Minggu, 18 Maret 2012

Laporan Pidana


LAPORAN OBSERVASI DI KEJAKSAAN NEGERI KARANGANYAR


Dosen Pengampu : Triana Rejekiningsih, S.H., K.N., M.Pd.
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana




1.      Agus Prasetiyo                        ( K6410002 )
2.      Ayu Pujiastuti                         ( K6410009 )
3.      Burhanuddin R.                      ( K6410010 )
4.      Erlita Vanilawati                     ( K6410026 )
5.      Intan Naur K.P.                      ( K6410033 )
6.      Joko Priyanto                          ( K6410036 )
7.      Rido Marta A.P.                     ( K6410050 )
8.      Vofka Carissa K.                    ( K6410063 )
9.      Agung Sri Kuncoro                 ( K6407014 )



FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Judul Kegiatan
Judul kegiatan : Observasi di Kejaksaan Negeri Karanganyar dengan tema “Pemahaman Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan oleh Lembaga Kejaksaan Negeri Karanganyar sebagai Penegak Hukum”.

B.     Tujuan Kegiatan
1.      Mengetahui tingkat pemahaman kompetensi kewarganegaraan di lembaga Kejaksaan Negeri Karanganyar.
2.      Mengetahui perhatian lembaga Kejaksaan Negeri Karanganyar terhadap kewarganegaraan sebagai penegak hukum dalam melayani warga negara.
3.      Mengetahui peranan lembaga Kejaksaan sebagai salah satu pilar penegakan hukum di Indonesia, khususnya daerah Karanganyar.

C.    Implementasi Kegiatan
1.      Jenis Kegiatan : Observasi pemahaman kompetensi pendidikan kewarganegaraan.
2.      Rencana Kegiatan
a.       Penyampaian materi oleh Bapak Faisal Banu, S.H., M.Hum. selaku Kasubag Pembinaan Kejaksaan Negeri Karanganyar.
b.      Wawancara
Dalam wawancara ini, respondenya adalah. pejabat perwakilan dari Kejaksaan Negeri Karanganyar dan korespondennya adalah mahasiswa PPKn, FKIP, UNS.
c.       Dokumentasi
d.      Analisis data
3.      Sasaran Penelitian : Pejabat-pejabat di lingkungan Kejaksaan Negeri Karanganyar.
4.      Metode Penelitian : Wawancara
5.      Waktu Penelitian
Hari                   : Kamis
Tanggal             : 21 April 2011
Pukul                 : 08.30 – selesai
Tempat              : Kejaksaan Negeri Karanganyar, Jalan Lawu No. 631, Karanganyar, Jawa Tengah
6.      Pelaksanaan Penelitian
a.       Menyerahkan surat izin
b.      Observasi (wawancara)
c.       Dokumentasi
d.      Analisis data



BAB II
HASIL KEGIATAN

  1. Rencana
1.    Wawancara
Dalam wawancara ini, respondenya adalah pejabat perwakilan dari Kejaksaan Negeri Karanganyar.
Informan :
1.    Kasubag Pembinaan Kejaksaan Negeri Karanganyar
2.    Kasi Intelejen Kejaksaan Negeri Karanganyar
3.    Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Negeri Karanganyar
Koresponden :
1.          Agus Prasetiyo
2.          Ayu Pujiastuti
3.          Burhanuddin R.
4.          Erlita Vanilawati
5.          Intan Naur K.P.
6.          Vofka Carissa K.
2.    Dokumentasi
Pengambilan gambar dilakukan oleh :
1.          Joko Priyanto
2.          Rido Marta A.P.
3.    Analisis data
Data dianalisis oleh kelompok 4 (empat) Hukum Pidana.
  
  1. Pelaksanaan
1.      Menyerahkan surat izin
2.      Observasi
3.      Dokumentasi
4.      Analisis data

  1. Rumusan Masalah
1.    Apa yang dipahami mereka tentang tugas-tugas warga negara? (kaitannya dengan hak dan kewajiban)
2.    Apa kaiatannya antara pengetahuan mereka tentang kewarganegaraan diokaitkan dengan tugas-tugas mereka?
3.    Untuk kepentingan lembaga mereka pendidikan kewarganegaraan yang bagaimana yang diperlukan?
4.    Kompetensi kewarganegaraan yang bagaimana yang diperlukan?
5.    Ketrampilan-ketrampilan apa yang menurut mereka perlu diajarkan disekolah kaitannya dengan penegakan hukum?
6.    Apa yang diperlukan bagi lembaga bapak/ibu untuk memenuhi kompetensi kewarganegaraan?

  1. Analisis Data
Menurut Bapak Faisal Banu, S.H., M.Hum. selaku Kasubag Pembinaan Kejaksaan Negeri Karanganyar :
Penanganan suatu perkara tindak pidana yang dimulai dari tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat terputus, meskipun ketiga tahap/ proses tersebut menyangkut pada lembaga-lembaga penegak hukum yang berbeda-beda, namum sejatinya merupakan satu kesatuan.
Oleh karena itu para aparat penegak hukum selain berupaya meningkatkan profesionalisme yang dilakukan dengan cara melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sebagai aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, juga melakukan koordinasi secara intensif demi suksesnya proses penegakan hukum.
Warga negara secara langsung mempunyai hubungan hukum dengan negara. Hak dan kewajiban warga negara yang telah tercantum dalam UUD 1945 pada pasal 27 sampai 34 mencakup bidang sosial, politik, budaya, ekonomi dan hukum. Kejaksaan adalah salah satu lembaga yang bertugas melakukan pengawasan terhadap warga negara dengan cara pendataan untuk menanggulangi ancaman dari luar. Pendidikan kewarganegraan yang diperlukan bagi Kejaksaan adalah yang menitik beratkan pada hukum antara lain kewajiban menaati hukum dan pemerintahan, juga pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Lembaga hukum bukan hanya Kejaksaan saja, tetapi meliputi lembaga kepolisisan dan pengadilan. Kompetensi kewarganegaraan yang dibutuhkan dalam kejaksaan  adalah dari bidang hukum, namun tidak menutup kemungkinan dari bidang lain yang mempunyai pengetahuan tentang hukum.



BAB III
PEMBAHASAN


1.      Tugas warga negara (kaitannya dengan hak dan kewajiban) yang dipahami lembaga Kejaksaan
Dalam melaksanakan observasi di Kejaksaan Negeri Karanganyar, kita memperoleh penjelasan bahwa menurut mereka tugas mereka adalah turut serta membantu tugas-tugas lembaga kejaksaan misalnya bila ada suatu kasus sebagai warga negara berkewajiban menjadi saksi bila dia mengetahui, mendengar, menyaksikan atau mengalami kejadian yang merupakan tindak pidana. Selain itu warga negara harus mentaati peraturan yang ada agar tercipta ketertiban dan kenyamanan dalam masyarakat.

2.      Hubungan antara pengetahuan lembaga Kejaksaan tentang kewarganegaraan berkaitan dengan tugasnya
            Pendidikan kewarganegaraan merupakan dasar utama yang harus dimiliki oleh anggota-anggota lembaga kejaksaan karena tugas-tugas lembaga kejaksaan berkaitan erat dengan masyarakat yang merupakan warga Negara.

3.      Pendidikan Kewarganegaraan yang diperlukan ontuk kepentingan lembaga Kejaksaan
            Pendidikan kewarganegaraan yang diperlukan menurut lembaga Kejaksaan adalah pendidikan yang menekankan pada pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban seorang warga negara agar mereka menjadi warga negara yang baik dan taat pada perraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian warganegara secara tidak langsung turut membantu tugas dari lembaga kejaksaan.

4.      Kompetensi Kewarganegaraan yang diperlukan
            Kompetensi kewarganegaraan yang bertujuan mengembangkan kemampuan-kemampuan yaitu dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara bertanggung jawab. Dengan berpikir secara kritis dalam menaggapi isu kewarganegaraan yang terjadi. Dan mengembangkan karakter-karakter masyarakat indonesia secara positif dan demokratis agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.

5.      Menurut lembaga Kejaksaan ketrampilan-ketrampilan yang perlu diajarkan disekolah kaitannya dengan penegakan hukum
            Menurut lembaga kejaksaan ketrampilan-ketrampilan yang perlu diajarkan disekolah kaitannya dengan penegakan hukum yaitu lebih menekankan pada kedisiplinan dalam mentaati peraturan sekolah yang sudah ada, agar karakter siswa tersebut dapat terbentuk dengan baik. dan mengajarkan siswa agar dapat berpikir secara kritis dan demokratis.

6.      Yang diperlukan bagi lembaga  Kejaksaan untuk memenuhi kompetensi kewarganegaraan
·           Mengetahui hakekat kewarganegaraan (kaitannya dengan hak dan kewajiban warga negara).
·           Memahami dan mengerti pengertian hukum dan melaksakan hukum untuk memperoleh keadilan.
·           Menjunjung moral dan etika profesi dalam menjalankan tugas sebagai jaksa(salah satu pilar penegakan hukum di Indonesia).
·           Melaksanakan penegakan hukum sesuai dengan hukum positif/ peraturan yang berlaku di Indonesia.
·           Melaksanakann tugas dan wewenang sebagai penegak hukum



BAB IV
ANALISIS

A.    Kejaksaan Republik Indonesia
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Pelaksanaan kekuasaan negara tersebut diselenggarakan oleh :
  1. Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia. Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang merupakan pejabat negara, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
  2. Kejaksaan tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan tinggi yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
  3. Kejaksaan negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Kejaksaan Negeri dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan negeri yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.

Ø  Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia
·       Sebelum reformasi
Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta. Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.
Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa. Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten Residen. Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain : Mempertahankan segala peraturan Negara Melakukan penuntutan segala tindak pidana Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).
Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran Menuntut Perkara Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum. Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku. Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.
Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan. Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi. Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.
·      Masa reformasi
Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Kehadiran undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.
Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Mengacu pada UU tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggungjawab. Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab yang spesifik ini mestinya dipandang positif sebagai mitra Kejaksaan dalam memerangi korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja dialami oleh Kejaksaan, namun juga oleh Kepolisian RI serta badan-badan lainnya. Kendala tersebut antara lain:
  • Modus operandi yang tergolong canggih;
  • Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau teman-temannya;
  • Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan berbagai peraturan;
  • Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan;
  • Manajemen sumber daya manusia;
  • Perbedaan persepsi dan interprestasi; (di kalangan lembaga penegak hukum yang ada)
  • Sarana dan prasarana yang belum memadai; dan
  • Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan penculikan serta pembakaran rumah penegak hukum.
Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan pembentukan berbagai lembaga. Kendati begitu, pemerintah tetap mendapat sorotan dari waktu ke waktu sejak rezim Orde Lama. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang lama yaitu UU No. 31 Tahun 1971, dianggap kurang bergigi sehingga diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini diatur pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi yang lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor. Belakangan UU ini juga dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak adanya Aturan Peralihan dalam UU tersebut. Polemik tentang kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa diselesaikan oleh UU ini. Akhirnya, UU No. 30 Tahun 2002 dalam penjelasannya secara tegas menyatakan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar biasa melalui pembentukan sebuah badan negara yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai extraordinary crime .
Karena itu, UU No. 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi. Sementara untuk penuntutannya, diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang terdiri dari Ketua dan 4 Wakil Ketua yang masing-masing membawahi empat bidang, yakni Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, Pengawasan internal dan Pengaduan masyarakat. Dari ke empat bidang itu, bidang penindakan bertugas melakukan penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian dan Kejaksaan RI. Sementara khusus untuk penuntutan, tenaga yang diambil adalah pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai perubahan fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan
Ø Tugas dan wewenang kejaksaan
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
  • Melakukan penuntutan;
  • Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  • Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
  • Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
  • Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :
  • Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
  • Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
  • Pengamanan peredaran barang cetakan;
  • Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
  • Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
  • Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.
Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.

B.     Etika dan Etika Profesi
Etika berasal dari kata Yunani “ethos” yang berarti sifat (sifat pribadi) menjadi orang baik. Ethos diartikan sebagai kesusilaan, perasaan batin atau kecenderungan hati seseorang untuk berbuat kebaikan. Dengan etika, seseorang dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Etika akan memberi semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika kemudian dirupakan dalam bentuk aturan tertulis yang secara sistematis sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada, dan pada saat dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika rasional umum dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control,” karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial/profesi itu sendiri. Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi, yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannnya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri.

C.    Profesi Jaksa
Profesi jaksa sudah ada dan dikenal sejak lama sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum ada negara Indonesia. Pada masa Kerajaan Majapahit, jaksa dikenal dengan ilstilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa. Dhyaksa dikatakan sebagai pejabat negara yang dibebani tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah pengawasan Majapahit. Gajah Mada selaku pejabat adhyaksa, sedangkan dharmadhyaksa berperan sebagai pengawas tertinggi dari kekayaan suci dalam urusan kepercayaan, dan menjabat sebagai ketua pengadilan. Kata dhyaksa ini kemudian menjadi jaksa. Setelah Indonesia merdeka, lembaga jaksa tetap dipertahankan, yakni dengan mengambil alih peraturan yang pernah berlaku pada masa penjajahan Jepang. Jaksa adalah pejabat fungsional dari lembaga pemerintahan, berbeda dengan hakim, pengangkatan dan pemberhentian jaksa tidak dilakukan oleh kepala negara, tetapi oleh jaksa agung sebagai atasannya. Agar kejaksaan dapat mengemban kewajibannya dengan baik, maka berdasarkan Keputusan Jaksa Agung No. Kep-052/J.A/8/1979 ditetapkan pula tentang Doktrin Adhyaksa Tri Krama Adhyaksa. Doktrin tersebut berunsurkan Catur Asana, Tri Atmaka, dan Tri Krama Adhyaksa.
Catur Asana merupakan empat landasan yang mendasari eksistensi, peranan, wewenang, dan tindakan kejaksaan dalam mengemban tugasnya baik di bidang yustisial, nonyustisial, yudikatif, maupun eksekutif. Landasan idiilnya adalah Pancasila, landasan konstitusionalnya adalah UUD 1945, dan landasan peraturan perudangan yang lainnya.
Tri Atmaka merupakan tiga sifat hakiki kejaksaan yang membedakan dengan alat negara lainnya. Tiga sifat itu adalah tunggal, mandiri, dan mumpuni. Bersifat tunggal karena kejaksaan adalah satu-satunya lembaga negara yang mewakili pemerintah dalam urusan pengadilan dan dengan sistem hierarki tindakan setiap jaksa dianggap sebagai tindakan seluruh korps. Dikatakan mandiri karena kejaksaan merupakan lembaga yang berdiri sendiri terlepas dari Departemen Kehakiman, dan mandiri dalam arti memiliki kekuasaan istimewa sebagai alat penegak hukum yang mewakili pemerintah dalam bidang yudikatif, satu-satunya aparat yang berwenang mengenyampingkan perkara, menuntut tindak pidana di pengadilan, dan berwenang melaksanakan putusan pengadilan. Kekhususan ini merupakan ciri khas lembaga kejaksaan yang membedakan dirinya dari lembaga atau badan penegak hukum lainnya. Mumpuni menunjukkan bahwa kejaksaan memiliki tugas luas, yang melingkupi bidang-bidang yustisial dan nonyustisial dengan dilengkapi kewenangan yang cukup dalam menunaikan tugasnya.
Tri Krama Adhyaksa adalah sikap mental yang baik dan terpuji yang harus dimiliki oleh jajaran kejaksaan, yang meliputi sifat satya, adi, dan wicaksana.

D.    Menjaga Idealisme Profesi Jaksa
Profesi jaksa adalah sebuah profesi dalam posisi yang sangat penting dalam penegakan hukum di peradilan. Lembaga kejaksaan secara umum dan jaksa secara khusus adalah lembaga independen yang mewakili pemerintah dalam hal peradilan. Kedudukan ini membuat banyak sorotan terhadap kinerja jaksa dalam menjalankan profesinya.
Posisi jaksa sangat riskan menghadapi tantangan baik dari internal maupun tantangan eksternal. Jaksa mudah saja memanfaatkan posisinya untuk mencari keuntungan pribadi. Ini adalah tantangan eksternal, yang berasal dari luar diri jaksa dimana pihak-pihak yang sedang dalam perkara dalam peradilan meminta jaksa agar memberi keringanan dalam tuntutan dengan memberi sejumlah imbalan/hadiah. Tantangan internal adalah sikap moral, hati nurani, dan perasaan yang dimiliki jaksa. Seorang jaksa yang tidak memiliki moral dan hati nurani yang baik akan mudah terpengaruh untuk memanfaatkan kondisi tersebut. Sebagai contoh nyata adalah terungkapnya dugaan penyuapan yang diterima Jaksa Urip Tri Gunawan yang sedang menangani kasus BLBI. Kasus ini seolah mengungkap betapa carut-marutnya lembaga kejaksaan dan jaksa yang ada di dalamnya. Betapa tidak, kedudukan jaksa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi, bukannya menjaga wibawa negara dan menegakkan nilai-nilai keadilan.
Menjaga idealisme dan etika profesi jaksa berkaitan dengan moral dan hati nurani seorang jaksa. Peraturan hukum dan undang-undang yang ada hanya sebagai jalur dan rambu-rambu untuk jaksa dalam melaksanakan tugasnya. Sebagus apapun peraturan, saat diri pribadi jaksa tidak mempunyai kesadaran yang tinggi untuk menegakkan nilai-nilai hukum. Sebaliknya, dengan peraturan yang tidak terlalu banyak namun ada moral dan hati nurani yang baik, peraturan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik pula. Nilai-nilai hukum dapat ditegakkan dan dijunjung tinggi.



BAB V
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Hak dan kewajiban warganegara di mata hukum itu adalah sama, juga tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 sampai 34. Kompetensi kewarganegaraan yang dibutuhkan di kejaksaan adalah yang berkaitan dengan bidang hukum namun tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat dari bidang  hukum namun paham dan menguasai kompetensi di bidang hukum.  Sejauh ini para pejabat Kejaksaan Negeri Karanganyar sudah memenuhi kompetensi di bidang kewarganegaraan dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Beliau juga memiliki perhatian terhadap kewarganegaraan, contohnya perhatian terhadap pentingnya penanaman pengamalan pancasila, nasionalisme dan kejujuran sejak dini. Dalam penegakan hukum, para jaksa harus memiliki etika yang sudah ada dalam peraturan tentang etika yang dimiliki oleh seorang jaksa sesuai dengan peraturan yang ada dan norma yang ada di masyarakat.

  1. Saran
Pentingnya penanaman butir-butir sila Pancasila sebagai dasar pengamalan Pancasila perlu diajarkan kembali di lingkungan pendidikan. Sebagai warga negara yang baik hendaknya ikut berperan serta dalam penegakan hukum serta para penegak hukum harus menjalankan sesuai wewenangnya. Dan penegak hukum harus memiliki etika dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai penegak hukum sekaligus warga negara.



LAMPIRAN









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FILSAFAT HUKUM ISLAM TENTANG LEMBAGA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Namun pada praktiknya, perekeno...