Esensi Pendidikan Nilai dan Moral serta PKN di Era Globalisasi
The 20th
century has been characterized by three developments of great political
importance: The growth of democracy, the growth of corporate power, and the
growth of corporate propaganda as a means of protecting corporate power against
democracy (Alex Carey). My country is the world, and my religion.
Pendahuluan
Tidak
seorangpun mampu melepaskan diri dari hakekat kodrat manusia sebagai insan yang
dapat di didik dan belajar sepanjang hayat (educated human being), sehingga
dinamik berubah sepanjang masa. Pengalaman hidup manusia (life experiences)
adalah pengalaman belajar manusia yang dari waktu/kondisi/tempat ke
waktu/kondisi/tempat mengembangkan potensi diri dan kehidupan kita baik dalam
arus positif maupun arus negatif.
Hakekat lain
yang tidak bisa dihindari manusia ialah selaku social and political human
being, dimana sejak lahir kita hidup "in group" dalam keluarga dan
masyarakat yang ahirnya berbangsa dan bernegara (Zoon politicon, organized
political man). Lembaga-lembaga tadi disamping merupakan wadah/rumah bagi
manusia juga merupakan institusi pembina – penegak dan pengembang
ipoleksosbudag yang amat potensial. Namun makin kini ketiga lembaga itu makin
kurang berfungsi (melonggar) dan bahkan ada kecendrungan dihilangkan. Bahwa
Potensi diri manusia yang Illahiah yang dibawa setiap manusia meliputi potensi
badaniah dan rohaniah. Melalui berbagai kajian pakar pendidikan dan psikologis,
potensi rohaniah dikatagorikan kedalam tiga potensi dasar yakni Daya
Intelektual/Nalar (dengan 6 potensi ); daya afektual (8 potensi afektual) dan
Psikomtorik (8 potensi), sehingga keseluruhannya meliputi 22 potensi.
Dalam Dunia
Pendidikan (terutama pendidikan formal) secara kurikuler rumusan sosok
keluarannya dinyatakan harus utuh bulat (ragawi dan rohaniah) namun secara
programatik – prosedural maupun realita keluarannya (outcomes) bersifat
parsial. Totalitas diri anak didik hampir tidak pernah dibelajarkan secara
kaffah. Target penyelesaian bahan ajar yang konseptual teoritik –
keilmuan/normative atau structural disipliner dan target nilai angka (marking)
atau NEM tinggi yang diiringi ketidak tahuan/profesionalan guru melahirkan
pendidikan dan pembelajaran parsial. Masalah potensi ragawi dan nilai – moral
serta norma hampir tidak pernah masuk hitungan termasuk dalam program khusus
MKU (PKN, PAI, dll). Tidak Profesionalnya guru, disamping pola pembelajaran –
pelatihan professional skills yang kurang terutama dikarenakan ketentuan formal
dan system seperti a.l. wajib mengajar minimal 19 jampel di satu sekolah, sistem
penempatan guru, guru SD adalah guru kelas. Maka oleh karenanya tidaklah
mustahil apa yang dikemukakan McLuhan (teori Pendulum) besok lusa akan
berwujud, yakni manusia yang cerdas otaknya namun tumpul emosinya. Potret ini
disejumlah tempat sudah mulai nampak. Proses emoting – minding, spiritualizing,
valuing dan mental round trip dikalahkan oleh proses thinking and
rationalizing. Pembelajaran berlandaskan nilai moral yang normative/
luhur/suci/religius kalah oleh pembelajaran theoretic – conceptual based dan
perhitungan untung rugi rasional – keilmuan dan atau yuridis formal. Potret ini
sudah juga nampak dalam pendidikan informal, kehidupan keluarga, pembinaan dan
pendidikan anak (termasuk agama dan budi luhur) mulai kurang diperdulikan dan
sudah sepenuhnya diserahkan kepada instansi lain. Guru dan sekolah. Rumah dan
keluarga mulai tererosi dari status dan role behavior bakunya (agamis &
cultural) dan hanya menjadi "symbol terminal berkumpul dan sumber status
social – ekonomi" bagi warganya. Bagi keluarga yang sudah masuk
"super developed/ nuclear – family" perkawinan hanya dimaknai sebagai
lembaga/media untuk memenuhi kebutuhan biologis dan social ekonomis saja.
Demikian dalam berbangsa dan bernegara, hanya dianggap keharusan otomatik
(opinio necesitatic) tanpa diiringi oleh rasa-emosi lain (sense of integrity,
patriotism dan proudnes, dll ).
Dalam
kehidupan masa lampau generasi usia 50/60 th keatas, apa yang diuraikan di atas
boleh dibilang "tabu" dalam pendidikan keluarga, seluruh perangkat
tatanan nilai – moral dan norma agama ( dan budaya agama), adat budaya
(cultural heritages) dan bahkan nilai moral metafisis dengan segala "pro
& contranya" hadir secara utuh menjadi tonggak pokok untuk segala hal
serta beruwjud dalam berbagai bentuk (materiil – imateriil, personal,
kondisional dan behavioral/ceremonial) . Dunia pendidikan formalpun (Program,
buku, guru, pimpinan, system dan kondisional) turut mengukuhkan kehidupan tadi.
Buku paket IPS ("Matahari Terbit") dan seni budaya daerah (Panyungsi
Bahasa, Didi – Yoyo; Rusdi Misnem dll) sekaligus membawakan misi dan isi pesan
budi luhur (adat dan agama). Sekarang ini, gejolak iptek yang kian ganas
melalui multi media elektronik – cetak dengan segala "keindahan –
kemewahan dan kemudahannya" yang serba "waah" berikut tuntutan
materiilnya yang cukup tinggi, melahirkan kehidupan keluarga yang sarat
keinginan dan kesibukan sebagaimana "pola kehidupan (life style)
modern" yang pada ahirnya secara perlahan namun pasti membawa kearah
rasionalisme, sekulerisme yang materialistic dan egoistic serta mulai menggeser
dan mengerosi standard baku yang ada, termasuk didalam kehidupan keluarga kita.
Norma Acuan, Dimensi dan
Sitem Kehidupan Manusia
Gambaran
hakekat kodrat manusia (Illahiah/Natural dan Sospol) dalam uraian terdahulu,
melukiskan hakekat manusia yang serba potensial dan sarat keterbatasan. Dalam
kehidupannya sebagai insan social diperkaya dengan seperangkat kodrat social
sesuai dengan status dan peran laku harapannya (expected role behavior),
Beberapa sifat kodrati insan social ini ialah a.l. selalu berkelompok (group
base), kontekstual/ kondisional, bersifat mono multiplex/pluralistic, insan
politik yang terorganisir (zoon politicon, organized political man), insan yang
terikat dalam sejumlah lingkaran kehidupan (life cycles) yang multi aspek dan
multi waktu. John Locke, mengemukakan 5 sifat natural manusia dalam posisinya
sebagai organized political man; yakni : suka dihormati, cinta kekuasaan,
merasa pintar, ingin selamat dan hidup abadi. Kelima hal ini ditampilkan setiap
diri manusia yang normal dalam kehidupannya, dan bila tidak dikendalikan kelima
hal tadi akan berwujud menjadi: gila hormat, gila kekuasaan, sok pintar, cari
selamat/aman (anti risiko) dan takut mati.
Kedua hakekat kodrati tadi
dengan diintervensi oleh tempat – waktu dan kondisi,
berinteraksi/berinteradiasi dan menyebabkan proses perkembangan manusia serta
melahirkan produk the real thing of man/human being. Proses perkembangan tadi
tidak bersifat normless, melainkan terikat dan atau terkendali oleh seperangkat
tatanan norma-acuan (norm refrences). Dalam masyarakat Indonesia ada/berlaku 6
norma acuan pokok yang menuntun/mengendalikan/mengharus kan diri dan kehidupan
manusia ialah nroma/syariah agama, budaya agama, budaya adat/tradisi, hukum
positif/negara, norma keilmuan, dan norma metafisis (hal ihwal diluar jangkauan
kemampuan manusia, alam gaib – kepercayaan). Ke enam acuan normative tadi ada
dalam setiap lingkaran dan aspek serta system kehidupan manusia. Dan setiap
norma melahirkan acuan nilai dan moral. Norma adalah perangkat ketentuan/hukum/
arahan, dia bisa datang dari luar (eksternal) seperti dari Tuhan/Agama,
negara/Hukum, masyarakat/adat dan bisa pula (yang terbaik ) datang dari dalam
diri atau sanubari/qolbu kita sendiri. Norma yang sudah menjadi bagian dari
hati nurani (suara hati = qolbu !) adalah norma dan nilai – moral yang sudah
bersatu raga (personalized) dan menjadi keyakinan diri atau prinsip atau dalil
diri & kehidupan kita. Nilai ( value = valere) adalah kualifikasi harga
atau isi pesan yang dibawakan/tersurat/tersirat dalam norma tsb (a.l. Norma agama
memuat nilai/harga haram – halal – dosa – dll) dan melekat pada seluruh
instrumental input manusia (hal-hal yng materiil/imateriil,
personal/impersonal, kondisional, behavioral). Sedangkan Moral/Moralita adalah
tuntutan sikap – perilaku yang diminta oleh norma dan nilai tadi. Maka
karenanya suatu norma dari suatu sumber bisa memuat nilai – moral positif
maupun negatif dan jumlahnya amat banyak serta bersifat relatif/subjektif –
instrumental yang mungkin pula kontradiktif satu dengan lainnya. Contoh simple
misalnya Norma agama "dilarang mencuri" memuat nilai a.l. dosa,
haram, neraka, dll; moralita yang dituntut jauhi, hindari, jangan dikerjakan.
Sedangkan
yang kami maksudkan Sistem dalam kehidupan ialah apa yang dikemukakan oleh
Talcot Parson, dimana menurutnya setiap organisme kehidupan (manusia, binatang,
tanaman dll) memiliki 5 system; yakni: sistem nilai (value system), system
budaya (cultural system); system social (social system), system personal
(personal system) dan system organic (organic system).Maka karenanya Diri
Manusia dan Astagatra kehidupan manusia yang bersifat organisme hidup tidak
luput dari lima system tadi dan setiap system mengacu kepada 6 norma acuan yang
ada/dianut/diyakni orang/masyarakat/kehidupannya.
Dari gambaran
tadi jelas bahwa diri dan kehidupan manusia sarat/padat norma – nilai dan
moral, tidak ada kehidupan yang "value free" (bebas nilai). Potret
diri dan kehidupan di atas bila kita jabarkan secara matematis akan nampak
sebagai berikut:
- Life Cycles manusia = 5 (diri, keluarga, masyarakat, bangsa/negara dan dunia)
- Aspek kehidupannya = 5 dimensi/aspek (Ipoleksosbudag)
- Sumber Norma acuannya ada 6
Dari tiga
dimensi ini saja maka perangkat Nilai – Moral – Norma (NMNr) yang
mengikat/mengendalikan diri & kehidupan manusia berjumlah (5 x 5) x 6 = 150
buah. 150 NMNr ini masih akan dikaitkan (dikalikan) dengan keberadaan 5 system
dalam setiap organisme kehidupan (150 x 5 = 750 ) dan dikaitkan lagi dengan
status dan peran laku manusia yang bersifat mono pluralistik yang jumlah n.
Yang lebih
dahsyat lagi ialah bahwa antara komponen di atas (life cycles, aspek, sumber
norma dan system) tidak selamanya rujuk dan sering/banyak bersifat
kontras/paradoxal. Potret diri & kehidupan manusia dengan perangkat NMNr
yang amat kompleks, sarat paradoxal dan kontekstual inilah yang menuntut
kehadiran Pendidikan Nilai Moral, sehinggga manusia tetap value based sebagai
insan bermoral (morally mature person atau a healthy person) dan kehidupannya
tetap terkendali (conditioned). Dalam diri dan kehidupan yang bermoral
(berahllak mulia) seluruh sistemnya ( 5 sistem) selalu mengacu kepada seluruh
tatanan NMNr yang berlaku/diyakini diri & kehidupannya, ybs memiliki
pengalaman belajar (learning experiences) dan kemampuan (kompetensi) bagaimana
dan kapan mengoptimalisasi dan meminimalisasikan perangkat NMNr tadi secara
instrumental/kontekstual dan balance. Insan bermoral (berahlak mulia) disamping
memakai kemampuan intelektualnya (intellectual intelligence) juga selalu
melakukan proses emoting, spiritualisasi (spiritualizing) dan valuing terhadap
seluruh dimensi norm reference yang ada (diyakini ybs dan atau kehidupannya)
sebelum pengambilan keputusan (taking position). Proses ini makin kini makin
rendah (dimensi norm referencesnya maupun value basesnya), dan hanya
mengutamakan proses analisis – penilaian (evaluating bukan valuing) intelektual
– rasional – konseptual saja. Dimensi norma acuannya cenderung ke keilmuan
(umumnya ekonomik saja) dan atau hukum formal. Perhitungan ekonomik "murah
– mahal" hanya dihitung rasional sebagai selisih harga dan "legal –
illegal" nya juga bersifat rasional "karena secara formal
melanggar/memenuhi ketentuan hukum" saja tanpa diiringi suara hati/qolbu
(kasihan, penyesalan, rasa salah/dosa dll).
Jelas
kiranya, orang yang tidak mengenal perangkat tatanan NMNr dan tidak/ jarang
dibelajarkan potensi afektualnya (8 potensi) sulit untuk diminta menjadi
manusia bermoral. Visi Pendidikan Nilai – Moral disamping membina, menegakkan
dan Mengembangkan perangkat tatanan NMNr luhur (6 sumber Nr) adalah juga
pencerahan diri dan kehidupan manusia secara kaffah dan berahlak mulia serta
kehidupan masyarakat Madaniah (Civil Society). Pendidikan NMNr membawakan misi:
a. Memelihara/melestarikan dan membina NMNr menjadi 5 system kehidupan yang kait mengkait.
a. Memelihara/melestarikan dan membina NMNr menjadi 5 system kehidupan yang kait mengkait.
b. Mengklarifikasi dan
merevitalisasi sub.a sebagai "moral conduct" diri dan kehidupan
manusia/masyarakat/bangsa/dunia dimana ybs berada.
c. Memanusiakan (humanizing),
membudayakan (civilizing) dan memberdayakan (empowering) manusia &
kehidupannya secara utuh (kaffah) dan beradab (norm/ value based);
Insan/Masyarakat bermoral (morally mature/healthy person) dan masyarakat bangsa
berkepribadian.
d. Membina dan menegakan
"law and Order" serta tatanan kehidupan yang manusiawi – demokratis –
taat azas.
e. Khusus di negara kita,
disamping hal-hal di atas juga membawakan misi pembinaan dan pengembangan
manusia/masyarakat/bangsa yang moderen namun tetap berkepribadian Indonesia
(sebagaimana kualifikasi UUSPN 2003).
Laju
perkembangan iptek yang kian kini kian cepat dan agresif (melalui media cetak
elektronik dan produk iptek yang sarat nilai tambah, mudah dan menyenangkan)
mulai mereduksi dan mengerosi keberadaan/kelengkapan perangkat sumber norma
acuan dan sekaligus pula mengerosi nilai – moralnya. Sumber normative dari
Tuhan/Allah (agama), Alam dan budaya/adat serta yang metafisis mulai digeser
dan atau diubah oleh sumber karya manusia yakni Ilmu dan Hukum serta teknologi.
Iptek dan modernity secara inheren membawakan nilai – moral (karakteristik):
added values, easiness, enjoy, rasionalism, sekulerism, materislism,
individualism, kompetisi & conflict, spesialisasi, dll. Maka oleh karenanya
NMNr kontras – paradoxal kian meningkat dan sering melahirkan
"ketimpangan" dan atau kesenjangan keadaan/ kehidupan manusia yang
kalau tidak mampu diseimbangkan maka muncul aneka keanehan, stress dan strook.
Generation gap, friksi kehidupan rumah tangga dan masyarakat, gaya hidup (life
style) yang "aneh", Hippies dll adalah buah pendidikan parsial yang
meninggalkan pendidikan nilai – moral.
Berikut kami
angkat beberapa statements para pakar Pendidikan Nilai yang mengungkapkan
esensi Diknil: "Value Education or none at all" (Phlips Comb). "Value
education is the central of human being" (Piaget, Aristoteles, dll). "Janganlah
berfikir sebelum kamu iman, dan jangan berbuat sebelum iman dan berfikir"
(Imam Al Gazali). "My country is the world, and my religion is to do
good" (Thomas Paine). Dan sebagai insan religius, kita yakini bahwa dalam
rukun iman dan Islam yang diminta adalah percaya akan-Nya.
Hakekat Pendidukan
Kewarganegaraan (PKN)
PKN atau
Civic Education adalah program pendidikan/pembelajaran yang secara programatik
– prosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudyakan (civilizing)
serta memberdayakan (empowering) manusia/anak didik (diri dan kehidupannya)
menjadi warga negara yang baik sebagaimana tuntutan keharusan/ yuridis konstitusional
bangsa/negara ybs. Rujukan WNI yang baik dalam NKRI ialah UUD 1945/2003 yang
jabarannya termuat dalam TAP MPR dan UU (a.l. UUSPN menjadi kiblat seluruh
Program dan Sistem pendidikan ). Menurut landasan konstitusional di atas, maka
Visi PKN NKRI lahirnya manusia/ WNI dan kehidupan masyarakat bangsa NKRI religius,
cerdas, demokratis dan lawful ness, damai – tenteram – sejahtera, moderen dan
berkeribadian Indonesia. Misi yang diembannya adalah program pendidikan; yang
membelajarkan dan melatih anak didik secara demokratis – humanistic –
fungsional.
Membelajarkan
hendaknya dimaknai memberi pembekalan pengetahuan melek politik – hukum,
membina jati diri WNI berkepribadian/berbudaya Indonesia, melatih pelakonan
diri/kehidupan WNI yang melek politik hukum serta berbudaya Indonesia dalam
tatanan kehidupan masyarakat – bangsa – negara yang moderen. Dari gambaran di
atas maka jelas target harapan pembelajaran PKN NKRI, yakni:
1. Secara Programatik memuat bahan ajar yang kaffah/utuh (CAP) berupa
bekal pengetahuan untuk melek politik & hukum yang ada/berlaku/imperative dalam
kehidupan bermasyarakat – berbangsa dan bernegara NKRI yang demokratis sistim
perwakilan – konstitusional.
Bahan ajar yang kaffah mutlak harus menampilkan politik – hokum NKRI secara factual – teoritiik konseptual dan normative berikut isi pesan (nilai – moral) serta aturan main dan tata cara pelaksanaannya. Dan sebagai bekal pengetahuan tidak mutlak semua hal disampaikan melainkan dipilah dan dipilih berdasarkan tiga criteria dasar yakni: tingkat esensinya, kegunaannya dan kritis tidaknya.
Hakekat isi pesan program PKN yang utama (lihat UUSPN 2003) harus memuat a.l.:
Bahan ajar yang kaffah mutlak harus menampilkan politik – hokum NKRI secara factual – teoritiik konseptual dan normative berikut isi pesan (nilai – moral) serta aturan main dan tata cara pelaksanaannya. Dan sebagai bekal pengetahuan tidak mutlak semua hal disampaikan melainkan dipilah dan dipilih berdasarkan tiga criteria dasar yakni: tingkat esensinya, kegunaannya dan kritis tidaknya.
