RELASI
HUKUM DENGAN POLITIK (NONHUKUM)
Oleh
: Agus Prasetiyo
Pengantar
Hans Kelsen menganggap
sistem hukum sebagai suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah di mana suatu
kaidah tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi
derajatnya.[1] Kaidah
yang merupakan puncak sistem hukum disebut kaidah dasar atau Grundnorm. Jadi,
menurut Kelsen setiap sistem hukum merupakan Stufenbau dari kaidah-kaidah
hukum. Kaidah dasar hukum tersebut merupakan dasar dari segenap penilaian
yuridis yang dmungkinkan tertib hukum dasar suatu negara tertentu. Sah atau
tidaknya suatu kaidah hukum dapat dikembalikan kepada kaidah hukum yang lebih
tinggi dan akhirnya pada kaidah dasar.
Hans Kelsen dengan
teori murni hukum (Pure Theory of Law) menyatakan bahwa, hukum berdiri sendiri
terlepas dari aspek-aspek kemasyrakatan lainnya.[2]
Kelsen bermaksud menunjukkan bagaimana hukum itu sebenarnya tanpa memberikan
penilaian apakah hukum tersebut adil atau tidaknya. Teorinya bertujuan untuk
menunjukkan apa yang dimaksud hukum positif, dan bukan apa yang merupakan hukum
yang benar.
Pemikiran Hans Kelsen
dipengaruhi oleh filosofi hukum yang berkembang pada zamannya[3],
dimana hukum pada waktu itu telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan
moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di
sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum.
Oleh karena itu, ia mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang
berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum. Menurutnya, hukum
itu sendiri harus murni dari elemen-elemen asing yang tidak yuridis. Teori ini
berusaha mengeliminir anasir-anasir diluar hukum.
Kelemahan utama teori
hukum murni Hans Kelsen terletak pada kaidah dasar apakah yang menjadi dasar sahnya
kaidah dasar tersebut? Kelsen menganggap hal tersebut kurang penting karena
pertanyaan tersebut bersifat meta yuridis. Serta dia lupa bahwa hukum itu bukan
sesuatu yang murni, yang mungkin saja dipengaruhi variabel lain. Tetapi ia
mengakui bahwa adanya hukum alam dan itu berbeda dengan hukum yang ia usulkan
(hukum postif).
Pandangan Kelsen dapat
dikategorikan dalam Mazhab Formalitas atau Positivisme Hukum. Tokoh lainnya
adalah John Austin dan H.L.A Hart. Penganut dan tokoh mazhab ini berpandangan[4]
bahwa, mereka berpegang teguh pada
pemisahan hukum antara hukum dan moral. Selain itu, adanya usaha
mengidentifikasi hukum dan membedakannya dengan kebiasaan, terutama menekankan
pada berlakunya hukum berdasarkan kekuasaan negara.
Teori Hukum Murni berusaha
melepaskan hukum dari anasir-anasir nonhukum seperti, psikologi, sejarah,
ekonomi, moral, sosiologi, politik, dan sebagainya. Teori ini hanya melihat
hukum dari aspek yuridis formal, dan mengabaikan hukum materiil dimana terdapat
cita hukum, tujuan hukum dan moral. Dalam membuat hukum penguasa atau lembaga
berwenang tidaklah terlepas dari kepentingan. Pada umumnya penguasa lebih
mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, serta mengesampingkan
kepentingan umum dalam pembuatan hukum.
Teori Hukum Murni sangat
potensial menimbulkan permasalahan kekuasaan berlebihan bagi organ pembuat
dan/atau pelaksana hukum, dan salah satu alternatif penyelesaian masalah
tersebut adalah diperlukannya pedoman dan/atau pembatasan lebih rinci dalam
penerapan norma hukum umum atau pembuatan norma hukum kasuistis. Karena hukum
dipisahkan dari moral, maka hukum sangat potensial mengesampingkan atau
melanggar kemanusiaan, dan agar hukum tidak melanggar kemanusiaan, hukum harus
mengambil pertimbangan dari aspek moral.
Maka dari itu penulisan
artikel ini bertujuan untuk mengkaji relasi hukum dengan faktor nonhukum.
Kajian lebih khusus ingin membahas relasi hukum dengan politik. Karena kedua
variabel tersebut sangat berkaitan erat, dimana ada anggapan bahwa hukum
merupakan produk politik. Selain itu penulis ingin mengakaji pula, bagaimana
kedudukan hukum dan politik pada penerapannya di Indonesia.
Definisi
Konsep Hukum
Pandangan mengenai
hukum dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan dan perubahan. Banyak
tokoh atau ahli hukum yang memberikan definisi mengenai hukum. Sehingga
Alperdoorn[5]
berpendapat bahwa, tidak mungkin memberikan suatu definisi mengenai apakah yang
disebut hukum itu. Ia menyatakan, sangat sulit untuk merumuskan definisi
mengenai hukum.
Aristoteles
menyatakan, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat
masyarakat tetapi juga hakim.[6]
Sedangkan, menurut Imanuel Kant[7],
“hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang
dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak
bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.”
M.H.
Tirtaamidjata memberikan definisi hukum[8] sebagai berikut, “hukum
adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku
tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian
jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta,
umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.”
Dari definisi hukum
menurut banyak ahli hukum dapat diambil kesimpulan mengenai hukum. Hukum
meliputi unsur[9] : 1) Peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam
pergaulan hidup bermasyarakat; 2)
Peraturan yang ditetapkan oleh badan-badan resmi negara; 3) Peraturan yang bersifat memaksa; 4) Peraturan yang memiliki sanksi yang tegas. Namun
disini perlu dipahami hukum bukanlah sekedar peraturan tertulis, namun ada pula
hukum yang tidak tertulis dan hukum tersebut tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
Definisi
Konsep Politik
Politik berasal dari
bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing
bersumber dari bahasa Yunani (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan
akar katanya (polites - warga negara) dan (polis - negara kota). Secara etimologi kata
"politik" masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata "politis" berarti hal-hal yang
berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang
menekuni hal politik.[10]
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik, sedangkan politik adalah
usaha menggapai kehidupan yang lebih baik.[11]
Menurut Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk
mewujudkan kebaikan.[12] Sedangkan Andrew
Heywood menyatakan, “politik
adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan
mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti
tidak dapat terlepas dari gejala komflik dan kerjasama.”[13] Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep politik[14]
menurut Mirriam Budiardjo berkaitan dengan lima hal yaitu,
1) Negara
(state);
2) Kekuasaan
(power);
3) Pengambilan
Keputusan (decision making);
4) Kebijakan
Umum (policy);
5) Pembagian
(ditribution) atau Alokasi (allocation).
Hubungan
Hukum dengan Politik
Hubungan antara hukum
dan faktor nonhukum yaitu politik, keduanya memiliki hubungan sebab akibat
(kausalitas) asumsinya bermacam-macam, tergantung pada asumsi yang digunakan
untuk memberi jawaban atas pertanyaan tersebut.
Politik dilihat sebagai
fenomena kekuasaan yang menjadi sember otoritas berwenang dalam pengambila
keputusan, dapat dikatakan bahwa politik yang menentukan kebijakan hukum.[15]
Dengan kata lain hukum merupakan produk kebijakan dari interaksi politik.
Namun dapat dilihat
pula bahwa hukumlah yang determinan[16]
(variabel independen) atas politik (variabel dependen), karena tataran ideal
hukum itu bermaksud memberikan arahan dan desain tertentu tentang kehidupan
politik. Dalam hal ini hukum dapat dijadikan pedemoan dalam rangka hukum
sebagai alat rekayasa sosial (law as a
tool of social engginering : Pound). Namun pada kenyataanya yang terjadi di
Indonesia dewasa ini, politiklah yang lebih determinan.
Terutama di
negara-negara Barat sejak abad ke-19 ilmu hukum sejak dulu erat kaitannya
dengan ilmu politik[17],
karena mengatur dan melaksanakan undang-undang (law eforcement) merupakan salah satu kewajiban negara. Berikut
pandangan ahli hukum dan ahli hukum mengenai relasi[18]
kedua ilmu tersebut :
a. Sarjana
hukum melihat negara sebagai lembaga, dan menganggapnya sebagai organisasi
hukum yang mengatur hak dan kewajiban manusia. Fungsi negara ialah
menyelenggarakan penertiban, tetapi oleh ilmu hukum penertiban ini dipandang
sebagai tata hukum. Manusia dilihat sebagai sebjek yang menjadi objek dalam
sistem hukum, dan dianggap pemegang hak dan kewajiban semata.
b. Ahli
ilmu politik cenderung menganggap negara sebagai system of control, memandang negara sebagai suatu asosiasi, atu
sekelompok manusia untuk mencapai tujuan bersama. Perbedaan negara dengan
asosiasi lainnya adalah negara mempunyai wewenang untuk mengendalikan
masyarakat (agent of social control)
memakai kekerasan fisik.
Hans Kelsen sebagaimana
dijelaskan pada pengantar artikel ini, memiliki pandangan ekstrem mengenai
hubungan hukum dan politik. Kelsen dengan Teori Hukum Murni beranggapan, bahwa
hukum hendaknya dipisahkan atau melepaskan diri dengan anasir-anasir nonhukum
termasuk pula politik. Kelsen beranggapan bahwa, dengan adanya faktor nonhukum
yang mempengaruhi hukum dapat mereduksi hukum sehingga perlu pemurnian hukum.
Teori tersebut memiliki kelemahan elementer, namun tujuan dari teori ini harus
dikembangkan, karena hukum memang harusnya tidak dipengaruhi “faktor nonhukum
yang negatif” seperti kepentingan individu dan golongan. Tetapi hukum hendaknya
dipengaruhi “faktor nonhukum yang postif” seperti hukum hendaknya dibuat oleh
lembaga berwenang denagn memperhatikan kepentingan umum sehingga tujuan hukum
(keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum) dapat diraskan oleh semua rakyat tanpa
diskriminasi.
Secara teoritis
hubungan hukum dengan politik/kekuasaan harusnya bersifat fungsional, artinya
hubungan ini dilihat dari fungsi-fungsi tertentu yang dijalankan diantara
keduanya. Terdapat fungsi timbal balik antara hukum dengan kekuasaan[19],
yaitu kekuasaan memiliki fungsi terhadap hukum, sebaliknya hukum juga memiliki
fungsi terhadap kekuasaan. Ada 3 macam
fungsi Kekuasaan terhadap Hukum : 1) kekuasaan merupakan
sarana membentuk hukum (law making); 2) kekuasaan merupakan alat
menegakkan hukum; 3) kekuasaan sebagai media mengeksekusi
putusan hukum. Begitu juga sebaliknya, ada 3 macam fungsi hukum terhadap kekuasaan : 1) hukum sebagai media
melegalisasi kekuasaan; 2) hukum berfungsi mengatur dan membatasi
kekuasaan; 3) hukum meminta pertanggungjawaban
kekuasaan.
Hukum dan politik
merupakan sub sistem dalam sistem kemasyarakatan. Masing-masing melaksanakan
fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan.
Pada pokoknya hukum berfungsi melakukan social
control, dispuet settlement, dan social
enginerring. Sedangkan fungsi poltik meliputi pemeliharaan sistem dan
adaptasi, konversi, dan fungsi kapabilitas. Hukum dan Politik merupakan cabang
dari rumpun Ilmu Sosial. Meskipun terdapat perbedaan keduanya, namun berkaca
pada realita yang ada kedua variabel tersebut memang saling terkait satu dengan
lainnya.
Jika
ada pertanyaan mengenai hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau
pertanyaan mengenai apakah hukum mempengaruhi politik ataukah sebaliknya
politik mempengaruhi hukum. Maka paling tidak ada tiga jawaban menurut Mahfud
MD untuk menjelaskan hubungan politik dan hukum[20] yaitu:
1. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa,
kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk kepada aturan hukum.
2. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan
hasil kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan
bahkan saling bersaingan.
3. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan
berada pada posisi yang derajad determinasinya seimbang antara satu dengan yang
lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu
hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan hukum.
Prakteknya
Politik Determinan atas Hukum
Namun pada prakteknya
hukum bukanlah suatu variabel yang independen. Ada variabel lain yang
mempengaruhi hukum dan itu tidak bisa dipungkiri. Hukum sering dikalahkan oleh
dominasinya kekuasaan politik. Dimana apabila hukum berhadapan dengan
kekuasaan, posisi hukum sangatlah lemah.
Mahfud MD dalam bukunya
“Politik Hukum di Indonesia” berkesimpulan bahwa yang terjadi Indonesia adalah politik determinan atas hukum.
Situasi dan kebijakan politik yang sedang berlangsung sangat mempengaruhi sikap
yang harus diambil oleh umat Islam, dan tentunya hal itu sangat berpengaruh
pada produk-produk hukum yang dihasilkan.
Hubungan politik dengan
hukum di dalam studi mengenai hubungan antara politik dengan hukum terdapat
asumsi yang mendasarinya. Pertama,
hukum determinan terhadap politik dalam arti bahwa hukum harus menjadi
arah dan pengendali semua kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das sollen (keinginan, keharusan dan
cita).
Kedua,
politik determinan terhadap hukum dalam arti bahwa dalam kenyataannya
baik produk normative maupun implementasi-penegakannya hukum itu
sangat dipengaruhi dan menjadi dependent
variable atas politik.
Asumsi ini dipakai sebagai landasan das
sein (kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris.
Ketiga, politik dan
hukum terjalin dalam hubungan interdependent atau saling tergantung yang
dapat dipahami dari adugium, bahwa “politik tanpa hukum menimbulkan
kesewenang-wenangan atau anarkis, hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh”.
Mahfud MD mengatakan hukum dikonstruksikan secara akademis dengan menggunakan
asumsi yang kedua, bahwa dalam realitasnya “politik
determinan (menentukan) atas hukum”. Jadi hubungan antara keduanya itu
hukum dipandang sebagai variabel dependen (variable
pengaruh), politik diletakkan sebagai variabel independen
(variabel berpengaruh).
Selain itu, penulis
dapat mengemukakan alasan politik lebih dominan atas hukum di Indonesia yaitu :
1) Poduk hukum dalam artian UU yang dihasilkan cenderung bermuatan politis dan
kurang/responsif. Hal itu dibuktikan dengan jual beli pasal UU seperti
hilangnya pasal dalam UU Tembakau (istilah ayat tembakau). 2) Setiap rezim
sangat berpengaruh terhadap hukum yang berlaku. Konfigurasi politik
mempengaruhi hukum, dimana hukum tidak dibuat pelembagaan yang jelas dan baku,
tapi hukum terlalu tergantung penguasa. Bila melihat pergantian rezim/Presiden
di Indonesia selalu terjadi perubahan karakter hukum nasional. Hal itu
berakibat kurang kuatnya sistem hukum Indonesia, bisa dilihat dari komponen
hukum: Budaya, Subtansi dan Struktur Hukum Indonesia. 3) Penegakan hukum masih
tebang pilih (diskriminatif), serta tidak mengindahkan tujuan hukum keadilan
dan kemanfaatan (terlalu positivistik hukum Indonesia). Bandingkan saja
perlakuan terhadap koruptor seperti Gayus dan Nazaruddin dengan Nenek Minah.
Berikut ulasan dominasi
politik terhadap hukum pada kasus Anas Urbaningrum[21]
dikutip dari artikel “KPK dan Koruptor Dalam Relasi Hukum Dan Kekuasaan”. Penetapan status tersangka kepada politisi
muda dan sekaligus Ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum oleh KPK, merupakan
momentum positif dalam konteks penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia. Publik patuh bergembira, karena selama lebih setahun setelah
“partner in crime” nya
Nazarrudin “bernyanyi” dalam proses penyidikan, Anas akhirnya mengikuti
jejaknya memasuki jaring perangkap KPK.
Indonesia, dalam
kerangka legal formal menganut mekanisme negara hukum (rule of law) yang
menitik beratkan pada penghormatan atas hak asasi manusia sebagaimana terjamin dalam
konstitusi negara. Paradigma liberal tersebut dapat dilacak dari pemikiran
Austin dan Bentham, mereka secara ilmiah mereduksi definisi dan jangkauan hukum
sebatas pada hukum negara yang dijalankan dengan kekuatan sanksi (sanction),
perintah penguasa (command) dan kedaulatan hukum negara (sovereign).[22]
Paradigma ini, lebih memfokuskan pada pertanyaan apa dan bagaimana “sumber” dan
“validasi” hukum, namun kurang dalam mengelaborasi pertanyaan bagaimana hukum
itu dijalankan untuk mencapai tujuannya.
Dalam konteks penegakan
hukum, prinsip tersebut di abstraksikan dalam sebuah prinsip “equality
before the law” yang diartikan sebagai persamaan atau tidak adanya diskriminasi
dalam proses penyidikan. Dalam dimensi
hukum an sich, Anas dan politisi yang
terjerat kasus pidana korupsi adalah “orang biasa” yang memiliki status dan hak
yang sama di hadapan hukum. Pihak penuntut dalam hal ini KPK, juga dilihat
sebagai institusi yang kebal dan bertindak professional dengan menafikan segala
intervensi politik dan istiqomah dengan mengedepankan asas-asas
hukum sebagai aturan main (the rule
of conduct) yang berlaku. Namun dalam persepktif sosio-legal terlebih dalam
perspektif hukum kritis, Anas dan mereka yang terjerat kasus korupsi tidaklah
selalu orang biasa, namun lebih kepada orang yang memiliki bargaining dalam percaturan politik dan hukum
di negara ini.
Hukum dan kekuasaan
berhubungan dengan mesra dalam dinamika bernegara. Marx dan kaum
post-strukturalisme kerap mengkritik hukum negara yang cenderung berpura-pura
naïf dalam berdialektika dengan menafikan pengaruh-pengaruh non-legal terhadap
hukum dan menerima hukum sebagaimana apa adanya (law as it is ought to be).
Derrida dan Foucault bahkan lebih jauh berargumen dengan menantang “narasi
besar” (metanarrative) kekuasaan hukum negara. Mereka berpandangan bahwa
negara mengkonstruksi “konsep kebenaran” (concept of knowledge) yang di
perkenal kan secara perlahan lewat jalur kekuasaan dengan proses atas-bawah.
Konsep kebenaran dalam relasi penguasa dengan rakyat tidaklah pernah mutlak (absolute),
namun lebih tergantung pada struktur posisi orang atau golongan yang menciptakan
“kebenaran” tersebut.
Namun, mentalitas
negara yang senang bermain dengan kekuasan dan klaim kebenaran, tidak serta
menjadi alasan tunggal lambannya penegakan hukum di Indonesia. Pada akhirnya,
publik harus menghormati KPK dan institusi negara dalam menjalankan tugasnya,
karena ekpektasi besar akan hukum yang “tidak pandang bulu” tertumpu pada
mereka, sembari memantau dengan kritis dan cermat proses hukum tersebut.
Titik
Tengah adalah Politik Hukum
Berangkat dari studi
mengenai hubungan antara politik dan hukum di atas kemudian lahir sebuah teori
“politik hukum”. Politik hukum adalah legal
policy yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: Pertama, pembangunan yang
berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat
sesuai dengan kebutuhan. Kedua,
pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga
dan pembinaan para penegak hukum.[23] Jadi politik hukum adalah bagaimana
hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik
nasional serta bagaimana hukum difungsikan.
Menurut Mahfud MD, secara
yuridis-konstitusional negara Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula
negara sekuler. Indonesia adalah religious
nation state atau
negara kebangsaan yang beragama. Indonesia adalah negara yang menjadikan ajaran
agama sebagai dasar moral, sekaligus sebagai sumber hukum materiil dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu dengan jelas
dikatakan bahwa salah satu dasar negara Indonesia adalah “Ketuhanan Yang Maha
Esa”.[24]
Politik Hukum adalah
alternatif berkaitan dengan adanya determinan politik atas hukum di Indonesia.
Titik tolak politik hukum adalah visi hukum.[25]
Berdasarkan visi dan cita hukum tersebutlah diformat dalam bentuk dan isi hukum
yang capable untuk mewujudkan
visi/cita-cita negara. Politik hukum hadir sebagai agenda hukum, adalah bahwa
dalam tugasnya mewujudkan tujuan bersama, maka hukum hadir dalam wujud
hakikatnya sebagai hukum yaitu : memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Nilai-nilai yang ideal (tujuan hukum) yang melakat pada hukum merupakan
basis dan titi tolak hukum. Sehingga, memang hukum dan politik dua variabel
yang berbeda dan sering bersebrangan pandangan. Namun tidak bisa dibantahkan,
keduanya saling berhubungan atau memiliki relasi. Pada prakteknya, pasti ada
salah satu variabel yang lebih dominan atas lainnya. Maka dari itu diperlukan
alternatif untuk menyeimbangkan keduanya yaitu melalui Politik Hukum. Mungkin
posisi/kedudukan seimbang dan sejajar antara keduanya adalah mimpi di siang
bolong, tetapi dengan adanya Politik Hukum diharapkan tidak adanya dominasi
yang ekstrim dari salah satu variabel terutama Politik.
Saran
Berdasarkan pembahasan
artikel ini, hukum dan politik memang memiliki relasi yang cukup eret. Bahkan
politik seringkali memiliki kedudukan lebih dominan dibanding hukum. Politik
hukum dijadikan alternatif rekomendasi penulis untuk mengurangi kuatnya
dominasi politik atas hukum. Di dalam sistem
demokrasi di Indonesia, masyarakat berhak, bahkan wajib berpolitik untuk
menentukan haluan negara, membuat undang-undang, dan mengawasi pelaksanaan
kekuasaan negara. Hukum dibentuk sesuai dengan hasil proses politik dalam
masyarakat. Konfigurasi politik
Indonesia tergantung dari rezim yang berkuasa (berubah-ubah), konfigurasi
politik Indonesia saat ini adalah demokratis dan cenderung kebablasan.
Hendaknya karakter/produk hukum yang dihasilkan haruslah resposif.
Referensi
:
Author. 26 Februari
2013. KPK dan Koruptor Dalam Relasi Hukum Dan Kekuasaan. http://thewarofcredo.wordpress.com/2013/02/26/kpk-dan-koruptor-dalam-relasi-hukum-dan-kekuasaan/.
Online, Diakses 29 April 2013.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : Graedia Pustaka
Utama.
Ensiklopedia Wikipedia. Politik. http://id.wikipedia.org/wiki/Politik.
Online, Diakses 29 April 2013.
Ensiklopedia Wikipedia. Teori Hukum Murni. http://id.wikipedia.org/wiki/Toeri_Hukum_Murni.
Online, Diakses 29 April 2013.
Kansil, C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia .Jakarta :
Balai Pustaka.
Mahfud MD, Moh. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Mahfud MD, Moh. 1999. Hukum dan Piar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta : Gama Media.
Maronie, Sherief. 11 November 2011. Hubungan
Politik & Hukum. http://zriefmaronie.blogspot.com/2011/11/hubungan-hukum-politik.html.
Online, Diakses 29 April 2013.
Muhammad, Ali Abdul Mu’t. 1998. Filsafat Politik Antara Barat dan Islam. Diterjemahkan oleh:
Rosihon Anwar, Bandung : CV Pustaka Setia.
Sukanto, Soerjono.2006. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Tanya, Bernard L. 2011. Politik Hukum Agenda Kepentngan Bersama. Yogyakarta : Genta Publishing.
[1] Soerjono Sukanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2006, hal 34-38
[2] Soerjono Sukanto, Ibid.
[3] Ensiklopedia Wikipedia, Teori Hukum Murni,
http://id.wikipedia.org/wiki/Toeri_Hukum_Murni.
[4] Soerjono Sukanto, Loc.Cit.
[5] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata
Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1986, hal 34-37.
[6] C.S.T Kansil, Ibid.
[7] C.S.T Kansil, Ibid.
[8] C.S.T Kansil, Op.Cit., hal 38.
[9] C.S.T Kansil, Op.Cit., hal 39.
[10] Ensiklopedia Wikipedia, Politik, http://id.wikipedia.org/wiki/Politik.
[11] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi,
Jakarta : Graedia Pustaka Utama, 2008, hal 13.
[12] Ali
Abdul Mu’t Muhammad, Filsafat Politik Antara Barat dan Islam. Diterjemahkan oleh:
Rosihon Anwar, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998, hal 40-43.
[15] Moh. Mahfud MD, Hukum dan Piar-Pilar Demokrasi,
Yogyakarta : Gama Media, 1999, hal 200-201.
[17] Miriam Budiardjo, Op.Cit., hal
35-38.
[19] Sherief Maronie, Hubungan Politik & Hukum, Online 11
November 2011, http://zriefmaronie.blogspot.com/2011/11/hubungan-hukum-politik.html
[21] Author, KPK dan Koruptor Dalam Relasi Hukum
Dan Kekuasaan, Online, 26
Februari 2013, http://thewarofcredo.wordpress.com/2013/02/26/kpk-dan-koruptor-dalam-relasi-hukum-dan-kekuasaan/
[22] Soerjono Sukanto, Loc.Cit.
[24] Moh Mahfud MD, Politik Hukum di
Indonesia, Loc.Cit.
[25] Bernard L. Tanya, Politik Hukum Agenda Kepentngan Bersama,
Yogyakarta : Genta Publishing, 2011, hal
3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar