ANALISIS : PUTUSAN PERKARA MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56/PUU-VI/2008 PERIHAL PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL
PRESIDEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945
disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Teori dan Hukum Konstitusi
Dosen Pengampu : Drs. Machmud Al Rasyid, SH, M.Si.
AGUS PRASETIYO
NIM. K6410002
PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
SEKILAS PUTUSAN PERKARA NOMOR 56/PUU-VI/2008
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam amar putusan perkara Nomor 56/PUU-VI/2008, menyatakan permohonan para pemohon ditolak untuk seluruhnya. Amar putusan tersebut dengan mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316). Permohonan judicial rivew tersebut diajukan oleh para pemohon yaitu M. Fadjroel Rachman (Pemohon I), Mariana (Pemohon II) dan Bob Febrian (Pemohon III) yang diwakili oleh kuasa hukumnya dinyatakan oleh majelis hakim konstitusi permohonan tersebut inkonstitusional. Berdasarkan pertimbangan fakta dan hukum yang ada dan/ ditemukan dalam persidangan, Mahkamah berkesimpulan : 1) Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9 sepanjang frasa “partai politik atau gabungan partai politik”, dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara keseluruhan; 2) Dalil-dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan.
Pertimbangan majelis hakim konstitusi merujuk Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Pasal itu menentukan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik dan atau gabungan partai politik. Terhadap Putusan Mahkamah tersebut tersebut, terdapat tiga orang Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda, yaitu Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan dan M. Akil Mochtar. Pendapat ketiga hakim kontutusi tersebut, sebagai berikut :
Abdul Mukthie Fadjar
Dalam pendapat yang berbeda itu, Mukthie Fadjar mengatakan Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 jo Pasal 5 UU 42 No 2008 mengatur tentang persyaratan calon presiden dan wakil presiden. Di dalamnya, tidak ada ketentuan harus dari partai politik. Oleh karena itu, siapa pun warga negara Indonesia yang memenuhi ketentuan kedua pasal itu harus mendapat akses yang sama untuk dapat menjadi calon presiden dan wakil presiden. Mukthie juga mengatakan bahwa Pasal 6A UUD 1945 bukanlah ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan (requirement), melainkan mengenai cara atau prosedur pencalonan. Sehingga pasal ini tidak seharusnya menafikan siapa pun yang memenuhi persyaratan untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden, baik yang bersangkutan mencalonkan diri sendiri maupun dicalonkan atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Apalagi, kata Mukhtie; subjek sengketa hasil Pemilu Presiden adalah pasangan calon, bukan partai politik yang mengusungnya. Sehingga, sifat sengketa hasil pemilu ini adalah individual, bukan kolektif partai pengusungnya. Dengan demikian calon perseorangan harus diberi ruang untuk Pemilu Presiden. Sebagai alternatif selain yang diusulkan partai politik. Aspirasi serupa, kata dia, pernah diusulkan Komisi Konstitusi bentukan MPR dalam rekomendasi amandemen konstitusi. Mukhtie berpendapat, aspirasi yanghidup di masyarakat harus tetap menjadi saluran. Tapi diasaat itu berpendapat wacana ini tak realistis dilakukan untuk Pemilu 2009. “Barangkali pada Pemilu 2014 atau 2019 dapat diwujudkan”, kata dia.
Maruarar Siahaan
Sementara Maruarar Siahaan memberikan penjabaran panjang mengenai sejarah pasal dalam konstitusi, khusus mengenai calon perseorangan. Maruarar mengatakan, fakta dan perkembangan terakhir memperlihatkan bahwa calon perseorangan memang menjadi aspirasi yang hidup dalam masyarakat, yaitu dimulai dari dibukanya calon perseorangan di Aceh dan disusul dengan masuknya calon perseorangan untuk berkompetisi di pemilu kepala daerah. Preseden itu, kata Maruarar, dipandang sebagai pandangan yang hidup dan menjadi aspirasi rakyat, yaitu mayoritas warga masyarakat menganggapsetiap warga mempunyai hak untuk mencalonkan diri sebagai presiden. “Dan menganggap pencalonan hanya melalui partai politik dianggap mengurangi dan membatasi hak politik warga negara”, kata dia. Maruarar berpendapat kesadaran seperti ini tak bisa dikesampingkan begitu saja. Karena alasan yang demikian, seandainyapun pendapat berbeda ini menjadi putusan Mahkamah, maka tidak rasional pula untuk memperlakukannya dalam Pemilu 2009, melainkan harus memberi waktu penyesuaian sampai pemilihan umum berikut pada tahun 2014, sehingga tercapai keadilan secara rasional.
M. Akil Mochtar
Adapun Akil Mochtar menegaskan, harus diberlakukan penafsiran luas untuk pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Hal ini terkait dengan tahap amandemen yang berbeda dan membuka ruang penafsiran yang juga tak sama. Penafsiran konstitusi pun menurut dia tak bisa dilakukan semata secara tekstual. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, saya berpendapat bahwa Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dimohonkan pengujian adalah conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat yaitu dengan mempertimbangkan agenda nasional pelaksanaan Pilpres tahun 2009 yang sudah sangat dekat, maka pemberian ruang bagi Calon Presiden perseorangan harus diakomodir dalam UU 42/2008 dan dilaksanakan pada Pilpres tahun 2014. Sependapat dengan dua rekannya, Akil mengatakan calon perseorangan baru memungkinkan diadopsi untuk Pemilu 2014 alih-alih untuk Pemilu 2009 sebagaimana yang diajukan para pemohon.
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN TANTANGAN KONSTITUSI
Kekuatan utama dari calon perseorangan adalah pada pembukaan kesempatan lebih luas bagi hadirnya calon presiden tidak semata bersumber dari
parpol. Namun, kekuatan itu akan menghadapi beberapa tantangan. Salah
satunya adalah aturan konstitusi. Putusan MK demikian memang tidak mengejutkan karena norma dalam Pasal 6A UUD 1945 terkait pencalonan presiden memang sudah sangat jelas bahwa hanya parpol atau gabungan parpol yang dapat mengajukan capres sehingga capres perseorangan mungkin diterapkan melalui perjuangan constitutional review bukan melalui jalan judicial review. Artinya, forumnya adalah perubahan konstitusi di MPR dan bukan pengujian konstitusionalitas UU Pilpres di MK. Memang ada yang berpendapat bahwa tidak ada larangan jelas dalam teks Pasal 6A UUD 1945 atas pencapresan perseorangan. Dengan demikian pupus sudah harapan calon presiden perseorangan untuk maju dalam Pilpres 2009. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara capres perseorangan itu legal policy (pilihan kebijakan), jika merujuk pada aturan yang ada di Indonesia saat ini. Mayoritas hakim konstitusi menolak permohonan pemohon, putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan peradilan umum. Di Mahkamah Konstitusi putusannya menjadi satu kesatuan yang mengikat, karena ini berdasarkan komperatif Mahkamah Konstitusi-Mahkamah Konstitusi di dunia. Pemilihan presiden menganut paham individual, berbeda dengan pemilihan kepala daerah yang menganut paham demokrasi. Hal itu ditengarai pasal konstitusi yang di uji berbeda. Dalam kasus kepala daerah, pasal yang diuji adalah Pasal 18 UUD 1945, sedangkan pemilihan presiden pasal 6A UUD 1945.
Pendapat demikian telah diperdebatkan di hadapan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK jelas, bahwa Pasal 6A mempunyai kejelasan makna yang tidak memungkinkan capres perseorangan. Para penyokong capres perseorangan berpikir akan mengajukan ulang uji materi UU Pilpres. Secara teoritis, kemungkinan pengajuan lagi demikian memang dimungkinkan oleh Peraturan MK, dengan catatan menggunakan alasan konstitusional yang berbeda. Namun, jika tujuannya sama yaitu dibukanya pintu capres perseorangan, dengan alasan dan argumen konstitusional telah disampaikan di hadapan MK yang sama sehingga uji material ulang demikian kemungkinan akan ditolak kembali. Maka, nasib capres perseorangan akan sangat tergantung dengan berhasil-tidaknya perubahan konstitusi yang diajukan DPD. Teori constitutionmaking dengan jelas mensyaratkan, pembuatan ataupun perubahan konstitusi tidak semata bergantung pada materi konstitusi yang diusulkan, tetapi tergantung pula pada golden moment perubahan konstitusi.
Dalam mekanisme perubahan UUD 1945, momentum emas itu akan sangat
ditentukan oleh dorongan publik dan kesepakatan partai politik, momentum itu
tidak melihat momentum itu hadir saat ini. Belum ada dorongan kuat dari
publik atas perubahan UUD 1945. Berbeda dengan masa 1999-2002 ketika
perubahan konstitusi dilakukan, pada saat mana salah satu tuntutan
reformasi adalah perubahan UUD. Demikian pula dengan syarat dukungan
elite politik yang bersemangat melakukan perubahan UUD 1945 dengan
konsep perubahan yang menyeluruh. Konsep perubahan demikian berisiko, satu-dua konsep usulan perubahan didukung oleh satu-dua parpol, dan pada saat yang sama satu-dua konsep ditolak parpol yang sama. Tantangan akan makin besar dari parpol ketika konsep yang diajukan adalah dimungkinkannya capres perseorangan. Bagaimanapun, aturan sekarang lebih menguntungkan bagi parpol yang secara sah diberikan hak monopoli pencalonan presiden oleh konstitusi. Tanpa ada desakan yang sangat kuat dari publik dan konstituen parpol, sangat sulit membayangkan ada parpol yang bersedia melepaskan hak monopoli konstitusional pencalonan presiden tersebut. Maka, dengan tetap menghormati para pihak yang memperjuangkan calon presiden perseorangan, perjuangan demikian masih penuh tantangan yang panjang dan berliku.
TANTANGAN IMPLEMENTASI CAPRES PERSEORANGAN
Kalaupun tantangan konstitusi tersebut dapat dilampaui, capres perseorangan bukanlah tanpa masalah. Problem bukan hanya milik capres parpol, tetapi juga dimiliki capres perseorangan. Maka, tantangan selanjutnya adalah pada level implementasi. Tantangan implementasi yang paling sederhana adalah terkait masalah teknis, mengenai apa syarat pencalonan capres perseorangan. Kalau capres parpol berdasarkan dukungan suara atau kursi parpol, maka capres perseorangan harus memiliki persyaratan yang ekuivalen dengan syarat tersebut. Tentu saja konsep persyaratan bagi calon kepala daerah perseorangan dapat dijadikan acuan bagi capres perseorangan meski dengan penyesuaian yang tepat. Selanjutnya, dengan adanya capres perseorangan, KPU akan dihadapkan dengan proses verifikasi dan tantangan kerja yang lebih tinggi. Tantangan selanjutnya adalah dukungan politik bagi capres perseorangan ketika terpilih, ada perbedaan yang mendasar antara dukungan pemilih (electoral support) dengan dukungan pemerintahan (governing support).
Seorang capres perseorangan dapat saja dipilih mayoritas mutlak rakyat, tetapi belum tentu ia akan mendapatkan dukungan politik mayoritas pada saat menjalankan roda pemerintahan. Bagaimanapun checks and balances akan lebih dilakukan oleh DPR dan itu berarti presiden akan dikontrol oleh partai politik sehingga capres perseorangan pada gilirannya tetap saja akan membutuhkan dukungan parpol. Artinya, kalaupun tidak didukung parpol ketika mencalonkan diri, presiden perseorangan terpilih akan segera mencari dukungan parpol untuk dapat memerintah secara efektif dan produktif. Presiden perseorangan terpilih yang tetap tidak mendapatkan dukungan parpol dan semata berpegang pada dukungan pemilihnya akan berpotensi terus diguncang roda pemerintahannya. Tanpa dukungan mayoritas parlemen, presiden yang didukung parpol atau koalisi parpol saja tetap mengalami kesulitan untuk memerintah, apalagi capres perseorangan yang tidak segera didukung mayoritas parpol di DPR. Ke depan, parpol memang harus diperbaiki secara kuantitas dan kualitas. Kuantitas harus makin sedikit, agar presidensial kita berpondasi kepartaian sederhana, adapun kualitasnya harus lebih antikorupsi dan bersih dar masalah hukum. Sementara reformasi kepartaian itu terus dilakukan dan berproses, suntuk jangka pendek, jalan tengah yang paling mungkin adalah mencari figur pemimpin parpol ataupun tokoh perseorangan yang layak menjadi presiden, tetapi pencalonannya tetap harus mendapatkan dukungan mayoritas partai politik.
KEBIJAKAN TERHADAP ISU CAPRES PERSEORANGAN
Dalam mengambil putusan suatu perkara Mahkamah Konstitusi seharusnya melakukan terobosan. Putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya memunculkan sebuah gerakan dan mendorong ke arah perubahan, sekarang ini hanya perdebatan tekstual saja. Tetapi, putusan ini menjadi tonggak baru untuk isu calon independen. Alasannya, tiga dari delapan hakim konstitusi memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Upaya yang bisa dilakukan untuk mendobrak UUD 1945 dengan merevisi UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Yakni, dengan merubah pasal tentang calon perseorangan. Mengubah UUD sulit, di tingkat UU lebih mudah. Amandemen UUD dapat dilakukan jika ada krisis besar yang melanda negeri ini. Semua lapisan masyarakat berkepentingan menciptakan momentum perubahan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar