Tinjauan Hukum
Internasional Terhadap Putusan Mahkamah Internasional
“Sengketa RI-Malaysia Tentang
Kepemilikan Pulau
Sipadan dan Ligitan”
Konflik Indonesia-Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan akhirnya
disepakati penyelesaiannya diserahkan kepada Mahkamah Internasional. Dalam
keputusannya tanggal 17 Desember 2002 di
Den Haag dinyatakan oleh 16 Hakim menyetujui
pulau itu sebagai milik Malaysia dan 1 hakim menyatakan sebagai milik
Indonesia. Dari 17 Hakim tersebut, 15 adalah Hakim Tetap dan 2 adalah tidak
tetap yang masing-masing dipilih oleh Indonesia dan Malaysia.
A. DASAR KEPUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL TENTANG SENGKETA PULAU
SIPADAN DAN PULAU
LIGITAN
Konflik (conflict) dibedakan dengan Sengketa (dispute). Konflik adalah istilah umum
dari pertikaian (hostility) antara
para pihak yang seringkali tidak fokus.
Jadi setiap sengketa adalah
Konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai Sengketa.
Sengketa apabila permasalahannya hanya satu bidang, tetapi apabila kompleks disebut Konflik.
Contoh sengketa : Sengketa Indonesia-Malaysia tentang kepemilikan Pulau Sipadan
dan Ligitan.
Kronologi Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan
Sengketa klaim atas Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan antara pihak Indonesia dan Malaysia muncul tahun 1969, ketika kedua
negara sedang merundingkan batas landas kontinen. Kedua pulau Sipadan
dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI,
padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran
Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan
tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan Pulau Sipadan dan Ligitan.
Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat
mendukung kepemilikan dua pulau tersebut, dan begitu juga pihak Malaysia. Kedua
belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “status
quo”. Sejak saat itu berlangsung berbagai
pertemuan dan perundingan antara keduanya untuk menyelesaikan sengketa secara
damai.
Pada tahun 1976, Traktat
Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast
Asia) dalam KTT pertama ASEAN di Bali menyebutkan bahwa akan membentuk
Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara
sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena
terlibat pula sengketa dengan wilayah dengan negara tetangga lainnya.
Pada tahun 1992 kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara
bilateral, diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan
menyepakati dibentuknya Komisi Bersama (Joint Commission/ JC) dan
Kelompok Kerja Bersama (Joint Working Groups/ JWG). Serangkaian
pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak
berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang. Pemerintah RI menunjuk
Mensesneg Moerdiono dan Malaysia ditunjuk Wakil PM Anwar Ibrahim sebagai Wakil
Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG. Namun dari empat kali
pertemuan juga tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
Pada pertemuan tanggal 6-7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur Presiden
Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya
pada 31 Mei 1997 disepakati “Special Agreement for the Submission to the
International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia
concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Indonesia meratifikasi pada
tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula
Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997. Special Agreement itu
kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI) pada 2
Nopember 1998.
Namun
demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi
masing-masing melalui “Written pleading“ kepada Mahkamah Memorial pada 2
Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply”
pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa
pada 3–12 Juni 2002. Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas
Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai
institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan
SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut
International. Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ
(International Court of Justice) yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk
Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl
(International Counsels). Pihak Malaysia juga melakukan hal yang sama. Proses hukum
di MI berlangsung kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan
dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih 16 milyar
rupiah dana telah dikeluarkan, sebagian besar untuk membayar pengacara.
Klaim Malaysia - Berdasarkan produk
hukum pemerintah kolonial Inggris
Malaysia
mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation
Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka
burung tahun 1933 dan pembangunan mercusuar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya
adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris.
Klaim Indonesia - Berdasarkan chain
of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu)
Indonesia
mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini tahun 1895-1928,
termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-Desember
1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di perairan Sipadan
Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli
TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan
nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bawal 1970an.
Dasar Putusan Mahkamah
Internasional (Doktrin Effective Occupation)
Mahkamah Internasional/ ICJ dalam persidangan-persidangannya untuk
mengambil putusan akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang
disampaikan oleh Malaysia dan Indonesia. Mahkamah Internasional
menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology
preservation”. Dalam amar keputusannya tertanggal
17 Desember 2002, Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa “Indonesia’s
argument that it was successor to the Sultanate of Bulungan … cannot be
accepted”. Sementara itu, Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa “Malaysia’s argument that it was successor to
the Sultan of Sulu … cannot be upheld”.
MI
menolak argumentasi Malaysia bahwa
kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia
berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan
Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. MI juga menolak argumentasi Malaysia bahwa
kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian
diserahkan kepada Malaysia berdasarkan teori rantai kepemilikan (Chain of
Title Theory). Menurut MI tidak satupun dokumen hukum/ pembuktian yang
diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini
memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
MI
juga menolak argumentasi Indonesia
bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda
berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia
terhadap garis batas 4° 10' LU yamemotong P. Sebatik sebagai allocation line
dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga
tidak dapat di terima. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau
tersebut juga tidak ada dalam peta Memori van Toelichting. Peta tersebut
memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut
dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi
1891. MI juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa
tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari
wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Hasil voting
hakim Mahkamah Internasional pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, 16
hakim menyatakan milik Malaysia, sementara hanya 1 hakim yang menyatakan milik
Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu
hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Alasan
hakim memenangan Malaysia, berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan
pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu
pemerintah kolonial Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan
administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa
burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan
operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang
dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan
chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam
menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat
Makassar.
Mahkamah
menyatakan bahwa, ukuran obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau
tersebut adalah dengan menerpakan doktrin effective occupation. Dua
aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah keputusan
adannya cut-off date atau sering disebut critical date dan
bukti-bukti hukum yang ada. Critical date yang ditentukan oleh Mahkamah
Internasional adalah tahun 1969. Artinya adalah semua kegiatan setelah tahun
1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak berdampak hukum sama
sekali. Mahkamah hanya melihat bukti hukum sebelum 1969. Dalam kaitan ini perlu
digarisbawahi bahwa Federasi Malaysia baru terbentuk secara utuh dengan Sabah
sebagai salah satu negara bagiannya pada 16 September 1963.
Dalam mengkaji
bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation
atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang
diajukan kedua negara, yakni:
1.
Berkaitan dengan pembuktian effectivities
Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa
tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti
dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan
kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. MI tidak
dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang
ditetapkan pada 18 Pebruari 1960 merupakan produk hukum awal bagi penegasan
konsep kewilayahan Wawasan Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke
dalam wilayah NKRI.
2.
Berkaitan dengan pembuktian effectivities
Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa
sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan
yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris
sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan
legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti
:
a.
Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu
dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
b.
Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur
penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
c.
Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
d.
Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962
di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
Hampir semua
Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan jatuh
kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari
Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di
pulau-pulau tersebut. Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang
mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia
mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan
bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory
and administrative assertions of authority over territory which is specified by
name”. Esensi keputusan ini yang terpenting adalah apakah ada suatu
pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif
lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya.
B. IMPLIKASI KEPUTUSAN
TERSEBUT TERHADAP
TEORI CARA MEMPEROLEH WILAYAH NEGARA
(EFFECTIVE OCCUPATION)
Okkupasi (pendudukan) adalah perolehan
dan/
penegakkan kedaulatan atas wilayah yang terra nulius (wilayah yang bukan dan
sebelumnya belum pernah diletakkan di bawah kedaulatan suatu negara). Syarat-syaratnya
: 1) dilakukan oleh Negara, 2) atas daerah yang tidak bertuan/ tidak
dimiliki negara lain, biasanya dengan penemuan, 3) pemukiman harus dengan
jangka waktu
yangg
wajar dan bersifat menetap, 4) penguasaan yang efektif, 5) ada maksud untuk bertindak sbg pemegang
kedaulatan atas wilayah yang bersangkutan.
Effective
occupation adalah
doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi Kuno. Occupation
berasal dari konsep Romawi occupatio yang berarti tindakan administratif
dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation
sebagai suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa
diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan,
atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh negara. Effective
occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh
perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan
dengan hukum yang jelas.
Elemen
kunci dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah ada tidaknya
suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status wilayah
tersebut. Hal ini sejalan dengan makna dari occupatin yang berarti tindakan
administratif dan bukan berarti pendudukan secara fisik. Karena temasuk doktrin internasional, effective occupation dikategorikan
sebagai sumber hukum materiil yang merujuk pada bahan-bahan/materi yang
membentuk/ melahirkan kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat; dan
menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan hukum.
Mahkamah
menyatakan bahwa, ukuran obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau
tersebut adalah dengan menerpakan doktrin effective occupation. Dua
aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah keputusan
adannya cut-off date atau sering disebut critical date dan
bukti-bukti hukum yang ada. Critical date yang ditentukan oleh Mahkamah
Internasional adalah tahun 1969. Artinya adalah semua kegiatan setelah tahun
1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak berdampak hukum sama
sekali. Mahkamah hanya melihat bukti hukum sebelum 1969. Dalam kaitan ini perlu
digarisbawahi bahwa Federasi Malaysia baru terbentuk secara utuh dengan Sabah
sebagai salah satu negara bagiannya pada 16 September 1963.
Dalam mengkaji
bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation
atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang
diajukan kedua negara, yakni: Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, MI menegaskan
bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan
sebagai milik Indonesia. MI berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau
Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu
perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat
bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama
dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan
klaim.
Mengenai
kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa “activities
by private persons cannot be seen as effectivitè, if they do not take place on
the basis of official regulations or under governmental authority” Oleh
karena kegiatan tersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan
Indonesia atau di bawah otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa
kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai adanya effective
occupation.
Mahkamah
berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa
sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa
sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai
peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and
administrative assertions of authority over territory which is specified by
name”.
Esensi keputusan
ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara
harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan
keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective
occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum
atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang
pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan tidak memberikan makna
hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah
1969 dan juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas
peraturan perundang-undangan. Perlu digarisbawahi bahwa bukti-bukti yang
diajukan adalah kegiatan Belanda dan Indonesia melawan bukti hukum Inggris. Berdasar
hukum internasional, Malaysia mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas
kegiatannya sendiri tetapi atas kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada
tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum Federasi Malaysia dengan
keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September 1963.
Implikasi
Keputusan Mahkamah Internasional
Peran MI sebagai penengah serta pendamai dari sengketa
internasional. Implikasinya Putusan MI tentang Sengketa
Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia dan beralihnya
kedaulatan atas wilayah, bukan saja dapat dilakukan dengan kekerasan seperti
aneksasi, penyerahan karena kalah perang, atau pendudukan paksa. Tetapi juga
dapat dilakukan dengan cara Preskripsi, yaitu hasil dari pelaksanaan
kedaulatan yang lama secara damai. Cara ini ada hubungannya dengan prinsip
effectivities yang menjadi landasan keputusan MI atas sengketa RI-Malaysia
tentang kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.
Pelajaran penting yang dapat ditarik dari
kasus Sipadan-Ligitan adalah kita harus terus menerus meningkatkan kemampuan
untuk menjaga dan memelihara keutuhan dan integritas wilayah NKRI. Para pakar menjelaskan
bahwa beralihnya kedaulatan atas wilayah, bukan saja dapat dilakukan dengan
kekerasan seperti aneksasi, penyerahan karena kalah perang, atau pendudukan paksa.
Tetapi juga dapat dilakukan dengan cara Preskripsi, yaitu hasil dari
pelaksanaan kedaulatan yang lama secara damai. Cara ini ada hubungannya dengan
prinsip effectivities yang menjadi landasan keputusan MI atas Sipadan-Ligitan.
Juga bisa dengan cara Akresi, yaitu kedaulatan yang diperoleh karena penambahan
wilayah terutama karena sebab alamiah seperti pergerakan sungai atau reklamasi
misalnya.
Indonesia, negara kepulauan memiliki 17508
pulau. Menurut KSAL Lakasaman Bernard Sondakh 10 pulau diantara pualu titik
terluar itu menyimpan kerawanan teretentu yang potensial dapat menjadi sumber
konflik perbatasan dengan negara tetangga. Dengan cara akresi, tenggelamnya
satu pulau titik terluar, atau bertambah luas satu pulau negara tetangga karena
reklamasi, dapat merobah titik terluar yang berarti dapat mengurangi luas Laut
territorial maupun ZEE yang berdampak luas pada aspek strategis, ekonomis, dan
intregritas wilayah negara.
Oleh Karena itu, meskipun kita telah
memiliki PP 38 2002, saat ini perlu segera dibuat UU tentang Batas Wilayah NKRI
sebagai payung hukum bagi seluruh upaya penegakkan hukum dalam seluruh negara
terutama di perbatasan, wilayah perairan, pemanfaatan sumber daya alam, serta
menjaga keutuhan integritas wilayah. Dalam hubungan ini, kasus Sipadan-Ligitan
mengingatkan kita betapa perlunya peningkatan kuantitas dan kualitas ahli hukum
internasional termasuk hukum laut. Hal yang sama berlaku juga bagi upaya
diplomasi. Bukan saja kualitas diplomasi dan diplomat perlu terus ditingkatkan
dengan memberikan penekanan pada kebutuhan spesialisasi pada fungsi dan
kawasan. Tetapi juga upaya diplomasi perlu bergerak secara sinergi positif
dengan unsur masyarakat, NGO dan lembaga multilateral. Lembaga seperti PBB dan
seluruh agencies termasuk MI, Komisi HAM, WTO perlu dimasuki dan berperan
didalamnya. Disamping itu, upaya penegakkan kedaulatan di seluruh di seluruh
wilayah negara berarti melaksanakan kontrol dan memberikan perhatian terhadap
seluruh wilayah dengan perairan yang sangat luas dan jumlah kepulauan yang
sangat besar ini. Armada dan kekuatan Angkatan Laut harus ditingkatkan secara
signifikan untuk menjaga wilayah perairan, sumber daya, pantai dan penegakkan
kedaulatan.
Sangat krusial disini adalah kontrol dan
perhatian terhadap 67 pulau kecil yang berfungsi sebagai titik terluar. Jelas
fungsi negara harus berada disana secara fisik. Lebih dari itu infra struktur
dan fungsi pemerintahan perlu diadakan secara memadai. Kualitas hidup
masyarakat di pulau-pulau tersebut perlu ditingkatkan sedemikian rupa agar
kondisi kehidupannya tidak kurang baik dari masyarakat negara lain disebarang
perbatasan yang setiap hari mereka saling berinteraksi. Termasuk komunikasi,
merupakan akses informasi masyarakat yang tinggal diperbatasan ke masyarakat
dan negara Indonesia.
Dalam pelajaran PKN SMA ada KD
mengenai mengharagai Keputusan Mahkamah Internasional, jadi sebagai calon guru
PKN kita harus menghargai keputusan tersebut. Sengketa Sipadan-Ligitan sering
dijadikan propaganda politik baik oleh politikus maupun guru PKN SMA, ketika
telah menjadi seorang guru kita harus mengajarkan kepada siswa bahwa sebagai
warga negara dunia yang baik kita harus menghargai Keputusan Mahkamah
Intenasional tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar