KLIPING STUDY KASUS HUBUNGAN INTERNASIONAL
“ISU-ISU BARU
DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL”
1.
Lingkungan
Hidup : “Konferensi Perubahan Iklim Bali 2007” dan “Konferensi Perubahan
Iklim Durban 2011”
2.
Gender
: “Hukuman Mati
Ruyati, TKW di Arab Saudi”
3.
Kedaulatan
: “Konflik
Darfur, Sudan”
Dosen Pengampu : Muhammad Hendri Nuryadi, S.Pd, M.Sc
Mata Kuliah/ Semester : Hubungan Internasional/ 3
AGUS PRASETIYO
NIM. K6410002
PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGRAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
Analisis Isu Lingkungan Hidup : Konferensi
Perubahan Iklim Bali 2007
Topik/
isu lingkungan hidup muncul dalam lingkup internasional lebih dari tiga dekade
terakhir. Jumlah penduduk bumi semakin meningkat, Negara barat berkeyakinan
bahwa aktivitas sosial ekonomi manusia yang sedang berlangsung dapat mengancam
kelestarian lingungan hidup. Salah satu studi kasaus isu baru HI tentang
lingkungan hidup adalah adalah perubahan iklim.
Perubahan
iklim yang sangat extrim diseluruh dunia akhir-akhir ini telah membuat kita
cemas terhadap resiko yang bakal kita hadapi kedepannya. Dalam keadaan demikian
kita mulai saling menyalahkan satu sama lainnya. Sebagian besar para ahli
kebumian menyatakan terjadinya perubahan iklim yang sangat ekstrim saat ini
adalah disebabkan oleh pengaruh efek rumah kaca. Para penstudi HI
sekarang, lingkungan hidup merupakan issue area utama yang ketiga (Porter dan
Brown, 1991:1). Maka PBB mengadakan Konferensi Lingkungan Hidup Manusia pertama
kali di Stockholm, Swedia pada 1972.
Negara maju
menyalahkan Negara berkembang yang membabat hutan tanpa mempertimbangkan
keseimbangan. Lalu pada saat yang sama menggunakan batu-bara sebagai pembangkit
energi listrik, dan banyak kometar lagi sebagai suatu serangan, walaupun terkadang
sebagian ada benarnya. Padahal, secara ilmiah tepatnya bahwa perubahan alam
merupakan fenomena alam yang tidak bisa dihindari. Perubahan iklim tersebut
terjadi oleh karena adanya perubahan orbit bumi terhadap matahari.
Perubahan
iklim khususnya berupa pemanasan global yang dibicarakan oleh banyak pihak
dapat terjadi oleh adanya pemanasan global, yang dimaknai sebagai kenaikan suhu
rata-rata permukaan bumi dan laut. Pemanasan global tersebut dan pendinginan
permukaan bumi terus ber-langsung bergantian yang disebut glacial dan
interglacial. Siklus ini sudah terjadi sejak 2 juta tahun lalu dan terus
terjadi sampai saat ini.
Sebagian
besar ilmuwan (scientist) menganggap kejadian alam dewasa ini sebagian utamanya
adalah akibat ulah manusia. Karena mereka menganggap pembabatan hutan yang
dilakukan manusia sudah melewati ambang batas yang seharusnya. Akibat
pembabatan hutan dan peningkatan emisi gas Karbondioksida ini maka terjadilah perubahan iklim yang luar
biasa dan mendatangkan bencana alam yang dahsyat bagi kehidupan semua makhluk di
bumi terutama manusia.
Pada
akhir tahun 2007 diselenggrakan KTT Perubahan Iklim di Bali. Para menteri
lingkungan dari 130 negara akan membahas sejumlah usulan, rancangan dan kertas
kerja yang dihasilkan dalam perundingan selama satu pekan silam. Tujuan akhir
dari KTT Iklim kali ini adalah menyepakati suatu roadmap menuju kesepakatan
iklim internasional yang akan berlaku setelah tahun 2012.
Pertemuan
ini merupakan pertemuan lanjutan untuk mendiskusikan persiapan negara-negara di
dunia untuk mengurangi efek gas rumah kaca setelah Protokol
Kyoto kedaluwarsa pada tahun 2012. Konferensi yang diadakan oleh badan PBB United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCC) ini merupakan kali ke-13 dan diikuti
oleh sekitar sembilan ribu peserta dari 186 negara. Selain itu ada sekitar tiga
ratus LSM
internasional yang terlibat. Konferensi internasional ini diliput oleh lebih
dari tiga ratus media internasional dengan jumlah wartawan lebih dari seribu
orang.
Perundingan
di Bali sempat mandeg, sebab terjadi tarik ulur antara negara
maju dan negara berkembang. Pasalnya, selama ini negara-negara maju bersikeras
menuntut partisipasi lebih besar negara berkembang dalam mereduksi emisi gas
rumah kaca. Sebaliknya, negara berkembang menagih komitmen negara maju yang
andilnya lebih besar dalam melepaskan karbondioksida ke atmosfer. Situasi ini
makin diperumit oleh keragaman kepentingan antar negara berkembang.
Negara-negara ini mempunyai kepentingan yang agaknya sulit disatukan, karena
kemudian basis ekonomi mereka adalah sumber daya alam yang sedang jor-joran
diperjual-belikan di konferensi ini untuk mendapatkan pembiayaan terbesar.
Perundingan
selama ini terlalu fokus pada mekanisme dan solusi jangka panjang. Perdagangan
karbon serta pengurangan emisi karbondioksida melalui pencegahan kerusakan
hutan tak menjawab masalah masyarakat yang merasakan langsung dampak perubahan
iklim.
Adaptation Fund atau dana adaptasi
disediakan untuk membantu negara berkembang dalam menghadapi dampak perubahan
iklim. Selama ini pengelolaan dana adaptasi dikritik karena dianggap tidak
transparan dan birokrasinya terlalu berbelit-belit. Negara berkembang menuntut
agar akses pada dana adaptasi dipermudah. Selain itu pengelolaannya
dipercayakan pada suatu lembaga baru yang khusus dibentuk untuk tugas ini.
Semua negara peserta, baik negara
maju maupun berkembang menunjukkan komitmennya di Bali. Mereka harus ada
komitmen tegas, kemudian program aksi dan tindakan-tindakan yang nyata. Itu
tidak bisa tidak, harus di bawah kepemimpinan pemerintah. Apapun kesepakatan
yang dicapai. Untuk mekanisme adaptasi dan mitigasi itu memerlukan dana yang
besar, dan dana tidak akan datang tanpa suatu komitmen.
Setelah diskusi selama
berjam-jam yang sepertinya mengarah pada kegagalan, akhirnya sidang menyetujui
Peta Jalan Bali (Bali Roadmap) yang akan membuka jalan untuk mencapai
perjanjian baru tentang pemanasan global tahun 2009. Terobosan bisa dicapai
setelah AS yang menerima sejumlah tekanan pada sidang pleno, akhirnya
menyepakati peta jalan untuk menegosiasikan perjanjian iklim yang baru,
menggantikan Protokol Kyoto yang berakhir tahun 2012. Namun sejumlah organsiasi
lingkungan mengkritik hasil yang dicapai konferensi iklim. Oxfam internasional
mengatakan, peta Jalan bali tidak menetapkan tujuan yang jelas bagi pengurangan
emisi global.
Perlu disadari perubahan cuaca dan
iklim saat ini adalah akibat perputaran cyclus dari Interglacial ke Glacial,
bukan karena ulah manusia. Kalaupun Ada ulah manusia hanya sedikit saja. Karena
ada tidaknya ulah manusia, permukaan air laut tetap akan naik dalam period ini.
Bahkan 5000 tahun lalu permukaan air laut pernah naik di wilayah pasifik
mencapai 5 (lima) meter dari permuakaan air laut sekarang. Dan sebaliknya dalam
kurun waktu yang sama permukaan air laut pernah turun hingga 50 meter dari
permukaan air laut yang sekarang. Hal ini sudah dibuktikan oleh para ahli
peneliti asing, dan peneliti kita, baik dari Litbang Geologi, LIPI, Lapan, dan
pihak perguruan tinggi.
Bahkan pernah dilakukan penelitian
bersama antara pakar asing dan dalam negeri, sewaktu melakukan penelitian
endapan coral dan endapan gambit di bawah permukaan laut antara Sumatera dan Malaysia
(Tjia HD. et.all 1970).
Kita dalam menghadapi tantangan alam
kedepan dan kita harus sudah bisa mempersiapkan diri tentang apa yang harus
dilakukan baik oleh masyarakat maupun oleh negara. Jangan sampai karena
kekurangpedulian kita, di tambah tidak memiliki ilmu pengetahuan tentang itu,
kita akhirnya jadi bulan-bulanan pemerasan Negara-negara maju dan
akhirnya kita terus terperangkap dalam kemiskinan karena tidak boleh lagi
menggunakan sumber daya alam kita untuk kepentingan pembangunan bangsa.
Singkatnya, sifat tantangan HI yang
diciptakan oleh isu lingkungan hidup, seperti perubahan iklim tergantung pada
sedikit banyaknya orang yang terlibat perdebatan ini. Isu ini sangat khusus
yang membutuhkan kita untuk merekontruksi seluruh cara berpikir tentang
hubungan internasional.
Selama
ini perundingan mengenai lingkungan hidup belum menemukan langkah konkret untuk
mengatasi masalah perubahan iklim. Walau menghasilkan suatu keputusan pun
pelaksanaannya masih setengah hati. Dan perlu disadari iklim di bumi setiap
masa akan mengalami perubahan, karena faktor alam itu sendiri. Kita harus
waspada mrngenai masalah ini, jangan-jangan isu ini dijadikan negara maju untuk
menekan negara berkembang, seperti Indonesia. Bila benar terjadi perubahan
iklim, yang harus dilakukan haruslah survive dan beradaptasi dengan lingkungan.
Analisis Isu Lingkungan Hidup : Konferensi
Perubahan Iklim Durban 2011
Sebelumnya
sudah dijelaskan bagaimana isu lingkungan merupakan salah satu isu baru dalam
hubungan internasianal, perubahan iklim yang sangat extrim diseluruh dunia
akhir-akhir ini telah membuat kita cemas terhadap resiko yang bakal kita hadapi
kedepannya. Dalam keadaan demikian kita mulai saling menyalahkan satu sama
lainnya. Sebagian besar para ahli kebumian menyatakan terjadinya perubahan
iklim yang sangat ekstrim saat ini adalah disebabkan oleh pengaruh efek rumah
kaca.
Pemanasan
global tersebut mengakibatkan naiknya suhu rata-rata permukaan bumi sehingga es
kutub dapat mencair dan menjadikan permukaan laut naik. Perubahan iklim secara
umum dapat mengganggu kondisi kesehatan, pertanian, dan kehutanan, pada
akhirnya terjadi kegagalan pertanian dan hal ini pada ujungnya menyebabkan
kekurangan pangan dunia. Jadi secara ilmiah; penumpukan emisi Karbondioksida di
atmosfir yang disebabkan oleh kegiatan manusia (Antropogenic), seperti
pemakaian bahan bakar minyak bumi (Fosil Fuel), perusakan hutan
(deforestation), dan pengolahan lahan (landuse).
Pada
Desember 2011, kembali diadakan KTT Perubahan Iklim di Durban, Afsel. Ekonomi
negara-negara berkembang dalam kelompok BASIC (Brazil, Afrika Selatan, India
dan China) telah menjelaskan kepada Uni Eropa dan Amerika Serikat bahwa mereka
tidak akan menyetujui pertumbuhan ekonomi dan mengurangi emisi sampai
negara-negara berkembang mengambil alih pimpinan menurut Protokol Kyoto.
Indonesia
berjanji untuk mengurangi emisi sebesar 26 hingga 40 persen dalam beberapa
tahun ke depan. Hal tersebut tidak hanya komitmen yang lebih besar dari
negara-negara berkembang, ini adalah komitmen yang lebih besar dari
negara-negara kaya yang utama: Jepang dan Kanada melangkah jauh dari Protokol
Kyoto, dan AS tidak akan meratifikasi perjanjian ini. Mereka tidak mungkin
menciptakan komitmen baru yang mengikat di masa mendatang. Indonesia harus mempertimbangkan kembali komitmennya untuk
mengurangi emisi, sementara negara-negara kaya secara efektif tidak melakukan
apa-apa.
Penelitian
baru yang dilakukan oleh Norwegia dan Bank Dunia yang telah mengurangi
penilaian resmi PBB terhadap emisi dari penebangan hutan di Indonesia sebesar
75 persen. Janji Indonesia saat ini akan berdampak merugikan atas pertumbuhan
industri kehutanan, perkebunan dan pertambangan di seluruh wilayah, dan dengan
demikian berdampak ke seluruh perekonomian. Ini akan menghambat pembangunan
ekonomi dan langkah-langkah pengurangan kemiskinan dan mencegah Indonesia dari
mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Konferensi
Tingkat Tinggi Perubahan Iklim ke-17 di Durban, Afrika Selatan, yang
menghasilkan beberapa kesepakatan menimbulkan lebih banyak pertanyaan lanjutan
akan keseriusan negara-negara yang terlibat untuk menanggulangi perubahan iklim
dan membuat pekerjaan rumah bagi Indonesia. Hasil kesepakatan tersebut juga
malahan membuat pekerjaan rumah tambahan bagi Indonesia dan negara lain untuk
bekerja lebih keras karena sampai saat ini belum ada payung perjanjian global
yang bisa menjamin bahwa stabilisasi iklim bisa dicapai secara global. Pentingnya
lingkungan hidup dalam isu baru HI karena : 1) Lingkungan sebagai sumber
konflik antar negara, 2) Lingkungan hidup sebagai sumber konflik intra-negara,
3) Polusi dan degradasi lingkungan sebagai bahaya khusus membutuhkan kerjasama
internasional.
Sebagai
penutup, untuk menambah wawasan kita dalam menghadapi tantangan alam kedepan
dan kita harus sudah bisa mempersiapkan diri tentang apa yang harus dilakukan
baik oleh masyarakat maupun oleh negara. Jangan sampai karena kekurangpedulian
kita, di tambah tidak memiliki ilmu pengetahuan tentang itu, kita akhirnya jadi
bulan-bulanan pemerasan Negara-negara maju dan akhirnya kita terus
terperangkap dalam kemiskinan karena tidak boleh lagi menggunakan sumber daya
alam kita untuk kepentingan pembangunan bangsa.
Analisis Isu Gender : Hukuman Mati
Ruyati, TKW di Arab Saudi
Gender bukanlah suatu istilah yang mengacu pada karakter
biologis (seks) laki-laki dan perempuan secara fisik. Namun gender, menurut
Mansoer Fakih, lebih merupakan ”sifat yang melekat pada laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural”. Namun dalam
perkembangannya, memahami persoalan ketidakadilan gender tidak lagi cukup hanya
dengan konsep gender yang sifatnya dikotomis yaitu hanya melihat perbedaan
laki-laki dan perempuan. Beberapa ilmuwan menganggap bahwa konsepsi gender
sebagai suatu ”perbedaan” antara laki-laki dan perempuan seakan-akan melihat
bahwa ketidaksetaraan dan ketidakadilan terjadi hanya pada satu jenis laki-laki
dan satu jenis perempuan.
