PELANGGARAN
PILKADA 2005 DI INDONESIA
Dosen Pengampu : Drs. Suyitno, M.Pd.
Mata Kuliah : Bahasa
Indonesia
disusun oleh :
Nama : Agus Prasetiyo
NIM : K6410002
Prodi :
Pendidikan Kewarganegaraan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat
tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran serta rakyat Indonesia dalam
melaksanakan Pemilihan Umum baik yang dilaksakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ini terlihat
dari jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya yang sedikit. Pemilihan
umum ini langsung dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden serta anggota DPR,
DPD, DPRD Tingkat I dan II di tahun 2004. Walaupun masih terdapat
masalah yang timbul ketika waktu pelaksanaan, tetapi masih dapat dikatakan sukses.
Setelah suksesnya Pemilu pada tahun 2004, mulai bulan Juni 2005 lalu di 226
daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kotamadya, diadakan Pilkada
untuk memilih para pemimpin daerah
(Gubernur, Bupati dan Walikota). Sehingga warga dapat
menentukan pemimpin daerah sesuai
dengan hati nuraninya sendiri tanpa ada pengaruh maupun paksaan dari pihak
lain. Tidak seperti tahun tahun yang dahulu yang
menggunakan perwakilan dari partai politik. Namun dalam pelaksanaan pilkada ini
muncul penyimpangan-penyimpangan. Mulai dari masalah administrasi bakal calon sampai
dengan yang berhubungan dengan daftar
pemilih.
B. Rumusan Masalah
Dalam tugas pembuatan makalah mata kuliah Bahasa Indonesia,
penyusun membahas mengenai masalah pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan
secara langsung di Indonesia, didapatkan rumusan masalah yang akan dibahas
dalam analisis pembahasan makalah ini. Rumusan masalah tersebut sebagai berikut: “Permasalahan-permasalahan
seperti apakah, yang terjadi pada proses penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah secara langsung di Indonesia?”.
C. Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah yang membahas tentang
permasalahan yang timbul dari pilkada langsung di Indonesia sebagai berikut: untuk mengetahui
permasalahan-permasalahan yang muncul dan terjadi dari proses penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah secara
langsung di Indonesia dan untuk memberi saran kepada
semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada, bagaimana sebaiknya
permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan cara yang benar dan tepat. Sehingga dapat terlaksananya pemilu ysng luber
(langsung, umum, bebas, rahasia) dan jurdil (jujur dan adil).
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN
KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN
A. KAJIAN TEORI
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti
pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari rakyat dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya pada rakyat.
Semua anggota masyarakat (yang memenuhi syarat ) diikutsertakan dalam kehidupan
kenegaraan dalam aktivitas pemilu. Pelaksanaan dari demokrasi ini telah
dilakukan dari dahulu di berbagai daerah di Indonesia, hingga Indonesia merdeka
sampai sekarang ini. Demokrasi di negara Indonesia bersumberkan dari Pancasila
dan UUD 1945 sehingga sering disebut dengan Demokrasi Pancasila. Demokrasi
Pancasila berintikan musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak
pada paham kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Indonesia pertama kali dalam melaksanakan
Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai politik ataupun
perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara
langsung untuk memilih wakil-wakil rakyat serta Presiden dan wakilnya. Dan
sekarang ini mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah
atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan
kedaulatan rakyat di Indonesia.
Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada
langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
1.
Pilkada langsung merupakan
jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden, DPR, DPD, DPRD Tingkat I dan II bahkan kepala desa selama ini telah
dilakukan secara langsung.
2.
Pilkada langsung merupakan
perwujudan konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945). Seperti telah diamanatkan Pasal 18
Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kotamadya dipilih secara
demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
3.
Pilkada langsung sebagai sarana
pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi
media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat
membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin
yang benar sesuai nuraninya.
4.
Pilkada langsung sebagai sarana
untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga
ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan
dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan
tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan susai dengan kebutuhan masyarakat daerah setempat.
5.
Pilkada langsung merupakan
sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau
tidak, jumlah kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk
Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki
hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang
memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional
justru dari pilkada langsung seperti ini.
B. PEMBAHASAN
Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226
wilayah yang tersebar dalam 11 provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat
memilih kepala daerah masing-masing secara langsung dan sesuai hati nurani
masing-masing. Dengan begini diharapkan kepala daerah yang terpilih merupakan
pilihan rakyat daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh
Komisi Pemilihan Umum Daerah masing-masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu mengatur
pelaksanaan pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis, luber dan jurdil. Mulai
dari proses
seleksi bakal calon peserta pemilu, persiapan dan distribusi kertas suara, hingga pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara pilkada serta penetapan pemenang pemilu.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang
timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijazah palsu oleh bakal calon. Hal ini
sangat memprihatinkan sekali . Seandainya calon tersebut dapat lolos bagai mana
nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup.
Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga
biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak ikhlas ingin memimpin
maka tidakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat
segera kembali atau “balik modal”. Ini sangat berbahaya sekali bagi sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan
ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima
kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk
mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor
KPUD salah satu provinsi di pulau Sumatera. Hal ini membuktikan sangat
rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan
pemilihan kepala daerah, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah
yang diikrarkan oleh semua peserta pemilu. Namun tetap saja timbul masalah-masalah tersebut.
Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga
permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para
anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang
seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi, tindakan ini sangat
memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat di Indonesia. Dengan
mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk kesenangan dirinya sendiri dan kelompoknya. Dan
mungkin juga ketika proses seleksi bakal calon juga kejadian seperti ini.
Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta rupiah.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali
ditemukan penyelewengan-penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon
seperti :
1.
Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam
setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang
cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah.
Contoh yang nyata saja, yaitu di lingkungan desa Karangwetan, Tegaltirto,
Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi
bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon
tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih
rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat
diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang. Jadi sangat rasional
sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak
untuk dana kampanye.
2.
Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga
yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap
warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari
aturan pelaksanaan pemilu.
3.
Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat
jelas sekali aturan-aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan
seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon
yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah.
Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat
berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering
digunakan sebagai media kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara
tersebut
padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
4.
Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya
sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian
masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya
“manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye
negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak
integritas daerah tersebut.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bangsa yang belajar adalah bangsa yang setiap waktu
berbenah diri. Pemerintah Indonesia telah berusaha membenahi sistem yang telah
dengan landasan untuk mengedepankan kepentingan rakyat. Walaupun dalam
pelaksanaan pilkada ini masih ditemui berbagai macam permasalahan tetapi ini
semua wajar,
karena Indonesia
baru menghadapi ini pertama kalinya setelah pemilu langsung untuk memilih
Presiden dan wakilnya. Ini semua dapat digunakan untuk pembelajaran politik bagi masyarakat
Indonesia. Sehingga masyarakat dapat sadar dengan pentingnya berdemokrasi,
menghargai pendapat, kebersamaan dalam menghadapai sesuatu. Manusia yang baik, tidak akan melakukan
kesalahan yang pernah dilakukan. Semoga untuk pemilihan umum yang berikutnya
permasalah yang timbul dapat diminimalkan bahkan tidak ada lagi. Sehingga pemilihan umum
dapar berjalan dengan lancar dan aman.
B. SARAN
Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus
dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk
itu diperlukan peran serta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah
saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain :
1.
Seluruh pihak yang ada baik
dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran
pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat
menjadi suri teladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari
munculnya konflik.
2.
Semua warga saling menghargai
pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan pendapat. Hal ini
diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat
orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.
3.
Sosialisasi kepada warga
ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat
memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah
terhadap calon yang lain.
4.
Memilih dengan hati nurani.
Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada
paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abubakar, Suardi, dkk. 2000. Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan 2 SMU. Jakarta:
Yudhistira.
2.
Ma’ruf, M. (Mentri Dalam
Negeri). Optimisme hadapi pilkada langsung. www.kompas.com edisi selasa, 22 Februari 2005
3.
Panumbangan, Abraham (mahasiswa
fisipol UMY). Masih perlu waktu. www.kr.co.id
edisi Jum’at, 15 Juli 2005