PENDAHULUAN
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu lembaga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan teori Trias Polica Montesquie, lembaga DPR melaksanakan kekuasaan legislatif, dimana lembaga tersebut memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang (UU). Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyebutkan DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Selain itu, DPR diberi hak antara lain, hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Salah satu fungsi yang dimiliki DPR adalah fungsi pengawasan, yaitu fungsi untuk melakukan pengawasan pelaksaanaan peraturan perundang-undangan. DPR dalam rangka melaksanakan fungsi tersebut diberi hak angket, yaitu hak untuk melakukan penyelidikan tentang kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan perundang-undangan. Hak tersebut berguna untuk check and balances dalam sistem pemerintahan.
Pada tanggal 30 Mei 2017 DPR membentuk panitia khusus (pansus) hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Misbakhun (Anggota DPR Fraksi Golkar) ada 5 (lima) alasan pembentukan tersebut : Pertama, untuk membuka rekaman penyelidikan Miryam S. Haryani (Anggota DPR Ftraksi Hanura); Kedua, mengevaluasi Kinerja KPK; Ketiga, memeriksa dugaan penyelewengan wewenang KPK; Keempat, memeriksa indikasi ketidakpatuhan pengelolaan anggaran KPK; Kelima, melihat adanya indikasi perpecahan di tubuh KPK.
Sejak pembentukan pansus hak angket tersebut telah menuai pro kontrak di masyarakat berkaitan legalitasnya. Berkaitan dengan hal tersebut Yusril Ihza Mahendra (Pakar Hukum Tata Negara) berpandangan bahwa hak angket DPR terhadap KPK sah secara konstitusional, karena KPK adalah lembaga yang dibentuk oleh undang-undang dan melaksanakan undang-undang. Dengan demikian, DPR dapat melakukan angket terhadap KPK. Akan tetapi, menurut Jimly Asshiddiqie (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) mengemukakan bahwa polemik tentang pembentukan pansus hak angket tersebut menunjukkan lemahnya aspek legitimasi. Berdasarkan aspek legalitas, setiap orang bisa berpendapat soal sah atau tidaknya pembentukan pansus tersebut. Namun jika dilihat dari perkembangannya, banyak pihak yang mempersoalkan, bahkan menentang pembentukan pansus tersebut.
Kemudian, untuk menguji legalitas hak angket tersebut oleh beberapa pihak diajukan judicial review ke Mahkamah konstitusi (MK). Setelah melaui proses persidangan, MK memutuskan menolak permohonan judicial review tentang hak angket. Dampak putusan tersebut menjadikan KPK bagian lembaga eksektif dan menjadi objek dari hak angket. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai mengenai permasalahan tersebut berdasarkan prespektif politik hukun.
RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan permasalahan yang telag diuraika di atas, adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah : “Bagaimana pandangan politik hukum tentang penerapan hak angket DPR terhadap KPK ?”.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis pandangan politik hukum tentang penerapan hak angket DPR terhadap KPK.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis pandangan politik hukum tentang penerapan hak angket DPR terhadap KPK.
PEMBAHASAN
Politik hukum adalah alternatif berkaitan dengan adanya determinan politik atas hukum di Indonesia. Titik tolak politik hukum adalah visi hukum. Politik hukum hadir sebagai agenda hukum, adalah bahwa dalam tugasnya mewujudkan tujuan bersama, maka hukum hadir dalam wujud hakikatnya sebagai hukum, yaitu memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Nilai-nilai yang ideal (tujuan hukum) yang melakat pada hukum merupakan basis dan titik tolak hukum. Sehingga, memang hukum dan politik dua variabel yang berbeda dan sering bersebrangan pandangan. Namun tidak bisa dibantahkan, keduanya saling berhubungan atau memiliki relasi. Pada prakteknya, pasti ada salah satu variabel yang lebih dominan atas lainnya. Sebagai contoh dominasi politik terhadap hukum di Indonesia adalah hak angket DPR terhadap KPK.
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Prosedur pembentukan pansus hak angket berdasarkan Pasal 16 Ayat 3 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang tata tertib, menyatakan bahwa sidang pengusulan hak angket harus dihadiri minimal setengah anggota DPR dan disetujui oleh lebih dari setengah anggota DPR yang hadir. Namun pada kenyataannya tidak dihadiri oleh setengah anggota DPR dan adanya aksi protes dan walk-out dari beberapa fraksi. Hal tersebut menunjukkan bahwan pembentukan pansus hak angket KPK sudah cacat diawal.
Akan tetapi, pada kenyataannya hak angket DPR terus berjalan dan diperpanjang masa sidangnya. Setelah berbagia pro kontra dari berbagai pihak, pansus hak angket terhadap KPK memberi 10 hasil rekomendasi antara lain :
Aspek Kelembagaan
1. Meminta presiden menyempurnakan struktur organisasi KPK sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, dan monitoring.
2. Meminta KPK meningkatkan kerja sama dengan lembaga penegak hukum dan lembaga lain, seperti Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan serta perbankan, agar pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara optimal, terintegrasi, dan bersinergi.
3. Meminta presiden serta KPK membentuk lembaga pengawas independen yang beranggotakan unsur internal KPK dan tokoh masyarakat yang berintegritas melalui peraturan presiden.
Aspek Kewenangan
4. Meminta KPK membangun jaringan kerja yang kuat dalam menjalankan tugas koordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan.
5. Meminta KPK memperhatikan prinsip hak asasi manusia serta mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
6. Meminta KPK membangun sistem pencegahan dan monitoring yang sistemik agar dapat mencegah korupsi berulang serta penyalahgunaan keuangan negara.
Aspek Anggaran
7. Meminta KPK meningkatkan dan memperbaiki tata kelola anggarannya sesuai dengan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan.
8. Meminta KPK mengoptimalkan penggunaan anggaran dalam fungsi pencegahan sehingga dapat memberi pemahaman yang lebih komprehensif kepada masyarakat.
Aspek Tata Kelola Sumber Daya Manusia
9. Meminta KPK memperbaiki tata kelola sumber daya manusia dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
10. Meminta KPK semakin transparan dan terukur dalam proses pengangkatan, promosi, mutasi, rotasi, serta pemberhentian sumber daya manusia KPK dengan mengacu pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, UU Kepolisian RI, dan UU Kejaksaan RI.
Berdasarkan hasil penelitian tesis Novianto Murti Hartono tentang hak angket tidak ada korelasi antara sistem pemerintahan dengan fungsi pengawaasan parlemen melalui hak angket. Secara historis hampir semua masa berlakunya konstitusi di Indonesia (kecuali Konstitusi RIS) parlemen melaksanakan hak angket. Secara komparatif dari empat negara dengan sistem pemerintahan yang berbeda-beda, parlemen memiliki hak untuk melakukan penyelidikan.
Hak angket DPR KPK dari sudut pandang politik hukum, menunjukan bahwa DPR melakukan intervensi kepada KPK dalam hal penegakan proses hukum terkait kasus e-KTP yang menyeret beberapa anggota DPR dan petinggi partai politik. Pengaruh politik terhadap hukum di Indonesia dalam hak angket KPK berkaitan dengan kasus e-KTP yang menyeret para politisi DPR, karena adanya upaya pengkaburan proses penegakan hukumnya untuk melindungi anggota yang terlibat melalui pembentukan pansus hak angket KPK.
Lahirnya KPK disebabkan oleh maraknya tindak pindana korupsi di Indonesia dan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut. Menurut Lawrance M. Friedman sistem hukum adalah suatu sistem meliputi subtansi, struktur dan budaya hukum. Dengan kata lain, untuk melakukan pemberantasan terhadap korupsi dipelukan ketiga komponen sistem hukum tersebut. Adapun politik hukum atau latar belakang lahir KPK dalam Penjelasan UU KPK bagian Umum I.
Mahfud MD untuk menjelaskan asumsi hubungan politik dan hukum yaitu : Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa, kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk kepada aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajad determinasinya seimbang antara satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan hukum.
Dominasi politik atas hukum di Indonesia dapat dilihat dari kasus hak angket KPK. Hubungan antara politik dan hukum melahirkan sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: Pertama, pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan.
Hans Kelsen dengan teori murni hukum (Pure Theory of Law) menyatakan bahwa, hukum berdiri sendiri terlepas dari aspek-aspek kemasyrakatan lainnya. Kelsen bermaksud menunjukkan bagaimana hukum itu sebenarnya tanpa memberikan penilaian apakah hukum tersebut adil atau tidaknya. Teorinya bertujuan untuk menunjukkan apa yang dimaksud hukum positif, dan bukan apa yang merupakan hukum yang benar. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pengambilan keputusan DPR mengenai pembentukan pansus hak angket KPK, variabel politik memengaruhi terhadap variabel hukum.
Mahkamah konstitusi dalam putusan perkara tentang hak angket memutuskan menolak permohonan para pemohon. Hal itu berdampak KPK bisa menjadi bagian objek hak angket. Adapun terdapat 4 hakim konstitusi yang disenting opinion, yaitu Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Saldi Isra. Hal tersebut menunjukkan bahwa MK tidak satu suara mengenai hak angket terhadap KPK.
KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas antara lain :
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pemerintahan secara luas mencakup kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemerintah secara sempit diartikan lembaga atau kekuasaan ekskutif. Implikasi Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 menjadikan KPK bagian dari kekuasaan eksekutif sehingga bisa dilakukan hak angket.
Menurut Mantan Ketua MK Mahfud MD menilai, putusan MK mengenai hak angket MK bertentangan dengan putusan MK sebelumnya. MK menyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif sehingga merupakan obyek dari hak angket DPR. Namun, Mahfud mengingatkan, sebelumnya juga sudah ada setidaknya empat putusan MK yang menegaskan bahwa KPK bukanlah bagian dari eksekutif. Putusan yang dimaksud adalah putusan atas perkara nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011. Empat putusan tersebut juga disinggung oleh empat hakim MK yang menyatakan disssenting opinion atau perbedaan pendapat dalam sidang putusan kemarin. Pada intinya, keempat putusan itu menegaskan, KPK merupakan lembaga independen yang bukan berada di dalam ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pandangan teori hukum tata negara modern, KPK dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dapat dikatakan sebagai Komisi Negara. Asimov mendefinisikan Komisi Negara sebagai: units of goverment created by statue to carry out specific tasks in implementing the statue. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent. Definisi tersebut membedakan dua jenis komisi negara, yaitu komisi negara yang berada dibawah eksekutif (executive agencies) dan komisi negara yang independen (independentagencies). Lebih jelas, Asimov mengatakan, komisi negara yang biasa hanyalah bagian dari eksekutif dan tidak mempunyai peran yang terlalu penting. Komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, namun tetaplah memunyai fungsi campur sari ketiganya
Berdasarkan teori ini, dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, KPK sebagai komisi negara independen terdapat kecenderungan dalam teori administrasi untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas KPK, misalnya dalam kewenangan penindakan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penyitaan) dan pencegahan atas tindak pidana korupsi.
Terkait komisi negara independen, Zainal Arifin Mochtar, dalam disertasinya merumuskan delapan karakter komisi negara independen, yaitu:
1. Lembaga yang lahir dan ditempatkan tidak menjadi bagian dari cabang kekuasaan yang ada, meskipun pada saat yang sama ia menjadi lembaga independen yang mengerjakan tugas yang dulunya dipegang oleh pemerintah.
2. Proses pemilihannya melalui seleksi dan bukan oleh political appointee, atau dalam kaidah khusus tidak melalui monopoli satu cabang kekuasaan tertentu, akan tetapi melibatkan lembaga negara lain dalam kerangka fungsi check and balances.Bisa juga diserahkan sepenuhnya kepada segmentasi tertentu di publik untuk memilih perwakilannya, intinya tidak melibatkan kekuatan politik.
3. Proses pemilihan dan pemberhentiannya hanya bisa dilakukan berdasar pada mekanisme yang ditentukan oleh aturan yang mendasarinya.
4. Meski memegang kuasa sebagai alat negara, tetapi proses deliberasinya sangat kuat, sehingga baik keanggotaan, proses pemilihan dan pelaporan akan kinerjanya didekatkan dengan rakyat selaku pemegang kedaulatan negara, baik secara langsung kepada masyarakat maupun secara tidak langsung melalui parlemen.
5. Kepemimpinan yang bersifat kolegial dan kolektif dalam pengambilan setiap keputusan kelembagaan yang berkaitan dengan tugas dan fungsinya.
6. Bukan merupakan lembaga negara utama yang dalam kaidah tanpa keberadaannya negara mustahil berjalan. Tetapi bukan berarti tidak penting untuk ada. Keberadaannya tetap penting karena tuntutan masa transisi maupun kebutuhan ketatanegaraan yang semakin kompleks.
7. Memiliki kewenangan yang lebih devolutif yakni bersifat self regulateddalam artian bisa mengeluarkan aturan sendiri yang juga berlaku secara umum.
8. Memiliki basis legitimasi di aturan, baik konstitusi dan/atau undang-undang. Dalam artian ada basis legistimasi di situ, meskipun kemudian dibentuk dengan undang-undang saja untuk lembaga yang ada di konstitusi dan di peraturan pemerintah saja untuk lembaga yang ada di undang-undang.
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa KPK merupakan komisi negara independen di Indonesia yang berada diluar ranah tiga kekuasaan dan secara institusional KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi terkait kekuasaan kehakiman untuk melakukan pernyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain. Sehingga jelaslah bahwa KPK merupakan komisi negara independen. Selain itu, berdasarkan kontruksi teoritis yang ada di atas, KPK sebagai komisi negara independen dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia merupakan cabang kekuasaan tersendiri diluar Trias Politica Montesquieu. Akan tetapi, MK dalam putusannya tidak sependapat dengan teori di atas, MK berpandangan bahwa KPK bagian dari ekskutif, dimana KPK dibentuk oleh undang-undang dan melaksanakan undang-undang. Sehingga dampa putusan tersebt menjadikan KPK bagian dari objek hak angket.
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam pembahasan, dapat ditarik kesimpulan bahwa : Pertama, Hak angket DPR terhadap KPK dari sudut pandang politik hukum, menunjukan bahwa DPR melakukan intervensi kepada KPK dalam proses penegakan hukum, variabel politik mempengaruhi variabel hukum dalam kasus ini. Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi tentang hak angket memutuskan menolak permohonan para pemohon, dimana KPK merupakan bagian dari eksekutif sehingga merupakan obyek dari hak angket DPR.
Penulis dapat memberikan saran terkait permasalahan tersebut, yaitu jalan tengah dominasi politik atas hukum di Indonesia dengan melakukan kajian lebih mendalam tentang politik hukum sehingga pada prakteknya kedua variabel saling berhubungan secara seimbang dan mewujudkan sistem hukum Indonesia sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Asimov, Michael R. 2002. Administrative. Chicago: BarBri Group.
Indrayana, Denny. 2016. Jangan Bunuh KPK. Malang: Intrans Publishing.
Mahfud MD, Moh. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Hartono, Novianto Murti. 2004. Pelaksanaan Fungsi Pengawasan dewan Perwakilan Rakyat Melalu Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Tesis). Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Univesitas Indonesia.
Suherman, Ade Maman. 2009. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Sukanto, Soerjono. 2006. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Tanya, Bernard L. 2011. Politik Hukum Agenda Kepentngan Bersama. Yogyakarta : Genta Publishing.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 36/PUU-XV/2017
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib
Online
http://m.metrotvnews.com/read/2017/07/15/729813/lima-alasan-dpr-membentuk-pansus-angket-kpk
http://news.metrotvnews.com/politik/nbw1jr6K-lima-fraksi-mengirimkan-perwakilan-ke-pansus-hak-angket-kpk
https://nasional.kompas.com/read/2017/06/22/18285401/jimly.sebut.legitimasi.pembentukan.pansus.hak.angket.kpk.lemah
https://nasional.kompas.com/read/2017/07/10/15532951/yusril.dpr.dapat.menggunakan.angket.terhadap.kpk
https://nasional.tempo.co/read/1056595/berikut-ini-10-rekomendasi-pansus-hak-angket-untuk-kpk
https://www.kompasiana.com/ekapadma25/legalitas-hak-angket-kpk-dalam-perspektif-hukum-tata-negara-modern_5967ad4f82386a77346fd812
Tidak ada komentar:
Posting Komentar