Senin, 08 April 2013

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS PERADILAN SADDAM HUSSEIN


TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL
TERHADAP KASUS PERADILAN SADDAM HUSSEIN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas terstruktur Uji Kompetensi Dasar
Mata Kuliah : Kapita Selekta Ilmu Hukum/ Semester 6
Dosen Pengampu : Drs. Hassan Suryono, SH, MH, M.Pd.

Disusun Oleh :
AGUS PRASETIYO
NIM. K6410002

PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Saddam Hussein (Nama lengkap: Saddam Hussein Abd al-Majid al-Tikriti) lahir di Al-Awja, Irak pada tanggal 29 April 1937. Dia menjabat sebagai Presiden Irak sejak 1979 hingga 2003. Masa jabatannya harus diakhiri dengan cara paksa, ketika Amerika Serikat dan tentara Sekutu menginvasi Irak tahu 2003 silam. Presiden Irak Saddam Husein yang ditangkap oleh tentara AS (Sekutu) karena dianggap melanggar hukum internasional.
Kemudian beliau diadili di Baghdad karena dianggap melanggar Hukum Internasional. Pengadilan Saddam dibuat oleh Pemerintah Sementara Irak atas presiden terguling Irak Saddam Hussein. Dia dituduhan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan semasa pemerintahannya. Saddam Hussein dan beserta 11 eks petinggi Irak lainnya untuk dakwaan kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida.
Pengadilan pertama dimulai sebelum Pengadilan Khusus Irak pada tanggal 19 Oktober 2005. Pada tanggal 5 November 2006, Saddam dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung. Kemudian ia banding, banding yang diajukan Saddam ditolak dan hukuman mati tetap dilaksanakan. Kemudian Saddam Hussein dieksekusi dengan digantung pada tanggal 30 Desember 2006.
Ada yang pro dan ada yang kontra terhadap vonis itu. Sebagian besar pendapat umum di Uni Eropa, pemerintah negara-negara anggota Uni Eropa sudah menghapuskan hukuman mati. Karena dianggap tidak manusiawi dan karena alasan-alasan lain. Juga media mancanegara, LSM internasional Amnesty International, tidak ketinggalan Paus di Vatikan, meski sependapat bahwa benar Sadam Hussein bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan terhadap rakyatnya sendiri, namun menentang vonis hukuman mati. Hanya Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende yang keseleo lidahnya, pernah menyatakan di muka pers, bahwa keputusan pengadilan Irak itu adil. Tetapi kemudian 'memodifikasi' pendapatnya itu, setelah parpol-parpol penting di Parlemen Belanda dan persnya mengeritik ucapan Balkenende yang dianggap “bizare” (ganjil sekali) keluar dari seorang Perdana Menteri anggota Uni Eropa.
Kejahatan Saddam masuk dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity). Dalam pandangan hukum internasional, kejahatan atas kemanusiaan sama statusnya dengan penjahat perang dan genosida. Tiga kategori perbuatan tersebut telah melampaui batas-batas wilayah teritori kedaulatan negara. Artinya, ketika seseorang melakukan jenis-jenis kejahatan tersebut, maka ia tidak lagi terlindungi oleh kedaulatan mana pun (hak imunitas), sebab kejahatannya telah berubah menjadi kejahatan internasional.
Kasus tersebut menggambarkan fenomena praktek Hukum Internasional. Disini terjadi kontradiksi antara hukum internasional dan hukum nasional. Ada pendapat bahwa, Saddam Hussein hendaknya diadili oleh Mahkamah Kejahatan Internasioanal. Namun pada prakteknya, Saddam Hussein  diadili oleh peradilan nasional Irak. Hal itu, menyebabkan timbul anggapan bahwa peradilan untuk ia tidak wajar. Hal itu dibuktikan dengan hakim yang dipilih tidaklah berasal dari sistem peradilan yang bersih dan independen. Hakim ditunjuk oleh Pemerintah Irak sendiri, bukan melalui mekanisme yang seharusnya. Selain itu, kedudukan Saddam Hussein sebagai subjek hukum masih menjadi pedebatan. Mengapa ia yang harus bertanggungjawab atas kejahatan tersebut, bukan negara Irak. Sebab dalam hukum internasional, negaralah yang disebut subjek hukum. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membuat makalah yang berjudul, “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kasus Peradilan Saddam Hussein”.

B.  Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana kedudukan hukum nasional Irak terhadap hukum internasional pada kasus Pengadilan Saddam Hussein?
2.    Mengapa yang harus bertanggung jawab pribadi Saddam Hussein ? Kenapa bukan negara Irak sebagaimana yang disebut sebagai subyek hukum internasional ?

C.  Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1.    Menganalisis kedudukan hukum nasional Irak terhadap hukum internasional pada kasus Pengadilan Saddam Hussein.
2.    Menjelaskan tanggungjawab pribadi Saddam Hussein sebagai subjek hukum internasional.

D.  Manfaat Penulisan Makalah
1.    Manfaat Teoritis
Penulisan makalah yang berjudul “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kasus Peradilan Saddam Hussein” diharapkan mampu mengembangkan dan menambah pengetahuan dan keilmuan hukum internasional, khususnya teori hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, serta mengetahui sebjek-subjek hukum internasional dewasa ini.
2.    Manfaat Praktis
Penulisan makalah yang berjudul “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kasus Peradilan Saddam Hussein” diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi untuk mengkaji permasalahan pada penerapan atau praktek hukum internasional, terutama berkaitan kedudukan nasional terhadap hukum internasional, serta tanggungjawab individu sebagai subjek hukum internasional pada kasus Saddam Hussein.

  
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN

A.  Kajian Teori
1.    Definisi Konsep
a.    Hukum Internasional
Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan melintasi batas-batas negara-negara[1] antara: 1) negara dengan negara, 2) negara dengan subjek hukum internasional lainnya.
Hukum internasional dapat didefinisikan pula sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku terhadap negara-negara yang merasa dirinya terikat, menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan mereka satu sama lain[2], meliputi: a) kaidah- kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka, hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu, dan b) kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan non-negara sejauh hak dan kewajiban mereka penting bagi masyarakat internasional.
b.    Hukum Nasional
Hukum nasional ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia di dalan masing-masing lingkungan kebangsaan[3] (negara yang nasional yang berdaulat dan merdeka).
Hukum nasional  dapat juga diartikan sebagai himpunan atau sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dalam suatu negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara meraka satu dengan lainnya. Ruang lingkup hukum nasional terbatas pada suatu wilayah negara tertentu.
c.    Subjek Hukum Internasional
Subjek hukum umumnya diartikan sebagai pemegang hak dan kewajiban menurut hukum[4]. Secara umum yang dipandang sebagai subjek hukum adalah: 1) Individu atau orang perorangan (persoon)  yaitu, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. 2) Badan atau lembaga hukum merupakan suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status (persoon) oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban.
Subjek hukum adalah kemampuan mewujudkan pemilihan hal-hal dan kewajiban internasional yang mempunyai kapsaitas untuk mempertahankan hak-haknya dengan membawa tuntutannya[5]. Sedangkan, subjek hukum internasional adalah pendukung atau pemegang hak dan kewajiban menurut ketentuan hukum internasional[6].
Arti subjek hukum menurut hukum internasioanal ialah subjek yang memiliki kecakapan internasional utama, yaitu: 1) mampu untuk menuntut haknya di pengadilan internasional dan nasional, 2) menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh hukum internasional, 3) mampu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum internasional,  4) menikmati imunitas dan yuridiksi pengadilan nasional dan internasional.
Secara teoritis subjek hukum internasional hanya negara, dan pendekatan praktis yang berpangkal pada kenyataan yang ada, timbul fakta hukum bahawa subjek hukum internasional bukan hanya negara[7]. Dewasa ini yang sudah diakui sebagai subjek hukum internasional[8] adalah: 1) Negara, 2) Organisasi Internsional, 3) Palang Merah Internasional, 4) Takhta Suci Vatikan, 5) Organisasi Pembebasan Bangsa, 6) Wilayah Perwalian,7)  Kaum Belligerensi , 8) Individu.
2.    Teori Hubungan Antara Hukum Internasional Dengan Hukum Nasional
Dalam menentukan hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional terdapat dua teori, yaitu dualisme dan monoisme. Teori Dualisme memandang, kedua sistem hukum tersebut merupakan hal yang berbeda. Sedangkan Teori Monoiseme memandang bahwa, kedua sistem saling mempengaruhi dan terdapat Primat (lebih mengutamakan) Hukum Internasional atau Primat Hukum Nasional.
a.    Teori Dualisme
Aliran dualistik (dualistic school) melihat hukum internasional dan hukum nasional tidak saling bergantung satu sama lain. Kedua sistem tersebut,  mengatur permasalahan yang berbeda. Hukum internasional mengatur hubungan antara negara yang berdaulat, sedangkan hukum nasional mengatur urusan dalam negeri negara yang bersangkutan[9].
Aliran dualisme berpendapat berpendapat bahwa kedua sistem saling menolak satu sama lain dan tidak mempunyai kontak dan efek satu sama lain. Para penganut aliran ini tidak mengakui bahwa konflik dapat timbut akibat pertentangan kedua sistem hukum tersebut[10]. Dengan demikian, kedua sistem hukum tersebut adalah dua hal yang berbeda, sehingga tidak ada superioritas. Kedua sistem hukum berdiri sendiri dan tidak saling mempengaruhi.
Penganut pandangan teori ini memandang bahwa, hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua bidang yang berbeda dan berdiri sendiri satu dengan lainnya[11]. Perbedaan hukum nasional hukum nasional dan hukum internasional pertama dapat dilihat dari subjeknya, subjek hukum nasional adalah individu sedangkan subjek hukum internasional adalah negara. Kedua adalah ruang lingkup, hukum nasional berlaku dalam batas wilayah negara tertentu sedangkan hukum internasional berlaku lebih luas yaitu antar negara. Ketiga ialah sumber hukum, hukum internasional berdasar kehendak negara dan hukum internasional bersumber pada kesepakatan antar negara. Karena kedua sistem hukum tersebut berdiri sendiri dengan corak, sifat dan ruang lingkup yang berbeda, maka menurut teori ini tidak ada pengutamaan. Perbedaan yang dikemukaan teori ini saat ini kurang diterima, sebab dewasa ini terjadi perubhan dan perkembangan yang sangat mendasar mengenai struktur hukum nasional ataupun hukum internasional.
Teori ini pada prinsipnya berpendapat bahwa, hukum nasional lebih utam daripaada hukum internasional[12]. Adapun keberlakuan hukum internasional tergantung pada kemauan negara. Pengikut pandangan ini antara lain: Triepel, Anzilotti.
Alasan yang diajukan penganut paham dualisme baik secara formal maupun kenyataan[13], alasan yang terpenting yaitu: 1) sumber hukum berlainan, 2) subjek hukum berbeda, 3) perbedaan struktur atau tata hukum. Keberatan terletak pada pemisahan mutlak antara hukum nasional dengan hukum internasional. Pada kenyataannya, ada hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional bukan karena perbedaan tersebut, melainkan kurang efektifnya hukum internasional.
b.    Teori Monoisme
Aliran monistik (monistik school) mempunyai suatu konsep tunggal mengenai hukum dan melihat semua hukum[14]. Dengan demikian hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian intergal dari sistem yang sama. Apabila terjadi konflik anatara hukum internasional dengan hukum nasional, penganut aliran ini berpendapat bahwa hukum internasional hendaknya tak dapat diragukan lagi pemberlakuannya. Kedua sistem hukum tersebut merupakan dua hal yang saling berkaitan, yang terbagi menjadi dua yaitu, Primat (lebih mengutamakan) Hukum Internasional dan Primat Hukum Nasional.
Paham monoisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia[15]. Hukum merupakan suatu sistem yang utuh, dimana hukum tidak berdiri sendiri. Hukum yang satu dapat mempengaruhi hukum yang lain. Berikut penjelasan mengenai hubungan hukum internasional dengan hukum nasional menurut primat (pengutamaan) Teori Monoisme:
a.    Primat Hukum Internasional
Monoisme pengutamaan hukum internasional memandang bahwa, hukum internasional merupakan sumber dari hukum nasional[16]. Maka dari itu, hukum nasional harus tunduk pada hukum internasional. Hukum internasional mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding hukum nasional. Pandangan ini bertolak belakang dengan sejarah perkembangan ilmu hukum, dimana sebenarnya usia hukum internasional jauh lebih muda dibanding hukum nasional.
Dipelopori Mazhab Vienna dan Mazhab Perancis, berpendapat sebagai berikut[17]: 1) hukum internasional lebih tinggi dan utama, 2) hukum nasional tunduk dan bersumber pada hukum internasional, 3) kekuatan mengikat hukum nasional merupakan pendelegasian wewenang hukum internasional, 4) hukum internasional lebih dahulu daripada hukum nasional. Pengikut pandangan ini antara lain: Mazhab Vienna (Kunz dan Lelzen) dan Mazhab Perancis (Duquit, Scelle, Bourguin).
Hukum nasional bersumber pada hukum internasinal dan menurut pandangan ini hukum internasinal memiliki kedudukan hierarkis lebih tinggi[18]. Pada kenyataanya hal tersebut tidak benar selamanya, di negara tertentu seperti Indonesia masih diperlukan ratifikasi hukum internasional seperti penjanjian internasional dan bentuk lainnya.
b.    Primat Hukum Nasional
Berbeda dengan pandangan monoisme primat hukum internasional, pandangan teori ini menyatakan bahwa hukum internasional bersebut bersumber pada hukum nasional[19]. Hukum internasional merupakan lanjutan dari hukum nasional saja. Oleh karena itu, apabila terjadi pertentangan antara keduanya, maka hukum nasional yang harus lebih diutamakan. Hal ini sama saja merupakan penyangkalan terhadap eksistensi hukum internasional.
Dipelopori Mazhab Bonn, berpendapat sebagai berikut[20]: 1) hukum nasional lebih utama, 2) hukum internasional hanya kelanjutan hukum nasional, 3) hukum internasional tidak lain daripada hukum negara untuk urusan luar negari suatu negara, 4) hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Pengikut pandangan primat hukum nasional antara lain: Mazhab Bon yaitu Max Wenzel.
Pada hakikatnya pandangan merupakan penyangkalan terhadap adanya hukum internasional[21], walaupun secara teoritis dan konstruksi logika berpikir yang dikemukakan mungkin saja terjada pada kenyataannya.

B.  Pembahasan
1.    Kedudukan Hukum Nasional Irak Terhadap Hukum Internasional
Masalah penyelesaian sengketa antar negara telah menyebabkan terciptanya prosedur-prosedur yang berjangka luas meliputi perundingan, jasa-jasa baik, penyelidikan, penengahan, konsiliasi, arbitrase, dan penyelesaian hukum[22]. Salah satu penyelesaian permasalahaan hukum internasional yang melalui jalur hukum adalah pengadilan Saddam Husein.
Pengadilan Saddam Hussein ialah pengadilan yang dibuat oleh Pemerintah Sementara Irak atas presiden terguling Irak Saddam Hussein atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan semasa pemerintahannya. Pada tanggal 9 Desember 2003, Otoritas Sementara Koalisi mengusulkan pembentukan Pengadilan Khusus Irak[23], yang terdiri atas 5 hakim Irak, untuk mengadili Saddam Hussein dan beserta 11 eks petinggi Irak lainnya untuk dakwaan kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida. Mereka menghadapi tuduhan kejahatan perang, yang kemungkinan termasuk pembantaian suku Kurdi (1988) dan invasi Kuwait (1990).
Dewan Keamanan (DK) PBB pernah menjatuhkan akibat invasi Irak ke Kuwait. DK menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Irak dan mulai berlaku pada tanggal 6 Agustus 1990 yaitu setelah 4 hari invasi Irak ke Kuwait[24]. Sanksi dijatuhkan karena Irak telah mengabaikan keputusan DK untuk menarik diri dari Kuwait. Pada tanggal 29 Nopember 1990 dijatuhkan sanksi militer, kemudian disusul serangan laut, udara, dan darat.
Perang merupakan situasi daraurat yang terpaksa dilakukan orang, sifatnya keras atau kasar[25]. Namun dibalik kekerasan tersebut dituntut adanya kewajaran, tindakan diluar kewajran mengakibatkan dikenal penjahat perang. Yang berhak mengadili para penjahat perang adalah negara terhadap warga negaranya sendiri maupun pihak yang berperang.
Amnesti Internasional menyatakan pengadilan itu "tidak wajar" danHuman Rights Watch mencatat bahwa eksekusi Saddam “mengikuti pengadilan cacat dan menandai langkah berarti menjauhi aturan hukum di Irak”[26].
Saddam ditangkap pada 13 Desember 2003[27] dan bersama para pejabat senior Ba’ath tetap dan di tahanan di Camp Cropper, Baghdad. Perhatian khusus untuk aktivitas-aktivitas kampanye berdarah terhadap Orang Kurdi di utara selama Perang Iran-Irak, terhadap Syiah di selatan (1991 dan 1999) untuk meredam pemberontakan, dan di Dujail setelah percobaan pembunuhan yang gagal pada tanggal 8 Juli 1982, selama Perang Iran-Irak. Saddam menegaskan dalam pembelaannya bahwa ia telah dijatuhkan secara tidak sah, dan tetap menjadi Presiden Irak[28].
Pengadilan pertama dimulai sebelum Pengadilan Khusus Irak pada tanggal 19 Oktober 2005[29]. Dalam kasus ini, Saddam dan 7 terdakwa lainnya diadili atas kejahatan terhadap kemanusiaan dengan memandang pada peristiwa yang berlangsung setelah pembunuhan yang gagal di Dujail pada tahun 1982[30]. Pengadilan kedua yang terpisah dimulai pada 21 Agustus 2006 mendakwa Saddam dan 6 ko-terdakwa atas genosida selama Kampanye Al-Anfal terhadap suku Kurdi di Irak Utara. Saddam juga diadili in absentia[31] untuk peristiwa pada masa Perang Iran-Irak dan invasi Kuwait.
Pada tanggal 5 November 2006, Saddam dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung[32]. Pada tanggal 25 Desember 20006, banding Saddam ditolak dan hukuman mati ditegakkan[33]. Tidak ada banding lanjutan yang diterima dan Saddam diperintahkan dieksekusi dalam 30 hari sejak tanggal itu. Tempat dan waktu hukuman mati dirahasiakan hingga hukuman dilaksanakan. Saddam Hussein dieksekusi dengan digantung pada tanggal 30 Desember 2006[34].  Dengan kematiannya, dakwaan lain digugurkan.
Presiden Irak Saddam Husein yang ditangkap oleh tentara AS (Sekutu) dan kemudian di adili di Baghdad karena dianggap melanggar Hukum Internasional yaitu melakukan kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida. Kemudian ia dijatuhi divonis mati dan dihukum gantung. Kasus tersebut menggambarkan fenomena praktek Hukum Internasional.
Pada umumnya kejahatan dipandang sebagai musuh umat manusia dan oleh karena ini umat manusia berkewajiban untuk memberantasnya. Kejahatan genocide atau kejahatan pemusnahan ras telah diatur dalam Konvensi Genocide tahun 1948[35]. Lahirnya Konvensi ini tidak lepas dari akibat pembantaian ratusan ribu orang Yahudi oleh Nazi dibawah pimpinan Hitler. Jerman, Jepang, Italia didakwa sebagai penyebab Perang Dunia II digolongkan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Sampai tahun 2003 atas dasar konvensi internasional sejak tahun 1812 ada 28 kategori kejahatan internasional[36]. Namun pada umumnya kita mengenal tiga kejahatan internasional yaitu, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan genocide.
Kejahatan Saddam masuk dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity). Dalam pandangan hukum internasional, kejahatan atas kemanusiaan sama statusnya dengan penjahat perang dan genosida. Tiga kategori perbuatan tersebut telah melampaui batas-batas wilayah teritori kedaulatan negara. Artinya, ketika seseorang melakukan jenis-jenis kejahatan tersebut, maka ia tidak lagi terlindungi oleh kedaulatan mana pun (hak imunitas), sebab kejahatannya telah berubah menjadi kejahatan internasional.
Pada 17 Juni 1998 Statuta Roma melahirkan Mahkamah Kejahatan Internasional/ Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Court of Crime/ ICC) permanen yang dihadiri 148 negara[37]. Hasil pemungutan suara terdiri dari 120 negara mendukung, 7 negara menentang, 21 negara abstain. Amerika, China dan Irak adalah tiga dari tujuh negara yang menentang. Kendati 120 negara mendukung sampai 18 Juni 2008 tercatat baru 108 negara yang meratifikasi Statuta Roma.
Mahkamah di  bawah PBB dan tempat berkedudukan Den Haag, Belanda. Bahasa yang digunakan sama dengan bahasa resmi PBB, yaitu bahasa Arab, China, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol. Badan kelengkapan meliputi: kepresidenan, divisi banding, divisi, pengadilan, divisi prapeladilan, kantor jaksa penuntut umum, dan kepaniteraan. Saat ini ada 15 hakim yang bertugas di Mahkamah yang berasal dari berbagai negara. Sejak terbentuk 1998, Mahkamah mulai efektif berlaku sejak 1 Juli 2002[38]. Pertama kali mengadili kasus kejahatan perang di Republik Demokratik Congo terdakwa Thomas Lubanga Dyilo (Pimpinan Union of Congolese Patriots).
Yuridiksi Mahkamah meliputi kejahatan agresi, kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang[39]. Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai definisi kejahatan agresi. Definisi kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang tertuang dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 Statuta Roma.
Kendala yang dihadapi Mahkamah Kejahatan Internasional adalah kesediaan negara-negara untuk menyerahkan pelaku kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida untuk diadili di hadapan Mahkamah, mengingat negara-negara memiliki kedaulatan yang cenderung untuk mengadili sendiri berdasarkan hukum nasionalnya, jika negara itu adalah negara yang belum bahkan menolak untuk meratifikasi Statuta Roma. Irak salah satu dari 7 negara yang menolak statuta tersebut dan dipastikan tidak meratifiksai Statuta Roma.
Bagi setiap negara yang meratifikasi Statuta Roma, maka berkewajiban menaati statuta tersebut. Berkaitan dengan hubungan hukum internasional dan hukum nasional, kasus Saddam Hussein membuktikan kedudukan hukum nasional Irak lebih tinggi (Primat Hukum Nasional). Dalam proses pengadilan tersebut penuh rekayasa (tidak wajar), karena hakimnya dipilih oleh Pemerintah Sementara Irak bukan oleh sistem peradilan independen (terlepas dari kekuasaan eksekutif maupun legislatif). Penulis berpendapat, bahwa kasus ini hendaknya diadili Mahkamah Kejahatan Internasional bukan di pengadilan buatan pemerintah. Selain itu, kejahatan yang dilakukan Saddam Hussein termasuk dalam yuridiksi Mahkamah, hendaknya diadili menurut hukum internasional.
Berdasarkan praktek hukum Internasional pada kasus Saddam Husein, yang berlaku adalah Teori Monoisme Primat Hukum Nasional. Penulis memberikan dapat memberikan argumentasi atas pernyataan tersebut. Pertama, aturan yang berlaku sesuai Statuta Roma, bahwa pelaku kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida diadili oleh Mahkamah Kejahatan Internasional menurut hukum internasional bukan pengadilan nasional. Kejahatan yang dilakukan Saddam Hussein tersebut merupakan yuridiksi atau kewenang Mahkamah Kejahatan Internasional. Kedua, Irak belum meratifikasi Statuta Roma sebagai hukum nasionalnya. Jadi berlakunya hukum internasional menjadi hukum nasional harus melalui ratifikasi. Ratifikasi menjadi bukti bahwa, hukum internasional dapat berlaku jika ada kemauan dari negara. Dua hal tersebut yang dijadikan alasan bahwa, pada kasus kasus Saddam Husein kedudukan hukum nasional Irak lebih utama atau lebih tinggi daripada hukum internasional (Teori Monoisme Primat Hukum Nasional).
2.    Saddam Hussein Sebagai Subjek Hukum Internasional
   Untuk dapat disebut sebagai subjek Hukum Internasional, suatu entitas harus memiliki personalitas Hukum Internasional. Sebelumnya, agar suatu entitas dapat dikatakan telah memiliki personalitas Hukum Internasional harus memiliki beberapa kecakapan tertentu, yaitu:
a.    Mampu mendukung hak dan kewajiban internasional
b.    Mampu melakukan tindakan tertentu yang bersifat internasional
c.    Mampu menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional
d.  Memiliki kemampuan untuk melakukan penuntutan terhadap pihak yang melanggar kewajiban internasional
e.    Memiliki kekebalan dari pengaruh/penerapan yurisdiksi nasional suatu negara
f.     Dapat menjadi anggota dan berpartisipasi dalam keanggotaan suatu organisasi internasional
Subyek Hukum Internasional dewasa ini bukan hanya negara saja. Selain itu, adalah tahta suci vatikan, palang merah internasional, organisasi internasional, individu, pemberontak, pihak dalam sengketa dan subjek hukum lain yang diatur menurut ketentuan hukum internasional. Pada kasus Saddam Hussen, ia dianggap subjek hukum internasional, yaitu sebagai individu.
Kedudukan individu sebagai subjek hukum internasional tidak perlu diragukan lagi. Pada awal masa pertumbuhan hukum internasional, individu hanyalah sebagai subjek hukum nasional. Sedangkan subjek hukum internasioanal bahkan satu-satunya adalah negara. Sekarang ini, individu dalam batas tertentu dapat bertindak secara mandiri dengan melakukan perbuatan hukum intenasional atas nama atau untuk dirinya sendiri. Demikian pula individu dapat dibebani kewajiban internasional dan dimintai pertanggung jawaban secara langsung di tingkat internasioanal atas perbuatannya yang bertentangan dengan ketentuan hukum internasional[40].
Pengakuan individu sebagai subjek hukum internasional berkaitan erat dengan prinsip dan kaidah hukum internasioanl yang memberkan hak dan memebebani kewajiban secara langsung kepada individu[41]. Pada hakikatnya pengakuan individu sebagai subjek hukum internasioanl berhubungan dengan permasalahan hak dan kewajiban asasi manusia merupakan hal yang universal tanpa mengenal batas wilyah negara.
Pada Perjanjian Perdamaian Varsailles tahun 1919 sudah ada pasal yang memungkinkan orang perorangan (person) mengajukan perkara ke Mahkamah Arbitrase Internasional[42]. Hal serupa ditemukan dalam Perjanjian antara Jerman dan Polandia tahun 1922 mengenai Silesia Atas. Pada perkembangannya lebih penting individu menjadi subjek hukum internasional ialah keputusan Mahkamah Internasional menyangkut pegawai kereta api Danzig. Karena sifatnya diktum Mahkamah, keputusan tersebut memperkuat arah perkembangan individu sebagai subjek hukum internasioanal. Tahap penting berikutnya adalah penuntutan penjahat pernag dihadapan Mahkamah Kejahatan Perang Internasional.
Pada prakteknya, terjadi dimana Mahkamah Militer Internasional yang bersidang di Nurenbreg (Jerman) dan Tokyo (Jepang) pada tahun 1946 meminta secara langsung pertanggungjawaban atas tindakan para pemimpin Jerman dan Jepang yang dituduh berbagai pihak mengobarkan Perang Dunia II[43]. Mereka dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan individu sebagai penjahat perang harus mempertanggungjawabkan sendiri tindakannya yang melanggar ketentuan hukum internasioanal. Dengan kata lain, individu dalam contoh tersebut berkedudukan sebagai subjek hukum internasional.
Melihat perkembangan tersebut berkaitan dengan individu sebagai subjek hukum internasional Pengadilan Nurenberg dan Tokyo memiliki arti sejarah (historis) yang sangat penting. Sangat jelas bahwa, seseorang dianggap bertanggungjawab langsung sebagai individu atas perbuatannya, dan ia tidak mendapat perlindungan dari negaranya.
Biossioni memberikan definisi kejahatan internasional sebagai tindakan yang ditetapkan di dalam konvensi multilateral, diikuti sejumlah negara dan didalamnnya terdapat sepuluh karakteristik pidana[44].
Bryan A. Ganner memberikan definisi kejahatan internasioanal sebagai kejahatan terhadap hukum internasional: Pertama, tindakan yang berdasarkan perjanjian internasional mengikat individu secara langsung tanpa diatur hukum nasional. Kedua, Ketentuan hukum internasional yang mengharuskan penuntutan tindakan yang dipidana berdasarkan prrinsip yuridiksi universal[45].
Dalam fenomena praktek hukum internasional di Irak (Kasus Saddam Hussein) yang bertanggungjawab adalah Saddam Hussein dan para pejabat Irak sebagai Individu, bukan tanggungjawab negara. Tahap terpenting pengakuan individu sebagai subyek hukum internasional adalah ketika adanya penuntutan penjahat-penjahat perang di hadapan Mahkamah Kejahatan Internasional yang diadakan khusus untuk itu oleh negara-negara sekutu yang menang perang.
Saddam Hussein Abd al-Majid al-Tikriti (Arab:صدام حسين عبد المجيد التكريتي‎ Saddām Husayn Aabdu-Al-majīd al-tikrītī; lahir di Al-Awja, Irak, 29 April 1937 – meninggal di Kadmiya, Irak, 30 Desember 2006 pada umur 69 tahun)[46] adalah Presiden Irak pada periode 16 Juli 1979 hingga 9 April 2003, ketika tertangkap oleh pasukan koalisi saat menginvasi Irak pada tahun 2003.
Saddam Hussein harus mempertanggungjawabkan atas tuduhan kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida semasa memerintah Irak. Sehingga Saddam Hussein-lah yang berdiri sebagai subyek hukum bukan negara Irak. Penulis meluruskan bahwa yang diadili bukan Saddam seorang, melainkan juga para eks petinggi Irak lainnya yang dianggap bertanggungjawab atas kejahatan tersebut. Dalam hukum internasional, individu pun merupakan subjek. Namun sebagaimana asas hukum yang berlaku universal, seharusnya Saddam Hussein tetap diperlakukan sebagai orang yang belum bersalah sebelum divonis pengadilan (asas praduga tak bersalah). Hak-haknya tetap harus dilindungi sebagai terdakwa, terutama mendapat bantuan hukum.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Beradasarkan pembahasan yang disajikan penulis pada BAB II, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Kedudukan Hukum Nasional Irak Terhadap Hukum Internasional
Berdasarkan praktek Hukum Internasional pada kasus Pangadilan Saddam Husein mantan Presiden Irak, teori hubungan internasional dengan hukum nasional yang berlaku adalah Teori Monoisme Primat Hukum Nasional. Berdasarkan fakta yang ada, kedudukan hukum nasional Irak lebih tinggi daripada hukum internasional. Penulis memberikan dua alasan mengapa pada kasus ini lebih mengutamkan hukum nasional Irak.
Pertama, aturan yang berlaku sesuai Statuta Roma, bahwa pelaku kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida diadili oleh Mahkamah Kejahatan Internasional menurut hukum internasional bukan oleh pengadilan nasional. Kejahatan yang dilakukan Saddam Hussein merupakan yuridiksi Mahkamah Kejahatan Internasional, karena ia dianggap melakukan kejahatan tersebut. Tetapi pada kenyataanya Saddam diadili menurut hukum nasional Irak.
Kedua, Irak belum meratifikasi (mengadopsi) Statuta Roma. Jadi berlakunya hukum internasional menjadi hukum nasional harus melalui ratifikasi. Ratifikasi menjadi bukti bahwa, hukum internasional dapat berlaku jika ada kemauan dari negara. Sehingga kedudukan hukum nasional lebih tinggi dari hukum internasional dengan adanya ratifikasi.
2.    Saddam Hussein Sebagai Subjek Hukum Internasional
Subyek Hukum Internasional dewasa ini bukan hanya negara saja. Selain itu ada subjek lain, yaitu tahta suci vatikan, palang merah internasional, organisasi internasional, individu, pemberontak, pihak dalam sengketa dan subjek lain yang diatur menurut hukum internasional. Pada kasus Saddam Hussen, ia dianggap subjek hukum internasional, yaitu sebagai individu.
Melihat perkembangan tersebut berkaitan dengan individu sebagai subjek hukum internasional Pengadilan Nurenberg dan Tokyo memiliki arti sejarah yang sangat penting. Sangat jelas bahwa dalam hukum internasional, seseorang atau pribadi dianggap mampu bertanggungjawab langsung sebagai individu atas perbuatannya, dan ia tidak mendapat perlindungan dari negaranya.
Tahap terpenting pengakuan individu sebagai subyek hukum internasional adalah ketika adanya penuntutan penjahat-penjahat perang di hadapan Mahkamah Kejahatan Internasional. Saddam Hussein harus mempertanggungjawabkan secara pribadi atas tuduhan kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida semasa memerintah Irak. Kejahatan yang ditudukkan tersebut, diatur dalam hukum internasional. Sehingga Saddam Hussein-lah yang berdiri sebagai subyek hukum internasional bukan negara Irak. Dengan kata lain, kedudukan Saddam Husseinsebagai subjek hukum internasional adalah sebagai individu.

B.  Saran
Penulis dapat memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1.    Hendaknya apabila Saddam Hussein diadili menurut hukum nasional Irak, hakimnya dipilih oleh menurut aturan yang berlaku. Sistem peradilan yang mengadilinya pun independen, terlepas dari kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Peradilan yang bersih dapat memberi rasa keadilan baik bagi terdakwa maupun korban. Selain itu, seperti kasus Saddam Hussein hendaknya diadili Mahkamah Kejahatan Internasional bukan di pengadilan “buatan” pemerintah Irak, karena kejahatan yang dituduhkan merupakan kewenangan Mahkamah.
2.    Sebagaimana asas hukum yang berlaku universal, seharusnya Saddam Hussein tetap diperlakukan sebagai orang yang belum bersalah sebelum divonis pengadilan (asas praduga tak bersalah). Hak-haknya tetap harus dilindungi sebagai terdakwa, terutama mendapat bantuan hukum. Ia harus tetap diperlakukan secara adil dan manusiawi, walaupun kebanyakan orang menganggap ia adalah penjahat.


DAFTAR PUSTAKA

Amnesti Internasional. Diperoleh 7 April 2013, dari:  http://www.amnesty.org/.
Bowett, D.W. 1992. Hukum Organisasi Internasional. Diterjemahkan oleh: Bambang Iriana Djajaatmadja, SH. Jakarta: Sinar Grafika.
Bownlie, Ian. 1998. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional Publik. Diterjemahkan oleh: Edy Suryono, SH, MH. Surakarta: UNS Press.
Effendi, H.A. Mansyur.  1994. Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata. Surabaya: Usaha Nasional.
Hiariej, Eddy O.S. 2009. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta: Erlangga.
I Wayan, Parthiana. 1990. Ekstadisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasioanal Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
_______. 1990. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju.
Kanal Berita Liputan6.com. Kronologi Penangkapan Saddam Hussein. Diperoleh 7 April 2013, dari: http://news.liputan6.com/.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1999. Pengantar Hukum Internasional Buku I – Bagian Umum. Bandung: Putra Abardin.
Likadja, F.E. & Bessie, D.F. 1988. Desain Intruksional Dasar Hukum Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Starke, J.G. 1992. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh. Diterjemahkan oleh: Bambang Iriana Djajaatmadja, SH. Jakarta Sinal Grafika.
Suryokusumo, Sumaryo. 1997. Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional. Alumni: Bandung. Halaman
Wallace, Rebecca M.M. 1993. Pengantar Hukum Internasional. Diterjemahkan oleh: Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH. Semarang: IKIP Semarang Press.
Wikipedia Ensiklopedia. Diperoleh 7 April 2013, dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Saddam_Hussein/.
Wikipedia Ensiklopedia. Diperoleh 7 April 2013, dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Saddam_Hussein/.


Footnote

 [1] Frans E. Likadja dan Daniel Fras Bessie, Desain Intruksional Dasar Hukum Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, Halaman 51.
[2] J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Diterjemahkan oleh: Bambang Iriana Djajaatmadja, SH., Jakarta Sinal Grafika, 1992, Halaman 3.
[3] Frans E. Likadja dan Daniel Fras Bessie, Loc.Cit., Halaman 51.
[4] I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1990, Halaman 58.
[5] Ian Bownlie, Prinsip-Prinsip Hukum Internasional Publik, Diterjemahkan oleh: Edy Suryono, SH, MH., Surakarta: UNS Press, 1998, Halaman 67.
[6] I Wayan Parthiana. Loc.Cit., Halaman 58.
[7] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional Buku I – Bagian Umum, Bandung: Putra Abardin, 1999, Halaman 68-70.
[8] I Wayan Parthiana. Op.Cit., Halaman 59.
[9] Rebecca M.M. Wallace, Pengantar Hukum Internasional, Diterjemahkan oleh: Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH., Semarang: IKIP Semarang Press, 1993, Halaman 58.
[10] Rebecca M.M. Wallace. Ibid.
[11] I Wayan Parthiana, Op.Cit.,  Halaman 255.
[12] Frans E. Likadja dan Daniel Fras Bessie, Op.Cit., Halaman 64.
[13] Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit,. Halaman 40-43.
[14] Rebecca M.M. Wallace. Loc.Cit., Halaman 58.
[15] Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., Halaman 42.
[16] I Wayan Parthiana, Op.Cit., Halaman 254.
[17] Frans E. Likadja dan Daniel Fras Bessie, Op.Cit., Halaman 64-65.
[18] Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., Halaman 44-45.
[19] I Wayan Parthiana, Op.Cit., Halaman 254.
[20] Frans E. Likadja dan Daniel Fras Bessie, Op.Cit.,  Halaman 64.
[21] Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit.,  Halaman 43-44.
[22] D.W. Bowett, Hukum Organisasi Internasional, Diterjemahkan oleh: Bambang Iriana Djajaatmadja, SH. Jakarta: Sinar Grafika, 1992, Halaman 323.
[24] Sumaryo Suryusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni: Bandung, 1997, Halaman 14.
[25] H.A. Mansyur Effendi, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata, Surabaya: Usaha Nasional, 1994, Halaman 152.
[26] Amnesti Internasional, http://www.amnesty.org/
[28] Wikipedia Ensiklopedia, Loc.Cit.
[29] Wikipedia Ensiklopedia, Ibid.
[30] Wikipedia Ensiklopedia, Ibid.
[31] Wikipedia Ensiklopedia, Ibid.
[32] Wikipedia Ensiklopedia, Ibid.
[33] Wikipedia Ensiklopedia, Ibid.
[34] Wikipedia Ensiklopedia, Ibid.
[35] I Wayan Parthiana, Ekstadisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasioanal Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1990, Halaman 80-81.
[36] Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Erlangga, 2009. Halaman 55-56.
[37] Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., Halaman 70-71.
[38] Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., Halaman 71-73
[39] Eddy O.S. Hiariej, Ibid.
[40] I Wayan Parthiana, Op.Cit., Halaman 91-93.
[41] I Wayan Parthiana, Ibid.
[42] Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., Halaman 74-76.
[43] I Wayan Parthiana, Op.Cit., Halaman 91-93.
[44] Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., Halaman 46.
[45] Eddy O.S. Hiariej, Ibid.
[46] Wikipedia Ensiklopedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Saddam_Hussein

FILSAFAT HUKUM ISLAM TENTANG LEMBAGA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Namun pada praktiknya, perekeno...