Hakekat isi pesan program PKN yang utama (lihat UUSPN 2003) harus memuat a.l.:
a. Insan dan kehidupan Relgius Imtaq dalam semua gatra
kehidupan.
b. Melek politik – hukum tahu/faham hal ihwal keharusan
berkehdiupan berbangsa – bernegara baik secara konstitusional maupun secara
praksis/ nyatanya (kemarin – kini dan esok hari) Tatanan dan kehidupan Politik
– Hukum dan Masyarakat Indonesia.
c. Insan dan kehidupan Demokratis yang lawfulness dalam NKRI/Pancasila/
berbudaya Indonesia.
d. Insan dan kehidupan yang Cerdas, damai dan sejahtera.
e. Insan dan kehidupan yang Cinta bangsa negara, Patriotik:
cinta dan bela bangsa negara (hak daulat dan martabat bgs negara)
f. Pergaulan dunia/antar
bangsa yang setara dan damai.
2. Secara Prosedural target sasaran pembelajarannya ialah penyampaian
bahan ajar pilihan – fungsional kearah membina, mengembangkan dan membentuk
potensi diri anak didik secara kaffah serta kehidupan siswa & lingkungannya
(fisik – non fisik) sebagaimana diharapkan/keharusannya ( 6 sumber normative di
Indonesia) serta pelatihan pelakonan pemberdayaan hal tersebut dalam dunia
nyata astagatranya secara demokratis, humanis dan fungsional.
Tersirat
dalam semua uraian di atas sejumlah hal yang secara konseptual dan praksisnya
paradox/tabrakan dengan hakekat globalisme dan modernity. Dan ini berarti
tantangan riil yang cukup berat untuk dihadapi para guru PKN, PAI bahasa &
Budaya Daerah dan semacamnya. Bila kita menyerah berarti kita mengurbankan
hakekat kodrati/Illahiah dan social politik diri siswa dan kehidupan Bangsa Negara
kita. Jawaban ada di tangan anda ! Globalisme adalah era iptek yang
superdeveloped, modernity adalah Neo Geopolitik yang cyberspace/world wide dan
Sekuler.
Iptek
melahirkan temuan konsep/dalil dan produk baru yang serba elektronik – massal
meninggalkan ketergantungan manusia dan kehidupannya terhadap tenaga manusia,
binatang dan alam, serta memperpendek jarak waktu antar space. Banyak hal yang
semula bersifat "tidak mungkin atau masa iya" kini ada dan
terbuktikan. Bahkan iptek mulai mencoba menundukan alam serta kodrat natural
manusia, kesemua hal inilah yang menyebabkan manusia "arogan" dan
mendewakan dirinya serta melahirkan dalil "I`m nothing but every
things" (aku adalah segala – galanya).
Teknologi
industri yang sepenuhnya rational and capital base melahirkan tuntutan
kehidupan yang ilmiah – rasional, sekuler, materialistic, capitalism yang
kompetitif serta mendorong meningkatnya pola keadaan yang individualistik dan
Utilities – beneficial – universal/ global/world wide. Pola universalism yang
kompetitif ini merupakan tuntutan keharusan (opinio necessitatic) teknologi
modern yang berproduksi massal. Produksi massal menuntut kapital dan pasar
(bahan dan produk) yang meluas dengan tingkat kompitisi kian tajam serta
melahirkan sindikat gabungan industri (negara) raksasa yang secara konseptual
paradox dengan karakter modernity. Gabungan raksasa industri & negara maju
ini dikenal dengan berbagai label, ialah a.l. World Dragons, IGGI,
Euro/Nato,AFTA, negara super power, world police dll. Pangsa pasar mereka ialah
dunia tanpa batas wilayah (Planetary Territory, Cyber space), wilayah politik
kebangsaan (nation) dan bahkan kedaulatan tererosi melalui pola kehidupan sosio
politik Demokrasi Modern, Neo Geopolitic,World Peaceful and wealthfare,Multy
National Corporation, Transnationalism, Global Capitalism, Planetary Territory
dll yang kesemuanya memaksa manusia/bangsa/negara mengglobal sehingga tercipta
tatanan norma baru yang dalam internet disebut dengan Normative Globalism yang
berpolakan cyber ipoleksosbud dengan super developed technology dalam kehidupan
post modernity yang dikendalikan world dragons & super power countries
tadi. Suka atau tidak suka, semua orang dan bangsa negara digiring menuju dunia
baru itu. Paradigma baru bernegara muncul dalam dalil baru Demokrasi Baru, new
democracy yang world wide cq. Western democracy yang liberalis dan kapitalistik
dimana kepentingan ekonomi menjadi penjuru dan primadonanya semua hal..
Dalam awal
makalah ini kami cantumkan petikan tulisan Alex Carey, dimana dikemukakan ada
tiga kekuatan dahsyat yang muncul di era post modernity ini, yakni perkembangan
demokrasi beserta kekuatan korporasisnya, laju propoganda kekuatan kubu
korporasi demokrasi termasuk proteksi kubu demokrasi melawan kubu yang berbeda
prinsip (a.l. traditionalis cultural atau Oriental Despotism, nasionalisme
sempit, serta undemocratic democracy lainnya). Maka melalui berbagai dalih dan
dalil (terutama dalih terrorism dan obat bius) maka dunia diwilah-wilah dan
diciptakan "aneka conflicts" serta terjadilah berbagai
"perang" (war), mulai dari perang Panama, Vietnam samapi perang Teluk
, Afganistan, Irak dll yang ujung-ujungnya adalah liberalisasi dan demokrasi
yang menyelebungi kepentingan ekonomi dan iptek tinggi (bahan baku dan pangsa
pasar). Korporasis kubu demokrasi tadi dalam mewujudkan targetnya , yakni Cyber
Politics/ Economics and Modernization (system dan life style) menggunakan
berbagai cara dan kekuatan terutama kekuatan ekonomi (bantuan dan atau
embargo), pembentukan Hukum/Lembaga Internasional (WTO, NATO,Euro dll) serta
sindikat kekuangan (IMF,World Bank, IGGI, dll) yang pada puncaknya digelarnya
peragaan kekuatan militer iptek mutahir. Semua hal ini "memaksa"
masyarakat bangsa berkembang menerima/mengadopsi dan atau memasuki kubu baru
mereka. Dan ironisnya karakter iptek – modernisasi ini bila sudah memasuki
kehidupan manusia/masyarakat ybs has a beginning but will has no end ! Geo
politik lama (wilayah ditentukan oleh kedaulatan/kekuasaan negara) berubah
menjadi Neo Geopolitik, dimana "kepentingan politik suatu/sejumlah
negara" (yang adalah kepentingan ekonomi bangsa/negara ybs) menjadi kiblat
kekuasaan dengan jalan "menghapuskan batas wilayah nasionalisme sempit dan
kekuasaan/ kedaulatan territorial lama". Semua harus membuka diri, untuk
itu kembali teknologi berbicara dalam wujud teknologi militer , media cetak –
elektronik dan indsutri.
Media cetak
elektronik menjadi pendobrak tradional culture and life style. Melalui budaya
dan pendidikan (materiil dan sumber serta media pembelajaran) generasi muda
(yang umumnya mayoritas populasi bangsa dan dalam kondisi jiwa inovatif –
kreatif dan "revolution age") diciptakan a new and modern generation
yang cinta/gila modernity, new democratic style dan world wide. Dalam kehidupan
dan generasi inilah keberadaan tatanan norma dengan perangkat nilai – moral
luhur goyah, tergeser dan atau tergusur . Rem normative yang menjadi direktiva
(moral conduct) diri & kehidupan "blong" dan terciptalah proses
erosi dan dehumanisasi, dimana martabat diri dan kodrat dirinya "dijual
dan dikurbankan" untuk kenikmatan, kesenangan dan kemudahan serta nilai
tambah duniawi semata . Muncullah generasi dan kehidupan masyarakat yang serba
rasional, sekuler, materialistik, individualis – utilities dan kontras dengan
sejumlah NMNr luhur yang berlaku/ada/baku serta menamakan diri "kehidupan
baru yang moderen". Harapan kita tentu saja manusia, bangsa negara dan
kehidupan Indonesia masuk dalam katagori manusia – bangsa – negara modern super
canggih, namun harus tetap manusia dan bangsa yang berbudi luhur yang tetap
mampu tampil dalam kepribadian Manusia/Bangsa Indonesia. Kita tidak berharap
kehadiran manusia/ masyarakat & kehidupan yang modern namun kufur dan dolim
terhadap diri sendiri, NMNr luhur serta warisan budaya (cultural heritage) Indonesia.
Bagaimana
kita, bangsa Indonesia mampu membinanya? Pertanyaan ini hendaknya menjadi
keperdulian semua orang, terutama para orang tua, pemimpin masyarakat dan
negara serta tentu saja para pendidik dan guru. Melihat kecen-derungan
"pergeseran status dan fungsi peran keluarga" (di kota maupun desa)
sekarang ini maka nampaknya semua beban itu akan terpulang dan harus terpikul
oleh Guru dan pendidik cq. Sekolah dengan seluruh instrumental inputs nya.
Secara institusional, progaramtik curricular dan prosedural pembelajaran harus
kaffah dan value base.Ini adalah harga mati untuk terpenuhinya harapan lahirnya
Manusia dan Bangsa yang religius , cerdas, dan berahlak mulia yang tentunya
harus diiringi system dan mekanisme kerja berbasis profesionalisme dalam dunia
pendidikan. Keterbatasan dan keterpurukan social ekonomi dan politik, hendaknya
jangan menjadi excuse penyelewengan dan pelacuran pendidikan.
Hendaknya sama-sama kita sadari bahwa dunia dewasa ini makin terbuka, dan sang maha guru Iptek – elektronik – cetak kini kian merajalela membelajarkan dan melatih pengalaman hidup/belajar generasi penerus bangsa negara ini.
Perlombaan (musabaqoh) pembaharuan kurikulum dan buku teks harus diperhitung kan secara lebih serius (bukan hanya mengejar target waktu/tahun/proyek ) dan harus diiringi peningkatan keberadaan dan tegaknya profesionalisme Pendidik , Guru serta pelaksana pendidikan. Sekolah harus kita fungsionalkan menjadi "agent of changes" dan membelajarkan keluarga dan masyarakat, sehingga tercipta proses revitalisasi fungsi peran keluarga/masyarakat. Hari esok bangsa dan negara kita berada pada our next young generations. Maka benarlah dalil Phillip Combs Value education or none at all.
Hendaknya sama-sama kita sadari bahwa dunia dewasa ini makin terbuka, dan sang maha guru Iptek – elektronik – cetak kini kian merajalela membelajarkan dan melatih pengalaman hidup/belajar generasi penerus bangsa negara ini.
Perlombaan (musabaqoh) pembaharuan kurikulum dan buku teks harus diperhitung kan secara lebih serius (bukan hanya mengejar target waktu/tahun/proyek ) dan harus diiringi peningkatan keberadaan dan tegaknya profesionalisme Pendidik , Guru serta pelaksana pendidikan. Sekolah harus kita fungsionalkan menjadi "agent of changes" dan membelajarkan keluarga dan masyarakat, sehingga tercipta proses revitalisasi fungsi peran keluarga/masyarakat. Hari esok bangsa dan negara kita berada pada our next young generations. Maka benarlah dalil Phillip Combs Value education or none at all.
Sumber Pustaka:
Kumpulan HO dan Internet (Editor Prof.A.Kosasih Djahiri;
2004, Prodi PU PPS UPI): Pendidikan Nilai dan Humaniora.
Learning Theories
Globalism and Ethics – Morality
Cooperative/Collaburative Group Learning
Djahiri, A. Kosasih. 1990. Menulusuri Dunia Afektif. Bandung: Lab.PPKN UPI . Djahiri, Djahiri, A. Kosasih. 2004. Membina dan Meningkatkan Profesionalisme Tugas Peran Pendidik. Bandung: Prodi PU PPS UPI.