Isu gender merupakan isu baru dalam hubungan internasional.
Salah satu studi kasus mengenai gender yang saya ambil adalah mengenai
kekerasan TKI di luar negeri, khususnya kasus hukuman mati Ruyati TKW asal
Indonesia di Arab Saudi. Para pekerja Indonesia di luar negeri, rentan terhadap
ketidakadilan khususnya pekerja wanita yang bekerja di sektor informal. Wanita
dianggap lemah sehingga seringkali menerima ketidakadilan.
Eksekusi hukuman mati tenaga kerja
wanita (TKW) Indonesia, Ruyati binti Satubi, merupakan tamparan bagi
pemerintahan SBY. Kematian Ruyati telah menunjukan bahwa Presiden
telah gagal melindungi hak asasi buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri.
Ruyati binti Satubi pada Sabtu (18/6/2011) dihukum mati setelah mengakui telah
membunuh wanita asal Arab Saudi bernama Khairiya binti Hamid Mijlid pada 2010.
Pemerintah harus bertanggung jawab. Ini merupakan tamparan bagi SBY, dalam
pidatonya pada sidang ke-100 ILO di Swiss, yang menyatakan mekanisme
perlindungan pembantu rumah tangga (PRT) migran di luar negeri sudah berjalan
itu tidak terbukti.
Kasus hukuman mati Ruyati harus
dicermati dan dijadikan pembelajaran bagi pemerintah agar tidak kembali
terulang. Pemerintah harus melakukan upaya maksimal dalam menjamin keamanan
para WNI yang berkerja di luar negeri. Salah satunya adalah terhadap 23 WNI di
Arab yang mayoritas sebagai PRT Migran, yang sedang menghadapi ancaman hukuman
mati.
Ketidakadilan gender dalam aktivitas hubungan internasional
memiliki implikasi yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
menggunakan gender sebagai category of analysis dalam studi hubungan
internasional penting karena mampu membuka mata dan menawarkan cara pandang
baru. Selain dari sisi hubungan internasional sebagai suatu studi, perspektif
gender juga penting dalam memahami praktek-praktek ekonomi politik dan keamanan
internasional yang mempengaruhi relasi gender antara perempuan dan laki-laki.
Undang-undang yang mengatur tentang
buruh migran Indonesia juga perlu diatur. Dengan melihat banyaknya kasus yang
menimpa buruh migran wanita di luar negeri adalah bentuk gagalnya pemerintahan
dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Jadi, sebagai gantinya,
pemerintah harus bisa melindungi tenaga kerja kita yang ingin keluar negeri. Pemerintah
Indonesia harus bersikap tegas terhadap Pemerintah Arab Saudi. Ketegasan
tersebut, dapat diwujudkan dengan melakukan penghentian pengiriman TKI ke Arab
Saudi. Pemerintah dapat melakukan tindakan diplomatik untuk memperlihatkan
ketidaksenangan Indonesia atas perlakuan warganya, salah satunya dapat berupa
pemanggilan pulang Duta Besar Indonesia di Arab Saudi atau mengurangi jumlah
personel perwakilan Indonesia di negara tersebut. Ketegasan perlu dilakukan
agar Pemerintah Arab Saudi lebih sensitif terhadap nasib para TKI di negeri
tersebut yang kerap menderita perlakuan kasar dan kekerasan. Ini semua berujung
pada para TKI melakukan tindakan yang dituduhkan pada Ruyati, yaitu pembunuhan
atas majikan. Apalagi bila otoritas Arab Saudi tidak serius dalam melakukan
proses hukum, bahkan cenderung melindungi warganya yang melakukan kekejaman
terhadap para TKI.
Analisis Isu
Kedaulatan : Konflik Darfur, Sudan
Kedaulatan merupakan suatu
institusi, yang berari seperangkat aturan yang dijalankan oleh negara. Mungkin
agak sedikit mengejutkan bila “kedaulatan” termasuk isu baru HI. Tantangan
kedaulatan meliputi beberapa hal, seperti kekuatan pasar global, HAM, monopoli
domestik atas kekerasan sebanding. Sebagian perubahan dalam kedaulatan telah
mengarah pada bentuk-bentuk baru kerjasama antar negara demokrasi di Utara.
Perubahan lain, menyebabkan bentuk baru konflik di Selatan (Jackson 1993;
Aorensen 1997). Konflik Darfur merupakan salah satu studi kasus dalam teori
ini.
Pada awalnya konflik di Darfur,
Sudan merupakan konflik etnis dengan lingkup internal saja. Keberagaman
kelompok suku dan etnis di Sudan membawanya kedalam konflik sipil selama waktu
yang tergolong lama. Adanya penindasan yang dilakukan pemerintahan pusat terhadap
beberapa kelompok etnis, menyebabkan terjadinya gerakan-gerakan pemberontakan
yang dilakukan oleh warga negara Sudan itu sendiri kepada pemerintahan pusat
yang diskriminatif.
Munculnya faktor minyak di Sudan
memperumit konflik yang telah terjadi. Karena faktor ini membawa kepentingan
negara-negara yang membutuhkan akses terhadap sumber minyak bumi di masa yang
akan datang. Negara yang berkepentingan terhadap sumber minyak bumi ini adalah AS.
Amerika Serikat mempunyai kepentingan tersendiri dalam perdamaian Sudan. Jika
perang tetap berlanjut, maka akses dan eksploitasi minyak yang menjanjikan di Selatan
akan terhambat dan dengan demikian mengancam kepentingan perusahaan AS.
Bagi China, yang menghadapi
ketergantungan selama hampir lima persen impor minyaknya pada sebuah negara
baru yang lama mencurigai ikatannya dengan Khartoum. Sejumlah 80 persen ladang
minyak di Sudan, yang mana Perusahaan Petrolium Nasional China (China National
Petroleum Corporation – CNPC) dijalankan oleh pemerintah telah memompa milyaran
dolar ke dalam pengembangannya, terbentang di bagian selatan Sudan. Selatan
juga masih tetap bergantung pada jalur pipa ke Pelabuhan Sudan di utara yang
CNPC membantu membangunnya untuk membuat minyak tersebut berada di pasaran.
Presiden Sudan, Omar al-Bashir
adalah kepala negara pertama yang menjadi incaran ICC karena tuduhan genosida
dan kejahatan kemanusiaan di Darfur. Meski menjadi incaran dunia internasional
banyak negara Afrika, yang tidak menaati seruan penangkapan al-Bashir. Selain
itu Uni Afrika juga menyatakan ICC hanya menyelidiki dugaan kejahatan perang di
Afrika saja dan mengatakan penangkapan al-Bashir akan mengacaukan perundingan
perdamaian di Darfur. Selain Kenya, Malawi dan Chad adalah bagian negara-negara
Afrika yang pernah dikunjungi al-Bashir sebagai bagian dari perlawanannya
terhadap ICC. Namun al-Bashir masih mendapat dukungan kuat dari Cina, Arab
Saudi dan negara-negara Afrika.
Konfik di Darfur lama kelamaan
menjadi isu enting internasional karena disini banyak ladang minyak. Negara
lain berkepentingan atas isu ini seperti AS dan China. Munculnya perintah
penangkapan Presiden Sudan dari Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida
dan kejahatan kemanusiaan di Darfur ini membuktikan tebang pilih. Karena para
pelaku kejahataan Peran Irak Bush (Presiden AS) dan Blair (PM Inggris) hingga
saat ini tidak diseret ke Mahkamah internasioanal.
Setelah
penandatanganan perjanjian perdamaian antara pihak pemerintahan pusat di Sudan
Utara (Khartoum) dengan pihak pemberontak di Sudan Selatan, Sudan dan Sudan
Selatan (negara yang baru mendapatkan kemerdekaannya) menghadapi berbagai
hambatan perkembangan dalam pembentukan negara masing-masing. Kemungkinan
konflik yang berkelanjutan, pembagian penghasilan dari minyak bumi, serta
pertanggung jawaban kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama perang sipil
merupakan beberapa contoh hambatan yang akan kedua pihak hadapi. Sejak 9 Juli
2011 Sudan terpecah menjadi 2 negara, Sudan bagian selatan secara resmi
mengumumkan berdirinya negara Sudan
Selatan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kajian
tradisional HI tentang perang dan damai, namun dari perkembangannya muncul isu
baru dalam HI. Isu-isu baru dalam hubungan internasional ada 3, meliputi:
lingkungan hidup, gender dan kedaulatan. Sifat tantangan terhadap HI yang
dimiliki isu ini tergantung pada penilaian seseorang tentang apa yang
sebenaranya dipertaruhkan. Penulis mengambil 4 studi kasus mengaeai isu-isu
tersebut, sebagai berikut:
1.
Lingkungan Hidup
Topik/ isu lingkungan hidup muncul dalam
lingkup internasional lebih dari tiga dekade terakhir. Sebagian
besar para ahli kebumian menyatakan terjadinya perubahan iklim yang sangat
ekstrim saat ini adalah disebabkan oleh pengaruh efek rumah kaca. Para
penstudi HI sekarang, lingkungan hidup merupakan issue area utama yang ketiga.
Berikut studi kasus HI mengenai lingkungan hidup :
a.
Konferensi
Perubahan Iklim Bali 2007
Pada akhir tahun
2007 diselenggrakan KTT Perubahan Iklim di Bali, Indonesia. Sidang menyetujui
Peta Jalan Bali (Bali Roadmap) yang akan membuka jalan untuk mencapai
perjanjian baru tentang pemanasan global tahun 2009. Terobosan bisa dicapai
setelah AS yang menerima sejumlah tekanan pada sidang pleno, akhirnya
menyepakati peta jalan untuk menegosiasikan perjanjian iklim yang baru,
menggantikan Protokol Kyoto yang berakhir tahun 2012.
b.
Konferensi
Perubahan Iklim Durban 2011
Konferensi
Tingkat Tinggi Perubahan Iklim ke-17 di Durban, Afrika Selatan, yang
menghasilkan beberapa kesepakatan menimbulkan lebih banyak pertanyaan lanjutan
akan keseriusan negara-negara yang terlibat untuk menanggulangi perubahan iklim
dan membuat pekerjaan rumah bagi Indonesia. Hasil kesepakatan tersebut membuat
pekerjaan rumah tambahan bagi Indonesia dan negara lain untuk bekerja lebih
keras karena sampai saat ini belum ada payung perjanjian global yang bisa
menjamin bahwa stabilisasi iklim bisa dicapai secara global.
Perubahan iklim saat ini adalah akibat perputaran
cyclus dari Interglacial ke Glacial, bila ada ulah manusia itupun kecil
dampaknya. Selama ini perundingan mengenai lingkungan hidup
belum menemukan langkah konkret untuk mengatasi masalah tersebut. Walau
menghasilkan suatu keputusan, pelaksanaannya masih setengah hati. Isu ini dijadikan
negara maju untuk menekan negara berkembang. Bila terjadi perubahan iklim, yang
dilakukan survive dan beradaptasi dengan lingkungan.
2.
Gender : Hukuman Mati Ruyati, TKW di Arab
Saudi
Isu gender merupakan isu baru dalam
hubungan internasional. Salah satu studi kasus HI mengenai gender adalah mengenai
kekerasan TKI di luar negeri, khususnya kasus hukuman mati Ruyati TKW asal
Indonesia di Arab Saudi. Wanita dianggap lemah sehingga seringkali menerima
ketidakadilan. Pemerintah
Indonesia harus bersikap tegas terhadap Pemerintah Arab Saudi. Ketegasan tersebut,
dapat diwujudkan dengan melakukan penghentian pengiriman TKI ke Arab Saudi.
Pemerintah dapat melakukan tindakan diplomatik untuk memperlihatkan
ketidaksenangan Indonesia atas perlakuan warganya, salah satunya dapat berupa
pemanggilan pulang Duta Besar Indonesia di Arab Saudi.
3.
Kedaulatan : Konflik
Darfur, Sudan
Kedaulatan
merupakan suatu institusi, yang berari seperangkat aturan yang dijalankan oleh
negara. Perubahan lain kedaulatan, menyebabkan bentuk baru konflik di Selatan. Konflik
Darfur merupakan salah satu studi kasus dalam HI tentang hal tersebut. Pada
awalnya konflik di Darfur, Sudan merupakan konflik etnis dengan lingkup
internal. Keberagaman kelompok suku dan etnis di Sudan
membawanya kedalam konflik sipil selama waktu yang tergolong lama. Konfik di
Darfur lama kelamaan menjadi isu penting internasional karena disini banyak
ladang minyak. Negara lain berkepentingan atas isu ini seperti AS dan China. Setelah
penandatanganan perjanjian perdamaian antara pihak pemerintahan pusat di Sudan
Utara (Khartoum) dengan pihak pemberontak di Sudan Selatan, Sudan dan Sudan
Selatan (negara yang baru mendapatkan kemerdekaannya) menghadapi berbagai
hambatan perkembangan dalam pembentukan negara masing-masing. Kemungkinan
konflik yang berkelanjutan, pembagian penghasilan dari minyak bumi, serta
pertanggung jawaban kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama perang sipil.
B. Saran
Untuk
menyelesaikan kasus mengenai isu-isu baru dalam HI penulis memberi saran,
setiap penyelesaian kasus harus didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam
menyelesaikan kasus yang ada, jangan hanya menggunakan pendekatan teoritis yang
ada. Perdebatan HI jangan pada tingkat teoritis, tapi juga pada implementasi
dan bentuk kasus dari teori yang ada. Kita harus berpikir lebih kritis terhadap
isu-isu baru dalam HI dan studi kasusnya. Sehingga penyelesaian studi kasus
isu-isu baru dalam HI yang ada merupakan jalan terbaik yang diambil.
Isu
kedaulatan dapat ditangani dengan pendekatan yang ada, sedangkan isu lingkugan
hidup dan gender kurang jelas. Pandangan radikal menentukan solusi radikal.
Analis feminis radikal HI akan menuntut perubahan besar baik dalam
konsep-konsep dasar maupun pandangan radikal atau, isu lingkungan hidup
menuntut kita untuk mempertimbangkan kembali seluruh cara kita berpikir tentang
HI. Pada saat bersamaan, interpretasi radikal tentang isu-isu lingkungan hidup
dan gender keduanya melenceng dari pendekatan tradisional HI, tapi arah
konseptual an teoritis kedua isu tersebut tidak sama.
DAFTAR
PUSTAKA
Baylis,
John, Smith, Steve. 1999. The Globalization of World Politics. Oxford: Oxford
University Press.
Grant,
Rebecca dan Kathleen Newland (eds). 1991. Gender
and International Relations. Bloomington and Indianapolis : Indiana
University Press.
Hough,
Peter, 2004. Understanding Global Security. London: Routledge.
Mohtar,
Mas’oed. 1990. Ilmu Hubungan
Internasional : Disiplin dan Metodologi. Jakarta : LP3ES.
Sudarsono,
Juwono. 1996. State of the Art Hubungan
Internasional: Mengkaji Ulang Teori Hubungan Internasional dalam Perkembangan
Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan. Jakarta : Pustaka
Jaya.
True,
Jacqui, “Feminism” dalam Scott Burchill (eds). 2005. Theories of
International Relations 3rd Edition. New York : Palgrave
Macmillan.
Website :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar