Minggu, 04 Maret 2012

Problem Kenegaraan dan Kewarganegaraan

ANALISIS PROBLEM  KENEGARAAN DAN KEWARGANEGARAAN







Dosen Pengampu : Drs. Machmud Al Rasyid, SH, M.Si
Mata Kuliah : Konsep Dasar Kewarganegaraan

AGUS PRASETIYO
NIM. K6410002

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011




ANALISIS PROBLEM 1
















Kebijakan impor Indonesia saat ini dinilai merugikan kalangan rakyat kecil dan menguntungkan sedikit pihak yaitu importir. Seperti beberapa waktu lalu sebelum muncul isu Reshufle kabinet, telah terjadi unjuk rasa para petani kentang Dieng di Jakarta menuntut penghentian impor karena merugikan petani kentang lokal. Persoalan impor merupakan pengulangan ironi masa lalu, yaitu impor garam dan beras.
Padahal jumlah penduduk Indonesia semakin bertambah, jumlah petani dan lahan semakin berkurang. Para petani kecil tidak bisa menikamati hukum ekonomi, yaitu penawaran tetap, permintaan meningkat harga naik. Hal tersebut terjadi karena sistem pertanian Indonesia masih tradisional dan tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional. Tidak hanya melakukan impor untuk memenuhi kekurangan stok pangan demi meningkatkan ketahanan pangan nasional, sebaiknya dilakukan modernisasi di sektor pertanian seperti di Jepang dan negara lainnya.
Bagaimanapun juga impor tetap dibutuhkan, namun terkadang impor dilakukan tidak masuk akal, seperti impor garam. Dengan panjang pantai 95.151 km (terpanjang ke-4 di dunia) sebenarnya Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan garam nasional. Kebijikan tersebut memang syarat kepentingan dan merugikan petani garam.
Dampak negatif globalisasi adalah bahwa kapitalisme pasar bebas yang bersanding manis dengan istilah ekonomi neoliberal memperlakukan tenaga kerja, uang, tanah dan sumber alam sebagai faktor produksi semata atau komoditas yang diperjual belikan. Akibatnya, Suplay dan demand dari tenaga kerja, uang, tanah dan sumber alam akan ditentukan dan menentukan harga di pasaran. Dampak langsung yang diakibatkan kondisi ini adalah krisis finansial, instabilitas politik, dan ancaman kelestarian lingkungan.
Bentuk dari globalisasi ekonomi dunia dewasa ini adalah perdagangan bebas. Perdagangan internasional meliputi impor dan ekspor. Saat ini impor tidak bisa dihindari oleh negara manapun termasuk Indonesia karena sebagai dampak globalisasi ekonomi. Dalam bidang perdagangan kita harus membenahi regulasi perdagangan dengan negara mintra. Pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat terhadap barang impor yamg beredar di pasaran. Impor merupakan hal wajar, namun ketergantungan terhadap impor bukanlah hal yang wajar. Dalam melakukan impor pangan kita harus lebih membatasi mengenai hal-hal yang dibutuhkan saja. Impor pangan yang sebenarnya persediaannya telah cukup secara nasional tidak perlu diadakan impor.
Dalam bidang pertanian sebaiknya juga dilakukan pembenahan yang signifikan. Pola pertanian jangan hanya mengacu pada musim, namun pola pertanian harus bersifat industrial. Pola pertanian saat ini memang sebagai komoditas belum mampu memenuhi kebutuhan nasional sehingga perlu impor. Untuk meningkatkan produksi sebaiknya kita mencontoh negara maju seperti Jepang.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan juga harus membuat aturan yang jelas mengenai impor dan dilaksanakan dengan konsisten. Juga membantu petani dengan peresediaan pupuk yang cukup. Salah satu kendala sektor pertanian di Indonesia selain musim, yaitu kelangkaan pupuk. Dengan kelangkaan pupuk maka haraga pupuk semakin meningkat, maka biaya produksi meningkat pula. Hal tersebut menggangggu produksi pertanian, dan dari situ harga menjadi meningkat pula menyebabkan harga pangan tidak stabil.
Operasi pasar yang dilakukan pemerintah bila ada kenaikan harga komoditas tertentu seperti beras, cabe, dsb itu memang efektif menekan harga. Kebijakan tersebut hanya mengatasi gejolak harga sesaat dan bukan kebijakan jangka panjang. Namun penyelesaian yang lebih baik sebaiknya kepada pokok dari permasalah yang ada. Kebijakan jangka panjang yang dapat diambil oleh pemerintah yaitu mengatasi kendala dalam pertanian Indonesia. Politik sebagai alat untuk melahirkan peraturan-peraturan (politik hukum). Melihat permasalahan yang ada pemerintah harus membuat kebijakan politik pangan Indonesia yang bertujuan mensejahterakan para petani lokal. Selain itu, ketahan pangan nasional dapat terjaga, dan bahkan mungkin bisa mengekspor hasil pertanian ke negara lain.
Bahkan yang lebih aneh fenomena naturalisasi pemain sepakbola. Untuk mencari 11 pemain dari 240 juta lebih kita harus mengimpor pemain asing. Meskipun fakta dilapangan menunjukkan prestasi pemain lokal masih sangat minim, tentu saja diharapkan untuk kedepannya kita tidak perlu mengimpor pemain tapi kita harus dapat meng-ekspor pemain. Naturalisasi pemain sepakbola merupakan hal yang biasa saat ini, namun kebijakan tersebut hanya jangka pendek (meningkatkan prestasi sesaat). Kebijakan jangka panjang sebaiknya melakukan pembinaan usia dini dan berjenjang. Menciptakan kompetesi yang bersih dan profesional. Atlet bukan untuk dilahirkan begitu saja, namun atlet diciptakan dengan pembinaan yang berkala.

Berdasarkan kondisi tersebut muncul penyataan, “Apakah Indonesia perlu juga IMPOR Presiden?” atau kalau tidak memungkinkan, “Apakah harus mendeklarasikan diri menjadi WILAYAH NEGARA ASING tertentu dengan pendapatan perkapita terbesar di dunia, sehingga dapat mensejahterakan penduduk terutam petani sebagaimana di negara-negara maju Eropa, AS, Jepang?”.
Pernyataan tersebut bisa dijawab iya atau tidak tergantung pada pemikiran masing-masing. Bila dijawab IYA atau TIDAK bukanlah merupakan pilihan yang benar/salah, namun esensi dari pernyataan tersebut kita ditutut untuk menjadi warga negara yang kritis dalam menghadapi persoalan. Dalam mengambil keputusan tidaklah perlu gegabah namun juga jangan terlalu bepikir terlalu jauh. Pernyataan tersebut hanyalan lelucon, tapi harus dicari penyelesaian masalah dibalik pernyataan itu.
Karena meskipun faktanya kinerja presiden belum mampu memuaskan rakyat secara keseluruhan, akan tetapi perlu kita pikirkan juga bahwa dibandingkan dengan dulu Indonesia sudah mengalami kemajuan. Setidaknya perekonomian negara kita masih bisa dikatakan stabil dan mampu untuk bertahan dalam krisis global ini. Selain itu, sudah jelas diatur dalam undang-undang bahwa syarat untuk menjadi presiden salah satunya yakni asli WNI.


Kewarganegaraan & Ilmu : Kewarganegaraan dalam mata kuliah ini dimaksudkan dengan Ilmu Kewarganegaraan sebagai terjemahan dari CIVICS atau Ilmu Civic. Sama dengan istilah Politics yg diterjemahkan dengan Ilmu Politik, tetapi populer dg istilah Politik saja walaupun yang dimaksud adalah politik sebagai ilmu, bukan politik sebagai fenomena praktis.
Menurut prespektif kewarganegaraan kita diajarkan untuk setia kepada negara (nasionalisme). Salah satu bentuknya bela negara, kita tetap setia pada negara Indonesia walaupun keadaannya memprihatinkan. Nasionalisme jangan diartikan sempit seperti upacara seremonial memeringati hari besar nasional, seperti Upacara 17 Agustus. Namun nasionalisme harus dipahami dalam artian luas. Melihat kondisi yang terjadi dan telah dipaparkan sebelumnya, maka dengan kita perlu melakukan pembenahan diberbagai sektor. Dan sebagai warga negara kita jangan hanya menuntut dan protes kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan ekonomi dan sektor lainnya. Namun kita sendiri yang melakukan perbaikan tersebut dengan kemampuan kita. Pola pikir (mean set) warga negara Indonesia harus diubah menjadi warga negara mandiri dan memliki loyalitas pada negara.
Rasanya begitu pula dengan Presiden, kita tidak perlu IMPOR Presiden. Untuk menciptakan pemimpin yng memiliki karakter, integritas dan nasionalisme dimulai dari jenjang pendidikan. Saya rasa ada yang salah dari pendidikan kita (entah dari sistem, pembuat kebijakan, atau guru) dan itu harus dicari pangkal permasalahan untuk membenahi pendidikan kita. Seperti dalam mata pelajaran PKN di tingkat dasar sampai perguruaan tinggi, materi yang disampaikan lebih ditekankan pada civic knowledge. Civic skill dan civic virtue hanya sebatas pengetahuan, sehingga menciptakan warga negara yang tidak memiliki karakter yang mandiri secara pimikiran dan perilaku.
Dan rasanya itu jalan pintas untuk mendapatkan hidup yang layak, dengan menyatakan begabung menjadi bagian negara yang telah maju. Tidak dipungkiri semua manusia ingin hidup layak. Kehidupan yang layak bisa didapat dengan bekerja keras, itu lebih berharga daripa sekedar pemberian. Pemerintah juga mempunyai tanggung jawab untuk mensejahkan rakyatnya, karena tujuan didirikan suatu negara yaitu mensejahterakan warga negara. Disamping situ warga negara juga harus berusaha sendiri untuk memperoleh penghidupan yang layak dan tidak hanya berpangku tangan pada otoritas pemerintah.
Kita bisa lihat Amerika bisa menjadi Amerika sepert saat ini perlu waktu lebih 200 tahun. Jepang bisa menjadi seperti saat ini dengan keja keras warga negara dan pemerintahannya sehingga memiliki ekonomi yang kuat. Rasanya warga negara Indonesia perlu mencontoh karakter tersebut demi kebaikan bersama.


ANALISIS PROBLEM 2
Kaderisasi menjadi salah satu masalah yang dihadapi dalam regenerasi kepemipinaan nasinal. SBY jadi Presiden pada usia 55 tahun, Megawati 54, Gus Dur 59, Habibie 62 tahun. Sedangkan Soehato pada umur 46 dan Soekarno 44 tahun. Pada sisi lain sekarang ini tokoh-tokoh muda parpol terindikasi melakukan korupsi sepert Nazarudin, lain sebagainya. Apaliagi dibandingak dengan tokoh-tokoh pergerakan yng rata-rata usianya 30-40 tahun, seperti Sjahrir, dsb.







Ironisnya, RI, pada generasi pertama kepemimpinan nasional pasca-proklamasi, dipenuhi para pemimpin muda, energik, dan progresif. Sebut Presiden Soekarno (44), Wapres Mohammad Hatta (43), dan 10 perdana menteri, yaitu Sutan Sjahrir (36), Amir Sjarifoeddin (40), Mohammad Hatta (46), Abdul Halim (39), Muhammad Natsir (42), Sukiman Wirjosandjojo (53), Wilopo (44), Ali Sastroamidjojo (50), Burhanuddin Harahap (38), dan Djuanda Kartawidjaja (46). Sayang proses regenerasi kepemimpinan nasional itu dirusak rezim Soeharto-Orde Baru. Tiga dekade lebih. Jenderal Besar (Purn) Soeharto merampas hak atas kepemimpinan nasional. Apakah the sunset generation (generasi tua) harus mengulangi perampasan hak atas kepemimpinan nasional serupa Orde Baru? Tentu tidak. Apabila mereka negarawan, saatnya bagi generasi tua yang berambisi untuk mengundurkan diri.
Pada zaman dewasa ini, kita sebagai manusia telah banyak mengalami transisi menuju dunia modernisasi dan zaman yang terbuka terhadap perkembangan dan kemajuan dunia. Banyak hal yang memang harus kita perhatikan dari sudut yang berbeda untuk kemajuan sebuah Negara, termasuk generasi muda Indonesia pada saat ini. Remaja–remaja Indonesia pada saat ini sebagai generasi muda yang selanjutnya yang akan meneruskan cita-cita sebuah bangsa, untuk memimpin dan mengatur  sebuah Negara, haruslah memiliki kepribadian yang baik, kecerdasan yang di landasi dengan ilmu dan wawasan yang luas, memiliki jiwa yang semangat, pikiran terbuka dan tujuan yang baik, berbobot dan bermanfaat serta berguan untuk kemajuan bangsa dan Negara. Sayangnya generasi muda Indonesia pada saat ini telah banyak terjerumus pada dunia modernisasi dan westernisasi sehingga melupakan adat ketimuran yang kita miliki yang di kenal oleh Negara lain sebagai Negara yang menjunjung tinggi moral dan adat kesopanan tapi fakta mengatakan lain.
Generasi Indonesia saat ini mengalami krisis identitas dan korban dari gaya hidup hedonisme barat. Semakin banyak life style dari luar Negara Indonesia yang masuk semakin tidak terkandali generasi muda Indonesia saat ini. Jika di lihat dari latar belakang, generasi- generasi muda saat ini yang korban dari budaya permisif yang tidak terikat dengan nilai dan norma bisa di pastikan di antaranya adalah kurangnya pendidikan agama dari keluarga, kurangnya perhatian, kepudulian, dan kasih sayang dari keluarga, lingkungan yang tidak mendukung, pola hidup yang terlalu bebas dan individualisme, teman sepergaulan yang menyukai kehidupan bebas, dan rapuhnya iman serta kepribadian. Fakta yang di ambil dari beberapa sumber, sebagian generasi muda Indonesia pada saat ini sudah mengalami kerusakan akhlak, moral, dan nilai-nilai norma adat sopan ketimuran yang tidak di gunakan lagi oleh kita sendiri sebagai bangsa Indonesia, menyedihkan memang mengetahi generasi muda saat ini apabila kita lihat apa yang sudah di lakukan oleh sebagian generasi muda saat ini, sungguh miris. Hal ini menunjukan kondisi remaja generasi muda Indonesia kita saat ini sungguh memprihatinkan.
Mengenai kepemimpinan nasional saat ini, parpol tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai kaderisasi anggota. Kaderisasi saat ini hanya sebatas kartu anggota parpol dan para petinggi parpol terkadang hanya asal (kaderisasi instan) pilih tidak melalui kaderisasi secara berjenjang. Contohnya Andi Nurpati yang masih menjadi anggota KPU tiba-tiba menjadi Pengurus Pusat Parta Demokrat, hal tersebut menyebabkan kaderisasi pemimpin stagnan.
The rising generation atau generasi kedua kepemimpinan nasional pascareformasi kini sudah ada pada lapisan kedua di semua bidang dan wilayah Indonesia. Mengapa hanya terjadi kemacetan di wilayah politik, di level kepemimpinan nasional? Pertama, Soeharto-Orde Baru merampas dan mematikan hak serta proses regenerasi kepemimpinan nasional; Kedua, praktik feodalistis membiak di semua partai politik (parpol); Ketiga, psikologisme ketakutan pada pemimpin muda parpol untuk berbeda prinsip dengan pemimpin tua parpol; Keempat, sikap “tak tahu diri” para pemimpin tua parpol serta oligarki pemimpin tua parpol, padahal hanya kegagalan yang mereka hasilkan bagi parpol ataupun bagi rakyat.
Apakah jalan yang akan ditempuh pemimpin muda demokratis dan progresif ini? Jalan Republik! Itulah jalan yang dirintis bapak dan ibu pendiri Republik Indonesia. Terang dan jelas, cita-cita luhur dan misi itu termaktub pada Pembukaan UUD 1945. Jalan Republik berbunyi, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Tugas pemimpin muda sudah di depan mata, cepat atau lambat tak bisa dihindari. Menyelamatkan Indonesia dari penyelewengan cita-citanya sepanjang 10 tahun reformasi oleh pemimpin tua reaksioner, konservatif, dan antidemokrasi. Nasib republik ada di pundak pemimpin muda demokratis-progresif, dengan kesadaran sepenuh Bung Karno, “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia.” Indonesia akan kembali ke Jalan Republik seperti cita-cita kemerdekaan Indonesia di tangan para pemimpin mudanya, dan akan mengguncang dunia!
Pemimpin muda dunia sudah hadir, Medvedev (44) di Rusia, Obama (47) di Amerika Serikat, dan kaum muda di Indonesia. Itulah generasi kepemimpinan nasional baru berusia 30-40 tahun yang akan mewarnai kepemimpinan global pada masa ini. Dunia baru dengan kompleksitas baru niscaya membutuhkan pengalaman baru. Dunia lama niscaya juga membutuhkan pengalaman lama, tetapi dunia baru niscaya tidak membutuhkan pengalaman lama dari ”kaum tua”. ”Kaum muda”, generasi kedua kepemimpinan nasional pascareformasi, mewakili Zeitgeist (jiwa zaman) baru ada dalam konfrontasi dengan Zeitgeist lama ”kaum tua”. Progresivisme melawan konservativisme!
Praktis tak ada lagi kekuatan politik di Indonesia yang menolak regenerasi kepemimpinan nasional. Partai politik (parpol) dan nonparpol saling berlomba menawarkan kesempatan yang dihalangi sebelumnya. Kecenderungan mutakhir berpusat pada tiga pola perubahan: progresif, moderat, dan konservatif. Pola progresif saat ini dianggap paling pantas diperjuangkan bila Indonesia baru memperjuangkan secara paralel, sedikitnya lima hak dasar warga negara (hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya) serta kesetaraan jender dan minoritas lainnya. Pola konservatif amat pasti ditinggalkan karena berlawanan dengan arus perubahan. Pola moderat adalah sekoci penyelamat bagi kaum tua, tetapi Indonesia juga makin uzur di mata dunia.
Tragisnya, pergerakan kepemimpinan nasional kaum muda mulai kehilangan nilai substansinya. Napas kehidupan kepemimpinan nasional dari kaum muda telah berbalik nilainya, dan menjurus pada aras kemerosotan, yang akhirnya melahirkan seorang penguasa, bukan seorang pemimpin. Fakta ini nyata dan telah terpampang di hadapan kita bahwa kaum muda sedang mengalami pergeseran paradigma, dari napas kepemimpinan menjadi napas penguasaan material yang bertemakan korupsi untuk memperkaya diri. Sebut saja tokoh muda yang terindikasi melakukan korupsi seperti Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, Muhaimin Iskandar, Angelina Sondakh dan lain sebagainnya.
Dari modal korupsi inilah, kaum muda Indonesia lantas rajin melakukan gerakan iklan politik secara tersistem dan lantas bercerita bagaimana cara berpihak kepada rakyat. Modal finansial inilah yang kemudian dijadikan kaum muda memajang kepemimpinan dari iklan, sehingga rakyat termanipulasi kesadarannya karena sifat bangsa kita yang begitu melodramatik. Inilah sebuah cara pembiusan tersistem yang mulai dibangun kaum muda Indonesia, yang kelak ujung-ujungnya hanya “sukses” berbicara tanpa teruji dengan sebuah kinerja.
Kaum muda Indonesia mulai lupa bahwa kepemimpinan sesungguhnya berasal dari sebuah kemampuan, kapasitas, dan integritas kinerja pribadi yang dilandasi dengan keberpihakan hati bersama rakyat. Sebab, seorang pemimpin butuh napas panjang untuk dapat bekerja keras dan cerdas bersama rakyat. Maka bangsa Indonesia memang butuh pemimpin yang lahir dari proses politik bersama rakyat, bukan hanya lahir sebatas berproses ria dengan korupsi ketika berpolitik.
Realitas ini yang menunjukkan kaum muda Indonesia tidak pernah bersabar, dan lupa bahwa lahirnya pemimpin butuh proses panjang. Rakyat sesungguhnya tahu, antara pemimpin yang lahir dari sebuah modal korupsi dan yang lahir dari gemblengan zaman. Sebab, pemimpin tak perlu menunjukkan diri melalui “iklan” kepekaan terhadap rakyat. Kesabaran kaum muda Indonesia untuk senantiasa kerja bersama rakyatlah yang kelak melahirkan pemimpin sejati.
Namun entah apa yang terjadi pada generasi muda saat ini yang berpeluang dan diharapkan menjadi pemimpin masa depan malah terindikasi korupsi. Hal tersebut membingungkan publik sehingga pada pemili cenderung apatis. Rakyat merindukan lahirnya kaum muda progresif yang mampu bergerak cepat guna memecahkan kebuntuan politik di Tanah Air. Rakyat sangat berharap kaum muda yang mampu membuat interaksi politik melalui perspektif politik baru, bukan justru melahirkan koruptor baru di Tanah Air. Kerinduan atas kejujuran politik nasional menjadi harapan rakyat terhadap kaum muda Indonesia untuk senantiasa melakukan ideologisasi bagi generasi muda.
Rakyat berharap kaum muda Indonesia tidak membangun ruang “korupsi” dalam lembaga politik nasional. Kaum muda semestinya lebih berpikir jernih mengkaji produk dari undang-undang yang tidak relevan dengan realitas sosial bangsa Indonesia, bukan justru mencari ruang aman untuk mengeruk kekayaan negara. manifestasi penghayatan dan pengamalan nilai politik yang berpihak pada kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Kaum muda adalah harapan rakyat guna membangunkan dialog yang sesuai dengan kebutuhan rakyat dalam sektor riil dan mendasar, yang selama ini terkorupsi oleh generasi sebelumnya.

Saatnya generasi muda yakin bahwa kaum muda mampu membuat gebrakan politik antikorupsi dinegeri Indonesia. Kaum muda harus menjadi lokomotif pergerakan antikorupsi di Indonesia, bukan menjadi generasi baru koruptor yang lebih cerdik daripada generasi sebelumnya. Sebagai generasi baru, kaum muda seharusnya mendorong sebuah konsolidasi kekuatan politik integral kaum muda Indonesia yang sesuai dengan nilai dan kepribadian bangsa untuk melawan korupsi yang menggurita di negeri ini. Rakyat begitu memimpikan terwujudnya suatu unifikasi politik antikorupsi bagi kaum muda Indonesia.
Ada dua tantangan meningkatkan kualitas SDM muda Indonesia, yaitu reformasi demokrasi dan tenaga kerja produktivitas. Contoh peranan generasi muda dalam mereformasi demokrasi adalah mengharmoniskan pendistribusian kebijakan dan aturan pemerintah pusat ke daerah. Sedangkan tenaga kerja produktivitas mampu ditingkatkan melalui peran pemuda lintas departemen, lintas kementerian, dan lintas sektoral. Generasi muda yang menjadi pelopor dan pemimpin adalah generasi muda yang mengedepankan profesionalitas. Seorang pemuda bisa berada di depan, di tengah, dan di belakang, seperti ungkapan “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso", dan "tut wuri handayani”. Ketika menjadi anak buah, pemuda membantu seniornya. Ketika menjadi pemimpin, pemuda bisa lebih mengayomi dan mendekatkan diri kepada anak buahnya. Artinya, generasi muda mampu berada di garda terdepan dan diteladani orang lain.
Di dalam konstitusi dan UU mengenai syarat pencalonan Presiden dan Wakilnya telah diatur. Didalamnya tidak ada persyratan mengenai batasan umur dalam pencalonan. Syarat menjadi presiden haruslah WNI. Dan menjadi seorang pemimpin haruslah memiliki kompensi secara intelektual (IQ), emosional (EQ) dan spritual (SQ). Selain itu, untuk menjadi presiden dibutukan pula kendaraan politik yang memadai.

Pendidikan Demokrasi dan Kewarganegaraan yang berupa Civic Education sebagai bagian dari Citizenship Education dimaksudkan untuk pengembangan watak dan karakter warganegara yang peka, tanggap, dan bertanggungjawab terhadap masyarakat, bangsa, dan negaranya. Hal tersebut diperlukan untuk memperbaiki generasi muda sehingga mengahiskan pemimpin yang benar-benar layak menjadi pemimpin negeri ini. Bukan berarti generasi tua tidak berbenarhdiri, namun generasi muda lebih mempunyai prospek yang cerah untuk kepemimpinan masa depan.
Menurut saya, sah-sah saja pemimpin tua atau muda memimpin negeri ini asalkan ia memiliki kompotensi. Peraturan perundanganan tidak mengatur batasan usia dalam persyaratan menjadi Capres. Tidak selamanya yang tua lebih baik dari yang muda, dan sebaliknya. Generasi tua atau muda punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Di dunia ini (entah dimanapu berada) generasi mudalah yang membawa perubahan. Saya (sebagai generasi muda) lebih cenderung suka pemimpin yang muda, bukannya saya antipati terhadap generasi tua. Karena kaum muda lebih dinamis dalam berpikir dan bertindak, dibanding kaum tua yang cenderung stagnan. Melihat kondisi ada generasi muda dapat berpikir secara fleksibel dalam menghadapi suatu problem, dibanding generasi tua yang kolot. Dalam pembangunan nasional dibutuhkan kaum muda untuk menghadapi persaingan global saat ini. Saatnya yang tua mengalah kepada yang muda, untuk memberi kesempatan kaum muda membangun negara lebih baik. Suatu generasi ada masanya, saat ini generasi muda Indonesia harus merubah pola pikir dan perilaku yang buruknya. Membangun negara demi kesejahteraan warga negara sebagai mana yang diamanatkan konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FILSAFAT HUKUM ISLAM TENTANG LEMBAGA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Namun pada praktiknya, perekeno...