SEJARAH
KEDUDUKAN (PERIODESASI) HUKUM
ADAT INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum
adat secara nyata memang sudah diakui menjadi milik bangsa Indonesia secara
mutlak dan asli berasal dari Indonesia. Hukum adat Indonesia tumbuh dan
berkembang dalam jiwa bangsa, artinya hukum adat merupakan pencerminan dari
kepribadian bangsa Indonesia. Akan tetapi, masyarakat Indonesia tidak
memperhatikan dan tidak mengetahui sejak kapan hukum tersebut menjadi milik
bangsa Indonesia. Karena pada zaman dahulu hukum yang berkembang antar daerah
di Indonesia memiliki istilah yang berbeda-beda. Namun, hukum tersebut intinya
sama yaitu sebagai aturan atau pedoman untuk bertingkah laku. Kedudukan hukum
adat ini hendaknya dipertahankan dan dilestarikan oleh generasi berikutnya
secara terus menerus.
Kedatangan
bangsa Barat ke Pribumi membuat hukum asli kita mulai terusik. Yang mana semula
bangsa Barat ke tanah air hanya untuk mencari remapah-rempah saja. Namun
setelah sekian lama berkuasa di Indonesia bangsa Barat mulai kesulitan dalam
mencapai tujuannya. Hal ini disebabkan bangsa Indonesia dahulu masih asing dan
bersifat tertutup untuk menghadapi orang luar. Maka disinilah bangsa Barat
mulai penasaran akan tradisi atau budaya serta nilai-nilai yang sangat kental
di dalam pribumi ini. Sehingga, bangsa Asing tersebut mulai merencanakan untuk
mempelajari Hukum Adat Asli Indonesia dengan cara melihat seluk beluk history
masyarkat Indonesia terlebih dahulu.
Hukum
Adat bila dibenturkan dengan permasalahan sosial masih mengandung berbagai
permasalahan (problem). Pertama
konsep hukum Adat yang selama ini dikembangkan adalah konsep yang dikemukakan
oleh Van Vollenhoven yang tentunya sudah tidak relevan pada masa sekarang. Kedua hukum Adat yang merupakan sumber
hukum Nasional belum dilegalkan sebagai peraturan tertulis, padahal hukum dalam
konteks lokal (local culture) perlu dikembangkan dalam era sekarangsehingga
hukum yang berlaku di masyarkat terasa lebih inhern, acceptable, dan adaptif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Era Pra Kolonial sampai Era VOC
1. Sejarah singkat
Peraturan
adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman
Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu tersebut menurut
ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia.
Kemudian
datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing
mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai tata kehidupan
masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat. Sehingga Hukum Adat yang kini
hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara peraturan-peraturan
adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidup kultur Hindu,
Islam dan Kristen. Setelah terjadi
akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau “Inladsrecht” menurut
Van Vaollenhoven terdiri dari :
2. Bukti Adanya Hukum Adat Indonesia
Hukum
adat tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia. Maka hukum
adat dapat dilacak secara kronologis sejak Indonesia terdiri dari
kerajaan-kerajaan, yang tersebar di seluruh nusantara. Masa Sriwijaya, Mataran
Muno, Masa Majapahit beberapa inskripsi (prasasti) menggambarkan perkembangan
hukum yang berlaku (hukum asli), yang telah mengatur beberapa bidang, antara
lain:
a.
Aturan
aturan keagamaan, perekonomian dan pertambangan, dimuat dalam Prasasti Raja
Sanjaya tahun 732 di Kedu, Jawa Tengah;
b.
Mengatur
keagamaan dan kekaryaan, dimuat dalam prasasti Raj Dewasimha tahun 760;
c.
Hukum
Pertanahan dan Pertanian ditemukan dalam Prasasti Raja Tulodong, di Kediri
tahun 784 dan prasasti tahun 919 yang memuat jabatan pemerintahan, hak raja
atas tanah, dan ganti rugi;
d.
Hukum mengatur
tentang peradilan perdata, dimuat dalam prasasti Bulai Rakai Garung, 860.
e.
Perintah Raja untuk
menyusus aturan adat, dalam prasasti Darmawangsa tahun 991;
f.
Pada masa
Airlangga, adanya penetapan lambang meterai kerajaan berupa kepala burung
Garuda, pembangunan perdikan dengan hak-hak istimewanya, penetapan pajak
penghasilan yang harus dipungut pemerintah pusat.
g.
Masa Majapahit,
tampak dalam penataan pemerintahan dan ketatanegaraan kerajaan Majapahit,
adanya pembagian lembaga dan badan pemerintahan. Setelah jatuhnya Majapahit, maka kerajaan Mataram sangat diwarnai oleh pengaruh
Islam, maka dikenal peradilan qisas, yang ,memberikan pertimbangan bagi
Sultan untuk memutus perkara. Di pedalaman, dikenal peradilan ‚padu’ yaitu
penyelesaian perselisihan antara perorangan oleh peradilan desa, dilakukan
secara damai. Bersamaan itu, maka di Cirebon dikenal : Peradilan Agama memutus
perkara yang membahayakan masyarakat umum, Peradilan Digrama yang memutus
pelanggaran adat, dan perkara lain yang tidak masuk peradilan agama; dan
Peradilan Cilaga adalah peradilan dalam bidang perekonomian, perdagangan, jual
beli, hutang piutang.
Beberapa contoh tersebut di atas
menunjukkan bahwa tatanan hukum asli yang telah berlaku di berbagai daerah,
yang sekarang dikenal dengan nama Indonesia menunjukkan hukum bersumberkan pada
masyarakat asli, baik berupa keputusan penguasa maupun hukum yang berlaku dalam
lingkungan masyarakat setempat.
Bukti-bukti
bahwa dulu sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah ada hukum adat, adalah
sebagai berikut :
a.
Tahun
1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan kitabnya yang
disebut Civacasana.
b.
Tahun
1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang disebut Kitab Gajah
Mada.
c.
Tahun
1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.
d.
Tahun
1350, di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava.
Disamping
kitab-kitab hukum kuno tersebut yang mengatur kehidupan di lingkungan istana,
ada juga kitab-kitab yang mengatur kehidupan masyarakat sebagai berikut :
1.
Tapanuli : Ruhut
Parsaoran di Habatohan (kehidupan social di tanah Batak), Patik Dohot Uhumni
Halak Batak (Undang-Undang dan
ketentuan-ketentuan Batak).
2.
Jambi : Undang-Undang Jambi.
3.
Palembang : Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang tanah di dataran tinggi
daerah Palembang).
4.
Minangkabau : Undang-Undang
nan dua puluh (Undang-Undang tentang hukum adat delik di Minangkabau).
5.
Sulawesi Selatan : Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan pengangkatan
laut bagi orang-orang wajo).
6.
Bali : Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama desa
(peraturan desa) yang ditulis didalam daun lontar.
Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang hukum
adat, dan semasa VOC karena ada kepentingan atas Negara jajahannya (menggunakan
politik opportunity), maka Heren 17 (pejabat di Negeri Belanda yang mengurus
Negara-negara jajahan Belanda) mengeluarkan perintah kepada Jenderal yang
memimpin daerah jajahannya masing-masing untuk menerapkan hukum Belanda di
Negara jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada tanggal 1 Maret 1621 yang baru
dilaksanakan pada tahun 1625 yaitu pada pemerintahan De Carventer yang
sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan
bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup.
Oleh karena itu, Carventer memberikan tambahan bahwa
hukum itu disesuaikan sehingga perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu :
1.
Tahun 1750, untuk keperluan Lanrad
(pengadilan) di Serang dengan kitab hukum “MOGHARRAR”
yang mengatur khusu pidana adat (menurut Van Vollenhoven kitab tersebut berasal
dari hukum adat).
2.
Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan
kitab yaitu “COMPEDIUM”
(pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck mengenai
Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan kerator Bone dan Goa.
3.
COMPENDIUM FREIZER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak, dan warisan.
4.
HASSELAER, beliau
berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk para hakim di Cirebon yang terkenal
dengan PAPAKEM CIREBON. Pencatatan hukum adat oleh orang luar negeri diantaranya:
a.
Robert Padtbrugge (1679), ia seorang gubernur Ternate yang
mengeluarkan peraturan tentang adat istiadat Minahasa.
b.
Francois Valetijn (1666-1727) yang menerbitkan suatu
ensiklopedia tentang kesulitan-kesulitan hukum bagi masyarakat.
Periodesasi hukum adat pada masa penjajahan Belanda terbagi dalam
:
Ø Jaman
Daendels (1808-1811) Beranggapan bahwa memang ada hukum yang hidup dalam
masyarakat adat tetapi derajatnya lebih rendah dari hukum eropa, jadi tidak
akan mempengaruhi apa-apa sehingga hukum eropa tidak akan mengalami perubahan
karenanya.
Ø Jaman
Raffles (1811-1816) Pada zaman ini Gubernur Jenderal dari Inggris membentuk
komisi MACKENZIE atau suatu panitia yang tugasnya mengkaji/meneliti
peraturan-peraturan yang ada di masyarakat, untuk mengadakan
perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk pemerintahan yang dipimpinnya.
Setelah terkumpul hasil penelitian komisi ini yaitu pada tanggal 11 Pebruari
1814 dibuat peraturan yaitu regulation for the more effectual Administration of
justice in the provincial court of Java yang isinya :
· Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim
· Susunan
pengadilan terdiri dari : Residen’s court ; Bupati’s court; Division court
· Ada
juga Circuit of court atau pengadilan keliling
· Yang
berlaku adalah native law dan unchain costum untuk Bupati’s court dan untuk
Residen (orang Inggris) memakai hukum Inggris.
Ø Zaman
Komisi Jenderal (1816-1819) Pada zaman ini tidak ada perubahan dalam
perkembangan hukum adat dan tidak merusak tatanan yang sudah ada.
Ø Zaman
Van der Capellen (1824) Pada zaman ini tidak ada perhatian hukum adat bahkan
merusak tatanan yang sudah ada.
Ø Zaman
Du Bush Pada zaman ini sudah ada sedikit perhatian pada hukum adat, yang utama
dalam hukum adat ialah hukum Indonesia asli.
Ø Zaman
Van den Bosch Pada zaman ini dikatakan bahwa hukum waris itu dilakukan menurut
hukum Islam serta hak atas tanah adalah campuran antara peraturan Bramein dan
Islam.
Ø Zaman
Chr. Baud. Pada zaman ini sudah banyak perhatian pada hukum adat misalnya
tentang melindungi hak-hak ulayat.
B. Era Kolonial sejak 1848 sampai Era Kemerdekaan
a. Masa penjajahan Belanda
Pertama
kalinya hukum adat diatur dalam Algemeene Bepaligen van Wetgeving voor
Nerderland Indie (A.B.) yang mengatur tentang “ketentuan-ketentuan umum bagi
perundangan Indonesia” dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 dimuat dalam Stb
1847 no.23.
Pasal
11 AB menyatakan: “apabila peraturan hukum adat yang bersangkutan bertentangan
dengan dasar-dasar keadilan atau bila terhadap soal yang menjadi perkara itu
tidak ada peraturan adat, maka hakim wajib memakai dasar-dasar umum hukum
perdata dan dagang Eropa sebagai pedoman.”
Semenjak
tanggal 22 September 1854, A.B diganti dengan Regerings Reglement (R.R) yang
mengatur tentang “peraturan tentang kebijaksanaan pemerintah, urusan
pengadilan, dan perdagangan di daerah jajahan di Asia”. RR ini sering dikatakan
sebagai teks lama (perubahan pertama). Masalah hukum adat yang semula diatur
dalam pasal 11 AB sekarang diatur dalam pasal 75 RR yang intinya menyatakan
“sekedar perundangan bagi golongan bangsa Eropa tidak diperlukan oleh Gubernur
Jenderal untuk bangsa Indonesia, dan sekedar orang Indonesia tidak menyatakan
dengan sukarela bahwa ia akan hakim
harus melakukan dalam lapangan perdata hukum adat asalkan hukum adat itu tidak
bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang diakui umum.”
Tanggal
1 Januari 1920 RR teks lama diperbaharui lagi dengann RR teks baru. Kemudian tanggal 23 Juni 1925 RR teks
baru, diperbaharui lagi dengan Indische Staatsregelling (I.S.) yang mengatur
tentang “peraturan Ketatanrgaraan Indonesia” dimuat dalam Stb 1925 no. 415 yang
mulai berlaku semenjak tgl 1 Januari 1926. Diamana pasal 75 RR isinya mirip
dengan isi pasal 131 I.S.
Pasal
131: 1 IS menetapkan: “suatu asas bahwa hukum perdata dan hukum pidana materiil
dan formil akan ditulis atau ditetapkan dalam ordonansi-ordonansi yaitu suatu
UU yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal dengan persetujuan Volksraad” .
Pasal
131: 2 I.S. menetapkan “suatu pedoman kepada pembentuk ordonansi untuk
hukum perdata materiil yang harus diatur
orang Indonesia dan Timur Asing. Untuk itu berlaku asas bahwa hukum adat mereka
akan dihormati, denagn kemungkinan penyimpangan-penyimpangan”.
Walaupun
pasal 75 RR isinya hampir sama dengan pasal 131 I.S, tetapi tetap ada perbedaan
penting yang perlu diperhatikan, yaitu :
1.
Pasal
75 RR ditujukan kepada hakim sedangkan pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat
undang-undang.
2.
Pasal
75 RR memuat kemungkinan bagi orang Indonesia atau orang Timur Asing untuk
menundukkan diri kepada hukum baru (nieuw recht) yaituy hukum yang merupakan
sintesa antara hukum adat dengan hukuim Eropa, sedangkan pasal 131 IS
membolehkan bagi orang Indonesia atau Timur Asing untuk menundukkan diri pada
hukum Barat.
3.
Hukum
adat tidak boleh dijalankan apabila bertentangan dengan “asas-asas keadilan”.
Jika hukum adat tidak dapat menyelesaikannya menurut asas-asas hukum Eropa.
Pembatasan
atas penerapan dan kemungkinan untuk menambah hukum adat yang tercantum dalam
pasal 75 ayat 3 dan ayat 6 R.R tidak termuat dalam pasal 131 IS. Ssesudah tangal
1 januari 1926, nyatanya kedua wewenang hakim itu tidak termuat dalam pasal 131
IS.
Dari
uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa kekuasaan kolonial
belanda dahulu bangsa Indonesia sudah mewarisi dua konsep hukum adat yaitu: 1) Konsep
hukum adat dari pemerintah kolonial Belanda yang dituangkan dalam pasal 131
ayat 2 IS, yang ditujukan kepada pembentuk perundangan negara. 2) Konsep hukum
adat hasil kongres Pemuda Indonesia (1928) yang ditujukan kepada seluruh rakyat
Indonesia untuk memperkuat persatuan bangsa. (Hilman H, 2003:95)
b. Masa Penjajahan Jepang
Pada
masa pemerintahan Bala militer Jepang dahulu, satu-satunya peraturan pokok yang
dikeluarkan oleh pemerintah Jepang di Indonesia ialah UU No. 1 tahun 1942, yang
dikeluarkan tanggal 7 Maret 1942. Pada Pasal
3 menyatakan: “semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya hukum dan undang-undang dari pemerintahan
yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan
dengan Aturan Pemerintah Militer.” (Bunyi pasal ini seperti peraturan
pralihan). Ini berarti semua peraturan atau lembaga yang sudah dibuat oleh
kolonial Belanda dahulu diberlakukan oleh Pemerintah Militer Jepang di
Indonesia.
C.
Era Tata Hukum Indonesia
Merujuk pada pengertian hukum adat
sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo, maka hukum adat pembentukan dapat melalui
Badan Legislatif, melalui
Pengadilan. Hukum merupakan kesatuan norma yang bersumber pada nilai-nilai (values).
Namun demikian hukum dan hukum adat pada khususnya menurut karakternya, ada
: 1) Hukum adat memiliki karakter
bersifat netral, dan 2) Hukum
adat memiliki karakter bersifat tidak netral karena sangat erat kaitannya
dengan nilai-nilai relegius.
Dasar hukum adat sekarang :
·
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. (pasal peralihan UUD
1945)
·
Pasal 24 UUD 1945
·
Pasal 23 ayat 1 UUD 1945.
·
UU No. 14/1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman
Hukum Adat dijadikan dasar bagi terbentuknya hukum nasional dalam rangka
pembangunan hukum. Hal ini dapat dilihat dalam Tap MPRS No. 11/MPRS/1960 dimana
asas yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum adalah :
a)
Pembangunan hukum harus diarahkan pada homogenitas
dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
b)
Harus sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan
hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
Hukum adat dijadikan dasar bagi hukum nasional, karena merupakan hukum yang mencerminkan kepribadian/jiwa bangsa Indonesia.
Hukum adat dijadikan dasar bagi hukum nasional, karena merupakan hukum yang mencerminkan kepribadian/jiwa bangsa Indonesia.
Hukum adat oleh ahli barat, dipahami
berdasarkan dua asumsi yang salah, pertama, hukum adat dapat dipahami
melalui bahan-bahan tertulis, dipelajari dari catatan catatan asli atau
didasarkan pada hukum-hukum agama. Kedua, bahwa hukum adat
disistimatisasi secara paralel dengan hukum-hukum barat. Akibat pemahaman
dengan paradigma barat tersebut, maka hukum adat dipahami secara salah dengan
segala akibat-akibat yang menyertai, yang akan secara nyata dalam perkembangan
selanjutnya di masa kemerdekaan.
a.
Hukum
Adat dalam Konsitusi
Konstitusi kita sebelum amandemen tidak
secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum
adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya
rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur hukum adat.
Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini
mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan
hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian berdasarkan
azas kekeluargaan.
Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD
1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini
diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam
hukum adat.
Dengan
dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 diambali berlaku, ada 4 pokok
pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan
meliputi segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum,
yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak mewujdukan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan
keadilan hukum. Maka azas-azas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam
mewujudkan hal itu menjadi penting untuk diwujudkan dan disesuasikan dengan dengan
tuntutan dan perkembangan masyarakat, bersumber pada nilai primernya. Pokok
Pikiran ketiga adalah : negara mewujdukan
kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan dan perwakilan.
Pokok pikiran ini sangat fundamental dan penting, adanya persatuan perasahaan
antara rakyat dan pemimpinnya, artinya pemimpin harus menantiasa memahami
nilai-nilai dan perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai
spirit dalam menyelenggarakan kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan
publik. Dalam hubungan itu diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang memiliki
watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan
berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, mengharuskan
cita hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia,
masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan
negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara, sebagai
fungsi manusia harus sebabtiasa dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan YME.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum
adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 18D
ayat 2 menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Maka konsitusi ini, memberikan jaminan
pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
1.
Syarat
Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat;
2.
Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang;
UU
No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak
memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai sumber hukum
perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat yang
secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau
atau pendapat para sarjana.
b. Hukum
Adat Dalam UU Darurat No. 1 Tahun 1951
Hukum
adat dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, dimuat dalam pasal 1 dan
pasal 5. Pasal 1, ditegaskan : Kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan
yang meliputi badan pengadilan gubernemenm badan pengadilan swapraja (Zellbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu
menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan
pengadilan adat (Inheemse rechtspraak in rechsreeks bestuurd gebied)
kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan
suatu bagian tersendiri dari pengadilan adat yang telah dihapuskan.
Pasal 5 ayat (3) Sub b : Hukum Materiil sipil dan untuk sementara
waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk
kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan
adat, adat tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang-orang itu dengan
pengertian:
§ ...perbuatan yang menurut hukum yang hidup
harus dianggap perbuatan pidana akan tetapi tidak ada bandingannya dalam KUHP
Sipil maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari 3 (tiga) bulan
penjara dan/ atau denda lima ratus , yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum...
§ Bahwa bilamana hukum adat yang dijatuhkan
itu menurut pikiran hakim melampaui pidananya dengan kurungan atau denda,
...maka dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 (sepuluh) tahun penjara,
dengan pengertian bahwa hukum adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi
dengan zaman...
§ Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum
harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dengan KUHP Sipil
maka dianggap diancam dengan hukum yang sama dengan hukum bandingannya yang
paling mirip dengan perbuatan itu.
Ketentuan tersebut berusaha untuk
menghapus hukum pidana adat berikut sanksinya bagi pribumi dan orang-orang
timur asing dengan peradilan pidana adat, kecuali hanya diselenggarakan oleh peradilan umum, peradilan
agama dan peradilan desa (hakim perdamaian desa).
Dengan demikian sejak dikeluarkan UU Drt
Nomor 1 Tahun 1951, maka hukum pidana adat sudah tidak mendapat tempat
semestinya karena sangat dibatasi dalam politik hukum NKRI. Dalam Pasal
2 Peraturan Menteri Agraria/KBPN No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
masalah hak ulayat masyarakat hukum adat, disebutkan:
1.
Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya
masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum adat setempat.
2.
Hak ulayat masyarakat hukum adat masih ada apabila:
a. terdapat
sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketenuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;
b. terdapat
tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan
hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan;
c. terdapat
tatanan hukum adat mengenai pengurusan penguasaan dan penggunaan tanah ulayat
yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
c.
Hukum
Adat Dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
Dalam pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960
ditegaskan: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini dan dengan peraturan undang-undang lainnya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersumber pada hukum agama. Penjelasan
Undang-undang disebutkan: Hukum adat yang disempurnakan dan disuaikan dengan
kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dunia
internasional serta sesuai dengan sosialisme Indonesia. Ketentuan
tersebut merupakan realisasi dari Tap MPRS II/MPRS/1960 Lampiran A Paragraf 402.
Hukum
agraria hanya memberlakukan hal-hal tertentu saja daripadanya. Pereduksian
dapat dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan negara. Adanya Hak Menguasai
Negara (HMN), merupakan bentuk penarikan ke negara Hak Ulayat yang dimiliki
oleh masyarakat adat atas tanah yang berada di wilayah Indonesia, yang kemudian
dikontruksi kembali sebagai bentuk pelimpahan kewenangan negara dalam
pelaksanaan dapat dilimpahkan kepada pemerintah di bawahnya. Maka Hak Ulayat
dalam masyatakat adat yang semula bersifat mutlak dan abadi, telah direduksi
dengan tergantung kepentingan dan ditentukan oleh negara.
Akibat
lebih jauh adalah, timbulnya hak atas tanah menurut hukum adat, yaitu dengan
Hak Membuka Tanah (ontginningrecht) yang diberikan oleh ulayat, sehingga
ia memiliki Hak Menikmati (genotrecht), dan memiliki hak terdahulu (voorkersrecht)
atas tanah yang digarapnya, timbulnya hak milik melalui penunjukan rapat desa
di Jawa Tengah (pekulen, norowito) dan Jawa Barat (kasikepan,
kanomeran, kacacahan), oleh UUPA direduksi dan disubordinasikan melalui
peraturan pemerintah, sebagaimana diatur pasal 22 ayat (1) UUPA: Terjadinya hak
milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum adat merupakan salah satu sumber
yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang
menuju unifikasi dengan tidak mengabaikan berkembangnya hukum kebiasaan
pengadilan dalam pembinaan hukum. Berikut periodesasi hukum adat :
1.
Era Pra Kolonial sampai Era VOC
Peraturan
adat istiadat, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-Hindu.
Bukti bahwa dulu
sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah ada hukum adat, adalah sebagai
berikut : 1) 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan
kitabnya yang disebut Civacasana. 2) 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit,
membuat kitab yang disebut Kitab Gajah Mada. 3) 1413-1430, Kanaka Patih
Majapahit, membuat kitab Adigama. 4) 1350, di Bali ditemukan kitab hukum
Kutaramanava, dsb.
2.
Era Kolonial sejak 1848 sampai Era Kemerdekaan
a.
Masa penjajahan Belanda
Pada masa
kekuasaan kolonial belanda dahulu bangsa Indonesia sudah mewarisi dua konsep
hukum adat yaitu: Konsep hukum adat dari pemerintah kolonial Belanda yang
dituangkan dalam pasal 131 ayat 2 IS, yang ditujukan kepada pembentuk
perundangan negara.
b.
Masa Penjajahan Jepang
Pasal 3 UU No.1
tahun 1942 terzsebut menyatakan: “semua badan-badan pemerintahan dan
kekuasaannya hukum dan undang-undang
dari pemerintahan yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja
tidak bertentangan dengan Aturan Pemerintah Militer.”
3.
Era Tata Hukum
Indonesia
Rumusan-rumusan
yang ada di dalam konstitusi Indonesia mengandung nilai luhur hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat
pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang
hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian berdasarkan azas kekeluargaan.
B. Saran
Secara normatif, sebaiknya bangsa
Indonesia berkomitmen untuk tetap mempertahankan hukum asli Indonesia yaitu
Hukum Adat. Walaupun sekarang ini pelaksanaan hukum Indonesia yang mengadopsi
hukum Eropa begitu menjamur. Sehingga, seakan-akan masyarakat atau bangsa
Indonesia sudah lupa terhadap hukum asli bangsa ini. Padahal hukum tersebut
merupakan cermin dari kepribadian bangsa Indonesia.
Dengan demikian, hendaknya Pemerintah
Pusat ataupun Pemerintah Daerah segera melakukan tindakan baik dari segi
regulasi maupun action dalam melestarikan keberlangsungan hukum adat di
masing-masing daerah. Seperti dari hal teknis, misalnya mengadakan seminar
tentang “Kearifan Lokal di Daerah
Indonesia “, perayaan karnaval, dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam melestarikan hukum adat
yang bersifat non-teknis. Seperti dengan penyuluhan atau sosialisasi akan
penting memelihara kearifan lokal dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Misainya Kepala Desa membuat peraturan atau regulasi tentang bersih desa atau
kerja bakti setiap hari jum’at. Dengan seperti itu, akan tumbuh nilai-nilai
budaya (gotong royong dan kerjasama atau saling tolong menolong) dalam
kehidupan bermasyarakat. Sehingga masyarakat akan timbul kesadaran dalam
melestarikan hukum adat tersebut. Hal ini sangat penting terkait dalam membina
hukum nasional dan mengembalikan kepribadian bangsa Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
E.S
Ardinarto. 2007. Mengenal Adat Istiadat
dan Hukum Adat di Indonesia. Surakarta : UNS Press.
Hadikusuma, Hilman,
Prof., S.H. 1992. Pengantar Ilmu Hukum
Adat Indonesia. Bandung : Mandar Maju.
Website :
f-j-f-j.blogspot.com/2011/10/sejarah-politik-hukum-adat.html Online, diakses 23 Maret 2012
images.flowst.multiply.multiplycontent.com/ Online,
diakses 23 Maret 2012
http://alabik.web.id/umum/sejarah-perkembangan-hukum-adat-di-indonesia.html
Online,
diakses 23 Maret 2012
http://www.gudangmateri.com/2010/10/sejarah-hukum-adat-di-indonesia.html
Online,
diakses 23 Maret 2012
mklh3sejarahhukumadat.blogspot.com/
Online, diakses 23 Maret 2012
www.gudangmateri.com/2010/.../sejarah-hukum-adat-di-indonesia.html Online, diakses 23 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar