barat
nampaknya terus-terusan terhambat dari investasi oleh sanksi yang diajukan
terhadap Khartoum pada tahun 1997, empat tahun setelah pencantuman dalam daftar
hitam sebagai sebuah negara sponsor terorisme.
"Kami harus
mendiversifikasi ibukota dari beberapa negara Asia – China, Malaysia dan India
– terutama untuk mendapatkan pengalaman Barat, teknologi terbaik dan praktik
terbaik," Diing mengatakan. "Masalah dengan perusahaan-perusahaan
Barat adalah sanksi."
Washington telah
mengindikasikan bahwa pihaknya akan mulai mempermudah beberapa langkah jika
Khartoum menghormati hasil pemilihan independen tersebut. Dan diasumsikan bahwa
Sudan selatan yang baru merdeka tidak akan menghadapi sendiri sanksinya.
Namun sanksi terhadap
perusahaan minyak milik negara di bagian utara, Sudapet, yang memiliki sebuah
kepentingan di konsorsium CNPC, akan tetap berlaku, mencegah adanya perusahaan
Barat dengan sebuah pemegangan saham AS yang signifikan menerima keuntungan
dalam konsesinya tersebut.
Selatan juga masih tetap
bergantung pada jalur pipa ke Pelabuhan Sudan di utara yang CNPC membantu
membangunnya untuk membuat minyak tersebut berada di pasaran. Dan hanya enam
bulan sebelum tanggat ditetapkan kemerdekaan bagian selatan oleh perjanjian
perdamaian tahun 2005, masih tidak ada perjanjian antara utara dan selatan
tentang pembayaran macam apa yang digunakan untuk jalur pipa dan pemurnian yang
akan menggantikan pembagian penerimaan yang ada sebesar 50-50 tersebut.
Alex Fines, direktur
regional dan studi keamanan di think tank Chatham House Britania, mengatakan
bahwa jalur pipa tersebut memberikan Beijing setiap insentif untuk menggunakan
ikatannya dengan Khartoum untuk memastikan bahwa ada sebuah pemecahan
keuntungan dan tidak ada gangguan untuk aliran minyak tersebut.
"Hal ini akan
berusaha dan mempertahankan hubungan baik dengan keduanya, utara dan selatan,
dan akan menggunakan dinas-dinas terkemukanya di balik layar untuk mendorong
hubungan yang ramah," ia mengatakan. "Hal terakhir yang China
inginkan adalah perbaruan konflik di Sudan."
He Wenping, seorang
professor di Institut Studi Asia Barat dan Afrika di Akademi Ilmu Sosial China,
menyetujui hal tersebut. "Ketika bagian selatan memiliki lebih banyak
ladang minyak, masih saja harus bergantung pada jalur pipa dan pemurnian minyak
di bagian utara," ia mengakan kantor berita China Global Times.
"Minyak biasanya menjadi kontroversial di antara dua bagian tersebut,
namun minyak tersebut kemungkinan bisa menjadi lem di masa mendatang."
(ppt/meo)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus