Minggu, 04 Maret 2012

Asas Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan

ANALISIS DAN KASUS 
ASAS HUKUM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN



Dosen Pengampu : Dr. Triyanto, SH, M.Hum
Mata Kuliah : Hukum dan Perundang-Undangan


AGUS PRASETIYO
NIM. K6410002

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011




Pengantar
Dalam membentuk suatu aturan perundang-undangan, hal yang tidak boleh dilakukan adalah melenceng dari asas atau jiwa dasar peraturan tersebut. (Dodik Setiawan Nur Heriyanto – 2011). Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya pada Pasal 5 diberikan penjelasan asas-asas dalam membentuk sebuah produk aturan perundang-undangan yakni sebagai berikut:
  1. Kejelasan tujuan. Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
  2. Kelembagaan atau organ yang tepat. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
  3. Kesesuaian antara jenis dengan materi muatan. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.
  4. Dapat dilaksanakan. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efectivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
  5. Kedayagunaan dan keberhasilgunaan. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  6. Kejelasan rumusan. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
  7. Keterbukaan. Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari pencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai desempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Sementara itu, menurut UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mengandung asas-asas sebagai berikut:
  1. Pengayoman. Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat.
  2. Kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
  3. Kebangsaan. Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  4. Kekeluargaan. Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
  5. Kenusantaraan. Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
  6. Bhineka Tunggal Ika. Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaza khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  7. Keadilan. Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa  setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporcional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
  8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Yang dimaksud dengan ”asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
  9. Ketertiban dan kepastian hukum. Yang dimaksud dengan ”asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
10.  Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Yang dimaksud dengan ”asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
11.  Asas-asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan: Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain: dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; serta dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1), sebagai berikut:
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Peraturan Presiden;
  5. Peraturan Daerah
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan yang telah ada sebelumnya seperti Ketetapan MPR dan Keputusan Presiden yang dikategorikan dalam peraturan yang bersifat beschikking. Peraturan dan atau Keputusan Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintahan lainnya tetap memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam konteks pelaksanaan kewenangan sebagai Pejabat Negara.

ASAS HUKUM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Asas legalitas
Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif); peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan itu lahir. Namun demikian, mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi keadilan masyarakat.
Asas lex superior derogat legi inferior
Asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex inferior); peraturan perundang-undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan hirarkhi norma dan peraturan perundang-undangan.
Asas lex specialis derogat legi generalis
Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis).
Asas lex posteri
Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori); dalam setiap peraturan perundang-undangan biasanya terdapat klausul yang menegaskan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dan menyatakan peraturan perundang-undangan sejenis yang sebelumnya digunakan, kecuali terhadap pengaturan yang tidak bertentangan.


ANALISIS DAN KASUS

Dalam ilmu hukum dipelajari tentang kaedah hukum (dalam arti luas). Kaedah hukum (dalam arti luas) lazimnya diartikan sebagai peraturan, baik tertulis maupun lisan, yang mengatur bagaimana seyogyanya kita (suatu masyarakat) berbuat atau tidak berbuat. Kaedah hukum (dalam arti luas) meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma), dan peraturan hukum kongkrit.
Asas-asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan latar belakang peraturan hukum konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Sementara itu, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma) merupakan perumusan suatu pandangan obyektif mengenai penilaian atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan (merupakan nilai yang bersifat lebih kongkrit dari asas hukum).
Hukum bukanlah suatu skema yang final (final scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa hukum bukan hanya sebuah rumusan teks perundang-undangan, namun hukum juga merupakan sebuah “perilaku”. Yaitu perilaku yang yang berkembang di masyarakat.
Jika hukum hanya dipahami sebuah rumusan perundang-undangan (sebagaimana realita yang selama ini terjadi) sungguh hukum tidak akan pernah bisa menahan lajunya kedinamisan yang terjadi di masyarakat dan tidak akan pernah bisa menegakan keadilan. Karena teks undang-undang merupakan sesuatu yang mati, tidak bisa bergerak tanpa ada yang menggerakan, yaitu manusia.

ASAS LEGALITAS
            Kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pada pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000 berbunyi “Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa”. Tentunya bertentangan dengan pasal 28 i UUD 1945 yang berbunyi “...dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Pertentangan seperti ini tentunya tidak lagi menggunakan asas lex specialis derogat legi generale melainkan asas lex superior derogat legi inferiori karena kedua peraturan tersebut secara hierarki tidak sederajat, jadi yang harus ditaati adalah pasal 28 i UUD 1945. Namun, peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut (peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan itu lahir). Namun demikian, mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi kemanfaatan dan keadilan masyarakat.
Jadi solusinya untuk penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum adanya UU pengadilan HAM tersebut tentunya diselesaikan dengan menggunakan ketentuan umum dalam KUHP yang berkaitan dengan kasus tersebut. Sangat ironis jika dalam kasus seperti ini masih ada yang memaksakan untuk menjerat dengan UU pengadilan HAM tanpa memperhatikan peluang seorang pelaku dapat dibebaskan karena kesalahan seperti ini dan sangat sulit untuk menjerat kembali dengan dakwaan yang berbeda terhadap kasus yang sama karena kita menganut asas ne bis ni idem (asas yang melarang seseorang untuk diadili dan dihukum untuk kedua kalinya untuk kejahatan yang sama).
Kasus lain:
Ahli Hukum Achyar Salmi mengatakan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 21 jo Pasal 47 Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan telah sesuai dengan asas legalitas. Karena  pasal itu tidak ditemukan adanya ketentuan yang bertentangan dengan asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, ketika memberi keterangan sebagai ahli dalam uji materi UU Perkebunan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ahli hukum dari FH-UI ini juga mengatakan bahwa ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 yang didalilkan oleh pemohon. Permohonan uji materi Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan ini diajukan oleh empat orang petani yakni Japin, Vitalis Andi, Sakri, dan Ngatimin. Mereka meminta MK agar membatalkan kedua pasal tersebut karena sering digunakan aparat untuk mengkriminalisasi rekan mereka sesama petani. Pemohon juga menilai pasal itu dinilai sumir dan melanggar asas "lex certa" karena tidak merumuskan secara jelas dan rinci uraian perbuatan pidananya berikut bentuk kesalahannya, sehingga dapat merugikan kepentingan petani. Kedua pasal itu pun dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.
Atas dalil pemohon ini, Achyar berpendapat rumusan Pasal 21 jo Pasal 47 UU Perkebunan sudah sangat jelas dan tegas yang telah mengatur perbuatan mana yang dilarang dan apa sanksinya. Pasal itu tidak menganut prinsip analogi dan prinsip berlaku surut, jadi sudah sesuai dengan asas legalitas. Kuasa Hukum Pemohon, Wahyu Wagiman, usai sidang, mengatakan UU Perkebunan pasal 21 dan 47 dinilai akan mengorbankan masyarakat adat yang bermukim dalam satu wilayah karena perusahaan secara mudah mengambil alih lahan yang sudah dikuasai secara turun temurun. Secara umum yang menjadi korban adalah masyarakat adat yang secara turun temurun menguasai wilayah adatnya. Perusahaan masuk tanpa ada komunikasi, kemudian mengambil alih lahannya. Kasus tersebut semakin diperparah dengan tidak adanya ketentuan yang jelas dalam pasal tersebut tentang apa saja tindakan yang dapat mengganggu usaha perkebunan. Perbuatan yang mengganggu usaha perkebunan harus disebutkan secara rinci. Aturan dalam pasal tersebut membahayakan sebab sebagian petani akan dikriminalkan sementara mereka telah menjadi korban karena lahannya diambil perusahaan.

ASAS LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIOR
Pemerintah Republik Indonesia melalui DPR berencana hendak memositipkan suatu produk hukum baru yang mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat secara luas, yakni Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi sebagai penyempurnaan dari RUU sebelumnya yang bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP) .
Menurut tradisi Civil Law System sebagai sistem hukum yang secara formal berlaku di Indonesia, maka berdasarkan teori Ulpianus hukum berdasarkan lapangan kepentingan yang diaturnya dibagi menjadi dua ruang: hukum privat adalah hukum yang mengatur hal-hal yang sifatnya personal, yakni kepentingan-kepentingan individu (kepentingan privat) serta hubungan antar individu yang berlatar belakang adanya kepentingan privat, sedangkan hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan masyarakat.
Kepentingan privat adalah kepentingan individu yang sifatnya pribadi, sehingga sekali lagi kepentingan ini antara orang satu dengan yang lain tidak dapat disamakan. Contoh dari kepentingan privat ini adalah masalah perkawinan, agama, keyakinan, harta pribadi, warisan, dan semacamnya. Berkait dengan RUU Pornografi, maka jelas bahwa substansi RUU ini hendak mengatur materi-materi seksualitas, bahkan hingga pengaturan atas salah satu cara ekspresi seksualitas diri pribadi seseorang. Masalah seksualitas, termasuk pengalaman dan cara ekspresi seksualitas adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kedirian manusia, oleh karena itu hal ini jelas merupakan kepentingan yang sifatnya personal. Pengaturan masalah seksualitas sebagaimana yang ada dalam RUU Pornografi adalah tindakan keliru oleh negara karena menabrak batasan ruang privat yang seharusnya dilindungi oleh negara itu sendiri.
Dalam hukum berlaku asas perundang-undangan yang berbunyi lex superior derogat legi inferior, artinya bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus mendasarkan diri dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Materi dalam RUU Pornografi terutama yang ada dalam bab II (pasal 4-14) cenderung memiliki potensi untuk bertentangan dengan  UUD 1945, antara lain dengan pasal:
  • Pasal 28 E ayat 2 UUD 1945:“Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikirandan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
  • Pasal 28 F UUD 1945:“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
  • Pasal 28 H ayat 4 UUD 1945:“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun.
  • Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945:“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
  • Pasal 28 J ayat 1 UUD 1945:“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
            Berdasarkan kelemahan-kelemahan substansiil baik secara yuridis dogmatis maupun secara yuridis teoretis dan filosofis sebagaimana terjabarkan di atas. Maka pemaksaan atas rencana pemositipan RUU Pornografi akan menimbulkan permasalahan kebangsaan yang serius melebihi dari bahaya pornografi seperti yang digembar-gemborkan itu sendiri, yakni berupa retaknya integrasi sosial. Jika sebuah negara plural dan majemuk yang bernama Indonesia ini telah hilang dikarenakan disintegrasi sosial bangsanya akibat adanya usaha penyeragaman dan totalisasi standar nilai-nilai tertentu.
            Jika latar belakang pembuatan RUU Pornografi ini berpangkal pada kehendak untuk memberikan pembinaan dan pendidikan moral (pasal 3 RUU Pornografi), maka perlu diingat bahwa masalah moral, kesusilaan, serta nilai-nilai etika adalah persoalan kultural yang sangat relatif-subyektif sifatnya. Adanya keberagaman nilai-nilai etis moral dan kesusilaan yang ada di nusantara membuktikan hal itu. Jika hal ini dilanggar maka resultante yang ada adalah praktek totaliterisme dan otokratisme negara pada rakyat sebagaimana yang terjadi di Eropa abad pertengahan lampau (dalam sistem politik teokrasi) sehingga yang terjadi bukanlah terbangun kokohnya nilai-nilai kemanusiaan, melainkan justru penindasan atas nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Bagaimanapun, penanganan atas persoalan kultural yang paling baik adalah melalui saluran kultural itu sendiri (semisal melalui pendekatan agama, pendidikan, dan semacamnya) dan bukan melalui campur tangan negara. Justru dengan cara demikianlah yang akan memperkaya khasanah kita sebagai bangsa yang berbudaya.
Kasus lain:
Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Demikian amar putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Rabu (31/3), di Gedung MK. Para Pemohon terdiri dari elemen mahasiswa, orang tua siswa, dan badan hukum yang bergerak di bidang pendidikan, serta yayasan pendidikan swasta.
Dalam konklusinya, MK menyatakan Para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam perkara a quo. Dalil-dalil para pemohon sebagian cukup berdasar dan beralasan hukum.
Hakim Konstitusi Harjono menjelaskan bahwa MK menyatakan UU BHP mempunyai banyak kelemahan baik dari aspek yuridis, kejelasan maksud, dan keselarasan dengan UU lain. UU BHP mendasarkan pada asumsi bahwa penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan yang sama untuk melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam UU BHP meskipun diberi batas waktu selama enam tahun untuk menyesuaikan dengan UU BHP. Hal demikian tanpa melihat realitas bahwa kesamaan status sebagai perguruan tinggi negeri (PTN) saja tidak berarti secara serta-merta semua PTN di Indonesia mempunyai kemampuan yang sama. Perbedaan kemampuan antara PTN-PTN di Indonesia sangatlah jelas terlihat.
Sementara itu, adanya ketentuan penyelenggaraan pendidikan harus dalam satu bentuk badan hukum tertentu saja sebagaimana ditetapkan dalam UU BHP bagi sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM) dengan cara melarang bentuk perserikatan dan perkumpulan adalah jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945. Di samping tidak boleh melanggar konstitusi, sistem pendidikan nasional seharusnya memberi ruang kepada potensi yang masih eksis sebagai modal nasional dalam penyelenggaraan pendidikan yang terbukti pada masa lalu dengan segala keterbatasan, justru mampu menjadi tulang punggung pendidikan bangsa dan potensi tersebut masih mempunyai hak hidup secara konstitusional.
Sedangkan mengenai sekolah swasta, MK berpendapat bahwa sekolah-sekolah swasta yang dikelola dengan keragaman yang berbeda telah turut berjasa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Di luar peran sertanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, lanjut Harjono, yang paling harus dihargai oleh negara ialah sekolah-sekolah swasta turut menjadi pelopor dan pembangkit semangat nasional dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu negara seharusnya memberdayakan sekolah-sekolah swasta tersebut supaya bersama-sama dengan pemerintah menjadi mitra dalam memajukan pendidikan nasional.
Mengenai perlunya penyeragaman penyelenggaraan pendidikan, MK tidak menemukan alasan yang mendasar diperlukannya penyeragaman penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dalam bentuk badan hukum pendidikan sebagaimana diatur dalam UU BHP. Keperluan praktis dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan tidak cukup menjadi alasan pembenar untuk mengurangi hak konstitusional warga Negara.
Penyeragaman bentuk hukum badan hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM), tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh MK dalam putusan perkara Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007. Hal tersebut melanggar hak konstitusional para Pemohon sehingga dalil-dalil para Pemohon dalam perkara Nomor 126/PUU-VII/2009 beralasan karena pada intinya para Pemohon berkeberatan atas penyeragaman yang diatur dalam UU BHP.
Selain itu, MK juga berpendapat bahwa UU BHP yang menyeragamkan bentuk hukum badan hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM) adalah tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh MK dalam putusan perkara Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007. Hal tersebut juga telah melanggar hak konstitusional para Pemohon sehingga dalil-dalil para Pemohon dalam perkara Nomor 126/PUU-VII/2009 beralasan karena pada intinya para Pemohon berkeberatan atas penyeragaman yang diatur dalam UU BHP.
Hal tersebut merupakan salah satu contoh kasus asas hukum lex superior derogat legi inferior, dimana hukum yang kedudukan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. UU BHP (legi inferior) bertentangan dengan UUD 1945 (lex superior), maka UU tersebut dapat dibatalkan. Apabila terjadi disharmonisasi peraturan, untuk pengujian materi UU terhadap UUD dilakukan kepada Mahkamah  Konsitusi (judicial review). Dan dalam putusannya mengenai UU BHP, MK membatalkan UU tersebut. Artinya UU BHP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka UU tersebut sudah tidak berlaku lagi (dalam jangka waktu yang telah ditetapkan) dan diganti dengan UU baru.

ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALIS
Generalis, maka UU ini nantinya akan berlaku sebagai hukum khusus, yang akan mengesampingkan hukum umum (dalam hal ini adalah KUHP) jika terdapat pertentangan diantara keduanya. Hal ini sudah banyak terjadi dalam UU di Indonesia, sebagai contoh adalah UU Kesehatan sebagai lex specialis (hukum yang khusus) dengan KUHP sebagai lex generalis (hukum yang umum).
Dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan diatur perihal diperbolehkannya aborsi atas indikasi medis, yaitu dalam keadaan darurat yang membahayakan jiwa ibu hamil dan atau janinnya. Berbeda dengan UU Kesehatan, KUHP sama sekali tidak memperkenankan tindakan aborsi, apapun bentuk dan alasannya. Artinya dalam hal ini, jika terjadi suatu kasus aborsi atas indikasi medis (seperti diatas), berdasarkan asas Lex Specialis derogate Legi Generalis, maka yang berlaku adalah UU Kesehatan dan bukan KUHP.
Kasus lain:
Pembangunan nasional Indonesia untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencapai berbagai kemajuan termasuk di bidang ekonomi dan moneter, sebagaimana tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan tingkat inflasi yang terkendali. Sementara itu, dalam pembangunan tersebut terdapat kelemahan struktur dan sistem perekonomian Indonesia yang menimbulkan penyimpangan-penyimpangan antara lain ketidakhati-hatian dan kecurangan dunia perbankan dalam pengelolaan suatu bank. Hal tersebut semakin diperparah dengan kurang memadainya perangkat hukum, lemahnya penegakan hukum sehingga mengakibatkan banyaknya distorsi, pada akhirnya terjadi penyimpangan dari praktik ekonomi pasar mengakibatkan semakin lemahnya fondasi perekonomian nasional.
Salah satu bentuk penyimpangan dalam praktik perbankan yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus Bank Global Tbk. Dalam kasus ini, pengurus dan sekaligus pemilik bank tersebut melakukan praktik yang dilakukan oleh seorang bankir dan merupakan tindakan kriminal dari kacamata hukum. Serangkaian praktik memelukan dan berbau kriminal telah terjadi pada bank tersebut. Mulai dari tidak bersedia memberikan dokumen dan tidak mau memberikan keterangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas perbankan, berupaya memusnahkan dokumen sampai menerbitkan surat berharga fiktif.
Dalam literatur ilmu hukum pidana, ada berbagai istilah bagi kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di bidang perbankan. Di antaranya tindak pidana perbankan, tindak pidana di bidang perbankan, kejahatan di bidang perbankan, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini belum ada satu Undang-Undang pun yang merumuskan secara yuridis apa yang dimaksud dengan tindak pidana di bidang perbankan. Terhadap persoalan ini, menjadi relevan dimunculkan pertanyaan kapan suatu pelanggaran Undang-Undang Perbankan dapat dijerat dengan ketentuan UU Perbankan? Kemudian, dalam hal-hal apa tindak pidana dibidang perbankan dapat dijerat dengan ketentuan tindak pidana korupsi?
Aturan hukum yang memuat asas lex specialis derogate legi generali dilihat menurut teori sistem hukum dari Hart, termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui abash sebagai suatu aturan yang berlaku. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suaru represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.
Sebagai asas yang mengatur penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas lex specialis derogat legi generali merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy). Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang “ini” atau yang “itu”. Sementara, yang “ini” atau “itu” tersebut ditentukan oleh manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat umum, sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang bersifat khusus.
Berdasarkan uraian diatas, dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri NO. 2068/PIDANA BIASA/2005/PN JAKARTA SELATAN, yang membebaskan Neloe, CS karena tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi dan Putusan Mahkamah Agung Indonesia No. 1144 K/Pid/2006 yang kemudian menghukum Neloe CS dengan hukuman 10 Tahun Penjara, karena terbukti perbuatan terpidana telah melanggar Undang-undang Korupsi. Mahkamah Agung telah mengabaikan dan melanggar doktrin specialite sistematische.
Dengan keputusan ini Mahkamah Agung telah menyatakan diri secara tegas bahwa undang-undang Perbankan sebagai undang yang bersifat umum, sedangkan undang-undang korupsi merupakan ketentuan yang lebih khusus. Meminjam istilah Andi Hamzah, dengan demikian undang-undang korupsi bisa mengonsumir, mendesak dan menghabiskan ketentuan undang-undang perbankan (lex consumens derogat legi consumtae).
Disinilah hal yang menjadi keberatan saya terhadap putusan Mahkamah Agung, karena Mahkamah Agung telah menghilangkan ketentuan hukum perbankan secara semena-mena, tanpa mempertimbangkan dampak ketidakpastian hukum yang ditimbulkan dalam putusan tersebut. Padahal, apabila kita merujuk sejarah lahirnya undang-undang perbankan, jelas terlihat bahwa lahirnya Undang-undang Perbankan ditujukan untuk menggantikan Penuntutan Kejahatan Perbankan dengan sarana hukum tindak pidana korupsi.
Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa lahirnya undang-undang perbankan ditujukan agar kedepan kasus-kasus tindak pidana perbankan yang terjadi dapat dijerat dengan undang-undang perbankan. Hal ini dikarenakan adannya “kesadaran bersama” bahwa susbtansi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 3 Tahun 1971, lebih merupakan kehendak politik (political will) pemerintah untuk memberantas korupsi dari pada hasil kerja suatu perundang-undangan. Terlebih, dalam perdebatan-perdebatan mengenai rancangan undang-undang tersebut tidak pernah terdapat pembicaraan bagaimana sebaiknya suatu tindak pidana dirumuskan. Konsekwensi yuridis selalu dilupakan.
Tetapi seperti dikatakan oleh Hart dan Peters, yang dikutip oleh Davit Downes, “The paradigm now constituted a problem rather than a solution : not waiving but drowning. The public prosecutorial ‘executive’ had re-organized and re-orianted the criminal justice process from a case to a policy basis. The executive has become the prime mover in the criminal justice sphere”.
Akibatnya dalam penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan kejanggalan-kejanggalan, atau bahkan menyiratkan ketidak-adilan. Jika demikian maka putusan yang dihasilkan malah mengaburkan substansi norma-norma yang seharusnya dilindungi dari undang-undang tersebut. Dari perkara ini, kejanggalan yang terlihat adalah hakim dalam memutus perkara lebih menitik beratkan pertimbangan unsur merugikan keuangan negara ketimbang pelanggaran pasal 49 ayat 2 undang-undang perbankan. Padahal unsur kerugian keuangan negara yang dimaksud juga masih bisa diperdebatkan.
Dari hal tersebut diatas, dalam kasus Neloe, aya mengatakan bahwa penerapan hukum tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana korupsi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia telah melanggar ketentuan sistematische specialite sebagai secondary rules yang harusnya dipatuhi.
Akibat putusan ini, Mahkamah Agung telah berkontribusi mendeligitimasi undang-undang perbankan, karena putusan ini berimplikasi terhadap habisnya kepentingan-kepentingan hukum yang ingin dilindungi oleh undang-undang perbankan. Padahal, menurut Lili Rasjidi, mengutip pendapat Roscoe Pound mengklasifikasikan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum dalam 3 katagori pokok : Public Interest (kepentingan umum), social interst (kepentingan masyarakat), private interst (kepentingan pribadi).
Dari hal-hal yang telah dijelaskan terdahulu, penulis ingin membuktikan beberapa hal, yaitu: Pertama, penerapan dan penegakan hukum tindak pidana perbankan dalam kasus Neloe bersifat sangat luas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena disamping perbuatan yang dilakukan tersangka secara normatif tidak berkualifikasi tindak pidana korupsi, jika ditinjau dari pasal 14 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU 20 tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Juga hal yang seharusnya dipertanggungjawab kan kepada pelaku tidak dibuktikan di persidangan. (pasal 49 ayat 2 UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Kedua, pertimbangan-pertimbanagn hukum putusan pengadilan sama sekali mengabaikan asas-asas hukum pidana, sehingga terkesan hakim bebas menerapkan semua ketentuan perundang-undangan selama hal tersebut didalilkan dalam tuntutan jaksa penuntut umum. Ketiga, menimbulkan persepsi bahwa undang-undang perbankan bisa serta merta dikesampingkan oleh undang-undang korupsi, dengan kata lain undang-undang ini tidak berkaitan satu sama lain dalam satu sistem hukum. Keempat, menumbuhkan sikap tidak menghormati undang-undang.

ASAS LEX POSTERIOR DEROGAT LEGI PRIORI
Asas ini dipergunakan ketika terdapat pertentangan antara aturan yang derajatnya sama. Misalnya UU 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengenyampingkan UU No 1 Tahun 1995. Apabila ada peraturan yang mengatur hal yang sama tapi beda tahun pembuatannya, maka aturan baru mengesampingkan aturan lama (aturan baru yang digunakan dan aturan lama tidak berlaku).
Kasus lain:
Dalam kaitan dengan putusan bebas P Kelas IA Tanjungkarang atas H. Satono, SH, SP (Bupati Lampung Timur non aktif) dan Andy Achmad Sampurnajaya (mantan Bupati Lampung Tengah(, majelis hakim merujuk kepada UU yang sudah tidak berlaku lagi. “Inilah kesalahan besar Hakim dalam membuat putusan bebas atas Satono dan Andi Achmad. Ini cukup fatal,” ujar Dr. Yuswanto, S.H., M.H, Dosen Hukum Administrasi, Hukum Pajak, dan Hukum Keuangan, FH Universitas Lampung. Majelis hakim merujuk kepada undang-undang yang sudah tidak berlaku lagi. Dalam pertimbangannya Hakim berpendapat bahwa ”dalam sistem ketatanegaraan Indonesia produk legislasi adalah Undang-Undang dan Peraturan Daerah sebagaimana dalam Pasal 14 UU No. 10 Tahun  2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, dan seterusnya. “UU No. 10/2004 sudah tidak berlaku lagi sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pada tanggal 12 Agustus 2011 yang lalu,” jelas Yuswanto.
Selain itu, jika Hakim berpendapat bahwa pelanggaran terhadap PP tidak dikenakan sanksi, karena yang memuat sanksi hanya UU dan Perda. Dapat dikategorikan, bahwa Hakim telah salah menerapkan hukum. Ada 2 alasan yang bisa dikemukakan. Pertama, berdasarkan undang-undang maupun secara teoritik, PP tidak memuat sanksi. Kedua, PP merupakan ”peraturan delegasi” (delegated legislation), sedangkan undang-undang ”peraturan orisinal/asli” (original legislation). PP dibuat untuk menjalankan UU.  Artinya, pelanggaran terhadap PP merupakan pelanggaran terhadap UU.
Kesalahan lain dalam putusan atas Satono dan Andi Achmad tersebut, tidak pasnya majelis hakim dalam meletakkan asas ”lex specialis derogat leg generalis” (ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum). Ada tiga prinsip yang harus diperhatikan penerapan asas ini. Pertama, ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. Kedua, ketentuan ”lex specialis” harus sederajat dengan ketentuan ”lex generalis”. Ketiga, ketentuan-ketentuan ”lex specialis” harus berada dalam lingkungan (regim) hukum yang sama dengan ketentuan-ketentuan ”lex generalis”.
Berdasarkan prinsip yang ketiga tersebut, maka menempatkan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai ”lex specialis” dari PP no. 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah sebagai ”lex generalis” adalah tindakan yang salah. Alasannya, karena baik PP No. 58 Tahun 2005 maupun PP 39 Tahun 2007 merupakan anak cabang dari hukum yang sama yaitu Hukum Keuangan Negara, dan bukan berada di lingkungan hukum yang sama. Contoh yang berada pada lingkungan hukum yang sama adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yakni sama-sama berada dalam regim hukum perdata..
Semestinya, asas yang tepat untuk diterapkan dalam putusan tersebut adalah lex posterior derogat legi priori, yakni ketentuan yang baru mengesampingkan ketentuan yang lama. Kutipan pendapat mantan Ketua MA Bagir Manan. Asas ini sebenarnya tidak memilih, melainkan “mewajibkan” untuk menggunakan hukum yang lebih baru. Penerapan asas ”lex posterior derogat legi priori” dilakukan dengan dua prinsip. Pertama, aturan hukum yang baru harus sederajat dengan aturan hukum yang lama. Kedua, baik aturan hukum yang baru maupun yang lama, sama-sama mengatur obyek yang sama.
Oleh sebab itu, dalam putusan atas perkara Satono dan Andi Achmad, hakim harus menggunakan asas lex posterior derogat legi priori. “Jika asas lex specialist derogat legi generalis yang digunakan, maka Hakim telah salah menerapkan hukum,” terang dia. Artinya, ketika ada dua PP yang harus diikuti antara PP No. 58 Tahun 2005 dan PP No. 39 Tahun 2007, maka berdasarkan asas lex posterior derogat legi priori, maka yang wajib digunakan adalah PP No. 39 Tahun 2007.
Kedua putusan yang kontroversi ini dalam perjalanan selanjutnya tetap akan menuai kontroversi. Yang baik adalah putusan yang ditetapkan berdasarkan hukum dan juga beralasan hukum yang baik pula. Putusan yang baik sudah tentu sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri, yakni akan memberikan keadilan, kepastian hukum, dan bermanfaat. Sikap Jaksa yang mengajukan Kasasi merupakan sebuah harapan untuk menggapai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Nanti di tingkat kasasi, akan diuji apakah memang benar putusan atas Satono dan Andi Achmad itu merupakan putusan yang buruk, atau malah sebaliknya, merupakan putusan yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FILSAFAT HUKUM ISLAM TENTANG LEMBAGA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Namun pada praktiknya, perekeno...