BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Sebagaimana diamanatkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi
lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonomi.
Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan
daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan
Daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik
didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif di
daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah baik di
provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Pasal 40 UU No. 32/2004) .
Sejalan dengan semangat
desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah dilaksanakan secara
langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya pilkada adalah koreksi
terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi
demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Melalui
pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara
langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam memilih
kepala daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4
UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh
partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No. 32
Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah
dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat
konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat
terjadinya good governance karena
rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini
merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi.
Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi
ini telah sampai pada taraf otonomi individu.
Selain semangat tersebut, sejumlah
argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada adalah: Pertama,
dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki
kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan
stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga,
dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan
nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional
yang berasal dari bawah dan/atau daerah.
Sejak diberlakukannya UU No. 32
Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak
menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat
menguras tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar, baik
dari segi politik (issue perpecahan internal parpol, issue tentang money
politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang melibatkan
instansi resmi), sosial (issue tentang disintegrasi social walaupun sementara,
black campaign dll.) maupun finansial. Hal ini kita lihat
pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi
Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel, pemilihan gubernur langsung diselenggarakan
sebanyak dua putaran karena ketidakpuasan salah satu calon atas hasil
penghitungan suara akhir.
Masalah pemenangan Pilkada
mengandung latar belakang multidimensional. Ada yang bermotif harga
diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan
kehormatan; Terkait juga kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua
Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada
yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam
kerangka motif kekuasaan bisa difahami, karena “politics is the struggle over allocation
of values in society” (Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi
kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti
pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi
fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses
pemerintahan (the process of government). Dalam kerangka ini cara-cara
“lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise” seringkali
terkandung di dalamnya.
Namun dalam Undang-undang tentang
Partai Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No. 2 Tahun
2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya
sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat
transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal financial besar,
serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya
yang sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat
dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang
calon,serta banyak Perda-Perda yang bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan
iklim investasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka disusunlah sebuah
makalah yang berjudul, “ANALISIS KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMILUKADA SERTA
MASA DEPAN PEMILUKADA DI DI INDONESIA”. Makalah ini disusun bertujuan untuk
menganalisis kelebihan dan kelemahan pelaksaanan Pemilikada, serta menganalisis
masa depa pelaksanaan Pemilukada secara langsung di Indonesia.
B.
PERUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa
saja kelebihan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia ?
2. Apa
saja kelemahan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia ?
3. Bagaimana
masa depan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia ?
C.
TUJUAN
PENULISAN
Berdasarkan
perumusan masalah tersebut, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis
kelebihan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia.
2. Menganalisis
kelemahan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia.
3. Menganalisis
masa depan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia.
D.
MANFAAT
PENULISAN
1.
Bagi Penulis
Penulisan
makalah yang berjudul, “ANALISIS KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMILUKADA SERTA MASA DEPAN PEMILUKADA
DI DI INDONESIA”, disusun sebagai
salah satu pemenuhan Tugas UKD 4 Pemerintahan daerah dan Desa/ Semester 5 (lima)
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang diampu oleh Rima Vien, PH, SH, MH.
2.
Bagi Pembaca
Makalah
ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka bagi pembaca dalam mengkaji
permasalah Pemerintahan Daerah dan Desa berkaitan dengan pelaksanan pemilihan umum kepala daerah
(Pemiluka) secara langsung, khususnya kelebihan dan kelemahan, serta masa depan
Pemilukada di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
KAJIAN
PUSTAKA
Pelaksanaan pemilu
kepala daerah atau disingkat pemilukada langsung tentunya tidak lepas dari
adanya terobosan politik dalam pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan UU
No. 32 tahun 2004. Pemberian otonomi ini memiliki korelasi perspektif dengan
teori-teori dasar tentang desentralisasi dan politik lokal.
Desentralisasi secara
umum dapat dilihat dalam dua perspektif yaitu administratif dan politik.
Berdasarkan perspektif administratif, desentralisasi didefinisikan sebagai the
transfer of administrative responsibilitiy from central to local government
(Romli, 2005). Artinya dalam perspektif otonomi daerah yang berlaku di Indonesia,
desentralisasi administratif ini diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sedangkan perspektif politik, Smith
mengatakan desentralisasi sebagai the transfer of power, from top levelto lower
level, in a territorial hierarchy, which could be one of goverments within a
state, or office within a large organization. Dalam pandangan yang lain Mawhood
mengatakan bahwa desentralisasi politik adalah devolution of power from central
government to local government. Mawhood juga meletakkan konteks desentralisasi
politik sebagai esensi dasar otonomi bagi daerah yaitu a freedom which is
assumed by local government in both making and implementing its own decision
(Prasojo et all, 2006).[1]
Dalam konteks negara
kesatuan, otonomi yang diberikan oleh daerah bukanlah suatu bentuk kebebasan
yang bersifat asli, melainkan merupakan pemberian dari pemerintah pusat.
Konteks pemberian otonomi oleh pemerintah pusat ini sangat terkait dengan
kontruksi bentuk Negara dan pembagian kekuasaan yang ada di dalamnya.
Secara teoritis dalam
perspektif praktek ketatanegaraan yang ada, terdapat dua macam bentuk negara
dalam kaitannya dengan pembagian kekuasaan secara vertikal, yaitu negara
kesatuan dan negara federal. Kedua bentuk negara ini dapat dibedakan satu sama
lain berdasarkan kepada dimensi: (1) Karakter dasar yang dimiliki oleh struktur
pemerintahan regional/lokalnya, (2) Proses pembentukan struktur pemerintahan
regionalnya, (3) Sifat hubungan antara struktur pusat dan struktur regional,
(4) Keberadaan Konstitusi, dan (4) Derajat kemandirian yang dimiliki oleh
struktur regional (Prasojo et. All, 2006). 1
Dalam pembahasan ini,
hanya akan dijabarkan tiga dimensi pembeda saja melihat konteksnya yang
berhubungan erat dengan desentralisasi politik.
Dalam dimensi karakter dasar pemerintah, pemerintah daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki karakter soverenitas (kedaulatan), sedangkan negara bagian dalam negara federal merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan. Kusnardi dan Ibrahim (1988) menyebutkan bahwa negara federal, negara-negara bagian mempunyai wewenang untuk membuat undang-undang dasarnya sendiri dan dapat menentukan organisasinya masingmasing dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan konstitusi dari negara federal seluruhnya. Sedangkan dalam negara kesatuan, organisasi dan kewenangan membuat undang-undang ditentukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan pelaksana kebijakan pemerintah pusat dalam sistem desentralisasi.
Dalam dimensi karakter dasar pemerintah, pemerintah daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki karakter soverenitas (kedaulatan), sedangkan negara bagian dalam negara federal merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan. Kusnardi dan Ibrahim (1988) menyebutkan bahwa negara federal, negara-negara bagian mempunyai wewenang untuk membuat undang-undang dasarnya sendiri dan dapat menentukan organisasinya masingmasing dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan konstitusi dari negara federal seluruhnya. Sedangkan dalam negara kesatuan, organisasi dan kewenangan membuat undang-undang ditentukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan pelaksana kebijakan pemerintah pusat dalam sistem desentralisasi.
Dalam dimensi proses
pembentukan struktur pemerintahan, pemerintahan daerah di Negara kesatuan
dibentuk oleh pemerintah pusat melalui undang-undang, dan dapat dimekarkan,
diciutkan dan atau dibubarkan kembali melalui undang-undang. Pemerintahan
daerah di Negara kesatuan adalah bentukan pusat. Sebaliknya, di negara federal,
pemerintahan negara bagian merupakan struktur asli yang telah ada sebelum
struktur federal terbentuk. Bahkan pembentukan struktur federal merupakan
kesepakatan yang terjadi antara negara-negara bagian. Dapat dikatakan bahwa
struktur federal di dalam negara federal dibentuk oleh negaranegara bagian
melalui konstitusi (Prasojo et. All, 2006). 1
Dalam dimensi hubungan
antara struktur pemerintahan, sifat hubungan antara struktur pusat dan struktur
regional/daerah dalam negara kesatuan adalah subordinatif sedangkan dalam
negara federal bersifat koordinatif. Subordinatif dalam pengertian bahwa
pemerintahan daerah adalah bentukan dan bawahan dari pemerintahan pusat.
Sedangkan sifat koordinatif antara struktur negara bagian dan struktur federal
dalam negara federal menunjukkan kedudukan yang sama.
Oleh karena pemerintahan daerah dalam negara kesatuan dibentuk oleh pemerintah pusat dan menjadi subordinasi, maka derajat kemandirian sebagai yang dimiliki oleh pemerintahan daerah sangat terbatas. Bila pemerintah pusat menghendaki penarikan kewenangan yang sudah diserahkan kepada satu pemerintahan daerah, maka hal tersebut dapat dengan mudah dilakukan. Sebaliknya derajat kemandirian negara bagian dalam negara federal dapat dikatakan sangat besar, karena kedudukannya dijamin dalam konstitusi. Dalam konteks pembagian wewenang, dalam negara federal, wewenang pembuat undang-undang pemerintah federal ditentukan secara rinci, sedangkan wewenang lainnya ada pada negara-negara bagiannya. Pada negara kesatuan, wewenang terperinci ada pada pemerintah daerah, sedangkan kewenangan sisanya (residual power) ada pada pemerintah pusat (Kusnardi dan Ibrahim,1988).[2]
Oleh karena pemerintahan daerah dalam negara kesatuan dibentuk oleh pemerintah pusat dan menjadi subordinasi, maka derajat kemandirian sebagai yang dimiliki oleh pemerintahan daerah sangat terbatas. Bila pemerintah pusat menghendaki penarikan kewenangan yang sudah diserahkan kepada satu pemerintahan daerah, maka hal tersebut dapat dengan mudah dilakukan. Sebaliknya derajat kemandirian negara bagian dalam negara federal dapat dikatakan sangat besar, karena kedudukannya dijamin dalam konstitusi. Dalam konteks pembagian wewenang, dalam negara federal, wewenang pembuat undang-undang pemerintah federal ditentukan secara rinci, sedangkan wewenang lainnya ada pada negara-negara bagiannya. Pada negara kesatuan, wewenang terperinci ada pada pemerintah daerah, sedangkan kewenangan sisanya (residual power) ada pada pemerintah pusat (Kusnardi dan Ibrahim,1988).[2]
Pelaksanaan pemilukada
langsung yang saat ini ada merupakan bentuk penyerahan kewenangan dari pemerintah
pusat kepada daerah untuk memilih secara langsung kepala daerahnya,sehingga
konteks aturan yang berlaku dalam pilkada merupakan jabaran atau turunan dari
aturan yang berlaku dalam ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang
pemerintahan daerah. Dalam perspektif desentralisasi politik, dengan adanya
pilkada maka kekuasaan tidak lagi terkonsentrasikan pada pemerintah pusat,
tetapi dapat didistribusikan kepada daerah-daerah. Dengan demikian, daerah
memiliki posisi yang jauh lebih kuat untuk mengatur dan menentukan urusan rumah
tangganya sendiri sesuai kewenangan yang dimilikinya.
Dalam perspektif ini
pula, maka menjadi hal wajar apabila pemberikan desentralisasi politik dan
pelaksanaan pilkada ini berada dalam ranah pemerintahan daerah, karena konteks
sistemik dari pemberian kekuasaan kepada daerah untuk memiliki pemimpin daerah
sendiri secara langsung merupakan pemberian dari pemerintah pusat. Selain itu
pula dalam konteks bingkai negara kesatuan yang dipilih menjadi bentuk negara
berdasarkan konstitusi ini harus tetap menjaga keterpautan yang kuat antara
hubungan pusat dan daerah. Mengingat pergolakan arus gerakan antara putaran
sentrifugal dan sentripetal yang menarik hubungan daerah ke dalam lingkaran
pusat dan sebaliknya, harus dijaga dinamisasinya agar tidak saling tertarik
terlalu dalam antara salah satu arus tersebut.
Pimilukada
lokal adalah implikasi dari desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah
sebagai perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia. Konsepnya mengandaikan
pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat. Hal paling mendasar dalam
demokrasi adalah keikutsertaan rakyat, serta kesepakatan bersama atau konsensus
untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Perkembangan desentralisasi
menuntut adanya proses demokrasi bukan hanya di tingkat regional tetapi di
tingkat lokal.
Pilkada
di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu dibicarakan secara berkaitan dengan
pembentukan sistem politik yang mencerminkan prinsip keterwakilan, partisipasi,
dan kontrol. Oleh karenanya, pemerintahan yang demokratis mengandaikan
pemisahan kekuasaan dalam tiga wilayah institusi yaitu eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis jika terdapat indikator
utama yaitu keterwakilan, partisipasi dan kontrol terhadap penyelenggaraan
pemerintahan oleh ketiga institusi tersebut. Prinsip partisipasi menjamin aspek
keikutsertaan rakyat dalam proses perencanaan pembangunan daerah; atau
keikutsertaan rakyat dalam proses pemilihan wakil dalam lembaga politik;
sedangkan prinsip kontrol menekankan pada aspek akuntabilitas pemerintahan.
Dalam demokrasi, aspek kelembagaan merupakan keutamaan dari berlangsungnya
praktik politik yang demokratis, sehingga, terdapat partai politik, pemilihan
umum dan pers bebas. Sedangkan, istilah ‘ lokal’ mengacu kepada ‘arena’ tempat
praktek demokrasi itu berlangsung.
Di Indonesia,
saat ini pemilihan kepala daerah dilakukan
secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat
yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan
wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud
mencakup: Gubernur dan
wakil gubernur untuk provinsi; Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten;
Wali kota dan
wakil wali kota untuk kota. [3]
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam
satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.[4]
Sebelum tahun 2005, kepala daerah
dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih
secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau
disingkat Pilkada. Pilkada
pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam
rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umumKepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau
disingkat Pemilukada.
Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang
ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Pada tahun 2011, terbit
undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.[5]
Penyelenggara
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia
Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu
Kabupaten/Kota. Khusus di Aceh, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP)
dengan diawasi oleh Panitia
Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Peserta
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal
dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan
beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004. Khusus di Aceh, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik
lokal
B.
PEMBAHASAN
1.
Analisis
Kelebihan Pemilukada
Banyak permasalahan baik dari
implikasi politik maupun dampak sosial ekonomi baik yang menguntungkan maupun
tidak. Ada beberapa keunggulan pilkada dengan model pemilihan secara langsung.[6]
Pertama, pilkada
secara langsung memungkinkan proses yang lebih Partisipasi. Partisipasi jelas
akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang lebih kuat sebagai aktor yang
telibat dalam pilkada dalam arti partisipasi secara langsung merupakan
prakondisi untuk mewujudkan kedaulatan ditangan rakyat dalam konteks politik
dan pemerintahan.
Kedua, proses
pilkada secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi
masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang memiliki kapasitas, dan
komitmen yang kuat serta legitimate dimata
masyarakat sehingga pemimpin yang baru tersebut dapat membuahkan
keputusan-keputusan yang lebih baik dengan dukungan dan kepercayaan dari
masyarakat luas dan juga diharapkan akan terjadinya rasa tanggung jawab secara
timbal balik. Sang kepala daerah lebih merasa mendapatkan dukungan dari
masyarakat, sehingga kebijakan-kebijakan tentu saja lebih berpihak pada
kepentingan dan kesejahteraan rakyat. pada saat yang sama, rakyat juga akan
lebih mendukung kebijakan-kebijakan kepala daerah sebab mereka telah berperan
secara langsung dalam pengangkatan kepala daerah.
Ketiga, mendekatkan
elit politik dengan konstituen atau masyarakat. Diharapkan dengan pemilihan
seperti ini mayarakat akan lebih mengenal pemimpin mereka di daerah sehingga
akan memudahkan proses komunikasi politik di daerah.[7]
Keempat, lebih
terdesenralisasi. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya, pemilihan
kepala daerah dilakukan pemerintah pusat dengan cara menunjuk atau menetapkan
aktor politik untuk menempati jabatan politik di daerah.7
Kelebihan diadakannya
pilkada langsung adalah kepala daerah terpilih akan memiliki mandat dan
legitimasi yang samngat kuat, kepala daerah terpilih tidak perlu terikat pada
konsesi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah mencalonkannya,
sistem pilkada langsung lebih akuntabel karena adanya akuntabilitas politik, Check and balances antara
lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih berjalan seimbang, kriteria calon
kepala daerah dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan
suaranya, pilkada langsung sebagai wadah pendidikan politik rakyat, kancah
pelatihan dan pengembangan demokrasi, pilkada langsung sebagai persiapan untuk
karir politik lanjutan, membangun stabilitas poilitik dan mencegah separatisme,
kesetaraan politik dan mencegah konsentrasi di pusat.
Beberapa
kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara lain sebagai berikut :
a. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi
rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala
desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
b. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD
1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati
dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No
32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
c. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi
(politik) bagi rakyat. Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi
rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa
tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
d. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi
daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin
lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005,
maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara
lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan
kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
e. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses
kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan
nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200
juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian
besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena
itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.
2.
Analisis
Kelemahan Pemilukada
Menurut
Leo Agustino ada sebelas (11) permasalahan pemilukada di Indonesia[8],
yaitu :
a. Daftar
Pemilih tidak akurat
Permasalahan daftar pemilih yang
tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh para pasangan calon
yang kalah untuk melakukan gugatan. Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang
antara lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar
pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap.
Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW
sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat
akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui
penduduknya.
b. Persyaratan
Calon tidak lengkap
Proses pencalonan yang bermasalah Permasalahan
dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu
konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan
para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada. Secara
yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada
KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan
menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau
pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi,
namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan pasangan calon
yang dirugikan. Pasal 59 ayat (5) huruf
a Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai
politik pada saat mendaftarkan pasangan calon,
wajib menyerahkan surat pencalonan yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai
politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di
internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai
politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh
DPP partai politik. Dalam permasalahan
ini karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan
rekomendasi DPP partai politik, kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai
politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik
sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik
tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon.
Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa
penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final
dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan
untuk menggugurkan pasangan
calon tertentu tanpa dapat
melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan
untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui
pengadilan. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu
diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses
pencalonan dirugikan KPUD.
c. Pencalonan Pasangan
dari parpol
Permasalahan internal parpol dalam
menentukan pasangan calon membuat Pilkada terhambat. Hal itu disebabkan, adanya
kepengurusan ganda, proses seleksi tidak transparan, adanya intervensi pengurus
pusat/provinsi, tidak menetapkan pasangan seperti kasus di Sampang, Jatim.
d. Penyelenggara
atau KPUD tidak netral
Faktor yang mempengaruhi ketidaknetralan
KPUD berdasarkan faktor kedekatan dan kekerabatan degan salah satu pasangan.
Selain itu, tidak adanya pengadilan yang mengkoreksi keputusan KPUD sehingga
sangat dominan kekeuasaan penyelenggara pemilikada.
e. Panwas
pilkada dibentuk terlambat
Terlambatnya panitia pengawas
(Panwas) oleh DPRD, sehinggat tidak dapat mengawasi tahapan pemilukada secara keseluruhan.
Berbagai penyimpangan pada persiapan sering tidak dilanjuti, karena Panwas
dibentuk menjelang masa kampanye.
f. Money
politik
Sepertinya money politik ini selalu
saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada.Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang
cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah.
Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan desa Karangwetan, Tegaltirto,
Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader
bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih
bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan
masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat
diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.
Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon
kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biayaini, biaya itu.
g. Dana
kampaye
Sumber dana
pasangan sering tidak transparan. Hasil audit dana kampanye baik perorangan
atau perusahan sering tidak diumumkan ke publik. Hal itu menimbulkan kecurigaan
publik, bahwa dana kampanye pasangan berasal dari dana korupsi atau sumbangan
yang dikemudian hari pasangan tersebut, maka pemberi sumbangan akan menadpat
imbalan berupa jabatan atau proyek-proyek pemerintah.
h. Mencuri
start kampaye
Tindakan
ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang
berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan
baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan kepala
daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini
intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan
yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan
sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara
tersebut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
i. PNS
tidak netral
Dalam berbagai kampanye masih
ditemukan PNS yang memihak pasangan tertentu, terutam incumbent (petahana). Dilain pihak calon incumbent memanfaatkan staf Pemda untuk kepentingan kampanyenya,
bila tidak menuruti akan diturunkan jabatanya atau bahkan diberhentikan.
j. Pelanggaran
kampanye
Pelanggaran
kampanye dapat berbagai macam bentuk, salah satu yang menjadi sorotan yaitu
kampanye hitam seperti yang menimpa Jokowi Pada pemilukada Jakarta 2012. Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya
sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian
masyarakat masih kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya
“manut” dengan orang yang di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye
negatif ini dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat merusak integritas
daerah tersebut
Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai
dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan
mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal
kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan
kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang
menguntungkan dirinya.
Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14
(empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan
suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi
start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan. Kampanye yang
diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap calon
kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua
calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa
kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik
pemilih untuk menilai para calon dari segi program.
k. Intervensi
DPRD
Pada umumnya
terjadi apabila DPRD tidak setuju akan pasangan terpilih dengan berbagai
alasan. DPRD tidak mengirim berkas pemilihan kepada Gubernur dan Mendagri, hal
itu menghambat pelantikan pasamgan terpilih. Hal itu pernah terjadi di
Gorontalo dan Aceh. Peran DPRD dalam Pilkada juga dapat memicu konflik.
Pilkada memang sepenuhnya dilaksanakan oleh KPU Daerah, tetapi
pertanggungjawabannya harus disampaikan kepada DPRD, seperti yang tertulis pada
pasal 66 ayat 3 poin, bahwa tugas dan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalahmeminta
pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD. Dalam hal ini, kerja KPUD (Komisi
Pemilihan Umum Daerah) berpotensi diintervensi oleh partai politik yang
mempunyai kekuatan di DPRD. Sebab, sejalan dengan kewenangan yang besar dalam
proses-proses politik lokal, partai politik berpotensi mengintervensi fungsi
KPUD, jika kerja KPUD dianggap tidak menguntungkannya.
Selain kesebelas kelemahan pemilukada secara langsung di Indonesia, masih
terbadapat banyak kelemahan, antar lain :
·
Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU
Kabupaten, dan KPU Provinsi. Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi
hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang
tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas
membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang
banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa
daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.
Hal itu, memunculkan konflik pasca pilkada. Munculnya konflik pasca pilkada
dapat terjadi akibat kecurangan-kecurangan pada saat seperti, kempanye,
manipulasi data berupa penggelembungan suara dan rasa tidak puas akibat calon
idaman kalah.
·
Dalam
pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan
penyelewengan. Kecurangan
ini dilakukan oleh para bakal calon seperti : Intimidasi. Sebagai contoh yaitu pegawai pemerintah
melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini
sangat menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu.
·
Beratnya
persyaratan pengajuan calon. Dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 59 ayat 2
disebutkan bahwa hanya partai politik yang memperoleh suara 15% kursi DPRD atau
15% dari akumulasi suara sah yang diperoleh dalam pemilu legislatif yang berhak
mengajukan calon. Pandangan diatas sangat relefan dengan kejadian yang terjadi
di beberapa daerah termasuk daerah Bali. Dimana beberapa daerah yang ada
di Bali, sekitar 80% dimenangkan oleh PDIP sehingga daerah-daerah tersebut
sulit mendapatkan dua pasang calon.[9]
·
Sistem dua putaran yang dianut ternyata dijadikan
sarana dibeberapa daerah untuk mengajukan anggaran pilkada secara berlebihan.
Di Surabaya misalnya, KPUD mengajukan anggaran dua putaran, dan disetujui oleh
DPRD kotaSurabaya sekitar 36 milyar, dari dana ini, 23 milyar diantaranya
dianggarkan untuk putaran pertama dan selebihnya dianggarkan untuk putaran
kedua. Padahal, disurabaya tidak mungkin terjadi putaran kedua sebab calon yang
ada tidak lebih dari empat pasang.
·
Cara pemilihan kepala daerah dengan menempatkan figur
sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan kepala daerah. konsekuensi
dari cara pemilihan semacam akan meningkatkan ketegangan hubungan antar
pendukung pasangan calon sebab penerimaan dan penolakan terhadap pasangan calon
dalam konteks kultur Indonesia lebih banyak disebabkan oleh hubungan yang
bersifat emosional ketimbang rasional.
·
Besarnya daerah pemilihan, yaitu seluruh wilayah
propinsi untuk pemilihan gubernur dan seluruh wilayah kabupaten untuk pemilihan
bupati, menyebabkan proses pelaksanaan kampanye sulit dikendalikan.
·
Ketidaksiapan pemilih untuk menerima kekalahan calon
yang diunggulkan. Dibeberapa daerah yang telah melakukan pemilihan kepala
daerah secara langsung, kejadian seperti ini sering terjadi sehingga
menimbulkan konflik antar pendukung pasangan calon.
3.
Analisis
Masa Depan Pemilukada di Indonesia
Berkaitan dengan masa depan pelaksanaan Pemiluda di
Indonesia, penulis cenderung untuk menghapuskan Pemilukada secara langsung.
Alasan itu didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain :
a. Masih
banyak permasalahan-permasalahan selama pemilukada di Indonesia yang perlu
dikaji secara mendalam, seperti masalah:
‒ Money
politic dan cost politic
‒ Independensi
Pawaslu Daerah
‒ Lambatnya
pengiriman logistik
‒ Independensi
media masa
‒ Pendataan
pemilih
‒ Pendaftaran
dan penetapan pasangan calon
‒ Penghitungan
suara dan penetapan hasil akhir
‒ Konflik
pilkada
b. Demokrasi
yang dianut Indonesia lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Subtansi
pemilu adalah adanya pergantian kepemimpinan/ rotasi kekuasaan secara rutin dan
berkala, untuk mencegah kekuasaan yang absolut. Pemilu secara langsung
merupakan demokrasi yang prosedural. Indonesia selama ini hanya merapkan
demokrasi secara prosedural, seharusnya penerapakan demokrasi lebih
mengutamakan subtansinya. Maka dari itu dalam memilih kepala daerah tidak harus/mutlak
secara langsung. Dalam Konstitusi tidak disebutkan dengan cara apa memilih
Kepala Daerah, yang terpenting dilakuakan secara demokratis. UUD 1945, hanya
mengamanatkan untuk memilih kepala daerah secara demokratis. “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis.[10]”
Menimbang permasalahan Pemilukada lebih banyak
kelemaha dari pada kelebihannya. Pemilukada merupkan tuntutan saat reformasi
akibat trauma rakyat terhadap rezim sebelummnya. Namun saat ini pemilukda yang
sudah berjalan hampir 1 dekade tidak membuahkan hasil yang maksimal. Banyak
terjadi pelanggaran pada tahapan pemilu, biaya terlalu besar dan kulitas
pemimpin yang dihasilkan buruk seperti terlibat kasus korupsi, dll.
Pilkada yang selama ini berlangsung
dinilai terlalu mahal, dan mempunyai dampak sosial yang amat luas. Pilkada
langsung dianggap sebagai pemicu lahirnya politik transaksional, sehingga
turut andil melahirkan perilaku koruptif. Hal itu dikarenakan, setiap kandidat
yang akan berlaga mengeluarkan biaya yang besar.[11]
Biaya ini muncul mulai dari pencalonan,
kampanye hingga pada perhitungan suara seperti untuk membiayai saksi.
Untuk memperbaiki kondisi ini, sejumlah kalangan mengusulkan agar Pilkada
diusulkan serentak. Langkah ini diharapkan dapat menekan biaya politik yang
sudah dinilai demikian tinggi. Mobilisasi suara antar daerah yang diduga
kerap mewarnai Pilkada juga dapat ditekan.
Usulan yang paling ekstrim, adalah
menghapus Pilkada langsung. Usulan ini terlontar karena Pilkada acapkali
menimbulkan konflik antar pendukung. Tidak hanya itu, Pilkada langsung
selam ini hanya dianggap hanya berorientasi uang. Belum lagi, masalah
‘mahar’ untuk mendapatkan dukungan dari partai politik.
Masa depan Pemilukada di Indonesia
Sistem negara demokrasi di Indonesia adalah pilihan rasional
atas hipotesa fakta empiris dan sosiologis terkait struktur dan tatanan
masyarakat Indonesia saat ini. Ia tumbuh di atas metamorfosa pemikiran yang
membidani sebuah sistem politik untuk meletakkan masyarakat sebagai episentrum
partisipatoris akan quo vadis nasib bangsanya. Walaupun demokrasi
bukanlah merupakan sistem politik dan pemerintahan yang sempurna, namun saat
ini barangkali kita sepakat bahwa pilihan demokrasi adalah pilihan
terbaik dari sistem lainnya. Sebut saja misalnya monarki, aristokrasi,
otokrasi, plutokrasi, gerontokrasi,dll.
Walaupun demikian, sistem demokrasi yang dipilih negara untuk
mengorganisasikan tatanan kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara
bukanlah sebuah sistem sempurna dan tanpa cacat. Oleh karenanya, sebuah
sistem politik yang mengonstruksi sebuah negara, juga perlu menimbang
berbagai Implikasi serius yang timbul terkait ekses subyektif maupun obyektif
dari penerapan sistem demokrasi. Baik penerapannya melalui sistem perwakilan (melalui
mekanisme pemilihan wakil rakyat DPR/DPRD), maupun langsung (melalui mekanisme
pemilu presiden dan pilkada).
Pemilihan Umum secara langsung dalam pilkada, sejatinya
merupakan salah satu wujud demokrasi yang saat ini tengah diterapkan di
Indonesia. Perwujudan demokrasi tersebut, pada hakekatnya merupakan upaya
memberdayakan peran dan partisipasi masyakarat terkait pengejewantahan hak-hak
politik dan sosialnya, yang dijamin secara konstitusional. Medium demokrasi dan
demokratisasi melalui mekanisme politik partisipasi inilah yang diharapkan akan
mampu memberikan multiplier effect. Bukan saja terkait pada semakin besarnya
tingkat pendewasaan berfikir masyarakat akan hak dan kewajiban
politik-konstitusionalnya, namun juga diharapkan melalui mekanisme dan sistem
pemilihan langsung (baik pilpres maupun pilkada). Posisi tawar masyarakat
terkait kepentingannya menentukan masa depan yang lebih baik semestinya menjadi
keniscayaan.[12]
Terkait hasil dan berbagai problem dalam pelaksanaan pilkada
itulah, saat ini diperlukan kembali upaya menakar ekses penerapan sistem
pemilihan langsung (Pilkada). Saat ini berbagai bentuk wacana untuk
mengevaluasi kembali penerapan pilkada sangat penting untuk memberikan
referensi bagi pengambil kebijakan negeri ini untuk menimbang kembali
implementasi pilkada secara konstruktif dan proporsional, tanpa mencederai
substansi peran partisipasi politik masyarakat. Analisis ini menjadi catatan
penting mengingat pelaksanaan pilkada selama ini. Secara empiris, akhirnya
menyadarkan kita akan perlunya kembali menelaah arah dan cita-cita politik
masyarakat terkait bagaimana meletakkan proses, pelaksanaan dan hasil pilkada
dalam konstruksi pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Implikasi Dinamika Pelaksanan Pemilukada di
Indonesia
Berdasarkan perspektif pemberitaan media massa tentang
pelaksanaan pilkada di Indonesia, terdapat beberapa keyword yang sangat penting sebagai ranah
kajian bagi pengambil kebijakan negeri ini untuk menempatkan kembali quo vadis pilkada dalam konteks yang lebih
produktif bagi kemaslahatan masyarakat. Keyword penting tersebut adalah sebagai
berikut :
Pertama, Pilkada
di daerah masih merupakan pilihan rasional yang masih diinginkan masyarakat
untuk menentukan pemimpinnya di daerah. Fakta opini masyarakat ini menjadi
catatan penting pemerintah. Mengingat, masyarakat kita secara sosiologis
memandang bahwa pemilihan langsung untuk menunjuk seorang pemimpin yang berasal
dari putra daerah merupakan kebanggaan, Selain itu, juga masih menganggap
bahwa mekanisme pemikiran dan kepentingan masyarakat akan nilai keterwakilan
aspirasinya masih lebih besar terakomodir dengan baik. Ketimbang, asumsi bahwa
pemimpin tersebut merupakan titipan yang berasal dari pusat kekuasaan seperti
yang terjadi di masa orde baru dulu. Persepsi publik inilah yang kerap
dijadikan oleh pemerintah untuk melegitimasi pencitraan politiknya kepada dunia
internasional, bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat produktif
melahirkan struktur kehidupan bermasyarakat yang memiliki nilai-nilai
demokratisasi dengan baik.
Persepsi publik masyarakat ini seharusnya perlu dikritisi
agar masyarakat memahami dan cenderung lebih penting mendudukkan kembali
nilai-nilai objektifitas untuk mendefinisikan kembali secara personal maupun
kepemimpinan seorang kepala daerah. Sebab faktanya, pemimpin yang berasal dari
putra daerah tidak serta merta berkoefisien korelatif secara langsung dengan
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Perspektif kepemimpinan ini dikaitkan dengan struktur
kekuasaan pemerintah daerah, yang di peroleh oleh seorang kepala daerah
dengan ongkos politik yang tidak murah. Biaya pilkada yang sangat mahal inilah
yang justru menyebabkan sistem demokrasi langsung di daerah berkembang secara
tidak proporsional dan obyektif. Terminologi yang tepat mendefinisikan maksud pernyataan
ini adalah bahwa proses pilkada yang mahal itu telah menyebabkan terjadinya
kapitalisasi pilkada dengan kultur kekuasaan yang ekonomistik, yang menempatkan
kekuasaan politik kepala daerah hanya sebagai investasi an sich dan melihat potensi daerah sebagai opportunity ekonomi bagi kepentingan pribadinya.
Implikasi politik terjadinya kapitalisasi pilkada inilah yang
menyebabkan demokratisasi-partisipasi masyarakat menjadi ter-negasi oleh
paradigma tersebut. Artinya masyarakat hanya diletakkan sebagai obyek politik
massa ,yang dimanfaatkan calon kepala daerah hanya ketika proses pilkada itu
berlangsung. Masyarakat kemudian menjadi mahfum dengan terminologi kapitalisasi
pilkada ini, karena proses pilkada sarat dengan politik uang.
Masyarakat memang sejatinya mendapat “berkah” sesaat dari
proses pelaksanaan pilkada. Setelah pelaksanaan pilkada usai, maka kepala
daerah terpilih, akan sibuk dengan upaya merekapitalisasi kembali asset yang
telah dikeluarkan selama proses “investasi” pemilihan itu berlangsung. Fakta
ini bisa dilihat dengan data 10 tahun terakhir terkait tingkat korupsi kepala
daerah yang sangat tinggi. Termasuk data yang dilansir oleh lembaga-lembaga
survei bahwa saat ini saja 60 persen lebih, kepala daerah dipimpin oleh seorang
pemimpin berstatus tersangka.
Karena terjadinya pola kapitalisasi pilkada inilah, maka yang
terjadi adalah siapa yang mempunyai modal besar, dialah yang akan menjadi
pemimpin. Karena kapitalisasi pilkada ini pulalah kemudian berimbas bagi
ketidakrelaan calon yang kalah dalam pilkada. Ketidakrelaan kekalahan ini
kemudian dimanifestasikan dalam upaya mempolitisasi hasil pilkada baik secara
formal-konstitusional (melalui gugatan ke MK), maupun mempolitisasi massa untuk
tidak menerima calon pemimpin yang menang. Sehingga, berimplikasi kepada
timbulnya resistensi politik bagi kepemimpinan kepala daerah terpilih. Lebih
parah lagi, semakin diproduksinya eskalasi konflik politik dan
konflik sosial dalam berbagai spektrum kepentingan, oleh calon yang tidak
berjiwa besar menerima kekalahan. Dalam konteks yang demikian, maka kita kerap
menyaksikan bahwa konflik politik dan sosial di daerah tidak pernah kunjung
usai dan terus terpelihara dengan baik walaupun pelaksanaan pilkada jauh telah
usai.
Kedua, pilkada
merupakan manifestasi reformasi birokrasi yang merubah mindset pengelolaan negara
yang tadinya bersifat sentralistik menjadi desentralistik.
Sebagai salah satu buah semangat reformasi adalah merubah
tatanan struktur pengelolaan birokrasi negara yang tadinya sentralistik menjadi
desentralistik. Hal ini merupakan antitesa dari semangat merubah tatanan dari
orde baru menjadi sistem baru yang dikenal pasca reformasi sekarang ini. Namun
demikian, setelah 10 tahun lebih reformasi bergulir, semangat desentralisasi
ini cenderung dimanfaatkan oleh pemimpin daerah untuk “bebas” mengeksploitasi
daerah sesuai dengan selera kekuasaannya. Radikalisasi pengelolaan pemerintahan
daerah inilah yang menyebabkan konstitusi negara yang diatur dan dijalankan
oleh pemerintah pusat terabaikan. Yang terlihat, justru munculnya
raja-raja kecil yang sangat “otonom” menguasai daerah.
Akibatnya, program-program nasional yang dicanangkan oleh
pemerintah pusat menjadi terhambat. Fakta terjadinya distorsi ini terlihat
ketika presiden, sebagaimana dilansir berbagai media massa, menyatakan
salah satu gagalnya program-program berskala nasional, karena ulah arogansi
sepihak pimpinan daerah. Misalnya , masalah kebijakan ekonomi dan
investasi, justru sebagian besar dihambat pimpinan pemerintah daerah sekelas
walikota dan bupati. Terhambatnya program-program tersebut, bukan cuma terkait
dengan arogansi pemimpin daerah, tapi juga disebabkan karena banyaknya regulasi
dalam bentuk perda dan kebijakan pemerintah daerah yang tidak inheren atau
justru bertentangan dengan kebijakan dan regulasi pemerintah pusat. ini
menunjukkan absurditas hiraki pemerintahan. Kebijakan pemerintah pusat menjadi
gembos ketika masuk pada tataran pelaksanaan teknis di daerah.
Pemerintah memang kerap melakukan evaluasi terkait persoalan
ini. Namun faktanya, hingga saat ini, problem mendasar masalah regulasi dan
kebijakan pemimpin daerah yang menghambat kebijakan program nasional pemerintah
pusat, masih kerap terjadi. Salah satu sebab mendasar yang menjadi argumentasi
pemerintah daerah adalah menyangkut persoalan intervensi pemerintah
pusat, yang dianggap melanggar sendi-sendi atau semangat otonomi daerah.
Kesalah-kaprahan memaknai otonomi daerah inilah yang menyebabkan pemerintah
pusat sampai saat ini mengalami dispute dan seolah tidak memiliki kekuasaan
“memaksa”. Padahal, pemerintah pusat secara formal dan konstitusional punya
kewenangan untuk meluruskan kesalahpahaman pengelolaan daerah, karena terlalu
sempit menafsirkan konsep kepala daerah dipilih langsung oleh rakyatnya di
daerah. Sehingga, pucuk pimpinan pemerintah daerah “merasa” mempunyai
kewenangan mutlak untuk melakukan kebijakan apapun.
Ketiga, Pemilukada
telah meletakan sistem demokrasi di Indonesia baru sebatas demokrasi “theatrical“.
Yakni demokrasi yang diusung melalui jalan pemilihan umum, hanya sebatas
kosmetika wajah suatu bangsa yang seolah-olah menjalankan nilai demokrasi dalam
pemilihan umum. Yaitu, langsung, umum, bebas, jujur dan adil. Namun,
dalam prakteknya hal tersebut sangat jauh dari nilai-nilai yang sesungguhnya.
Walaupun kita sibuk menjustifikasi bahwa demokrasi memerlukan proses. Tapi,
faktanya proses tersebut tetap haruslah bersinergi dengan faktor-faktor
lain, yang mendasari terbentuknya proses demokratisasi tersebut secara
konstruktif.
Faktor-faktor tersebut antara lain dipengaruhi oleh wibawanya
Pemerintah Pusat (Presiden dan DPR) dan KPU/ KPUD dalam membuat aturan yang
tegas terkait rule of the
game pemilukada. Hal
tersebut penting, mengingat selama ini regulasi yang tegas hanya terkait pada
proses dan mekanisme pemilhan. Namun sangat tidak berbanding lurus dengan
ketegasan membangun law
enforcement bagi setiap
bentuk pelanggaran etika dan pelanggaran konstitusional aturan pemilukada.
Sehingga inilah yang dikatakan, demokrasi kita masih bersifat theatrical, bukan demokrasi
substantif yang benar-benar mengusung nilai-nilai demokratisasi dan hak-hak civil society dengan baik.
Terkait dengan masalah civil
society ini, maka faktor
yang mendorong berkembangnya proses demokrasi sangat dipengaruhi juga oleh,
bagaimana peran parpol dalam mencetak kader pemimpin di daerah. Sebab selama
ini proses pengkaderan dan lahirnya pemimpin melalui jalan mekanisme politik
praktis, khususnya di daerah masih sangat lemah. Kondisi ini yang menyebabkan
hampir sebagian besar pemimpin daerah lahir dari seorang pengusaha dan/ atau
mereka yang hanya memliki modal kuat. Sementara, parpol berfungsi hanya sebagai
stempel yang menjadi kendaraan sekaligus supir yang ditumpangi oleh calon
kepala Daerah. Kondisi obyektif inilah yang menyebabkan hasil pemilukada secara
langsung tidak serta merta menghasilkan pemimpin yang berkualitas, kompeten dan
memiliki integritas serta peduli dengan rakyatnya.
Seperti yang telah diulas sebelumnya, karena persoalan
melihat perspektif pemilukada sebagai sebuah peluang ekonomis inilah maka yang
terjadi praktek korupsi di daerah dan suburnya persoalan money politics tak pernah kunjung usai dan sulit
diberantas. Sinergitas dan kolaborasi efektif antara parpol dan calon kepala
daerah dalam konteks melihat begitu besarnya biaya pemilukada adalah
dikarenakan antara calon kepala daerah dengan parpol sama-sama memiliki
persepsi dan mindset yang sama, yakni memahami pilkada
sebatas sebagai sebuah komoditas dan industri yang profitabilitasnya memadai
untuk tujuan-tujuan jangka pendek maupun jangka panjang kekuasaan-bukan
kesejahteraan sosial masyarakat.
Keempat, Alasan kompatibilitas bahwa
pemilihan langsung presiden juga harus dilakukan pula terhadap gubernur,
bupati dan walikota harus segera dievaluasi. Alasan kompabilitas sebagai
implementasi UU No.32 Tahun 2004, sebenarnya dimaksudkan agar arah
pembangunan politik dan ekonomi bersinergi serta terintegrasi dari pusat sampai
ke daerah. Namun pada kenyataannya, kesamaan proses inilah yang menjadi
akar penyebab hirarki kepemimpinan dalam pemerintahan menjadi tersekat-sekat
dan tidak sejalan.
Sehingga, antara pemimpin pemerintahan di daerah
dan pusat seolah masing-masing berdiri sendiri. Implikasinya, baik
pemerintah maupun pejabat di daerah bekerja secara parsial-tidak kontekstual
sesuai dengan arah dan visi negara. Dengan kondisi seperti ini, sebenarnya sama
saja bangsa ini menerapkan pseudo demokrasi. Hanya menjadikan pemimpin
sekedar simbol kosong, yang tidak memiliki peran strategis dalam memberdayakan
rakyatnya. Dengan kata lain, kondisi ini menyebabkan ada atau tidaknya
pemimpin, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah khususnya,
ditentukan sendiri oleh kesanggupan dan nasib individu masyarakatnya. Padahal
negara berperan melindungi segenap masyarakat dan memajukan kesejahteraan
masyarakat.
Empat kata kunci tentang implikasi dinamika pelaksanaan
pilkada ini, seyogyanya mendorong pengambil kebijakan negeri ini untuk
menemukan formasi ideal dan proporsional terkait masa depan bangsa. Khususnya,
menyangkut masalah proses suksesi kepemimpinan melalui pemilukada. Sehingga
dapat menimbang dan menakar secara obyektif, antara konsep sistem pelaksanaan
demokrasi di daerah dengan ekses yang timbul selama penerapan pemilukada secara
langsung di daerah. Proses ini seharusnya menjadikan bangsa besar
ini lebih peka terhadap berbagai akar persoalan baik secara ideologis,
sosiologis maupun filosofis yang kerap menjadi preseden yang tak pernah
selesai, atau minimal tereliminasi kualitas dan kuantitatsnya.
Seperti besarnya biaya politik pemilukada dan money politics selama proses pemilukada, yang
berimbas pada terjadinya korupsi pemimpin di daerah sebagai bentuk pengganti
ongkos investasi menjadi pemimpin. Selain itu, terjadinya resistensi
pemimpin daerah kepada pemerintah pusat, yang menyebabkan eksistensi pemerintah
pusat justru tidak legitimate di mata pemerintah daerah terkait
dengan banyaknya program, kebijakan dan kebijakan berskala nasional yang tidak/
enggan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bahkan, tak jarang di tentang oleh
pemerintah di daerah. Kemudian, lestarinya konflik horizontal antar masyarakat
akar rumput karena kerap dipicu oleh pemanfaatan politik massa oleh calon
pemimpin dan pemimpin yang berkuasa didaerah. Baik selama proses pemilukada
maupun sepanjang pemimpin tersebut memimpin daerah, yang konstelasi masalahnya
kerap dipicu oleh calon pemimpin daerah yang kalah dalam kompetisi pemilihan.
Pada akhirnya, setidaknya perlu evaluasi secara tepat,
proporsional dan obyektif. Sangat logis, bilamana mewacanakan kembali sistem
pemilihan langsung hanya cukup sampai dengan presiden dan gubernur saja.
Dengan cara dan mekanisme yang tetap menjunjung tinggi peran dan partisipasi
masyarakat, tanpa mencederai hak dan kepentingan civil society masyarakat terhadap negara.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkaan
pembahasan permasalahan pada BAB II : PEMBAHASAN, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa :
1. Analisis
Kelebihan Pemilukada
Pertama, pilkada
secara langsung memungkinkan proses yang lebih Partisipasi. Kedua, proses pilkada secara langsung memberikan
ruang dan pilihan yang terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin
yang memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata masyarakat. Ketiga, mendekatkan elit politik dengan
konstituen atau masyarakat. Keempat, lebih terdesenralisasi.
Beberapa
kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara lain sebagai berikut :
a.
Pilkada langsung
merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat.
b.
Pilkada langsung
merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.
c.
Pilkada langsung
sebagai sarana pembelajaran demokrasi bagirakyat.
d.
Pilkada langsung
sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
e.
Pilkada langsung
sarana bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional.
2. Analisis
Kelemahan Pemilukada
Menurut
Leo Agustino ada sebelas (11) permasalahan pemilukada di Indonesia, yaitu :
1)
Daftar
Pemilih tidak akurat
2)
Persyaratan
Calon tidak lengkap
3)
Pencalonan
Pasangan dari parpol
4)
Penyelenggara
atau KPUD tidak netral
5)
Panwas
pilkada dibentuk terlambat
6)
Money
politik
7)
Dana
kampaye
8)
Mencuri
start kampaye
9)
PNS
tidak netral
10)
Pelanggaran
kampanye
11)
Intervensi
DPRD
Selain itu, masih terdapat banyak kelemahan
pemilukada secara langsug di Indonesia baik yang dilakukan secar tidak
disengaja ataupu terorganisir.
3. Analisis
Masa Depan Pemilukada di Indonesia
Berkaitan dengan masa depan pelaksanaan Pemiluda di
Indonesia, penulis cenderung untuk menghapuskan Pemilukada secara langsung.
Alasan itu didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain : Pertama, masih banyak permasalahan-permasalahan
selama pemilukada di Indonesia yang perlu dikaji secara mendalam, seperti
masalah: Money politic dan cost politic; Independensi Pawaslu Daerah; Lambatnya
pengiriman logistik; Independensi media masa; Pendataan pemilih; Pendaftaran
dan penetapan pasangan calon; Penghitungan suara dan penetapan hasil akhir;
Konflik pilkada
Kedua,
Demokrasi yang dianut Indonesia lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Subtansi pemilu adalah adanya pergantian kepemimpinan/ rotasi kekuasaan secara
rutin dan berkala, untuk mencegah kekuasaan yang absolut. Pemilu secara
langsung merupakan demokrasi yang prosedural. Indonesia selama ini hanya
merapkan demokrasi secara prosedural, seharusnya penerapakan demokrasi lebih
mengutamakan subtansinya.
Pilkada yang selama ini berlangsung terlalu
mahal, dan mempunyai dampak sosial yang amat luas. Pilkada langsung dianggap
sebagai pemicu lahirnya politik transaksional, sehingga turut andil
melahirkan perilaku koruptif. Hal itu dikarenakan, setiap kandidat yang akan
berlaga mengeluarkan biaya yang besar. Biaya ini muncul mulai dari pencalonan,
kampanye hingga pada perhitungan suara seperti untuk membiayai saksi.
Untuk memperbaiki kondisi ini, sejumlah kalangan mengusulkan agar Pilkada
diusulkan serentak. Langkah ini diharapkan dapat menekan biaya politik yang
sudah dinilai demikian tinggi. Mobilisasi suara antar daerah yang diduga
kerap mewarnai Pilkada juga dapat ditekan. Usulan yang paling ekstrim,
adalah menghapus Pilkada langsung. Usulan ini terlontar karena Pilkada acapkali
menimbulkan konflik antar pendukung. Tidak hanya itu, Pilkada langsung
selam ini hanya dianggap hanya berorientasi uang. Belum lagi, masalah
‘mahar’ untuk mendapatkan dukungan dari partai politik.
B.
SARAN
Penulis dapat memberikan saran, terkait Pemilukada
yaitu dihapus. Mekanisme lebih lajut dapat dibahas Pemerintah yaitu Presiden
dan DPR-RI tentang bagaimana pengangkatan kepala daerah, dipilih DPRD atau
diangkat Presiden. Pertama, Pemilukada dihapus secara keseluruhan dan
mekanisime pemilihan diserahkan ke DPRD, dengan memperbaiki rekruitmen politik
dan sistem kepartaian terlebih dahalu. Agar kader partai yang memiliki
kapasitas dan kapabilitas berhak menduduki jabatan kepala daerah. Selain itu
untuk mencegah kongkalikong, haruslah dibuat mekanisme yang tidak biasa main
dibelakang anatara DPRD dan calon pasangan. Kedua, pengangakatan kepala daerah
oleh Presiden harus memunuhi kriteria-kriteria/ persyaratan yang ditetapkan
oleh peraturan perundang-undanagan, agar Presiden tidak sewenang-wenang
mengangkat dan memnerhentikan kepala daerah.
Pada akhirnya, setidaknya perlu evaluasi
secara tepat, proporsional dan obyektif. Sangat logis, bilamana mewacanakan
kembali sistem pemilihan langsung hanya cukup sampai dengan presiden.
Dengan cara dan mekanisme yang tetap menjunjung tinggi peran dan partisipasi
masyarakat, tanpa mencederai hak dan kepentingan civil society masyarakat terhadap negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Agustino, Leo. 2009. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal.
Yogyakata: Pustaka Pelajar.
Author. (2010, 19 Desember). Makalah Otonomi Daerah. Diperoleh 2 Januari 2013,
dari http://miellahsmartflower.blogspot.com.
Author. (2011, 7 Februari). Analisa Proses Pelaksanaan
Pemerintahan Daerah. Diperoleh 2 Januari 2013,
dari http://liarkanpikir.wordpress.com.
Author. Kelebihan dan kekurangan pilkada secara langsung. Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://www.yousaytoo.com/kelebihan-dan-kekurangan-pilkada-secara-langsung/2745411.
Firmanto,
Taufik. (2011, 9
Desember). Kedaulatan Rakyat Dalam
Pemilihan Umum di Indonesia. Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://politik.kompasiana.com/2011/12/09/kedaulatan-rakyat-dalam-pemilihan-umum-di-indonesia.
Iqbal, M. (2012, 10 Juli). Dulu Pilkada, Lalu Pemilukada, Kini Pilgub. Diperoleh 3 Januari 2013, dari http://news.detik.com/read/2012/07/10/093845/1961693/10/dulu-pilkada-lalu-pemilukada-kini-pilgub.
Kamo,
Jhon. (2011, 16 April). Kontestasi Elit Lokal Dalam Pilkada. Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://idadagiyakanews.multiply.com/journal/item/54/KONTESTASI-ELIT-LOKAL-DALAM
PILKADA.
Mahardika,
Ariyanto. (2012, 18 September). Pilkada
langsung: Serentak atau Dihapus. Diperoleh 3
Januari 2013, dari http://www.soloposfm.com/2012/09/pilkada-langsung-serentak-atau-dihapus/.
Prasojo E., Maksum,
Irfan Ridwan., dan Kurniawan, Teguh. 2006. Desentralisasi
& Pemerintahah Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi
Struktural. Jakarta: FISIP UI.
Sofyan, Syafran.
2012. Permasalahan dan Solusi Pemilukada. Diperoleh 2 Januari 2013, dari
http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1634-permasalahan-dan-solusi-pemilukada.html.
Trinada, Andi. (2011, 22 Maret). Menimbang Kembali Pelaksanaan Pemilukada di
Indonesia. Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://politik.kompasiana.com.
Wikipedia
Indonesia. 2012. Pemilihan kepala daerah
di Indonesia. Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah
[1] Eko Prasojo, Irfan Ridwan
Maksum dan Teguh Kurniawan, Desentralisasi & Pemerintahah Daerah:
Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Jakarta: DIA FISIP UI,
2006
[5]
http://news.detik.com/read/2012/07/10/093845/1961693/10/dulu-pilkada-lalu-pemilukada-kini-pilgub
[8] Leo agustino, Pilkada dan
Dinamika Politik Lokal, Yogyakata, PustakaPelajar , 2009, hal 121 - 152
[11]
http://www.soloposfm.com/2012/09/pilkada-langsung-serentak-atau-dihapus/
[12] Andi Trinada,
Menimbang Kembali Pelaksanaan Pemilukada di Indonesia, http://politik.kompasiana.com/2011/03/22/menimbang-kembali-pelaksanaan-pemilukada-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar