Jumat, 01 Februari 2019

IMPLIKASI AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN TERHADAP PERBANKAN NASIONAL (Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan)

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Hukum adalah salah satu instrumen dalam pembangunan ekonomi nasional. Hukum sebagai regulasi dan landasan pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan warga negara Indonesia secara merata dan berkeadilan. Pembentukan peraturan perundang-undangan bidang ekonomi selama ini dinilai tidak sejalan dengan dasar dan tujuan negara, yang cenderung menganut paham liberal. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya undnag-undang (UU) bidang ekonomi setelah reformasi dibentuk berdasarkan tekanan atau sponsor pihak asing. Salah satu contoh permasalahan tersebut tentang kebijakan dalam pembentukan UU berkaitan sektor keuangan.
Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Mei 2017 menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang akses informasi keuangan  (Automatic Exchange of Information). Perppu ini diterbitkan karena pemerintah Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis. Perihal latar belakang dan ihwal kegentingan yang memaksa diterbitkan perpu ini patut dipertanyakan, sebab hanya mengacu pada perjanjian internasional yang telah disepakati dan tidak atas dasar kepentingan umum rakyat Indonesia.
Selain itu, perpu tersebut mendapatkan tanggapan pro kontra di masyarakat, khusus di sektor perbankan nasional. Perbankan merupakan salah satu sektor keuangan yang mendapat dampak langsung peraturan ini. Perdebatan di antara kalangan perbankan berhubungan dengan dampak perpu ini terhadap stabilitas dan kredibilitas di sektor keuangan. Menurut pihak yang pro, perppu ini akan mendorong agar wajib pajak semakin berlaku jujur dalam pelaporan pajak. Sementara pihak yang kontra, mengkhawatirkan kerawanan dalam penyalahgunaan akses informasi keuangan perbankan dan prinsip rahasia bank.
Perppu ini memberikan akses dan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mengkases data perbankan yang selama ini wajib dirahasiakan oleh lembaga jasa keuangan, khususnya sektor perbankan. Terbukanya data perbankan (nomor rekening dan saldo nasabah) dengan adanya aturan ini bisa menjadi potensi masalah baru di sektor perbankan. Selain itu, dampak adanya perpu ini menjadikan nasabah takut menyimpan uangnya di bank yang berakibat menurunnya likuiditas perbankan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengatakan bahwa selain adanya jaminan keamanan atas data-data nasabah yang diperoleh DJP, pemerintah harus mempertimbangkan secara matang dampak Perppu terhadap upaya mendorong inklusi keuangan, dan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui kredit perbankan. Dengan demikian, perbankan merupakan salah satu sektor yang terkena dampak langsung atas penerbitan perpu ini, hendaknha mendapat perhatian khusus.
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang (UU), dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak sebagai instrumen pembangunan, memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Pajak berfungsi membiayai semua pengeluaran negara termasuk pembangunan. Berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun 2017 sektor pajak menyumbang pendapatan sebesar 1.498,9 T dari total pendapat negara 1.750,3 T. Pajak sebagai sumber pendapatan utama negara,  lebih dari  80% pendapatan negara berasal dari pajak. Oleh karena itu, pajak menjadi aspek penting dalam pembangunan ekonomi. Adanya perpu ini memang dapat meningkatkan pendapat negara melalui pajak. Akan tetapi, perlu dilakukan kajian mendalam mengenai dampak buruk perpu ini terhadap sektor perbankan.
Berdasarkan uraian di atas, perpu akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan merupakan salah satu produk hukum pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dinilai kontra produktif di bidang pembangunan hukum ekonomi. Oleh karena itu, dilakukan kajian melalui makalah ini dengan judul “Implikasi Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Terhadap Perbankan Nasional (Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan)”.
 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dibuatlah rumusan masalah makalah ini sebagai berikut :
1. Apakah latar belakang pembentukan Perpu No. 1 Tahun 2017 dan kaitannya dengan UU Perbankan dan UU Perpajakan ?
2. Bagaimana pengaturan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam Perpu No. 1 Tahun 2017 ?
3. Bagaimana implikasi penerapan Perpu No. 1 Tahun 2017 terhadap perbankan nasional ? 
TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui latar belakang pembentukan Perpu No. 1 Tahun 2017 dan kaitannya dengan UU Perbankan dan UU Perpajakan.
2. Menguraikan pengaturan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam Perpu No. 1 Tahun 2017.
3. Menganalisis implikasi penerapan Perpu No. 1 Tahun 2017 terhadap perbankan nasional.

PEMBAHASAN
LATAR BELAKANG PERPU NO. 1 TAHUN 2017 DAN KAITANNYA DENGAN UU PERBANKAN DAN UU PERPAJAKAN
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan (isi) perpu sama dengan materi muatan Undang-Undang (UU). Perpu ditandatangani oleh Presiden dan diundangkan, Perpu harus diajukan ke DPR. DPR hanya dapat menerima atau menolak Perpu. Salah satu alasannya alasan kegentingan yang memaksa pantut menjadi kritisi berkaitan penerbitan perpu tentang akses informasi keuangan. Alasan dikeluarkannya sebuah Perppu oleh Presiden, termasuk Perpu No 1 Tahun 2017, yaitu karena 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 merupakan penilaian subjektif Presiden. 
Mahkamah konstitusi memberikan tafsir “kegentingan yang memaksa” dalam perpu yang berarti:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam menyebutkan bahwa penerapan akses informasi keuangan  (Automatic Exchange of Information) kesepakatan berdasarkan komitmen dan perjanjian internasional. Berikut kutipan wawancara deangan Menkeu yang dikutip linkedin.com
Negara-negara di dunia, terutama Kelompok G20, telah membuat kesepakatan untuk melakukan kerjasama perpajakan guna mengurangi Base Erosion Profit Shifting (BEPS), yang antara lain terkait akses informasi keuangan milik para wajib pajak di semua yurisdiksi atau tempat. Ini dipicu sejak adana krisis kuangan global yang menyebabkan banyak negara harus melakukan intensifikasi penerimaan pajak. Sehingga munculah insiatif untuk meningkatkan dan memformalkan kerjasama perpajakan internasional itu guna mengurangi atau bahkan menghilangkan ruang atau tempat bagi para penghindar pajak (tax haven).

Selain itu, latar belakang perpu ini dapat dilihat dari pertimbangan (konsideran). Pertimbangan pembentukan perpu akses informsi keuangan :
a. bahwa dalam melaksanakan pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mempunyai tujuan untuk menyejahterakan dan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia secara merata dan berkeadilan, dibutuhkan pendanaan yang bersumber dari penerimaan negara terutama yang berasal dari pajak, sehingga untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak tersebut diperlukan pemberian akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan;
b. bahwa saat ini masih terdapat keterbatasan akses bagi otoritas perpajakan Indonesia untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan yang diatur dalam undang-undang di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya, yang dapat mengakibatkan kendala bagi otoritas perpajakan dalam penguatan basis data perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak;
c. c. bahwa Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) dan harus segera membentuk peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebelum tanggal 30 Juni 2017;
d. bahwa apabila Indonesia tidak segera memenuhi kewajiban sesuai batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Indonesia dinyatakan sebagai negara yang gagal untuk memenuhi komitmen pertukaran informasi keuangan secara otomatis (fail to meet its commitment), yang akan mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, antara lain menurunnya kredibilitas Indonesia sebagai anggota G20, menurunnya kepercayaan investor, dan berpotensi terganggunya stabilitas ekonomi nasional, serta dapat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan penempatan dana ilegal;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, dan mengingat adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera memberikan akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.

Dengan demikian, latar belakang penerbitan perpu ini berdasarakan perjanjian internasional. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan Menkeu dan pertimbangan perpu ini. Penerbitan perpu ini berdasarkan subjektivitas Presiden yang ingin secara cepet memenuhi komitmen perjanjian internasional tentang akses untuk kepentingan perpajakan. Secara kedudukan hukum perpu ini sah, akan tetapi perlu diperhatikan dampak negatif adanya peraturan ini, khususnya dalam sektor perbankan.
Perpu ini secara langsung berkaitan dengan UU Perbankan dan UU Perpajakan. Penerbitan perpu ini dinilai ada sebagain pasal yang bertentangan dengan aturan UU lainnya. Dengan adanya perpu ini mencabut sebagian ketentuan beberapa pasal kedua UU. Berkaitan dengan hal itu, perpu ini dikhawatirkan berdampak negatif pada rahasia perbankan, yang mana data nasabah bukan lagi sebagai prinsip rahasia perbankan.
Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan  (UUPerbankan), menerangkan bahwa rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Berdasarkan definisi tersebut, rahasia bank terkait data nasabah merupakan kewajiban perbankan untuk menjaga kerahasiannya. Hal itu sejalan dengan yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan yang mengatakan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Akan tetapi, ada beberapa pengecualian bagi bank untuk memberikan rahasia bank itu diatur Pasal 40 sampai Pasal 45 UU Perbankan. Apabila kewajiban menjaga rahasia bank tidak dilaksanakan berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank. Ada bidang pengecualian rahasia bank, antara lain: 1) bidang perpajakan; 2) bidang penyelesian hutang; 3) bidang perkara pidana; 4) bidang sengketa bank dengan nasabah; 5) bidang tukar-menukar informasi antarbank; 6) atas permintaan nasabah atau kuasanya; 7) atas pemintaan ahli waris nasabah; 8) laporan transaksi keuangan yang mencurigakan.
Selain itu, adanya perpu akses informasi keuangan mencabut beberapa kententuan dalam UU Perpajakan dan UU Perbankan. Menurut Pasal 8 perpu ini, ketentuan UU lain yang dicabut sebagai berikut:
1. Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 35A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
2. Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor  Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
3. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
4. Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi;
5. Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Berkaitan dengan rahasia perbankan dengan adanya perpu ini mencabut pada beberapa pasal UU Perbankan dan teori rahasia dibenarkan pengecualian untuk pajak. Akan tetapi, perubahan tata cara memperoleh data nasabah dengan perpu ini dikhawatirkan dampat buruk penyalahgunaan data nasabah. Dengan adanya perpu nini, DJP tidak memerlukan proses yang lama untuk mengkases data nasabah perbankan seperti pada ketentuan peraturansebelumnya
PENGATURAN AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN DALAM PERPU NO. 1 TAHUN 2017
Pemerintah Perppu No. 1 tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Perpu tersebut merupakan salah satu produk hukum dalam pemerintahan Preseiden Joko Widodo yang menimbulkan pro kontra khususnya di sektor perbankan. Secara umum, produk hukum tersebut merupakan bagian dalam pembangunan hukum ekonomi nasional. Pembangunan hukum ekonomi harus melindungi kepentingan-kepentingan umum, baik kepentingan yang sekarang ada, maupun kepentingan yang akan data. Hukum ekonomi pembangunan meliputi pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi secara nasional.
Perpu tersebut dinilai tidak responsif oleh masyarakat, khususnya nasabah perbankan. Produk hukum responsif adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Produk hukum yang memiliki karakter responsif, proses pembuatannya partisipatif, yang menganduk partisipasi masyarakat. Berdasarkan fungsinya maka hukum yang berkarakter responsif bersifat aspiratif, dimana muatan materi (subtansi hukum) yang secara umum memenuhi aspirasi atau kehendak masyarakat.
Berdasarkan pandangan Roscoe Pound bahwa hukum sebagai social enggineering, dengan memahami bahwa hukum mempunyai konteks yang kuat dalam pembangunan, kita dapat melihat relevansi soal keadilan dalam hubungan hukum dan ekonomi. Hukum berfungsi sebagai sarana ketertiban dalam pembangunan, yang efektif apabila dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sabagaimana pandangan Mochtar Kusumaatmadja dan Sunaryati Hartono. Alasan pandangan tersebut adalah perkembangan kehidupan masyarakat yang beragam tingkat kehidupannya yang dipengaruhi berbagai macam perbedaan, baik budaya, geografis, tingkat ekonomi dan perkembangan kehidupan sosial masyarakat yang menimbulkan perbedaan kebutuhan. Hukum dalam masyarakat ini, hendaknya memenuhi kebutuhan rakyat yang dalam kenyataannya terdiri dari bukan hanya usaha besar, tetapi mencakup pula usaha kecil dan usaha menengah. 
Menurut Lawrance M. Friedman, sistem hukum adalah suatu sistem meliputi subtansi, struktur dan budaya hukum. Dengan kata lain, peranan hukum dalam pembangunan ekonomi menyangkut subtansi, struktur dan budaya hukum. Subtantansi hukum adalah aturan atau norma dan pola perilaku manusia dalam sistem hukum. Perpu ini sebagai subtansi hukum dinilai tidak adil bagi warga negara, khusunya nasabah perbankan sebab rahasia rekening mereka dapat diperoleh DJP tanpa persetujuan nasabah.
Permasalahan dalam mencari keadilan, salah satu cara yang ditempuh adalah mengusahakan pungutan pajak diselanggarakan secara umum dan merata. Perppu ini dibentuk untuk memenuhi komitmen keikutsertaan Indonesia dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis.  Perpu ini terdapat 10 Pasal, adapun poin penting dalam perpu ini sebagai berikut :
Pasal 1
Akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Pasal 2
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
(2) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak:
a. laporan yang berisi informasi keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan untuk setiap rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan; dan
b. laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan,
yang dikelola oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain dimaksud selama satu tahun kalender.
(3) Laporan yang berisi informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. identitas pemegang rekening keuangan;
b. nomor rekening keuangan;
c. identitas lembaga jasa keuangan;
d. saldo atau nilai rekening keuangan; dan
e. penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
(4) Dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
(5) Prosedur identifikasi rekening keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit meliputi kegiatan:
a. melakukan verifikasi untuk menentukan negara domisili untuk kepentingan perpajakan bagi pemegang rekening keuangan, baik orang pribadi maupun entitas;
b. melakukan verifikasi untuk menentukan pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan pemegang rekening keuangan yang wajib dilaporkan;
c. melakukan verifikasi untuk menentukan rekening keuangan yang dimiliki oleh pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan rekening keuangan yang wajib dilaporkan;
d. melakukan verifikasi terhadap entitas pemegang rekening keuangan untuk menentukan pengendali entitas dimaksud merupakan orang pribadi yang wajib dilaporkan; dan
e. melakukan dokumentasi atas kegiatan yang dilakukan dalam rangka prosedur identifikasi rekening keuangan, termasuk menyimpan dokumen yang diperoleh atau digunakan.
(6) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak diperbolehkan melayani:
a. pembukaan rekening keuangan baru bagi nasabah baru; atau
b. transaksi baru terkait rekening keuangan bagi nasabah lama,
yang menolak untuk mematuhi ketentuan identifikasi rekening keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Dalam hal diminta oleh Direktur Jenderal Pajak, lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memperoleh atau menyelenggarakan dokumentasi dalam bahasa lain selain Bahasa Indonesia, harus memberikan terjemahan dokumentasi dimaksud ke dalam Bahasa Indonesia.
(8) Dalam hal lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, kewajiban merahasiakan tersebut tidak berlaku dalam melaksanakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.

Pasal 3
(1) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan dengan:
a. mekanisme elektronik melalui Otoritas Jasa Keuangan bagi lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a;
b. mekanisme non-elektronik sepanjang mekanisme elektronik belum tersedia, kepada Direktur Jenderal Pajak, bagi lembaga jasa keuangan lainnya dan entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a; dan
c. mekanisme non-elektronik sepanjang mekanisme elektronik belum tersedia, kepada Direktur Jenderal Pajak, untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b.
(2) Dalam hal terdapat perubahan mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat menentukan mekanisme lain setelah mendapat pertimbangan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Terhadap penyampaian laporan melalui mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 60 (enam puluh) hari sebelum batas waktu berakhirnya periode pertukaran informasi keuangan antara Indonesia dengan negara atau yurisdiksi lain berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan; dan
b. Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum batas waktu berakhirnya periode pertukaran informasi keuangan antara Indonesia dengan negara atau yurisdiksi lain berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
(4) Penyampaian laporan melalui mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun kalender.

Pasal 4
(1) Selain menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak berwenang  untuk meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain.
(2) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain wajib memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Informasi keuangan yang tercantum dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai basis data perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 5
Berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan, Menteri Keuangan berwenang melaksanakan pertukaran informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan/atau informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan otoritas yang berwenang di negara atau yurisdiksi lain.


Pasal 6
(1) Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
(2) Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.
(3) Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.

Pasal 7 Perpu ini mengatur tentang sanksi pidana dan pasal 8 s.d. 10 berkaitan dengan aturan peralihan. Perpu ini kemudian ditetapkan menjadi UU No. 9 tahun 2017. Aturan teknis dituangkan Peraturan Menteri Keuangan No. 70/ PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Kewajiban pelaporan data nasabah domestik dengan saldo rekening paling sedikit Rp 1 miliar tealah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak atau Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mulai menagih perbankan untuk melaporkan data nasabah domestik den‎gan saldo rekening paling sedikit Rp 1 miliar. 
IMPLIKASI PERPU NO. 1 TAHUN 2017 TERHADAP PERBANKAN NASIONAL
Dampak kebijakan dari pemberlakuan Perppu tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan adalah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memiliki keleluasaan untuk mengakses informasi keuangan nasabah yang merupakan wajib pajak. Sebelum perppu ini ada, Ditjen Pajak sudah memiliki kewenangan untuk mengakses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Hanya saja, Ditjen Pajak harus meminta izin kepada Bank Indonesia. Prosesnya kerap membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Ditjen Pajak bisa langsung meminta data kepada bank dengan adanya perpu ini.
Menurut Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan dampak perpu ini antara lain : Pertama adalah konsekuensi bagi persaingan bisnis perbankan, dengan kondisi mudahnya akses informasi perbankan ke dunia internasional secara global, maka situasi tersebut dapat digunakan untuk sistem kompetitif terbuka. Kedua, perppu tersebut berkaitan dengan manajemen perbankan secara siber, karena itu harus dibekali dengan batasan yang kuat agar tidak berujung penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu. Ketiga, prinsip manajemen terbuka tersebut membuat aktivitas perbankan terbuka dan transparan sehingga siapa pun tidak bisa menyembunyikannya.
Kebijakan ini membuat masyarakat jadi malas untuk menyimpan uang di bank. Oleh karena itu, merupakan tugas pemerintah untuk memperkuat kebijakan ini dengan sistem yang mampu mencegah peretasan atau hacking. Mungkin masyarakat ada sebagian yang dampak negatifnya, malas ke bank. Sehingga menyimpan uang di bawah bantal. Ini tantangan, artinya itu menjadi konsekuensi manakala itu bisa dihindari, diperkuat.
Pajak sebagai perwujudan dan pengabdian, peran serta untuk membiayai negara dan pembangunan nasional. Banyak hal yang tidak sejalan dengan esensi dari era keterbukaan informasi dalam kerangka Automatic Exchange of Information (AEoI). Peneliti Institute For Development of Economic & Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menerangkan, sebenarnya esensi AEoI, yaitu warga negara asing (WNA) yang mempunyai rekening di Indonesia atau sebaliknya, warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki rekening yang ada di luar negeri. Tapi, Perppu ini justru dinilai lebih menyasar nasabah dalam negeri.
Sebagaimana tugas bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kepada masyarakat. Bank sebagai penerima dana dari masyarakat memiliki konsekuensi untuk menjaga dana nasabah dan harus siap sedia apabila dana ditarik nasabah. Masyarakat sebagai nasabah merasa percaya kepada bank bahwa dana yang disimpan aman. Hal tersebut merupakan gambaran prinsip bank bekerja atas kepercayaan masyarakat. Asas-asas perbankan: 1) asas hukum; 2) asas keadilan; 3) asas kepercayaan; 4) asas keamanan; 5) asas kehati-hatian; 6) asas ekonomi.
Rahasia bank adalah kewajiban bank untuk merahasiakan nasabah penyimpan dan simpanannya. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keungan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan perlu dirahasiakan. Ketentuan rasahia perbankan diatur Pasal 40 sampai Pasal 45 UU Perbankan. Apabila kewajiban menjaga rahasia bank tidak dilaksanakan berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank. Ada bidang pengecualian rahasia bank, antara lain: 1) bidang perpajakan; 2) bidang penyelesian hutang; 3) bidang perkara pidana; 4) bidang sengketa bank dengan nasabah; 5) bidang tukar-menukar informasi antarbank; 6) atas permintaan nasabah atau kuasanya; 7) atas pemintaan ahli waris nasabah; 8) laporan transaksi keuangan yang mencurigakan. Latar belakang pengecualian rahasia bank untuk bidang perpajakan adalah adanya hubungan antara nasabah bank sebagai perusahaan dengan masalah pajak karena kedudukannya sebagai wajib pajak. Dengan adanya perpu ini menyebabkan hilangnya prinsip rahasia bank. Secara teori dibenarkan pengeculian rahasia pebankan untuk kepentingan.
Perpu ini dari sisi konten selalu arahnya adalah nasabah di dalam negeri. Dibanding sosialisasi bagaimana strategi untuk implementasikan bagaimana nanti ketika kita sepakat dan terjadi pertukaran informasi strategi apa yang bisa menarik dana di luar negeri. Keinginan pemerintah untuk menyasar nasabah dalam negeri terlihat dari direvisinya batas minimum saldo rekening yang wajib dilaporkan kepada Dirjen Pajak. Sebelumnya, saldo rekening yang wajib dilaporkan yaitu Rp 200 juta, lalu direvisi menjadi Rp 1 miliar, lantaran ditakutkan akan berimbas kepada UMKM.
Pemerintah harus mempertimbangkan secara matang terkait dampak buruk Perppu ini bagi upaya mendorong inklusi keuangan serta upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui kredit perbankan.  Adapun, dampak buruk Perppu ini bagi sektor perbankan menurut INDEF diantaranya adalah:
1) Kehadiran Perppu ini jangan sampai menjadi disinsetif bagi masyarakat untuk menyimpan dananya di perbankan, sehingga harapan pemerintah untuk mengurangi transaksi secara tunai tidak tercapai.
2) Dikhawatirkan Dana Pihak Ketiga (DPK) turun, karena pemilik dana besar akan mengalihkan dananya keluar, sehingga terjadi capital outflow, hal ini akan menganggu likuiditas, yang implikasinya pada penurunan laju kredit dan mengerek suku bunga.
3) Migrasi dana umumnya akan ditempatkan pada aset tidak produktif, seperti emas dan properti.
4) Kebijakan ini juga berpotensi menyebabkan ketimpangan likuiditas antar bank semakin tinggi. Hal ini mengingat pasca penerapan tax amnesty likuiditas bank-bank yang tidak menjadi bank persepsi cenderung menurun, apalagi munculnya Perppu ini yang akan menyebabkan adanya shifting dari bank kecil ke bank besar sebagai upaya antisipasi resiko

Implikasi perppu ini terhadap perbankan akan terjadi penurunan laju kredit dan mengerek suku bunga. Perpu ini menjadi disinsentif bagi masyarakat untuk menyimpan dananya di perbankan, sehingga harapan pemerintah untuk mengurangi transaksi secara tunai tidak tercapai. Selain itu, dikhawatirkan turunnya Dana Pihak Ketiga (DPK).  Bahkan, berpotensi terjadinya migrasi dana yang umumnya diarahkan kepada aset yang tidak produktif seperti emas dan properti. Kebijakan berpotensi menyebabkan ketimpangan likuiditas antar bank semakin tinggi. Selain itu, dengan adanya perpu ini rahasia nasabah menjadi berkurang, saldo yang bisa dilihat 1M untuk kepentingan tanpa mempertimbangkan asal usul, serta menghambat konsumsi masyarakat melalui menabung (funding) dan penyaluran kredit (lending) di sektor perbankan.
Perpu akses informasi keuangan memberi dampak dan implikasi terhadap sektor perbankan. Perpu sebagai produk hukum haruslah dibuat dalam mendukung dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan sektor keuangan, terutama perubahan susunan atau struktur perbankan di Indonesia sangat diharapkan dapat membawa perubahan yang positif bagi perekonomian nasional. Karena lembaga keuangan, khususnya perbankan memiliki peran yang sangat penting terhadap perekonomian. Ketika terjadi penurunan jumlah kredit yang disalurkan akibat sikap kehati-hatian dari pihak bank, secara tidak langsung akan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara.

PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dapat ditarik kesimpulan : Pertama, Peraturan Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan berdasarkan perjanjian internasional sebagaimana dalam pertimbangan pembentukan perpu ini. Adanya aturan dalam perpu ini mencabut beberapa kententuan dalam UU Perbankan dan UU Perpajakan. Kedua, Perppu Nomor 1 Tahun 2017 merupakan payung hukum pelaksanaan sistem pertukaran informasi Automatic Exchange of Information (AEoI) dan peraturan teknis di atur dalam PMK. Perpu ini sebagai subtansi hukum dinilai tidak adil terhdp rahasia perbankan dan kekhwatiran akan penyalahgunaan informasi keuangan. Ketiga, Implikasi perppu ini terhadap perbankan akan menghambat pertumbuhan kredit dan mengerek suku bunga perbankan. Perpu ini menjadi disinsentif bagi masyarakat untuk menyimpan dananya di perbankan. Selain itu, dikhawatirkan turunnya Dana Pihak Ketiga menyebabkan ketimpangan likuiditas antar bank.
SARAN
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan makalah ini, adapun saran yang dapat diberikan kepada pemerintah dan perbankan harus meminimalisasi implikasi negatif dari Perppu No. 1 Tahun 2017 dengan sosialisasi kepada aparat pajak dan masyarakat. Selain itu, harus memberikan perlindungan bagi nasabah perbankan nasional berkaitan informasi keuangan.

DAFTAR PUSTAKA 
Brotodihardjo, R. Santoso. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. 1993. Bandung : Eresco.
Mahfud MD, Moh. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : LP3ES.
Meliala, Tulis S. 1991. Perpajakan dalam Teori dan Praktek. Bandung : Yrama Widya Dharma.
Saleh, Ismail. 1990. Hukum dan Ekonomi. Jakarta : Gramedia.
Saly, Jeane Neltje. 2009. Kompendium Bidang Ekonomi Kerakyatan. Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Sari, E.K., Advendi Simangungson Advendi. 2005. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta : Grasindo.
Suherman, Ade Maman. 2009. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sumartono. 1986. Hukum Ekonomi. Jakarta : UI Press.
Supramono, Gatot. 2009. Perbankan dan Masalah Kredit: Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis.  Jakarta : Rineka Cipta.
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/ PMK.03/2017 Tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
Online

FILSAFAT HUKUM ISLAM TENTANG LEMBAGA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Namun pada praktiknya, perekeno...