Rabu, 30 Januari 2019

PENEGAKAN HUKUM KASUS PRITA MULYASARI TENTANG TINDAK PIDANA PENCEMARAN MELALUI SOCIAL MEDIA BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIFPENEGAKAN HUKUM KASUS PRITA MULYASARI TENTANG TINDAK PIDANA PENCEMARAN MELALUI SOCIAL MEDIA BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia adalah negara hukum. Hal itu diamanatkan kontitusi negara, Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara Hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan beradab. Namun pada prakteknya, masih saja terjadi permasalahan di mulai dari perumusan hukum (Undang-Undang), pelaksanaan dan implementasi, bahkan hingga penegakan hukum.  Dampak dari penyelewangan hukum ini adalah kerusakan dan kehancuran di segala bidang (politik, perekonomian, budaya dan sosial). Selain itu menyebabkan masyarakat kehilangan rasa hormat dan timbulnya ketidak percayaan terhadap aparat penegak hukum sehingga membuat masyarakat mencari keadilan sendiri. 
Hukum dalam kajian sosiologi hukum menurut Soetandyo Wignjosoebroto meliputi: Pertama, menjelaskan hukum dalam objek kajiannya; Kedua, pembentukan dan penegakan hukum; Ketiga, interaksi antara sistem hukum formal dan tertib hukum. Penegakan hukum menjadi salah satu bahasan dan perhatian sosiologi hukum terkait dengan kenyataan bahwa hukum bukanlah norma-norma abstrak yang dikonstruksikan dari alam hayal para pembuat undang-undang (UU), tetapi konstruksi pembuat UU atas realitas sosial yang dinamis dan kompleks. UU bukan norma-norma yang berada di ruang kedap suara, tetapi berada dalam kenyataan yang diberlakukan terhadap manusia dan peristiwa nyata.
Ketentuan hukum positif (UU) sangat ditentukan oleh pola hubungan dan interaksi kekuasaan secara riil yang ada di masyarakat. Faktor utama penyebab kemacetan hukum adalah struktur kekuasaan yang tidak mendukung ketentuan formal. Peran struktur kekuasaan sangat dominan dan subtansial mempengaruhi perumusan dan pelaksanaan hukum. Hukum positif (UU) ada kalanya tidak bisa mencapai tujuan hukum yaitu keadilan, yang bisa di lihat dari berbagai kasus yang mencuat di berbagai media bahwa hukum tajam untuk “orang kecil” dan tumpul untuk “orang kaya”. Tegaknya hukum dan pemerataan keadilan adalah tugas berat yang menuntut pengorbanan serta harus berkesinambungan.
Globalisasi telah mendorong lahirnya era teknologi dan informasi. Perkembangan teknologi informasi membuat dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan yang berlangsung demikian cepat. Indonesia sedang melaksanakan pembangunan nasional yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Salah satu pembangunan yaitu di bidang hukum untuk mencapai tujuan negara. Salah satunya berkaitan dengan posisi hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum negara. Terkhusus dalam kasus pencemaran nama baik telah memiliki dimensi baru karena sering terjadi karena ketersinggungan melalui status yang dibuat pada media sosial.
Perkembangan yang sedemikian rupa membuat hukum harus cepat beradaptasi juga terhadap perubahan sosial. Kejahatan kontemporer khususnya sehubungan dengan kejahatan informasi dan transaksi elektronik (cyber crime), pendayagunaan hukum pidana harus mempertimbangkan tujuan pemidanaannya, yang utama bukanlah rehabilitasi melainkan justru efek moral dan pencegahan sanksi pidana. Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi sangat pesat mengakibatkan perubahan kehidupan manusia dalam berbagai bidang, dan secara langsung mempengaruhi bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Pemanfaatan dan penggunaan teknologi informasi harus dikembangkan untuk menjaga, memelihara dan meperkukuh persatuan dan kesatuan nasional. Disamping itu, juga berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan nasional.
Masyarakat yang mengalami perubahan dan kemajuan akibat globalisasi dan teknologi khususnya teknologi informasi, sangat diperlukan UU mengatur kegiatan manusia di bidang tersebut.  UU ITE mengatur ada ketentuan yang diatur meliputi pidana, perdata dan sebagainya. Ketentuan pidananya berarti ada perbuatan yang dilarang, dan diancam sanksi pidana. Dewasa ini kejahatan tidak hanya bersifat konvensional, namun mengalami perubahan bentuk pula seiring perkembangan zaman. Kejahatan kontemporer khususnya sehubungan dengan kejahatan informasi dan transaksi elektronik (cyber crime). Akibat berkembangnya kejahatan yang terjadi karena perkembangan teknologi informasi. Maka dari itu perlu dirumuskan dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan nasional mengenai cyber crime. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Permasalahan diatas perlu diatur sebab bukan hanya masalah nasional, tetapi terkait juga dengan kebijakan regional dan internasional.
Perumusan tindak pidana dalam UU ITE sudah baik, tapi rumusannnya bersifat abstrak teknis. Hal itu menimbulkan kemungkinan berdampak pada kesulitan pembuktian nantinya. Jenis sanksi dalam UU ini sama degan KUHP, jenis sanksi pidana penjara dan denda, tanpa ada sansi tambahan. Jadi sistem pidana yang dipakai tidak inovasi baru yang memberi ciri khas pidana di bidang informasi dan transaksi elektronik. Penegakan hukum pada UU ITE pada awalnya mengalami permasalahan, terutama pada kasus Prita Mulyasari. Semula UU ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya, tapi malah membungkam kebebasan berpendapat dan bertentangan dengan konstitusi.
Dunia maya mengubah wajah dunia, sosial media menjadi sarana untuk menciptakan masyarakat madani (civil society). Namun di Indonesia, ibu muda bernama Prita Mulyasari justru dipenjara karena curahan hatinya (curhat) melalui e-mail. Kasus ini berawal dari tersebarnya surat elektronik (e-mail) pribadi milik Prita hingga beredar luas di dunia maya (internet). E-mail tersebut antara lain menceritakan pengalaman Prita yang merasakan tidak mendapat informasi pasti atas pelayanan medis di RS Omni Internasional. Pihak Rumah Sakit (RS) Omni Internasional tidak terima atas tindakan Prita dianggap mencemarkan nama baiknya. Prita dianggap melanggar Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur tentang pencemaran nama baik.
Kasus Prita Mulyasari menunjukkan permasalahan sistem hukum Indonesia. Bukan hanya aturan hukum yang bermasalah, tapi penegakan hukum juga. Para penegak hukum (polisi, jaksa, pengacara, dan hakim) jangan hanya menjalankan dan menegakan hukum (UU) dan prosedurnya. Mereka harusnya menjadi corong hukum, dimana dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Oleh karena itu, kajian tentang penegakan hukum kasus Prita Mulyasari dalam perspektif sosiologi hukum tidak bisa semata-mata dipotret melalui norma-norma itu sendiri, tetapi justru di luar norma-norma tersebut. Masalah tersebut di kaji dalam perspektif teori hukum progresif agar memperoleh pemaham hukum secara komprehensif.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dibuatlah rumusan masalah makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana penegakan hukum kasus Prita Mulyasari tentang pencemaran nama baik melalui social media berdasarkan perspektif teori hukum progresif ?
2. Bagaimanakah berkerjanya faktor sosial (partisipasi masyarakat) mempengaruhi penegakan hukum kasus Prita Mulyasari
Oleh karena itu, berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Menganalisis penegakan hukum kasus Prita Mulyasari tentang pencemaran nama baik melalui social media berdasarkan perspektif teori hukum progresif.
2. Menguraikan pengaruh faktor sosial (partisipasi masyarakat) dalam penegakan hukum kasus Prita Mulyasari.

C. PEMBAHASAN
1. Penegakan Hukum Kasus Prita Mulyasari Tentang Pencemaran Nama Baik Melalui Social Media Perspektif Teori Hukum Progresif
Penegakan hukum kasus pencemaran nama baik melalui social media oleh Prita Mulyasaei terhadap RS Omni Internasional merupakan permasalahan yang menarik dalam prepektif sosiologi hukum kontemporer.
Hukum selalu berubah dengan kondisi masyarakat dan dikaitkan dengan globalisasi dan perkembangan teknologi Informasi.
Dunia maya mengubah wajah dunia, email hingga facebook menjadi sarana untuk menciptakan masyarakat madani. Namun, di Indonesia, ibu muda bernama Prita Mulyasari justru dipenjara karena curahan hatinya (curhat) melalui e-mail tersebar di facebook. Prita adalah salah satu warga negara Indonesia yang memiliki kesadaran (melek) berinteraksi di dunia maya melalui jejaring sosial (social network). Kesadaran berinteraksi di dunia maya justru berakibat penahanannya di Lembaga Permasyarakatan (LP) Wanita Tangerang, Banten.
Hal tersebut menujukkan bahwa, UU ITE yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya, tapi malah membungkam kebebasan berpendapat. Sejak 13 Mei 2009, kehidupannya sebagai ibu dua anak balita sekaligus karyawan (manusia bebas) dicabut begitu saja. Dia ditahan selama 21 hari di LP Wanita Tangerang. Semua itu bermula dari e-mail pribadinya yang dikirim tanggal 15 Agustus 2008 berisi atas keluhannya atas pelayanan di Rumah Sakit (RS) Omni Internasional Alam Sutra, Tangerang.
Prita dianggap melanggar ketentuan Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ketentuan pidana tersebut mengatur tentang pencemaran nama baik. Ancaman pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak main-main, prita diancam dengan hukuman hingga 6 tahun penjara.
Lahirnya UU ITE dikarenakan perubahan kehidupan masyarakat akan teknologi informasi yang mengakibatkan munculnya kejahatan dunia maya (cybercrime). Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat merupakan ciri yang melekat pada tiap masyarakat. Kejahatan dunia maya adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Termasuk ke dalam kejahatan dunia maya (internet) antara lain adalah penipuan lelang secara online, pemalsuan cek, penipuan katu kredit, confidence fraud, penipuan identitas, pornografi anak, dll. Walaupun kejahatan dunia maya atau cyber crime umumnya mengacu kepada aktivitas kejahatan komputer atau jaringan komputer dengan  sebagai unsur utamanya, istilah ini juga digunakan untuk kegiatan kejahatan tradisional di mana komputer atau jaringan komputer digunakan untuk mempermudah atau memungkinkan kejahatan itu terjadi.
Kasus Prita menunjukkan masih belum beresnya sistem hukum Indonesia. Kasus ini berawal dari tersebarnya surat elektronik atau electronic mail (e-mail) pribadi milik Prita hingga beredar luas di dunia maya (internet). E-mail tersebut antara lain menceritakan pengalaman Prita yang meraska tidak mendapat informasi pasti atas pelayanan medis di RS Omni Internasional. Pihak RS Omni Internasional melalui kuasa hukum (pengacarannya), yaitu Risma Situmorang, mengatakan, Prita terah merusak nama baik kliennya. Menurutnya, RS Omni pernah meminta Prita untuk menarik pernyataan tersebut di e-mailnya dan beredar di beberapa mailing list. Namun tidak dipenuhi Prita, hingga akhirnya pihak kliennya mengajukan tuntutan sesuai hukum yang berlaku. Demi membela nama baiknya, selain mengajukan tuntutan hukum, manajemen RS Omni terpaksa membuat surat klarifikasi bantahan melalui surat kabar nasional, yaitu Kompas dan Media Indonesia, pada 8 September 2008. Klarifikasi tersebut secara spesifik menanggapi pernyataan Prita (melalui e-mail) yang dikirim ke bebeparapa temannya pada 15 Agustus 2008 silam.
Akhirnya, majelis hakim yang diketuai oleh Arthur Hangewa, dalam putusannya menyatakan Prita bebas dari tuduhan pidana tersebut. Putusan tersebut dibacakan pada Selasa, 29 Desember 2009. Prita akhirnya terbebas dari tuduhan pencemaran nama baik RS Omni. Langkah Prita selanjutnya tidak akan menuntut balik RS Omni, melainkan ingin berlibur setelah perkara ini selesai. Ini menjadi kado tahun baru yang manis buat Prita, setelah proses panjang yang dihadapinya, ia terbebas dari tuduhan pencemaran nama baik. Prita dan Jaksa diberi waktu 14 hari untuk mengajukan banding menanggapi vonis majelis hakim.
Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) pada Putusan No. 225/PID.SUS/2011 para Hakim Agung memutuskan bahwa Prita Mulyasari mengabulkan permohonan terdakwa (Prita Mulyasari) dan mengkoreksi putusan sebelumnya. Dalam putusan tersebut Prita Mulyasari tidak melanggar ketentuan UU ITE. Hakim Mahkamah Agung dalam mengambil keputusan tersebut dianggap memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan dapat dilihat dari pertimbangan dalam putusannya. Selain itu, tidakan Prita Mulyasari terkait kasus ini memberi dapat buruk bagi RS Omni Internasional. Hendaknya keluhan pelayan disampaikan ketika terjadi permasalahan atau melalui manajemen sehingga dengan tersebarnya email pribadi melalui forum tidak merugikan pihak lain. Oleh karena itu, kasus ini dapat dijadikan perlajaran bagi kita semua agar lebih arif dan bijaksana dalam menggunakan social media.
Hukum progresif lahir akan postivisme hukum di Indonesia dan berdasarkan kajian sosiologi hukum (realitas) atas hukum yang ada di masyarakat. Teori hukum progresif didasari keprihatinan terhadap kontribusi ilmu hukum di Indonesia dalam mencerahkan bangsa. Ilmu hukum progresif tidak hanya dikaitkan keadaan sesat, tetapi juga memiliki nilai ilmiah tersendiri, artinya dapat diproyeksikan dan berbicara dalam konteks keilmuan secara universal. Ilmu hukum tidak bisa steril dan mengisolasi dari perubahan yang terjadi. Ilmu hukum progresif adalah tipe ilmu yang selalu gelisah melakukan pencarian dan pembebasan. Hukum progresif membuat orang haus akan kebenaran dan oleh sebab itu secara terus menerus akan melakukan pencarian.
Hukum progresif merupakan bagian dari proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti. Menurut Satjipto Rahardjo hukum progresif bertolak dari realitas empirik bekerjanya hukum dalam masyarakat berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum di Indonesia. Asumsi hukum progresif : Pertama, hukum ada untuk manusia, bukan sebaliknya, Kedua, hukum buksn merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).
Hukum progresif dibanding dengan ilmu hukum praktis (positivisme hukum), teori ini tidak mengalami kegagalan atau tidak memberi tuntutan praktis. Perbedaan terletak pada hukum praktis menggunakan paradigma peraturan (rule or law as its in the book), sedangkan teori ini memakai paradigma manusia (people or law as its in the society). Paradigma manusia dalam hukum progresif memperdulikan faktor perilaku (behavior, experience). Bagi hukum progresif, hukum untuk manusia, sedangkan hukum praktis manusia adalah lebih untuk dan logika hukum. Pengutamaan manusia teori ini tidak bersikap submitif begitu saja terhadap hukum yang melainkan bersikap kritis.
Hukum menjadi sarana untuk menjamin berbagai kebutuhan manusia. Kreativitas dalam konteks penegakan hukum selain untuk mengatasi ketertinggalan dan ketimpangan hukum, juga untuk membuat terobasan-trobosan hukum bila diperlukan melakukan rule breaking. Terobosan tersebut diharapkan mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui bekerjanya hukum, yaitu hukum yang membahagiakan. Latar belakang hukum progresif adalah ketidakpuasan dan keprihatinan atas kualitas penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, spirit hukum progresif adalah sprit pembebasan. Pembebasan yang dimasuksud adalah sebagai berikut: 1) Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas, dan teori yang selama ini dipakai; 2) Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyelesaikan persoalan.
Hukum progresif memiliki karaktek progresif: 1) Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagianan manusia dan oleh karenanya memandang proses untuk terus menjadi (law in the making); 2) Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasioanl maupun global; 3) Menolak status quo manakala menimbulkan dekadensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum.
Menurut Satjipto Rahardjo rule breaking penting dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum khususnya hakim, harus berani melepasakan diri dari penggunaan pola baku. Ada tiga cara melakukan rule breaking: Pertama menggunakan kecerdasan spritual untuk bangun dari keterpurukan hukum dan tidak membiarkan diri terkekang cara lama; Kedua melakukan pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan benegara hukum; Ketiga hukum hendaknya tidak menjalankan prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian dan keterlibatan kepada kelompok yang lemah. Perspektih hukum progresif seharusnya tidak boleh terjebak terus pada formalisme hukum yang dalam praktiknya selama ini banyak kontradiksi dan kebuntuan dalam pencarian kebenaran dan keadilan subtansial.
Efektifitas penegakan hukum kasus Prita Mulyasari dapat dilihat dengan unsur-unsur sistem hukum.  Efektifitas penegakan hukum dibutuhkan unsur pokok meliputi: 1) subtansi hukum; 2) struktur penegakan hukum; 3) masalah fasilitas dan sarana yang dimiliki pengakan hukum; 4) masalah kultur budaya. Penegakan hukum sebagai bagian dari legal system, tidak dapat dipisahkan dariIndonesia menjawabnya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) subtansi hukum dan budaya hukum. Ada tiga komponen hukum yaitu: 1) Struktur meliputi kelembagaan dan aparat hukum; 2) Subtansi  meliputi kententuan peraturan-peraturan yang tertulis, yurisprudensi dan hukum kebiasaan; 3) Budaya (kultur hukum) adalah elemen sikap dan nilai sosial (masyarakat).
Prita Mulyasari dianggap melanggar ketentuan KUHP dan UU ITE tentang pencemaran nama baik. Hukum disempitkan dalam arti Undang-Undang, dirancang untuk menciptakan ketertiban masyarakat dan pada suatu kurun waktu tertentu ketertiban itu relatif tercapai. Tapi dalam keberhasilan tersebut, terkadang bibit kegagalan muncul dari situ. Orang makin paham, bahwa ketertiban menyimpan bibit ketidaktertiban (pembangkangan), sehingga muncul ungkapan “ketertiban muncul dari ketidaktertiban” (order out of chaos). Bukti empirik mengenai itu, bermula dari ilmu fisika dan kimia (sains), sekarang merambah masuk ke ranah ilmu sosial dan hukum. Hukum terjebak dalam urusan kedalam, seperti kepastian, sistem, logika peratuan lainnya, tidak bisa memberi respons yang baik akan problem sosial yang baru. Cara berhukum harus berubah agar hukum tetap berfugsi dengan baik di masyarakat. Sebab hukum hanyalah alat untuk mencapai tujuan.
Penegakan hukum kasus Prita Mulyasari hendaknya menggunakan penegakan hukum progresif. Pertama, paradigma hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah untuk manusia”. Hal ini diyakini atas dasar tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral, melainkan manusialah yang berada pada titik pusat perputaran hukum. Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum. Hal itu dipengaruhi kuatnya pengaruh positivisme dalam sistem hukum dan keadaan status quo, yaitu berkaitan dengan perumusan masalah ke dalam peraturan perundang-undangan. Subtansi UU berangkat dari gagasan (asas) tertentu dalam masyarakat, kemudian dirumuskan oleh lembaga yang berwenang yaitu lembaga legislatif. Pada kenyataannya, antara gagasan dan pasal terdapat jurang atau carak pemisah yang tajam, menyebabkan kesejangan antara gagasan (cita-cita hukum) dengan pasal-pasal dalam UU. Lembaga penegakan hukum tersebut hendak menafsirkan hukum dengan baik, sehingga keadilan dapat dirasakan semua lapisan masyarakat. Ketiga, dapat diakui bahwa peradaban hukum tertulis (positivisme hukum) akan berakibat dan berisiko sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Maka sebaiknya proses atau penegakan hukum mengantisipasi hambatan dalam menggunakan hukum tertulis tersebut.
Soerjono Soekanto menjelaskan mazhab-mazhab filsafat hukum dan sosiologi hukum. Berdasarkan penjelasan pemikiran tokoh-tokoh pada mazhab tersebut, secara umum tujuan hukum sebagai berikut: (1) Aliran positivisme memandang tujuan hukum adalah memberi kepastian hukum; (2) Kuam Utilitarianisme, tujuan hukum memberi kebahagiaan atau kemanfaatan; (3) Sosiologi hukum menekankan pada keadilan sebagai tujuan hukum. Tujuan hukum utamanya adalah pemahaman akan kebenaran, umumnya disebut keadilan. Tujuan hukum bukan untuk menekankan demi mewujudkan tatanan, melainkan menekankan demi menghiasi norma-norma kesadaran masyarakat.
Penerapan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE terhadap Prita memang terlalu berlebihan. Sebagaimana Teori Hukum Progresif memandang hendaknya para pengak hukum memperhatikan rasa keadilan, bukan sekedar menjalankan prosedur. Hakim, jaksa, pengacara (dan lainnya) jangan hanya membaca UU, tapi hendaknya memberikan makna (penafsiran) sesuai kondisi sosial kemasyarakatan Indonesia. Teori Hukum Progresif memandang keadilan sebagai tujuan utama, tapi di sini yang dimaksud keadilan subtansi tanpa memisahkan dengan keadilan formal sesuai kondisi masyarakat.
John Rawls menyatakan, keadilan adalah kebajikan utama dalam instutisi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Menurut pandangan Rawls dalam teorinya keadilan sebagai kejujuran (justice as fairness)  ada dua prinsip keadilan, yaitu prinsip kebebasan dan fair. Pertama prinsip kebebasan, dimana setiap orang berhak mempunyai kebebasan yang terbesar asal tidak menyakiti orang lain. Kebebasan yang tertinggi bagi semuanya hanya dapat dijaga jika adanya kerja sama sosial dan stabilitas dijalankan oleh negara hukum atau “the rule of law”. Kedua prinsip “fair”, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dianggap tidak adil, kecuali jika ketidaksamaan setiap orang mempunyai hak yang sama untuk kaya, dan bukan untuk  memiliki kekayaan yang sama. Masyarakat yang adil adalah masyrakat yang mau berkerja sama dengan sesamnya.
Sejak Presiden SBY mengunakan istilah out of court settlement (penyelesaian diluar pengadialan) pada kasus Bibit S. Rianto dan Candra M. Hamzah (Wakil ketua KPK saat itu), istilah itu menjadi populer. Ini konsep baru, selama ini publik umumnya berpendapat penyelesaian perkara hanya melalui pengadilan. Bagi para ahli hukum yang mengkaji sosiologi hukum memandang, penyelesaian di luar pengadilan adalah hal yang biasa. Namun tidak bagi mereka yang berpandangan formal-legalistik. Hendaknya kasus Prita bisa diselesaikan seperti ini, dengan musyawarah atau kekeluargaan antara kedua pihak.
Apabila kita berbicara soal penegakan hukum, urusan beres, hukum sudah dijalankan, UU sudah diterapkan, dan utang negara hukum sudah dilunasi. Sebaiknya kita berpandangan dan berkata pada masyarakat bahwa, menegakkan hukum tidak sama dengan menerapkan undang-undang dan prosedur. Penegakan hukum kasus Prita merupakan cermin masih bermasalahnya penegakan hukum nasioal. Penegakan hukum diselenggarakan oleh golongan yang mimiliki kekuasan, tetapi penegakan hukum juga merupakan suatu kegiatan organisasi, sehingga tindalan orang atau golongan tersebut tidak lepas dari organisasi dimana merekan menjadi bagian dari organisasi penegakan hukum. Struktur hukum diartikan sebagai hubungan antara pengada hukum, pelaksana, dan penegak hukum. Menurut Teori Fingsionalisme Struktual apabila salah satu elemen struktur hukum tidak berfungsi maka hukum hukum tidak akan berjalan stabil.
Penegakan hukum (law enforcement) adalah suatu proses logis yang mengikuti kehadiran suatu peraturan hukum. Penegakan hukum bisa dilhat pula sebagai proses yang melibatkan manusia. Penegakan hukum diberikan kepada institusi yang berwenang, seperti polis, jaksa, hakim dan pejabat pemerintahan. Oleh karena itu hukum mengandung perintah dan pemaksaan. Keterbatasan dalam sistem hukum sendiri menjadi faktor penyebab penting, karena hanya berpatokan pada hukum positif. Penegakan hukum bukanlah tujuan sejatinya hukum, melainkan suatu proses untuk mencapi tujuan.  Hakim, Jaksa, Pengacara dan instusi berwenang lainnya menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang atau kalah, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progresif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur.
Penegakan hukum progresif bukan sekedar menagakkan norma aturan, namun hukum yang ditegakkan adalah nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam hukum fomal maupun nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Penegakan hukum progresif harus memperhatikan asas penerapan hukum, seperti asas manfaat, asas persatuan, persamaan dihadapan hukum, dan lain-lain.
Pemisahan fungsi besar dalam negara modern menampilkan bidang pembuatan UU (legislation), pemerintah (executive) dan peradilan (judiciary). Hukum menjadi kaidah-kaidah yang dibuat oleh badan atau lembaga khusus yang diberi kewenangan untuk itu.
Pengadilan progresif mengikuti maksim,”hukum adalah untuk manusia untuk rakyat bukan sebaliknya”. Pengadilan, kejaksaan dan institusi hukum lainnya adalah institusi yang menonjol ditengah masyarakat yang mendambakan keadilan. Namun, istitusi pengadilan (dan lainnya) akan dapt meraih gelar yang mulia “istana keadilan” (hall of justice) apabila diisi orang-orang yang selalu menjalankan tugasnya dengan cara mesu budi.
Pengadilan menjadi instutusi modern yang dirancang secara spesifik bersamaan dengan negara modern di abad kedelapan belas. Hal ini berdampak pada rasionalisasi dalam pengadilan, mengakibatkan perpecahan antara formal justice dan subtansial justice. Melihat bahwa pengadilan bukan hanya instutusi formal hanya menjalankan UU, melainkan  institus sosial pula. Maka pengadilan hendaknya mengamati sedemikian rupa sehingga kenyataan sosial mengenai pengadilan akan muncul sepenuhnya (the full social reality of law). Pengadilan bukan hanya melakukan pekerjaan istitusi untuk mengadilli suatu perkar. Pengadilan juga menjadi tempat: (1) pemrosesan adminstratif; (2) record keeping; (3) upacara perubahan status;  (4) penyelesain dengan negosiasi; (5) mediasi; (6) arbitrase; (7) warfare. Pengadilan harus didasari pada semangat (spirit) memberikan keadilan bagi masyarakat, bukan sekedar memberi kepastian.
Akibat pengarah positivisme dalam hukum pengadilan sebagai instutusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilalan (untuk) rakyat. Hal itu dilihat dari ada ungkapan pengadilan corong UU, dan mendekati kediktatoran pengadilan karena tanpa harus memperhatikan dinamika masyarakat. Pengadilan bukan sebah institusi hukum steril berurusan pengkonkretan UU, tapi lebih luas lagi. Pengadilan sudah menjadi institusi sosial yang peka akan dinamika di sekitarnya. Pengadilan harus dengan pikiran keadilan, pembelaan rakyat dan nasib bangsa. Ternyata pengadilan memiliki hati nurani, ini sangat relevan keadaan masyarakat Indonesia.
Akibat pengaruh kapitalisme, kantor advokat berubah selayaknya perusahaan yang mencari keuntungan (profit) semata. Seharusnya advokat memberikan bukan hanya bantuan hukum kepada kliennya, tapi untuk mendapatkan keadilan sejatinya. Serta dalam proses hukum pada akhirnya memberika kebahagian bagi manusia, dan mengurangi penderitaan. Kuasa hukum RS Omni harusnya jangan langsung membawa jalur hukum. Masih ada jalur lain diluar pengadilan untuk menyelesaikan masalah ini seperti mediasi. Kemudian, di antara lembaga hukum yang ada, barangkali polisi adalah yang paling memperhatikan sifat sosiologis dalam pekerjaanya. Sifat itu disebabkan karena polisi sangat intens secara langsung berubungan dengan masyarakat. Kepolisian membantu memasyarakatkan individu. Individu didorong untuk menjalankan oerannya sebagai bagian dari sistem kemasyarakatan.
Selain masalah lembaga penegak hukum, Akhir-akhir ini kita dikhawatirkan dengan hasil kerja DPR. Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa, UU adalah dokumen luar biasa yang menciptakan ketertiban, dsb. Padahal pada kenyataannya hukum (UU), bukan satu-satunya alat untuk menciptakan ketertiban. Keberadaan UU ITE memang masih diperdebatkan, terutama mengenai pasal pencemaran nama baik. Pandangan positivistik terhadap UU inilah yang menyebabkan gagalnya UU ini. Maka dari itu penerapannya mengusik rasa keadilan. Kasus Prita menjadi contoh bahwa, pengadilan adalah corong UU, bukan arena untuk meraih keadilan.
UU bisa dilihat sebagai dokumen yang menuntun proses dan perilaku dalam masyarakat. Banyak lembaga atau kekuatan lain dimasyarakat sebetulnya memberi tutunan seperti agama, adat, kebiasaan dan norma nonhukum lainnya. Namun dilapangan menunjukkan betapa kompleksnya masalah hukum. Hukum tidak segampang orang bayangkan, kendati dikatakan hukumnya sudah jelas. Hukum adalah dokumen yang terbuka untuk atau mengandung penafsiran.
UU memiliki aspek statis dan dinamik. Pada umumnya kita pahami UU statis, namun pada kenyataannya ada aspek dinamik yaitu adanya proses yang bergerak dinamik dan cair (perubahan sosial di masyarakat). UU memilki dinamikannya sendiri, yang terkadang tidak dibayang dan diantisipasi oleh pembuatnya. UU sejak “dilepaskan” kemasyarakat bukan lagi otoritas pembuat hukum, tetapi interaksi hukum dengan kondisi (realita) masyarakat. Begitu pula halnya UU ITE. Hakim dan para penegak hukum hendaknya lebih bijak pada kasus Prita. UU ITE semula tujuannya baik untuk melindungi dari cyber crime, malah justru dijadikan alat untuk membungkam kebebasan berpendapat.
Sebuah putusan yang diarahkan pada tujuan akan menghasilkan keadilan materiil. Oleh karena itu, putusan perkara yang spesifik untuk mencapai hasiil yang diingikan. Keadilan materiil secara singkat bisa disebut kadilan. Suatu putusan yang sesai hukum tidak selalu sebagai suatu yang adil. Maka dari itu dalam kasus Prita hendaknya hakim lebih progresif. Pengadilan progresif menurut Satjipto Rahardjo mengikuti maksim, “hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya”. Dengan ini pekerjaan hakim menjadi lebih kompleks, bukan hanya sekedar teknisi hukum melainkan makhluk sosial pula. Hakim adalah pekerjaan sangat mulia karena bukan sekedar memeras otak untuk memutus perkara, melainkan juga menggunakan nuraninya. Hakim yang progresif adalah bagian dari masyarakat, berpandangan tentang pengabdian yang tulus bagi bangsanya. Ia akan menolak hanya membaca UU, tapi hakim progresif adalah hakim yang akan selaulu meletakkan telingan ke degup jantung rakyatnya. 
2. Faktor Sosial (Partisipasi Masyarakat) Dalam Penegakan Hukum Kasus Prita Mulyasari
Penegakan hukum kasus Prita Mulyasari dalam perspektif sosiologi hukum tidak bisa semata-mata dipotret melalui norma-norma itu sendiri, tetapi justru di luar norma-norma tersebut. Penegakan hukum kasus Prita apabila di padangan teori hukum murni (pure theory of law) Hans Kelsen, dimana dalam penerapan hukum hanya berdasarkan teks UU. Teori ini menelaah hukum secara das Sein, dan tidak termasuk das Sollen. Hans Kelsen menyatakan bahwa, hukum berdiri sendiri terlepas dari aspek-aspek kemasyarakatan lainnya. Pandangan tersebut berusaha melepaskan hukum dari anasir-anasir nonhukum seperti, psikologi, sejarah, ekonomi, moral, sosiologi, politik, dan sebagainya.
Kasus Prita menunjukkan bahwa adanya pengaruh faktor sosial dalam penegakan hukum, dimana partisipasi masyarakat melalui pengumpulan koin untuk membayar denda dan perhatian khusus terhadap kasus ini. Hubungan antara perubahasan sosial dengan hukum merupakan hubungan interaksi, dalam arti terdapat pengaruh perubahan perubahan sosial terhadap perubahan sektor hukum, sementara di sisi lain, perubahan hukum juga mempegaruhi perubahan sosial. Perubahan hukum yang mempengaruhi perubahan sosial sejalan dengan salah satu fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering) sebagaimana dicetuskan oleh Roscoe Pound.
Apabila menganalisis fungsi hukum dengan sosiologi hukum dapat menelaah faktor-faktor sosial yang mempengaruhi hukum dan sebaliknya. Hukum pada hakikatnya merupakan sarana pengaturan dan penindakan, yang berfungsi pula sebagai sarana mempertahankan sistem pengendalian sosial, maupun untuk mengatur masyarakat. Hukum ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan konflik yang timbul di masyarakat.
Proses penegakan hukum yang berlangsung di negara ini, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga keadilan dianggap belum memenuhi rasa keadilan.Keadilan hukum bagi hak masyarakat harus dijamin dan dilindungi oleh negara.  Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai hal, baik menyangkut benda atau orang. Kita paham bahwa ada kekuatan lain diluar hukum formal, yaitu masyarakat. Indonesia adalah negara hukum, terlalu dangkal apabila hukum diserahkan pada UU saja. Apabila UU gagal,  buntu atau macet, maka kemauan dan tekad manusia (masyarakatlah) yang akan berusaha menolongnya. Maka dari itu, jangan menyerah pada keadaan buruknya hukum di Indonesia, tapi niat dan usaha dari masyarakatnya untuk menata dirinya sendiri.
Penegakan hukum begitu beringas kepada orang kecil seperti Prita, namun melempem untuk para koruptor di negeri ini. Lalu muncul pertanyaan, apakah harus mengganti DPR dengan rakyat untuk membuat sendiri UU dan semua penegak hukum. Gagasan itu muncul karena pudarnya kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum nasional. Hukum bukan satu-satunya alat untuk menciptakan ketertiban. Masih ada hal atau kekuatan lain yang ada di masyarakat. Hukum bukan hanya urusan lembaga pembuat, pelaksana dan penegak hukum, tetapi juga menjadi urusan masyarakat. Maka dari itu diperlukan kesadaran hukum oleh masyarakat untuk masa sulit seperti saat ini, sampai kapanpun dan dimanapun. Jadi hukum tidak bisa dilepaskan dari partisipasi publik.
Masyarakat memiliki mekanisme untuk menciptakan hukum dan keadilannya sendiri. Hukum dan keadilan masyarakat melampaui ruang-ruang yang bisa disediakan oleh negara. Peran publik diperlukan dalam usaha keluar dari kebobrokan kehidupan hukum saat ini. Pertama, harus disadari bahwa hukum (UU) terbatas. Secara empirik terbukti bahawa untuk melaksanakan tugasnya hukum membutuhkan bantuan, dukungan, tambahan kekuatan publik (masyarakat). Kedua, masyarakat tetap menyimpan kekuatan otonom untuk melindungi dan menata dirinya sendiri. Kekuatan itu sementara tenggelam disebabkan dominasi hukum modern (hukum negara). Tidak mudah untuk mendorong partisipasi publik, dan itu perlu dilakukan secara hati-hati dan cermat.
Selain hukum masih ada kekuatan lain yang diam-diam bekerja di masyarakat. Pertama, kemampuan hukum terbatas. Kedua, masyarakat menyimpan kekuuatan otonom untuk melindungi dan menata diri sendiri. Indonesia terkenal dengan sistem hukum yang buruk, tetapi masi ada kekuatan-kekuatan progresif di kejaksaan, pengadilan, kepolisian, advokat, akademisi, LSM, birokrasi, pelaku ekonomi, dan banyak lagi. Penyatuan kekuatan progresif tidak perlu menunggu waktu dan tak perlu terbangunannya institusi formal. Kekuatan mereka sudah terbangun melalui jaringan informal, dari mulut ke mulut melalui pembacaan media yang progresif.
Selain itu, pandangan hukum progresif mengenai kekuatan lain dari penegakan hukum yaitu masyarakat. Hal itu terbukti pada kasus Prita. Mungkin sekepeing uang koin atau logam (receh) tidak berarti bagi kita. Lewat Gerakan Koin untuk Prita, menunjukkan rakyat Indonesia masih gigih untuk meraih keadilan, yang kono di negeri ini keadilan hanya untuk orang berduit. Kasus ini, menggerakan rakyat untuk membantu prita lewat koin keadilan, dan terkumpul sejumlah uang. Uang tersebut melebihi jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan Prita ke pihak RS Omni.
Publik berpendapat melalui pers dan gerakan masyarakat berpendapat, kasus ini bukan masalah pribadi Prita seorang, tetapi menyangkut masalah wong cilik. Dengan gerakan tersebut, keadilan yang kita dambakan benar-benar terwujud, bukan hanya keadilan prosedur UU, tapi juga keadilan masyarakat (subtansial justice). Gerakan ini menyimpan pesan bagi penguasa (pembuat dan pelaksana UU), pemodal (orang berduit), dan institusi penegak hukum, bahawa ketika rasa keadilan terusik, rakyat selalu punya kekuatan (power) untuk membenahi dan melawan ketidakadilan.

D. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam pembahasan makalah inj, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: Pertama, Kasus Prita Mulyasari menunjukkan permasalahan sistem hukum nasional, khususnya berkaitan dengan penegakan hukum. Kasus ini berawal dari tersebarnya surat elektronik atau electronic mail (e-mail) pribadi milik Prita hingga beredar luas di dunia maya (internet) tentang pelayanan medis di RS Omni Internasional. Prita dianggap melanggar ketentuan KUHP dan UU ITE tentang pencemaran nama baik. Penegakan hukum kasus Prita Mulyasari merupakan salah contoh empirik bekerjanya hukum progresif. Setelah melalui proses persidangan, hakim memutuskan Prita bebas dari tuduhan pencemaran. Hakim dalam mengambil keputusan tidak hanya berdasarkan pasal dalam UU, tetapi memperhatikan nilai-nilai di masyarakat, yaitu keadilan. Kedua, Faktor sosial berpengaruh dalam penegakan hukum kasus Prita, dimana adanya partisipasi masyarakat melalui Gerakan Koin untuk Prita. Pandangan hukum progresif mengenai kekuatan lain dari penegakan hukum, yaitu masyarakat. Hal itu menunjukkan masyarakat memiliki cara sendiri untuk mendapatkan keadilan.
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan makalah ini, penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut: Aparat penegak hukum (hakim, jaksa, pengacara, polisi, dan lainnya) hendaknya lebih progresif dalam penegakan hukum yang memberi kebenaran dan keadilan, dan memperhatikan kondisi sosial masyarakat, serta pendekatan hendaknya menggunakan pendekatan non litigasi (diluar pengadilan) melalui mediasi tekait kasus pencemaran nama baik (karena itu delik aduan). Selain itu, masyarakat harus memiliki kesadaran hukum untuk mencapai tujuan hukum dengan berpartisipasi aktif dalam proses penegakan hukum, serta arif dan bijaksana dalam penggunaan social media.

DAFTAR PUSTAKA


Minggu, 27 Januari 2019

POLITIK HUKUM PENERAPAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

PENDAHULUAN
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu lembaga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan teori Trias Polica Montesquie, lembaga DPR melaksanakan kekuasaan legislatif, dimana lembaga tersebut memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang (UU). Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyebutkan DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Selain itu, DPR diberi hak antara lain, hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Salah satu fungsi yang dimiliki DPR adalah fungsi pengawasan, yaitu fungsi untuk melakukan pengawasan pelaksaanaan peraturan perundang-undangan. DPR dalam rangka melaksanakan fungsi tersebut diberi hak angket, yaitu hak untuk melakukan penyelidikan tentang kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan perundang-undangan. Hak tersebut berguna untuk check and balances dalam sistem pemerintahan.
Pada tanggal 30 Mei 2017 DPR membentuk panitia khusus (pansus) hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Misbakhun (Anggota DPR Fraksi Golkar) ada 5 (lima) alasan pembentukan tersebut : Pertama, untuk membuka rekaman penyelidikan Miryam S. Haryani (Anggota DPR Ftraksi Hanura); Kedua, mengevaluasi Kinerja KPK; Ketiga, memeriksa dugaan penyelewengan wewenang KPK; Keempat, memeriksa indikasi ketidakpatuhan pengelolaan anggaran KPK; Kelima, melihat adanya indikasi perpecahan di tubuh KPK.
Sejak pembentukan pansus hak angket tersebut telah menuai pro kontrak di masyarakat berkaitan legalitasnya. Berkaitan dengan hal tersebut Yusril Ihza Mahendra (Pakar Hukum Tata Negara) berpandangan bahwa hak angket DPR terhadap KPK sah secara konstitusional, karena KPK adalah lembaga yang dibentuk oleh undang-undang dan melaksanakan undang-undang. Dengan demikian, DPR dapat melakukan angket terhadap KPK. Akan tetapi, menurut Jimly Asshiddiqie (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) mengemukakan bahwa polemik tentang pembentukan pansus hak angket tersebut menunjukkan lemahnya aspek legitimasi. Berdasarkan aspek legalitas, setiap orang bisa berpendapat soal sah atau tidaknya pembentukan pansus tersebut. Namun jika dilihat dari perkembangannya, banyak pihak yang mempersoalkan, bahkan menentang pembentukan pansus tersebut.
Kemudian, untuk menguji legalitas hak angket tersebut oleh beberapa pihak diajukan judicial review ke Mahkamah konstitusi (MK).  Setelah melaui proses persidangan, MK memutuskan menolak permohonan judicial review tentang hak angket. Dampak putusan tersebut menjadikan KPK bagian lembaga eksektif dan menjadi objek dari hak angket. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai mengenai permasalahan tersebut berdasarkan prespektif politik hukun.

RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan permasalahan yang telag diuraika di atas, adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah : “Bagaimana pandangan politik hukum tentang penerapan hak angket DPR terhadap KPK ?”.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis pandangan politik hukum tentang penerapan hak angket DPR terhadap KPK.

PEMBAHASAN
Politik hukum adalah alternatif berkaitan dengan adanya determinan politik atas hukum di Indonesia. Titik tolak politik hukum adalah visi hukum. Politik hukum hadir sebagai agenda hukum, adalah bahwa dalam tugasnya mewujudkan tujuan bersama, maka hukum hadir dalam wujud hakikatnya sebagai hukum, yaitu memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Nilai-nilai yang ideal (tujuan hukum) yang melakat pada hukum merupakan basis dan titik tolak hukum. Sehingga, memang hukum dan politik dua variabel yang berbeda dan sering bersebrangan pandangan. Namun tidak bisa dibantahkan, keduanya saling berhubungan atau memiliki relasi. Pada prakteknya, pasti ada salah satu variabel yang lebih dominan atas lainnya. Sebagai contoh dominasi politik terhadap hukum di Indonesia adalah hak angket DPR terhadap KPK.
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Prosedur pembentukan pansus hak angket berdasarkan Pasal 16 Ayat 3 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang tata tertib, menyatakan bahwa sidang pengusulan hak angket harus dihadiri minimal setengah anggota DPR dan disetujui oleh lebih dari setengah anggota DPR yang hadir. Namun pada kenyataannya tidak dihadiri oleh setengah anggota DPR dan adanya aksi protes dan walk-out dari beberapa fraksi. Hal tersebut menunjukkan bahwan pembentukan pansus hak angket KPK sudah cacat diawal.
Akan tetapi, pada kenyataannya hak angket DPR terus berjalan dan diperpanjang masa sidangnya. Setelah berbagia pro kontra dari berbagai pihak, pansus hak angket terhadap KPK memberi 10 hasil rekomendasi antara lain :
Aspek Kelembagaan
1. Meminta presiden menyempurnakan struktur organisasi KPK sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, dan monitoring.
2. Meminta KPK meningkatkan kerja sama dengan lembaga penegak hukum dan lembaga lain, seperti Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan serta perbankan, agar pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara optimal, terintegrasi, dan bersinergi.
3. Meminta presiden serta KPK membentuk lembaga pengawas independen yang beranggotakan unsur internal KPK dan tokoh masyarakat yang berintegritas melalui peraturan presiden.
Aspek Kewenangan
4. Meminta KPK membangun jaringan kerja yang kuat dalam menjalankan tugas koordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan.
5. Meminta KPK memperhatikan prinsip hak asasi manusia serta mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
6. Meminta KPK membangun sistem pencegahan dan monitoring yang sistemik agar dapat mencegah korupsi berulang serta penyalahgunaan keuangan negara.
Aspek Anggaran
7. Meminta KPK meningkatkan dan memperbaiki tata kelola anggarannya sesuai dengan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan.
8. Meminta KPK mengoptimalkan penggunaan anggaran dalam fungsi pencegahan sehingga dapat memberi pemahaman yang lebih komprehensif kepada masyarakat.
Aspek Tata Kelola Sumber Daya Manusia
9. Meminta KPK memperbaiki tata kelola sumber daya manusia dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
10. Meminta KPK semakin transparan dan terukur dalam proses pengangkatan, promosi, mutasi, rotasi, serta pemberhentian sumber daya manusia KPK dengan mengacu pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, UU Kepolisian RI, dan UU Kejaksaan RI.

Berdasarkan hasil penelitian tesis Novianto Murti Hartono tentang hak angket tidak ada korelasi antara sistem pemerintahan dengan fungsi pengawaasan parlemen melalui hak angket. Secara historis hampir semua masa berlakunya konstitusi di Indonesia (kecuali Konstitusi RIS) parlemen melaksanakan hak angket. Secara komparatif dari empat negara dengan sistem pemerintahan yang berbeda-beda, parlemen memiliki hak untuk melakukan penyelidikan.
Hak angket DPR KPK dari sudut pandang politik hukum, menunjukan bahwa DPR melakukan intervensi kepada KPK dalam hal penegakan proses hukum terkait kasus e-KTP yang menyeret beberapa anggota DPR dan petinggi partai politik. Pengaruh politik terhadap hukum di Indonesia dalam hak angket KPK berkaitan dengan kasus e-KTP yang menyeret para politisi DPR, karena adanya upaya pengkaburan proses penegakan hukumnya untuk melindungi anggota yang terlibat melalui pembentukan pansus hak angket KPK.
Lahirnya KPK disebabkan oleh maraknya tindak pindana korupsi di Indonesia dan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut. Menurut Lawrance M. Friedman sistem hukum adalah suatu sistem meliputi subtansi, struktur dan budaya hukum. Dengan kata lain, untuk melakukan pemberantasan terhadap korupsi dipelukan ketiga komponen sistem hukum tersebut. Adapun politik hukum atau latar belakang lahir KPK dalam Penjelasan UU KPK bagian Umum I.
Mahfud MD untuk menjelaskan asumsi hubungan politik dan hukum yaitu : Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa, kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk kepada aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajad determinasinya seimbang antara satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan hukum.
Dominasi politik atas hukum di Indonesia dapat dilihat dari kasus hak angket KPK. Hubungan antara politik dan hukum melahirkan sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: Pertama, pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan.
Hans Kelsen dengan teori murni hukum (Pure Theory of Law)  menyatakan bahwa, hukum berdiri sendiri terlepas dari aspek-aspek kemasyrakatan lainnya. Kelsen bermaksud menunjukkan bagaimana hukum itu sebenarnya tanpa memberikan penilaian apakah hukum tersebut adil atau tidaknya. Teorinya bertujuan untuk menunjukkan apa yang dimaksud hukum positif, dan bukan apa yang merupakan hukum yang benar. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pengambilan keputusan DPR mengenai pembentukan pansus hak angket KPK, variabel politik memengaruhi terhadap variabel hukum.
Mahkamah konstitusi dalam putusan perkara tentang hak angket memutuskan menolak permohonan para pemohon. Hal itu berdampak KPK bisa menjadi bagian objek hak angket. Adapun terdapat 4 hakim konstitusi yang disenting opinion, yaitu Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Saldi Isra. Hal tersebut menunjukkan bahwa MK tidak satu suara mengenai hak angket terhadap KPK.
KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas antara lain :
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Pemerintahan secara luas mencakup kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemerintah secara sempit diartikan lembaga atau kekuasaan ekskutif. Implikasi Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 menjadikan KPK bagian dari kekuasaan eksekutif sehingga bisa dilakukan hak angket.
Menurut Mantan Ketua MK Mahfud MD menilai, putusan MK mengenai hak angket MK bertentangan dengan putusan MK sebelumnya. MK menyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif sehingga merupakan obyek dari hak angket DPR. Namun, Mahfud mengingatkan, sebelumnya juga sudah ada setidaknya empat putusan MK yang menegaskan bahwa KPK bukanlah bagian dari eksekutif. Putusan yang dimaksud adalah putusan atas perkara nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011. Empat putusan tersebut juga disinggung oleh empat hakim MK yang menyatakan disssenting opinion atau perbedaan pendapat dalam sidang putusan kemarin. Pada intinya, keempat putusan itu menegaskan, KPK merupakan lembaga independen yang bukan berada di dalam ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pandangan teori hukum tata negara modern, KPK dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dapat dikatakan sebagai Komisi Negara. Asimov mendefinisikan Komisi Negara sebagai: units of goverment created by statue to carry out specific tasks in implementing the statue. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent. Definisi tersebut membedakan dua jenis komisi negara, yaitu komisi negara yang berada dibawah eksekutif (executive agencies) dan komisi negara yang independen (independentagencies). Lebih jelas, Asimov mengatakan, komisi negara yang biasa hanyalah bagian dari eksekutif dan tidak mempunyai peran yang terlalu penting. Komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, namun tetaplah memunyai fungsi campur sari ketiganya
Berdasarkan teori ini, dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, KPK sebagai komisi negara independen terdapat kecenderungan dalam teori administrasi untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas KPK, misalnya dalam kewenangan penindakan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penyitaan) dan pencegahan atas tindak pidana korupsi.
Terkait komisi negara independen, Zainal Arifin Mochtar, dalam disertasinya merumuskan delapan karakter komisi negara independen, yaitu:
1. Lembaga yang lahir dan ditempatkan tidak menjadi bagian dari cabang kekuasaan yang ada, meskipun pada saat yang sama ia menjadi lembaga independen yang mengerjakan tugas yang dulunya dipegang oleh pemerintah.
2. Proses pemilihannya melalui seleksi dan bukan oleh political appointee, atau dalam kaidah khusus tidak melalui monopoli satu cabang kekuasaan tertentu, akan tetapi melibatkan lembaga negara lain dalam kerangka fungsi check and balances.Bisa juga diserahkan sepenuhnya kepada segmentasi tertentu di publik untuk memilih perwakilannya, intinya tidak melibatkan kekuatan politik.
3. Proses pemilihan dan pemberhentiannya hanya bisa dilakukan berdasar pada mekanisme yang ditentukan oleh aturan yang mendasarinya.
4. Meski memegang kuasa sebagai alat negara, tetapi proses deliberasinya sangat kuat, sehingga baik keanggotaan, proses pemilihan dan pelaporan akan kinerjanya didekatkan dengan rakyat selaku pemegang kedaulatan negara, baik secara langsung kepada masyarakat maupun secara tidak langsung melalui parlemen.
5. Kepemimpinan yang bersifat kolegial dan kolektif dalam pengambilan setiap keputusan kelembagaan yang berkaitan dengan tugas dan fungsinya.
6. Bukan merupakan lembaga negara utama yang dalam kaidah tanpa keberadaannya negara mustahil berjalan. Tetapi bukan berarti tidak penting untuk ada. Keberadaannya tetap penting karena tuntutan masa transisi maupun kebutuhan ketatanegaraan yang semakin kompleks.
7. Memiliki kewenangan yang lebih devolutif yakni bersifat self regulateddalam artian bisa mengeluarkan aturan sendiri yang juga berlaku secara umum.
8. Memiliki basis legitimasi di aturan, baik konstitusi dan/atau undang-undang. Dalam artian ada basis legistimasi di situ, meskipun kemudian dibentuk dengan undang-undang saja untuk lembaga yang ada di konstitusi dan di peraturan pemerintah saja untuk lembaga yang ada di undang-undang.

Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa KPK merupakan komisi negara independen di Indonesia yang berada diluar ranah tiga kekuasaan dan secara institusional KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi terkait kekuasaan kehakiman untuk melakukan pernyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain. Sehingga jelaslah bahwa KPK merupakan komisi negara independen. Selain itu, berdasarkan kontruksi teoritis yang ada di atas, KPK sebagai komisi negara independen dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia merupakan cabang kekuasaan tersendiri diluar Trias Politica Montesquieu. Akan tetapi, MK dalam putusannya tidak sependapat dengan teori di atas, MK berpandangan bahwa KPK bagian dari ekskutif, dimana KPK dibentuk oleh undang-undang dan melaksanakan undang-undang. Sehingga dampa putusan tersebt menjadikan KPK bagian dari objek hak angket.

PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam pembahasan, dapat ditarik kesimpulan bahwa : Pertama, Hak angket DPR terhadap KPK dari sudut pandang politik hukum, menunjukan bahwa DPR melakukan intervensi kepada KPK dalam proses penegakan hukum, variabel politik mempengaruhi variabel hukum dalam kasus ini. Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi tentang hak angket memutuskan menolak permohonan para pemohon, dimana KPK merupakan bagian dari eksekutif sehingga merupakan obyek dari hak angket DPR.
Penulis dapat memberikan saran terkait permasalahan tersebut, yaitu jalan tengah dominasi politik atas hukum di Indonesia dengan melakukan kajian lebih mendalam tentang politik hukum sehingga pada prakteknya kedua variabel saling berhubungan secara seimbang dan mewujudkan sistem hukum Indonesia sebagaimana mestinya.


DAFTAR PUSTAKA
Asimov, Michael R. 2002. Administrative. Chicago: BarBri Group.
Indrayana, Denny. 2016. Jangan Bunuh KPK. Malang: Intrans Publishing.
Mahfud MD, Moh. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Hartono, Novianto Murti. 2004. Pelaksanaan Fungsi Pengawasan dewan Perwakilan Rakyat Melalu Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Tesis). Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Univesitas Indonesia.
Suherman, Ade Maman. 2009. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Sukanto, Soerjono. 2006. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Tanya, Bernard L. 2011. Politik Hukum Agenda Kepentngan Bersama. Yogyakarta : Genta Publishing.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 36/PUU-XV/2017
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib
Online
http://m.metrotvnews.com/read/2017/07/15/729813/lima-alasan-dpr-membentuk-pansus-angket-kpk
http://news.metrotvnews.com/politik/nbw1jr6K-lima-fraksi-mengirimkan-perwakilan-ke-pansus-hak-angket-kpk
https://nasional.kompas.com/read/2017/06/22/18285401/jimly.sebut.legitimasi.pembentukan.pansus.hak.angket.kpk.lemah
https://nasional.kompas.com/read/2017/07/10/15532951/yusril.dpr.dapat.menggunakan.angket.terhadap.kpk
https://nasional.tempo.co/read/1056595/berikut-ini-10-rekomendasi-pansus-hak-angket-untuk-kpk

https://www.kompasiana.com/ekapadma25/legalitas-hak-angket-kpk-dalam-perspektif-hukum-tata-negara-modern_5967ad4f82386a77346fd812

FILSAFAT HUKUM ISLAM TENTANG LEMBAGA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Namun pada praktiknya, perekeno...