REDUCING EMISSION FROM DEFORESTATION
AND FOREST DEGRADATION (REDD)
AND FOREST DEGRADATION (REDD)
Dosen Pengampu : Dewi Gunawati,
S.H., M.Hum.
Mata Kuliah : Pendidikan
Lingkungan Hidup
Disusun Oleh :
AGUS PRASETIYO
K6410002
PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
REDUCTION EMISSION FROM DEFORESTATION
AND FOREST DEGRADATION (REDD)
AND FOREST DEGRADATION (REDD)
A. DEFINISI
Deforestasi
adalah
perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia.
Degradasi hutan adalah penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok
carbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. (Draft Permenhut)
Pengetian REDD
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
(REDD)adalah kesepakatan internasional yang isinya adalah pemberian insentif
kepada negara sedang berkembang yang berhasil mengurangi tingkat emisinya yang
berasal dari deforestasi dan degradasi hutan Berdasarkan data world resources
institute menunjukan bahwa deforestasi menyumbangkan sebesar 18% terhadap gas
rumah kaca global dan 75% berasal dari negara sedang berkembang, dalam hal ini
berarti sebesar 82% gas rumah kaca dihasilkan bukan dari deforestasi hutan.
REDD (Reduction Emission
from Deforestation and Forest Degradation) merupakan penurunan emisi gas
rumah kaca (saat ini hanya terbatas
CO2) yang terjadi dari berhasilnya pencegahan tindakan konversi dan
kerusakan hutan. Emisi GRK akibat konversi dan kerusakan hutan terjadi karena
hilangnya cadangan karbon dari hutan dan lepas ke atmosfer dalam bentuk gas
rumah kaca baik melalui pembakaran biomass atau proses dekomposisi (pelapukan)
secara alami.
Emisi Referensi dalam REDD
•
Emisi referensi ialah tingkat
emisi yang terjadi dari kegiatan deforestasi dan kerusakan hutan apabila tidak
ada mekanisme kompensasi diberikan
dari tidak dilakukan tindakan konversi dan pencegahan kerusakan hutan tersebut
(bisa disebut sebagai Baseline).
•
Jadi Emisi Referensi merupakan
tingkat emisi yang akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan berapa besar
tingkat penurunan emisi yang berhasil dilakukan dari pencegahan kegiatan
konversi dan kerusakan hutan yang kemudian akan digunakan untuk menentukan
besarnya kompensasi yang akan diberikan.
Menentukan Emisi Referensi
(Baseline)
Saat ini pendekatan dalam menentukan emisi referensi masih akan
dinegosiasikan di COP13 di Bali, diantaranya :
o
Dengan cara memproyeksinya ke
depan mengikuti pola emisi historis
•
Isunya ialah berapa lama
periode waktu yang akan digunakan dan mulai dari tahun berapa?
o
Dengan cara membuat rata-rata
emisi historis dan mengasumsikan bahwa besar emisi ke depan sama dengan kondisi
rata-rata historis
•
Isunya ialah berapa lama
periode ke belakang yang akan digunakan dan mulai dari tahun berapa
o
Dengan membuat model pendugaan
emisi ke depan (mempertimbangkan kepadatan populasi, perkembangan kondisi
sosial ekonomi dll)
o
Pendekatan lain ialah dengan
menggunakan besar emisi atau stok karbon sebelum atau menjelang kegiatan REDD dilaksanakan
REDD di Indonesia (REDD-I)
Brazil dan Indonesia adalah dua negara teratas dalam hal berkurangnya
hutan per tahun masing-masing 1,87 juta ha/tahun. Indonesia menyumbang sekitar
22,86% dari luasan hutan di 10 negara berkembang. Indonesia dikategorikan
sebagai negara ketiga emisi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina,
akibat dari kebakaran hutan dan lahan gambut. Jika kebakaran hutan dan gambut
dikeluarkan Indonesia berada dalam ranking ke 21. Kajian tentang efek kebakaran
hutan dan lahan gambut pada 1997 memperkirakan sekitar 0,81-2,57 Gt karbon
dilepaskan ke atmosfir yang menyumbang sekitar 13-40% emisi global tahunan yang
berasal dari pembakaran bahan bakar fosil.
Indonesia termasuk negara
pendukung REDD, karena skema ini tidak hanya melakukan perlindungan terhadap hutan-hutan
yang ada dari deforestasi, tetapi juga memperbaiki hutan yang terdegradasi.
Negara lain hanya membatasi skema deforestasi saja (RED) dengan alas an sukar
untuk mengukur laju degradasi, dan bagaimana menilai keuntungan dari upaya
restorasi hutan.
Manfaat bagi Indonesia
Karena deforestasi dan
degradasi hutan menghasilkan emisi CO2, Indonesia memiliki manfaat yang
potensial dari REDD. Potensi nilai kredit karbon di Indonesia sangat besar.
Tetapi perhitungannya sangat bervariasi karena banyaknya ketidakpastian tingkat
berkurangnya hutan dan nilai-nilai yang mungkin tercakup dalam emisi karbon.
Dengan cara membagi dua rata-rata tahunan laju kehilangan hutan di Indonesia
antara 2000 dan 2005, perkiraan nilai karbon kreditnya berkisar antara ,5
sampai ,5 miliar per tahun. Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan dengan
anggaran belanja negara tahunan dari Departemen Kehutanan. Hal ini
memperlihatkan insentif ekonomi untuk menciptakan pendekatan-pendekatan yang
lebih baik dan lebih berkelanjutan bagi pemanfaatan sumber daya hutan.
B. FOKUS KAJIAN
1. Apa
itu REDD?
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation adalah
kesepakatan internasional yang isinya adalah pemberian insentif kepada negara
sedang berkembang yang berhasil mengurangi tingkat emisinya yang berasal dari
deforestasi dan degradasi hutan
Berdasarkan data world resources institute menunjukan bahwa
deforestasi menyumbangkan sebesar 18% terhadap gas rumah kaca global dan 75%
berasal dari negara sedang berkembang, dalam hal ini berarti sebesar 82% gas
rumah kaca dihasilkan bukan dari deforestasi hutan.
Hal terpenting yang berupa kesepakatan ini adalah menghasilkan
beberapa rencana berupa butir-butir yang dituangkan dalam Bali Action Plan,
adapun isi dari Bali Action Plan adalah sebagai berikut:
Negara maju harus memenuhi peningkatan pencapaian target penurunan
emisi dan membantu negara sedang berkembang dalam hal Capacity building,
Technology transfer dan financial. REDD dilaksanakan dengan asas sukarela dan menghormati kedaulatan Negara.
Dalam pelaksanaan dan
implementasi REDD perlu penguasaan aspek metodologi sesuai standard
internasional.
REDD diharapkan mampu mengatasi permasalahan lingkungan global yang
selama ini terjadi selain REDD juga terdapat beberapa kesepakatan internasional
yang membahas tentang lingkungan global ini.
2. Masalah
lingkungan
Masalah lingkungan yang dihadapi REDD adalah masalah deforestasi
hutan dan degradasi.
3. Bagaimana
kebijakan tersebut dapat mengatasi masalah lingkungan diatas?
Dalam kesepakatan REDD terdapat mekanisme yang secara jelas memberikan
insentif kepada negara berkembang untuk mengurangi emisi karbon dari
deforestasi dan degradasi hutannya, hal ini diharapkan mampu mengatasi masalah
negara berkembang yang selama ini menjadikan hutan sebagai sumber pendapatan
negaranya, REDD dapat dikatakan adalah sebuah solusi lingkungan global dimana
negara maju didorong dalam pelestarian hutan.
4. Apa
keuntungan negara maju dan negara berkembang?
Bagi negara maju, REDD mungkin tidak memberikan keuntungan berupa
materi jika dilihat dari segi perekonomian, karena merekalah yang justru
dianggap harus memberikan bantuan kepada negara berkembang dalam upaya
pelestarian hutan
Bagi negara sedang berkembang, REDD adalah solusi dimana selama ini
ada permasalahan yang dihadapi negara sedang berkembang adalah masalah biaya
konservasi lingkungan yang mahal, dengan adanya REDD ini diharapkan negara
berkembang mampu melestarikan lingkungan.
5. Apa
kendalanya?
REDD masih berupa rencana atau rancangan, tentu saja memilik
kendala. Diantaranya adalah:
·
Proporsi atau indikator
pencemaran yang masih belum jelas.
·
Adanya oportunitas hutan dan
insentif REDD
·
Persiapan masing-masing nergara
anggota yang belum juga selesai sampai saat ini
·
Dikhawatirkan adanya kecurangan
dalam implementasi
·
Belum adanya integrasi
penanganan masing-masing negara anggota
Opini kelompok:
Indonesia dan negara berkembang lainnya dirugikan dalam pembangunan
ekonomi nasional, REDD yang berjanji memberikan insentif kepada negara
yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi menurut kami
kesepakatan ini memberikan nilai posotif yang lebih kecil dibandingkan dengan
oportunitasnya. REDD meskipun berdasar atas sukarela namun seolah-olah memaksa
negara berkembang untuk ikut, dibuktikan dengan respon yang terjadi dimana
costa rica dan PNG mengajukan proposalnya, tanpa mengurangi harapan baik REDD
namun kita sebagai bangsa seharusnya juga bersifat kritis dalam hal kebijkan
jangan sampai justru merugikan bangsa sendiri dari segi perekonomian.
Insentif berupa Uang, Transfer teknologi dan daya pembangunan adalah
infrastruktur pendudkung REDD. Pertanyaannya adalah, kenapa 3 insentif
diberikan setelah negara berkembang berhasil mengurangi emisi? Siapa yang
menanggung biaya sebelum insentif diberikan? Bagaimana kalo gagal? Apa yang
dilakukan negara maju dengan lingkungannya?
MEKANISME DALAM MENGURANGI
DEGRADASI HUTAN
- Poin-poin penting untuk negosiasi politik
•
Putuskan definisi yang akan
diusulkan
•
Putuskan pendekatan yang digunakan
dalam penentuan baseline
- Hal yang berkaitan dengan kapasitas teknis
•
Putuskan sistem nasional dalam
menentukan baseline (National/sub-Nasional)
•
Putuskan metode untuk
pemantauan-perlu belajar dari negara lain yang sudah menerapkan
- Indonesia memiliki kemampuan untuk melakukan apapun yang perlu diperlukan
Inisitiatif Indonesia
Untuk menghadapi COP
ke-13, Indonesia membentuk Indonesian Forest Climate Alliance (IFCA) pada Juli
2007. Aliansi ini merupakan suatu forum komunikasi, koordinasi, dan konsultasi
bagi sekelompok ahli yang bergerak di bidang kehutanan dan perubahan iklim di
Indonesia, terutama untuk menganalisa praktek skema REDD di Indonesia.
Dikoordinatori oleh Departemen Kehutanan, IFCA beranggotakan pemerintah, sektor
swasta, masyarakat sipil, lembaga-lembaga saintifik dan mitra internasional.
IFCA ini didukung oleh pemerintah Australia, Jerman dan Inggris di bawah
koordinasi World Bank. Lembaga-lembaga lainnya yang berkontribusi yaitu dari
CIFOR dan ICRAF, The Australian Greenhouse Office, Australian National
University, Winrock Internationa, World Resource Institute, URS, Ecosecurities,
The Nature Conservancy, WWF, Sekala dan Wetlands
International.
Tindak lanjut COP 13 untuk REDDI
Indonesia melalui IFCA telah menetapkan Road Map REDDI yang terbagi ke
dalam 3 fase:
- Fase Persiapan/Readiness (tahun 2007/sebelum COP-13) untuk penyiapan perangkat metodologi/arsitektur dan strategi implementasi REDDI, komunikasi/koordinasi/konsultasi stakeholders, termasuk penentuan kriteria untuk pemilihan lokasi pilot activities,
- Fase Pilot/transisi (2008-2012): menguji metodologi dan strategi, dan transisi dari non-market (fund-based) ke mekanisme pasar (market mechanism), dan
- Fase Implementasi penuh (dari 2012 atau lebih awal tergantung perkembangan negosiasi dan kesiapan Indonesia, dengan tata cara (rules and procedures) berdasarkan keputusan COP dan ketentuan di Indonesia.
Departemen Kehutanan berharap bahwa proyek percontohan (demonstration activities) dapat
dilaksanakan antara tahun 2008 dan 2012, untuk mendapatkan proses pembelajaran
sebelum REDD dilaksanakan sebelum perjanjian pasca Kyoto dilakukan.
Proyek-proyek ini dilakukan dalam skala nasional, provinsi, kabupaten dan lokal.
REDD dan
REDD-plus
Salah satu mekanisme
pendanaan hutan yang ramai dibicarakan di forum-forum internasional adalah
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara
berkembang (REDD). Mekanisme ini dianggap
kurang sempurna karena deforestasi dan degradasi hutan memang mengurangi emisi
Gas Rumah Kaca (GRK) tetapi tidak meningkatkan kemampuan hutan itu sendiri
untuk melakukan sekuestrasi atau penyerapan karbon. Oleh karena itu muncullah
mekanisme REDD-plus
yang bukan hanya memberikan insentif untuk pengurangan deforestasi dan
degradasi hutan, tetapi juga peningkatan penyerapan karbon melalu konservasi,
pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan-cadangan karbon hutan di
negara-negara berkembang. Sementara itu, pendanaan untuk kegiatan aforestasi
dan reforestasi (A/R) sendiri telah lama dikenal melalu mekanisme Mekanisme
Pembangunan Bersih (CDM). Perbedaan
antara REDD, REDD-plus dan CDM dapat dilihat di tabel berikut:
Dimodifikasi dari Blaser
(2009)
Kemajuan REDD+ di
Kopenhagen
Terlepas dari kekecewaan
banyak pihak terhadap hasil perundingan di Kopenhagen, atau banyak juga
disebut-sebut sebagai “Brokenhagen”, perundingan tersebut berhasil menyepakati Copenhagen Accord
yang mendukung mekanisme REDD-plus. Di Copenhagen Accord, negara-negara maju
juga berkomitmen untuk menyediakan mobilisasi dukungan finansial sampai dengan
US$30 juta per tahun untuk periode 2010-2012 dan sebesar US$100 juta per tahun
di tahun 2020 untuk kegiatan-kegiatan mitigasi yang penerapannya dilakukan
secara transparan. Tingginya dukungan terhadap REDD-plus meningkatakan
keyakinan masyarakat luas bahwa mekanisme ini akan dapat disetujui di akhir
2010 nanti di Meksiko.
Hasil penting REDD-plus
lainnya dicapai di Kopenhagen melalui keputusan untuk memperpanjang mandat dari
Kelompok Kerja Ad-hoc untuk Aksi Kerjasama Jangka Panjang (AWG-LCA) selama satu
tahun. AWG-LCA adalah jalur negosiasi utama dimana pendekatan kebijakan dan
insentif untuk mengatasi perubahan iklim dibicarakan. Tabel berikut ini
menggambarkan hal-hal yang telah dan belum disetujui di Kopenhagen mengenai
REDD-plus.
Sumber: www.REDD-Net.org
(2009)
Kemajuan lain dari
REDD-plus di Kopenhagen adalah rancangan keputusan untuk panduan metodologis
REDD-plus, oleh Badan Tambahan sebagai Penasihat Teknologi dan Ilmiah (SBSTA)
yang menyadari pentingnya melibatkan masyarakat pribumi lokal dan mengembangkan
panduan untuk keterlibatan mereka dalam pengawasan dan pelaporan. Namun
sayangnya rancangan keputusan ini masih belum membuat rujukan langsung terhadap
hak-hak masyarakat pribumi.
Menyongsong Mekanisme Pendanaan Hutan : REDD-Plus
Tingkat penebangan hutan
di Indonesia merupakan masalah yang sangat pelik dan memprihatinkan hingga
Greenpeace dalam laporannya di 2007 menyatakannya sebagai “pemicu bom iklim”.
Lebih dari 2 juta hektar hutan Indonesia terbabat setiap tahunnya. Ini berarti
untuk setiap detiknya, lebih dari hutan seluas 30 lapangan sepakbola hilang.
Menyadari fungsi hutan
yang sangat penting bagi kehidupan manusia, masalah deforestasi ini telah
menjadi perhatian dunia. Masyarakat global pun mulai meyadari bahwa masalah
deforestasi bukanlah tanggung jawab Indonesia semata, melainkan tanggung jawab
global. Pemeliharaan hutan kerap kali berkonflik dengan kepentingan
ekonomi negara dan masyarakatnya. Oleh karena itu dibutuhkan sistem pendanaan
di mana masyarakat global bisa menyediakan pendanaan untuk Indonesia dan
negara-negara hutan tropis lainnya menjaga kelestarian hutan. Hal ini sangatlah
masuk akal mengingat hutan memiliki peran penting dalam penyerapan karbon yang
dapat membantu memitigasi emisi karbon penyebab perubahan iklim, yang merugikan
seluruh masyarakat global.
Kesiapan
Indonesia dalam Menyongsong REDD-plus
Pada bulan Mei 2009,
Departemen Kehutanan Indonesia memasukkan rencana kesiapan REDD nasional, yang
disebut juga sebagai R-Plan kepada UNFCCC. Rencana tersebut menjabarkan 3
langkah kerja dari pemerintah Indonesia, yaitu:
- Meningkatkan kepercayaan dan kesiapan dengan cara: mengimplementasikan kebijakan Kementrian Kehutanan untuk membuka dan mengundang publik untuk mencermati peta dan informasi yang telah dipersiapkan melalui proyek FOMAS dan FRIS dan INCAS; mengaktivasi sistem pelacakan kasus national yang berpusat di Kementrian Kehutanan dan berkoordinasi dengan polisi dan kejaksaan untuk meluncurkan satuan tugas antar-departemen tingkat tinggi di bawah kekuasaan Presiden untuk menyelidiki dan menginvestigasi pelaku utama dan penyedia keuangan dalam kegiatan pembalakan liar dan kejahatan terkait.
- Meningkatkan akuntabilitas dengan mewajibkan keterbukaan di kalangan anggota kabinet yang memegang kepentingan keuangan di wilayah terkait hutan dan bisnis terkait untuk mengurangi potensi interferensi politik dan konflik kepentingan; menghilangkan digunakannya pendapatan hutan sebagai sumber pendanaaan partai politik, dan membuat pemerintah dan perusahaan daerah memenuhi standar khusus dan indikator pemerintahan yang baik untuk berpartisipasi dalam REDD; mempertimbangkan pendeklarasian prinsip-prinsip dan praktek yang harus dianut oleh politisi, partai politik dan asosiasi bisnis untuk mendukung pemerintahan kehutanan yang baik dan tujuan dari REDD; mengupayakan kepatuhan terhadap kebijakan dan peraturan bagi pemegang konsesi hutan untuk menerapkan rencana yang dapat mengurangi pencurian kayu dan perusakan lingkungan melalui kebakaran dan praktek penebangan.
- Mengamankan pembayaran dan pasar REDD dengan mempertimbangkan pengadopsian peraturan nasional di sektor keuangan yang mengharuskan prosedur due diligence untuk Individu yang Terekspos secara Politik (PEPs) untuk membatasi kegiatan finansial dari PEPs yang terlibat dalam korupsi dan kejahatan terkait hutan; meningkatkan kerjasama dengan rekan internasional Indonesia di perdagangan dan investasi hutan untuk meningkatkan reformasi FLEG, mengatasi reformasi peradilan dan upaya anti korupsi di sistem peradilan melalui pelacakan kasus dan pengawasan publik, tindakan konsumen dan peningkatan kapasitas institusi.
Walaupun submisi R-plan
dari Guyana dan Panama diterima setelah adanya permintaan revisi, submisi
R-plan Indonesia ditolak. Sepakat dengan UNFCCC, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga
menyatakan keprihatinannya atas submisi Indonesia ini. AMAN berpendapat bahwa
Indonesia belum siap untuk melaksanakan REDD-plus, khususnya dari segi
peraturan nasional. Dalam masukannya kepada Menteri Kehutanan MS. Kaban pada
bulan Mei 2009, AMAN menjabarkan bahwa Undang-undang Kehutanan nomor 41 tahun
1999 dan rancangan peraturan prosedur pengimplementasian REDD tahun 2008 gagal
dalam mengenali hak-hak masyarakat adat. Lebih lanjut lagi, kedua peraturan
tersebut dinilai oleh Komite Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Penghapusan
Diskriminasi Ras (CERD) melanggar hak kepemilikan hutan masyarakat adat.
Menurut Abdon Nababan,
Sekretaris Jendral AMAN, Indonesia bahkan masih memandang hutan adat sebagai
hutan negara di wilayah adat. Ketidakjelasan hukum, khususnya dalam kepemilikan
hutan, menjadikan Indonesia belum siap untuk melaksanakan REDD-plus.
Selanjutnya, ia mengemukakan bahwa tanpa adanya pembenahan peraturan di dalam
negeri, Indonesia hanya akan menjadi bulan-bulanan di level
internasional. Perkembangan dari situasi inilah yang menarik untuk
ditunggu.
LSM Indonesia
khawatir HTI dan perkebunan sawit masuk ke dalam skema pengurangan emisi dari
deforestasi dan kerusakan hutan.
Dalam Pertemuan
Para Pihak (COP) 15 Kerangka Kerja Konvensi Perubahan iklim (UNFCCC) di
Kopenhagen, Denmark, persoalan Reducing Emission from Deforestation and Forest
Degradation (REDD) dan REDD+, yakni semacam pemberian intensif (kompensasi
finansial) kepada negara-negara berkembang yang mampu mengurangi emisi dari
pengurangan deforestasi atau dari upaya mempertahankan hutan, menjadi salah
topik pembahasan yang hangat. Ada kekhawatiran naskah keputusan akan memasukkan
HTI dan kebun sawit masuk dalam skema REDD+.
Masuknya HTI
dan kebun sawit dalam mekanisme REDD+, menurut Teguh Surya dari Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dapat dilihat dari definisi hutan yang
digunakan dalam pembahasan naskah negosiasi yang mengadopsi definisi hutan FAO.
Di mana di dalam pengertiannya, wilayah dengan penutupan vegetasi pohon lebih
dari sepuluh persen dapat diklasifikasikan sebagai hutan. Sehingga perkebunan
monokultur skala besar seperti perkebunan sawit dan HTI bisa dianggap hutan.
“Kan ini
celaka, masa kebun sawit dan HTI masuk dalam REDD+. Alasan mereka bahwa setelah
menebangkan, mereka melakukan penanaman. Padahal gara-gara HTI dan kebun
sawitlah hutan alam luluh lantak. Keputusan ini seperti ditunggangi perusahan,”
ungkap Teguh Surya, usai menjadi pembicara pada Media Clinic – What’s a Forest
Worth? Di ruang Asger Jorn, Bella Center, Kamis (10/12) lalu.
Kekhawatiran
yang sama juga diungkapkan oleh Rahmat Hidayat, Direktur Warsi Jambi.
Menurutnya, masuknya HTI dan kebun sawit agar berpotensi alih fungsi lahan dari
hutan ke perkebunan dan HTI akan semakin tinggi.
Namun tuduhan
LSM itu dibantah oleh Ketua Kelompok Kerja Alih Guna Lahan dan Kehutanan
(LULUCF) Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Doddy S Sukadri, Jumat (11/12)
petang waktu setempat.
Menurutnya “plantation”
yang disebut-sebut dalam pembahasan COP15 di Kopenhagen adalah penanaman pohon
kehutanan dan itu berarti tidak termasuk tanaman sawit dan akasia atau
eucalyptus. “Plantation yang dimaksud itu seperti Gerhan (Gerakan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan – Red). Jadi tanaman kehutanan,” ungkapnya.
Doddy juga
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan REDD+ meliputi hutan konservasi,
manajemen hutan berkelanjutan, dan peningkatan kapasitas penyerapan karbon. Di
mana yang dimaksud dengan menajemen hutan berkelanjutan contohnya upaya
pencegahan ilegal
logging dan peningkatan penyerapan karbon seperti intensif
penanaman di dalam kawasan hutan sehingga lebih banyak tutupan kanopi hutan.
Upaya
Penurunan Emisi dalam Pasar Domestik Karbon Sukarela
Melihat
perkembangan politik negara-negara, pemahaman yang beragam dan dorongan kuat
dari perkembangan pasar karbon global, serta upaya untuk membantu Pemerintah RI
dalam mengurangi emisi CO2, maka perlu segera dibangun berbagai inisiatif
cerdas, sederhana, tepat dan cocok untuk kondisi di Indonesia..
Pemikiranmembangun konsepsi, kebijakan dan mekanisme pengurangan emisi atau
perdagangan karbon melalui pasar yang non-compliance, merupakan pemikiran yang
dilandaskan bahwa mekanisme pengurangan emisi CO2 tidak hanya bisa dilakukan
melalu compliance
market.
Tulisan
Pemikiran Konsepsi ini bertujuan untuk membuka perspektif para pihak untuk
memikirkan mekanisme/skema perdagangan karbon melalui pasar non-compliance atau
lebih tepat disebut sebagai pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) di pasar
domestik.
Pemikiran ini
dilandaskan adanya statement international dari Indonesia terhadap pengurangan
emisi Karbon sebesar 26 persen pada tahun 2020, dimana sector kehutanan
diwajibkan untuk menurunkan sebesar 14 persen. Penurunan ini tidak serta
merta dilakukan melalui skema mitigasi dan adaptasi yang masih terus menjadi
bahan diskusi dan wacana serta pemahaman yang berbeda.
Logika
penurunan emisi yang harus dibangun harus dimulai dari dua titik pada aspek
pasar, suplay dan demand. Titik ini menjadi hal yang masuk akan dengan
mencoba menjabarkan pemehaman yang sederhana, yakni :
1)
Potensi emisi yang dihasilkan oleh industri.
- Perkembangan sektor transportasi, pertambangan, industri kimia, Perusahaan Listrik Negara dan industri lainnya, telah menyumbangkan emisi yang belum dihitung melalui perhitungan carbon foot print dan mekanisme monitoring terhadap penggunaan tehnologi yang ramah lingkungan;
- Pengurangan emisi karbon yang dihasilkan oleh industri dapat dilakukan melalui alih tehnologi dan konpensasi dengan pembelian Sertifikat Pengurangan Emisi di pasar sukarela. Artinya industri dapat memacu terbukanya pasar karbon sukarela di Indonesia
2)
Potensi penyerapakan karbon (CO2) oleh hutan yang dikelola oleh Rakyat
(termasuk Hutan Desa).
-
Pengelolaan jangka panjang dengan kepastian tenurial dan yang sudah terbukti
dengan kearifan tradisional oleh kelompok masyarakat;
- Terkelola dengan baik, dapat dijaga dari kebakaran dan pencurian kayu, memiliki nilai keanekaragaman hayati dan diversifikasi dari jenis pohon;
- Pemilik tinggal di sekitar hutan dan memiliki resiliensi ekonomi yang tinggi pada hasil hutan bukan kayu.
- Masyarakat umumnya berada di bawah garis kemiskinan, tidak memiliki akses pada pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta akses ke pasar
Dari kedua hal
di atas, maka logika penuruan emisi melalui skema pasar karbon sukarela, dapat
dibangun dalam negara. Alur di bawah memperlihatkan skema yang paling
mungkin dibangun.
Langkah awal
yang harus dipastikan dalam pengembangan inisiatif yang meyakinkan bahwa
- Adanya perkembangan pemahaman bersama para pihak terhadap mekanisme yang paling mungkin dikembangkan di Indonesia, melalui pemikiran mekanisme pasar karbon sukarena di pasar domestik;
- Terbentuknya pasar domestik untuk perdagangan karbon yang secara khusus akan dicoba untuk diterapkan dengan melibatkan perusahaan Negara (BUMN), baik yang secara langsung dengan sektor yang berkaitan dengan emisi karbon, maupun perusahaan BUMN lainnya. Manfaat dari mekanisme ini antara lain adalah agar perdagangan karbon dapat dilaksanakan secara domestik di Indonesia, dan BUMN yang terkait dapat memperoleh keuntungan yang lebih baik daripada mengikuti pasar karbon di luar negeri.
PEMBERIAN ISENTIF
Komitmen
Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 26 persen pada tahun 2020 dari kondisi
Business As
Usual (BAU) yang dinyatakan oleh Presiden RI dalam Konferensi
Tingkat Tinggi Pemimpin negera-negara yang tergabung dalam G-20 di Pittsburgh
(USA) pada tanggal 25 September 2009, telah membangkitkan pertanyaan dari
berbagai pihak tentang bagaimana mengimplementasikannya. Hal ini terjadi
karena belum adanya kejelasan tentang bagaimana pengurangan emisi tersebut akan
dicapai, dan distribusi secara proporsional kepada sektor-sektor yang
diprediksi menyumbangkan emisi GRK pada umumnya dan CO2 pada khususnya.
Dalam ranah
kebijakan dan politik lingkungan, telah lama disadari perlunya dipikirkan
sebuah merit system
yang menjanjikan sistem
insentif yang menarik secara ekonomi bagi siapa saja (masyarakat,
pemerintah, swasta) yang berinisiatif untuk mempertahankan atau sebisanya
memperluas kawasan hutan. Ekspektasinya sangat sederhana yakni, makin luas
sebuah kawasan hutan maka makin tinggi jumlah atau intensitas tegakan (pohon)
yang ada di dalamnya, sehinga makin besar pula daya-serap atau
“daya-tangkap”nya terhadap karbon bebas yang terlanjur terhambur di alam karena
proses pembakaran fossil-fuel.
Dengan sistem insentif yang pantas tersebut, maka siapapun diharapkan akan
termotivasi untuk melakukan penyelamatan hutan, meningkatkan stok karbon di
hutan, dan mengurangi pemanasan global. Insentif tersebut selain memotivasi
juga dianggap sebagai mekanisme yang fair dan berkeadilan.
Pemberian
insentif kepada siapa saja yang berinisiatif menyelamatkan hutan (dan
karenanya menambah akumulasi stok karbon di bumi) menjadi makin perlu dilakukan
mengingat, makin hari luasan hutan makin berkurang. Di Indonesia saja dalam 10
tahun terakhir ini tercatat laju deforestasinya (pembabatan hutan) mencapai 1.3
juta ha per tahun. Apabila kandungan karbon hutan di Indonesia
diperhitungkan sekitar 150 ton C per ha, maka proses deforestasi tersebut
setara dengan dihasilkannya laju emisi (historis) sekitar 715 juta
ton CO2 per tahun[1].
Artinya, aktivitas pembongkaran stok karbon dari hutan melalui deforestasi
secepat itu setiap tahunnya, akan setara dengan aktivitas yang menghasilkan
pengotoran atmosfer setara dengan CO2 sejumlah 715 juta ton per tahun. Jumlah
setara GRK tersebut akan semakin bertambah besar bila emisi GRK lain
diperhitungkan seperti NOx dan CH4, sebagai akibat perubahan ekosistem hutan ke
non hutan (Prasetyo, 1998, Saito, 1999 dan Prasetyo, 1999). Jumlah
tersebut sangat signifikan untuk menyumbangkan pemanasan global, sehingga tidak
ada alasan lain kecuali menghentikan atau paling tidak mengurangi laju
deforestasi di Indonesia melalui berbagai cara (Boer, 2008).
Untuk
Indonesia, penurunan derajat deplesi karbon, meningkatan akumulasi stok
karbon dan menurunan emisi gas rumah kaca (CO2) secara sekaligus yang
penting dan workable
dalam jangka pendek dan menengah adalah melalui pencegahan konversi hutan (’deforestasi‘)
dan degradasi hutan (’degradasi’) melalui skema REDD (Reduction Emissions from Deforestation
and Forest Degradation) maupun voluntary carbon market. Hal ini
disebabkan karena insentif negara-negara didunia untuk penurunan emisi
menggunakan mekanisme atau Stuktur Global Carbon Market.
Insentif Akan Dibayarkan Melalu Mekanisme Pasar
Secara
struktur, insentif akan dibayarkan melalu mekanisme pasar dengan 2 skema yang
dapat dikembangkan yaitu:
- Skema pendanaan untuk kegiatan-kegiatan pencegahan-pencegahan deforestasi dan dukungan terhadap kegiatan konservasi dan pengelolaan hutan lestari di kawasan hutan negara (yang di Indonesia meliputi areal ± 126 juta ha atau ± 62% dari luas daratan Indonesia). Skema ini terutama melibatkan hubungan-hubungan government to government, melalui mekanisme REDD.
- Skema perdagangan untuk mengapresiasi upaya-upaya pembangunan hutan tanaman dan restorasi hutan (pembangunan stock) yang di beberapa daerah di Indonesia sedang meningkat kecenderungannya, terutama di Pulau Jawa. Skema ini terutama melibatkan secara langsung antara korporasi/pemerintahan/komunitas dengan masyarakat dan entitas bisnis lainnya, melalui mekanisme voluntary carbon market.
Dari berbagai
mekanisme yang ditawarkan tersebut di atas pertanyaan yang muncul saat ini
adalah apakah mekanisme ini masuk akal dan dan semua pemberian kompensasi dan
perdagangan karbon dapat dicapai melalui mekanisme ini?
Hutan
Desa: Peluang masuk pada Skema REDD atau Perdagangan Karbon Sukarela
Gagasan otonomi
desa berpijak pada semangat good governance. Tata pemerintahan jenis itu berpedoman
pada efisiensi, efektifitas, transparansi, akuntabilitas dan demokratisasi
nilai-nilai kerakyatan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan. Pada sisi
mekanisme pendanaan pemerintahan desa, proses yang dikerjakan adalah bagaimana
desa mengelola aset sumberdaya alam secara bijaksana dan berkelanjutan.
Penguatan basis ekonomi rakyat yang bersumber aset desa merupakan pilihan
menuju kemandirian. Pilihan tersebut juga di ambil untuk menciptakan ruang bagi
peran masyarakat dalam proses pembangunan.
Hutan desa
merupakan salah satu pilihan atau sumber kemandirian pendanaan otonomi desa
jangka panjang. Dalam konteks ini, hutan desa diupayakan menyeimbangkan tiga
aspek: ekonomi, ekologi dan equity (keadilan). Pilihan-pilihan komoditi dalam unit usaha
hutan desa harus diperhitungkan secara matang. Bukan saja dalam skala ekonomi
rumah tangga jangka pendek tapi juga efek jangka panjang. Usaha itu memerlukan
estimasi nilai ekonomi melalui pembagian manfaat (benefit sharing) yang cukup
adil. Pasar yang lebih sehat dan terbuka dalam era desentralisasi membuat hutan
desa berpotensi bagi kehidupan masyarakat. Dalam jangka panjang, hutan juga
berfungsi bagi ekologi. Sehingga dalam tata kelolanya faktor profesionalisme
pengelolaan adalah syarat yang tak bisa ditawar.
Sebagai aset
desa, pengembangan hutan desa memerlukan enam pra-syarat:
- Kepastian wilayah kelola jangka panjang. Kepastian ini berkaitan dengan legalitas lahan dan akses masyarakat pada kawasan yang berstatus Hutan Negara serta kawasan lain yang berbeda status dan fungsi lahannya.
- Adanya Kelembagaan Usaha Kehutanan Masyarakat (UKM).
- Kepastian Usaha Kehutanan Masyarakat. Kepastian UKM berkaitan dengan skema ekonomi pengembangan hutan desa. Unsur-unsur seperti modal, pengetahuan lokal, akses informasi, pengembangan komoditi, dan pasar menjadi substansi dasar dalam praktik UKM di hutan desa.
- Kapasitas sumberdaya manusia. Untuk pengembangan hutan desa sumberdaya manusia pengelola dan pendamping teknis yang berkualitas menjadi kebutuhan dasar baik pengetahuan ekonomi, ekologi maupun equity (dalam risk and benefit sharing).
- Mekanisme penyelesaian sengketa lahan dan sosial dalam memberikan kepastian dan perlindungan hak pengelolaan dan UKM.
- Kebijakan yang mendorong dan melindungi kepastian hak pengelolaan dan UKM jangka panjang.
Enam pra-syarat
tersebut merupakan basis pengembangan hutan desa dan syarat mutlak menuju
kemandirian keuangan desa bersumber hutan. Manajemen hutan desa di atas dapat
diformulasikan secara bertahap melalui proses local governance dan kepastian pada hak
pengelolaan jangka panjang.
Dikaitkan
dengan konpensasi dari skema REDD dan landasan untuk masuk ke dalam perdagangan
Karbon sukarela, ke enam hal diatas merupakan landasan jaminan bagi Hutan Desa
untuk masuk kepada skema keduanya. Dalam Skema REDD, menjadi penting
kelembagaan Hutan Desa disiapkan untuk memastikan perencanaan dan operasi Hutan
Desa yang dapat mengurangi laju kerusakan hutan dan penurunan degradasi hutan,
melalui perencanaan pengelolaan jangka panjang yang lestari.
Peran
Pemerintah Daerah
Proses
pembangunan mekanisme, baik Skema REDD dan Perdagangan Karbon Sukarena, tidak
dimulai dari nol, dalam arti sudah banyak inisiasi yang dilakukan berbagai
pihak di Indonesia dapat digunakan untuk mempercepat terbangunnya pasar Karbon
domestic.
Dalam waktu 2
(dua) tahun, Tahun 2012, pasar karbon sukarela domestik dipastikan dapat
terbangun dan beroperasi di Indonesia, dengan melihat peluangnya bahwa
Indonesia dapat melakukan skema PDKS untuk memastikan adalanya penurunan emisi
oleh Industri dan pengelolaan hutan.
Peluang ini
seharusnya dapat ditangkap oleh Pemerintah Daerah untuk dapat dipastikan
terlibat dalam penyiapanya, dengan langkah-langkah:
- Mengevaluasi semua kebijakan kehutanan daerah yang berkaitan dengan perbaikan Forestry Governance dan segera mungkin memastikan Pengelolaan Hutan berbasiskan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai langkah kepastian pengelolaan hutan jangka panjang di daerah.
- Bekerjasama dengan multipihak di daerah untuk menyusun potensi pool of carbon, carbon stock dari kawasan hutan alam, Taman Nasional, Hutan Desa, Hutan Lindung dan hutan di luar kawasan hutan. Perhitungan juga berasal dari semua upaya yang telah dilakukan Pemerintah seperti One Man One Tree, Gerakan Menanam dan keberadaan Hutan Rakyat di luar Kawasna Hutan.
- Bekerja sama dengan pihak-pihak Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, LSM dan lainnya dalam penyusunan criteria dan indicator perhitungan carbon certification yang cocok untuk daerahnya dan dipadukan dengan persyaratan pasar Nasional dan Internasional.
- Menetapkan dan mendaftarkan lokasi dan hitung volume karbon, parsel/cluster, lokasi (GIS), biomas, total pengendapan, formula akutansi, yang menjadi data base di daerah (tingkat propinsi).
- Menetapkan baseline berdasarkan pengukuran base tahunan dan perubahan stock karbon tiap tahun.
- Menyelesaikan kepastian ijin dan areal untuk semua inisiatif pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Community Based Forest Management - CBFM).
Hal-hal di atas dapat
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan melakukan mobilisasi sumberdaya di
daerah dan potensi kerjasama dalam pengembangannya. Disamping memastikan
penataan ruang wilayah kelola hutan yang pasti untuk jangka panjang, karena
persoalan sengketa tumpang tindih penggunaan lahan masih menjadi isu crusial
yang dapat mempengaruhi pelaksanaan persiapan mekanisme penurunan emisi dan
pasar karbon/
Studi baru oleh
"Center for International Forestry Research" (CIFOR)
CIFOR
mengingatkan bahwa dukungan baru terhadap REDD (Reducing Emission from
Deforestation and Degradation) terancam oleh kegagalan dalam pergulatan soal
akar penyebab deforestasi.
"Adalah
berbahaya jika para pembuat keputusan gagal melihat bahwa pengrusakan hutan
disebabkan oleh masalah politis, ekonomi dan sejenisnya yang berasal dari luar
sektor kehutanan," kata Dirjen CIFOR Frances Seymour, pada Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua,
Bali, Jumat.
Artinya, menurut CIFOR, masing-masing
kawasan hutan membutuhkan solusi berbeda. Ia mencontohkan, untuk menghentikan
penggundulan hutan (deforestasi) di Indonesia berbeda dengan deforestasi di
Amazon atau degradasi (pengrusakan) hutan di sub-Sahara Afrika.
Indonesia yang diperkirakan kehilangan 1,9
juta hektar hutan per tahun, lanjut dia, merupakan satu dari sumber emisi
karbon dunia yang berhak atas harga sawit global atau untuk memenuhi permintaan
China akan bubur kayu.
"Ini menjadi tekanan yang mendorong
deforestasi pada lahan gambut kaya karbon untuk kepentingan ekonomi, yakni
harga minyak sawit dan perkebunan penghasil bubur kayu," katanya.
Oleh karena itu, pembatasan deforestasi di
lahan gambut Indonesia seharusnya mendapat prioritas tinggi karena karbon yang
hilang per hektar sangat substansial, kata Seymour.
Sementara itu, CIFOR mencatat di Afrika
Selatan kehilangan 4,3 juta hektare per tahun didorong oleh kebutuhan konsumsi
daging atau konversi hutan ke ladang peternakan, atau di Ekuador di mana
pembangunan jalan menjadi penyebab utama deforestasi, sementara di Sub Sahara
Afrika ekstrak minyak kayu dan produksi arang adalah faktor di belakang
hilangnya 4 juta hektar hutan per tahun.
Penulis laporan itu, Markku Kanninen,
mengatakan bahwa kebijakan untuk menghentikan deforestasi butuh dikhususkan
dalam berbagai situasi lokal dan aktivitas target di area tersebut seperti
pertanian, transportasi, dan uang yang berada di luar sektor kehutanan.
Ia juga melihat soal penggundulan hutan
diarahkan melalui insentif keuangan yang dikompensasikan kepada pemilik lahan
untuk jasa lingkungan yang saat ini nilainya dalam pasar karbon mencapai
miliaran dolar Amerika Serikat (AS).
"Memang insentif bagi pemilik lahan
cukup untuk menghentikan deforestasi, namun apakah melalui insentif REDD ini
bisa mencukupi keputusan politik dan ekonomi di level nasional untuk tidak lagi
mendorong deforestasi,"katanya.
CIFOR menemukan bahwa cukup banyak
kesempatan untuk mengurangi emisi karbon jika insentif keuangan mampu menyentuh
realitas politik dan ekonomi penyebab deforestasi.
Menurut CIFOR perlu perhitungan hati-hati
untuk mengungkapkan tekanan penyebab deforestasi seperti fluktuasi harga
komoditas internasional, pertanian, subsidi biofuel, hingga proyek
infrastruktur. Apalagi jika pemerintahannya korup dan mengutamakan kepentingan
perusahaan besar dibanding hak masyarakat.
CIFOR mengharapkan pembuat keputusan
belajar dari masa lalu tentang sektor kehutanan utuk mengatur kegagalan pasar
dan kegagalan pemerintah yang mendorong rantai dari puncak deforestasi.
Laporan ini diluncurkan dalam rangka agenda
mengurangi 1,6 miliar ton emisi karbon yang disebabkan deforestasi setiap tahun
yang jumlahnya satu per lima emisi karbon global, serta lebih daripada nilai
total yang disumbang sektor transportasi.
Studi terlihat berkaitan dengan yang
diketahui tentang penyebab kehilangan 13 juta hektar hutan tiap tahun untuk
menjanjikan dan potensial menjadi perangkap skema REDD.
Reducing emission from
deforestation and degradation (REDD) jadi isu yang
hangat dibicarakan di Indonesia setelah Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim
di Bali Desember 2007.
Skema ini dapat diartikan
sebagai pemberian insentif atau kompensasi finansial kepada negara-negara yang
berkeinginan dan mampu mengurangi emisi dari deforestasi. Skema ini muncul
sebagai alternatif baru dalam kerangka negosiasi mitigasi atau pengurangan
gas-gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.REDD di
Indonesia sebagai konsep palsu.Pembicaraan tentang REDD terlalu berfokus pada
uang. Kedua, belum cukup terlihat responsibilitas pihak Indonesia mengurangi
emisi. Ketiga, konsep skema REDD belum memperhatikan isu keadilan. Keempat,
Indonesia terlalu bergantung pada lembaga asing dalam hal pendanaan pada proyek
REDD. Padahal hutan tidak hanya karbon, masih ada aspek hidrologi,
biodiversity, dan mata pencarian masyarakat.
REDD seharusnya menggabungkan
konsep efisiensi dan keadilan. Sayangnya, kita terlalu berfokus pada konsep
atau isu efisiensi, sehingga terjebak pada konsep REDD yang palsu. Sementara
perbedaan di antara dua konsep itu, yakni Konsep keadilan merujuk pada
inisiatif lokal, berpikir dalam jangka panjang, dan menghargai kearifan lokal.
Solusi lokal ini memasukkan konsep adaptasi perubahan iklim bagi warga sekitar.
Berbeda dengan konsep efisiensi, yang pertama-tama bicara soal ancaman. Jika
tidak ada ancaman, tak ada uang. Ancaman terhadap hutan alam dan kondisi
lingkungan. Untuk mendapatkan uang, mereka menaikkan tingkat ancaman. Pada
pasar bebas, kita dapat menjual ke siapa pun juga, namun yang punya bargaining
position kuat, dia yang menang. Nah, ancaman jadi salah satu bargaining position.
Saya tidak anti-pasar. Namun sulit sekali memberlakukan mekanisme pasar untuk
isu lingkungan.
Kalau harga 1 kilogram mangga atau durian itu jelas. Namun, kalau lingkungan, belum ada yang bisa menjelaskan harga satu unit lingkungan.
Kalau harga 1 kilogram mangga atau durian itu jelas. Namun, kalau lingkungan, belum ada yang bisa menjelaskan harga satu unit lingkungan.
Skema distribusi pembayaran
• Rekening/ kas desa untuk pembangunan masyarakat desa.
• Rekening perorangan/ kelompok untukpatroli dan perlindungan hutan.
• Dana alokasi khusus bagi Pemda untuk pengelolaan proyek.
• Pembiayaan untuk kegiatan pendampingan teknis.
• Pembiayaan simpan pinjam untuk pengembangan usaha kecil.
• Pembiayaan untuk pemantauan dan penegakan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar