Rabu, 15 Mei 2013

RELASI HUKUM DENGAN POLITIK (NONHUKUM)


RELASI HUKUM DENGAN POLITIK (NONHUKUM)
Oleh : Agus Prasetiyo

Pengantar
Hans Kelsen menganggap sistem hukum sebagai suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah di mana suatu kaidah tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya.[1] Kaidah yang merupakan puncak sistem hukum disebut kaidah dasar atau Grundnorm. Jadi, menurut Kelsen setiap sistem hukum merupakan Stufenbau dari kaidah-kaidah hukum. Kaidah dasar hukum tersebut merupakan dasar dari segenap penilaian yuridis yang dmungkinkan tertib hukum dasar suatu negara tertentu. Sah atau tidaknya suatu kaidah hukum dapat dikembalikan kepada kaidah hukum yang lebih tinggi dan akhirnya pada kaidah dasar.
Hans Kelsen dengan teori murni hukum (Pure Theory of Law)  menyatakan bahwa, hukum berdiri sendiri terlepas dari aspek-aspek kemasyrakatan lainnya.[2] Kelsen bermaksud menunjukkan bagaimana hukum itu sebenarnya tanpa memberikan penilaian apakah hukum tersebut adil atau tidaknya. Teorinya bertujuan untuk menunjukkan apa yang dimaksud hukum positif, dan bukan apa yang merupakan hukum yang benar.
Pemikiran Hans Kelsen dipengaruhi oleh filosofi hukum yang berkembang pada zamannya[3], dimana hukum pada waktu itu telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karena itu, ia mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum. Menurutnya, hukum itu sendiri harus murni dari elemen-elemen asing yang tidak yuridis. Teori ini berusaha mengeliminir anasir-anasir diluar hukum.
Kelemahan utama teori hukum murni Hans Kelsen terletak pada kaidah dasar apakah yang menjadi dasar sahnya kaidah dasar tersebut? Kelsen menganggap hal tersebut kurang penting karena pertanyaan tersebut bersifat meta yuridis. Serta dia lupa bahwa hukum itu bukan sesuatu yang murni, yang mungkin saja dipengaruhi variabel lain. Tetapi ia mengakui bahwa adanya hukum alam dan itu berbeda dengan hukum yang ia usulkan (hukum postif).
Pandangan Kelsen dapat dikategorikan dalam Mazhab Formalitas atau Positivisme Hukum. Tokoh lainnya adalah John Austin dan H.L.A Hart. Penganut dan tokoh mazhab ini berpandangan[4] bahwa,  mereka berpegang teguh pada pemisahan hukum antara hukum dan moral. Selain itu, adanya usaha mengidentifikasi hukum dan membedakannya dengan kebiasaan, terutama menekankan pada berlakunya hukum berdasarkan kekuasaan negara.
Teori Hukum Murni berusaha melepaskan hukum dari anasir-anasir nonhukum seperti, psikologi, sejarah, ekonomi, moral, sosiologi, politik, dan sebagainya. Teori ini hanya melihat hukum dari aspek yuridis formal, dan mengabaikan hukum materiil dimana terdapat cita hukum, tujuan hukum dan moral. Dalam membuat hukum penguasa atau lembaga berwenang tidaklah terlepas dari kepentingan. Pada umumnya penguasa lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, serta mengesampingkan kepentingan umum dalam pembuatan hukum.
Teori Hukum Murni sangat potensial menimbulkan permasalahan kekuasaan berlebihan bagi organ pembuat dan/atau pelaksana hukum, dan salah satu alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah diperlukannya pedoman dan/atau pembatasan lebih rinci dalam penerapan norma hukum umum atau pembuatan norma hukum kasuistis. Karena hukum dipisahkan dari moral, maka hukum sangat potensial mengesampingkan atau melanggar kemanusiaan, dan agar hukum tidak melanggar kemanusiaan, hukum harus mengambil pertimbangan dari aspek moral.
Maka dari itu penulisan artikel ini bertujuan untuk mengkaji relasi hukum dengan faktor nonhukum. Kajian lebih khusus ingin membahas relasi hukum dengan politik. Karena kedua variabel tersebut sangat berkaitan erat, dimana ada anggapan bahwa hukum merupakan produk politik. Selain itu penulis ingin mengakaji pula, bagaimana kedudukan hukum dan politik pada penerapannya di Indonesia.

Definisi Konsep Hukum
Pandangan mengenai hukum dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan dan perubahan. Banyak tokoh atau ahli hukum yang memberikan definisi mengenai hukum. Sehingga Alperdoorn[5] berpendapat bahwa, tidak mungkin memberikan suatu definisi mengenai apakah yang disebut hukum itu. Ia menyatakan, sangat sulit untuk merumuskan definisi mengenai hukum.
Aristoteles menyatakan, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.[6] Sedangkan, menurut Imanuel Kant[7], “hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.”
M.H. Tirtaamidjata memberikan definisi hukum[8] sebagai berikut, “hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.”
Dari definisi hukum menurut banyak ahli hukum dapat diambil kesimpulan mengenai hukum. Hukum meliputi unsur[9] : 1) Peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat; 2) Peraturan yang ditetapkan oleh badan-badan resmi negara; 3) Peraturan yang bersifat memaksa; 4) Peraturan yang memiliki sanksi yang tegas. Namun disini perlu dipahami hukum bukanlah sekedar peraturan tertulis, namun ada pula hukum yang tidak tertulis dan hukum tersebut tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

Definisi Konsep Politik
Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya (polites - warga negara) dan  (polis - negara kota). Secara etimologi kata "politik" masih berhubungan dengan polisi, kebijakan.  Kata "politis" berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang menekuni hal politik.[10] Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik, sedangkan politik adalah usaha menggapai kehidupan yang lebih baik.[11]
Menurut Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan.[12] Sedangkan Andrew Heywood menyatakan, “politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala komflik dan kerjasama.”[13] Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep politik[14] menurut Mirriam Budiardjo berkaitan dengan lima hal yaitu,
1)   Negara (state);
2)   Kekuasaan (power);
3)   Pengambilan Keputusan (decision making);
4)   Kebijakan Umum (policy);
5)   Pembagian (ditribution) atau Alokasi (allocation).


Hubungan Hukum dengan Politik
Hubungan antara hukum dan faktor nonhukum yaitu politik, keduanya memiliki hubungan sebab akibat (kausalitas) asumsinya bermacam-macam, tergantung pada asumsi yang digunakan untuk memberi jawaban atas pertanyaan tersebut.
Politik dilihat sebagai fenomena kekuasaan yang menjadi sember otoritas berwenang dalam pengambila keputusan, dapat dikatakan bahwa politik yang menentukan kebijakan hukum.[15] Dengan kata lain hukum merupakan produk kebijakan dari interaksi politik.
Namun dapat dilihat pula bahwa hukumlah yang determinan[16] (variabel independen) atas politik (variabel dependen), karena tataran ideal hukum itu bermaksud memberikan arahan dan desain tertentu tentang kehidupan politik. Dalam hal ini hukum dapat dijadikan pedemoan dalam rangka hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engginering : Pound). Namun pada kenyataanya yang terjadi di Indonesia dewasa ini, politiklah yang lebih determinan.
Terutama di negara-negara Barat sejak abad ke-19 ilmu hukum sejak dulu erat kaitannya dengan ilmu politik[17], karena mengatur dan melaksanakan undang-undang (law eforcement) merupakan salah satu kewajiban negara. Berikut pandangan ahli hukum dan ahli hukum mengenai relasi[18] kedua ilmu tersebut :
a.    Sarjana hukum melihat negara sebagai lembaga, dan menganggapnya sebagai organisasi hukum yang mengatur hak dan kewajiban manusia. Fungsi negara ialah menyelenggarakan penertiban, tetapi oleh ilmu hukum penertiban ini dipandang sebagai tata hukum. Manusia dilihat sebagai sebjek yang menjadi objek dalam sistem hukum, dan dianggap pemegang hak dan kewajiban semata.
b.    Ahli ilmu politik cenderung menganggap negara sebagai system of control, memandang negara sebagai suatu asosiasi, atu sekelompok manusia untuk mencapai tujuan bersama. Perbedaan negara dengan asosiasi lainnya adalah negara mempunyai wewenang untuk mengendalikan masyarakat (agent of social control) memakai kekerasan fisik.
Hans Kelsen sebagaimana dijelaskan pada pengantar artikel ini, memiliki pandangan ekstrem mengenai hubungan hukum dan politik. Kelsen dengan Teori Hukum Murni beranggapan, bahwa hukum hendaknya dipisahkan atau melepaskan diri dengan anasir-anasir nonhukum termasuk pula politik. Kelsen beranggapan bahwa, dengan adanya faktor nonhukum yang mempengaruhi hukum dapat mereduksi hukum sehingga perlu pemurnian hukum. Teori tersebut memiliki kelemahan elementer, namun tujuan dari teori ini harus dikembangkan, karena hukum memang harusnya tidak dipengaruhi “faktor nonhukum yang negatif” seperti kepentingan individu dan golongan. Tetapi hukum hendaknya dipengaruhi “faktor nonhukum yang postif” seperti hukum hendaknya dibuat oleh lembaga berwenang denagn memperhatikan kepentingan umum sehingga tujuan hukum (keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum) dapat diraskan oleh semua rakyat tanpa diskriminasi.
Secara teoritis hubungan hukum dengan politik/kekuasaan harusnya bersifat fungsional, artinya hubungan ini dilihat dari fungsi-fungsi tertentu yang dijalankan diantara keduanya. Terdapat fungsi timbal balik antara hukum dengan kekuasaan[19], yaitu kekuasaan memiliki fungsi terhadap hukum, sebaliknya hukum juga memiliki fungsi terhadap kekuasaan. Ada 3 macam fungsi Kekuasaan terhadap Hukum : 1) kekuasaan merupakan sarana membentuk hukum (law making); 2) kekuasaan merupakan alat menegakkan hukum; 3) kekuasaan sebagai media mengeksekusi putusan hukum. Begitu juga sebaliknya, ada 3 macam fungsi hukum terhadap kekuasaan : 1) hukum sebagai media melegalisasi kekuasaan; 2) hukum berfungsi mengatur dan membatasi kekuasaan; 3) hukum meminta pertanggungjawaban kekuasaan.
Hukum dan politik merupakan sub sistem dalam sistem kemasyarakatan. Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Pada pokoknya hukum berfungsi melakukan social control, dispuet settlement, dan social enginerring. Sedangkan fungsi poltik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi, konversi, dan fungsi kapabilitas. Hukum dan Politik merupakan cabang dari rumpun Ilmu Sosial. Meskipun terdapat perbedaan keduanya, namun berkaca pada realita yang ada kedua variabel tersebut memang saling terkait satu dengan lainnya.
Jika ada pertanyaan mengenai hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau pertanyaan mengenai apakah hukum mempengaruhi politik ataukah sebaliknya politik mempengaruhi hukum. Maka paling tidak ada tiga jawaban menurut Mahfud MD untuk menjelaskan hubungan politik dan hukum[20] yaitu:
1.    Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa, kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk kepada aturan hukum.
2.    Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan.
3.    Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajad determinasinya seimbang antara satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan hukum.

Prakteknya Politik Determinan atas Hukum
Namun pada prakteknya hukum bukanlah suatu variabel yang independen. Ada variabel lain yang mempengaruhi hukum dan itu tidak bisa dipungkiri. Hukum sering dikalahkan oleh dominasinya kekuasaan politik. Dimana apabila hukum berhadapan dengan kekuasaan, posisi hukum sangatlah lemah.
Mahfud MD dalam bukunya “Politik Hukum di Indonesia” berkesimpulan bahwa yang terjadi Indonesia adalah politik determinan atas hukum. Situasi dan kebijakan politik yang sedang berlangsung sangat mempengaruhi sikap yang harus diambil oleh umat Islam, dan tentunya hal itu sangat berpengaruh pada produk-produk hukum yang dihasilkan.
Hubungan politik dengan hukum di dalam studi mengenai hubungan antara politik dengan hukum terdapat asumsi yang mendasarinya. Pertama, hukum determinan terhadap politik dalam arti bahwa hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das sollen (keinginan, keharusan dan cita).
Kedua,  politik determinan terhadap hukum dalam arti bahwa dalam kenyataannya baik  produk normative maupun implementasi-penegakannya hukum itu sangat dipengaruhi dan menjadi dependent variable atas politik. Asumsi ini dipakai sebagai landasan das sein (kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris.
Ketiga, politik dan hukum terjalin dalam hubungan interdependent  atau saling tergantung yang dapat dipahami dari adugium, bahwa “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan atau anarkis, hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh”. Mahfud MD mengatakan hukum dikonstruksikan secara akademis dengan menggunakan asumsi yang kedua, bahwa dalam realitasnya “politik determinan (menentukan) atas hukum”. Jadi hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai variabel dependen (variable pengaruh), politik diletakkan sebagai variabel independen (variabel berpengaruh).
Selain itu, penulis dapat mengemukakan alasan politik lebih dominan atas hukum di Indonesia yaitu : 1) Poduk hukum dalam artian UU yang dihasilkan cenderung bermuatan politis dan kurang/responsif. Hal itu dibuktikan dengan jual beli pasal UU seperti hilangnya pasal dalam UU Tembakau (istilah ayat tembakau). 2) Setiap rezim sangat berpengaruh terhadap hukum yang berlaku. Konfigurasi politik mempengaruhi hukum, dimana hukum tidak dibuat pelembagaan yang jelas dan baku, tapi hukum terlalu tergantung penguasa. Bila melihat pergantian rezim/Presiden di Indonesia selalu terjadi perubahan karakter hukum nasional. Hal itu berakibat kurang kuatnya sistem hukum Indonesia, bisa dilihat dari komponen hukum: Budaya, Subtansi dan Struktur Hukum Indonesia. 3) Penegakan hukum masih tebang pilih (diskriminatif), serta tidak mengindahkan tujuan hukum keadilan dan kemanfaatan (terlalu positivistik hukum Indonesia). Bandingkan saja perlakuan terhadap koruptor seperti Gayus dan Nazaruddin dengan Nenek Minah.
Berikut ulasan dominasi politik terhadap hukum pada kasus Anas Urbaningrum[21] dikutip dari artikel “KPK dan Koruptor Dalam Relasi Hukum Dan Kekuasaan. Penetapan status tersangka kepada politisi muda dan sekaligus Ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum oleh KPK, merupakan momentum positif dalam konteks penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Publik patuh bergembira, karena selama lebih setahun setelah “partner in crime” nya Nazarrudin “bernyanyi” dalam proses penyidikan, Anas akhirnya mengikuti jejaknya memasuki jaring perangkap KPK.
Indonesia, dalam kerangka legal formal menganut mekanisme negara hukum (rule of law) yang menitik beratkan pada penghormatan atas hak asasi manusia sebagaimana terjamin dalam konstitusi negara. Paradigma liberal tersebut dapat dilacak dari pemikiran Austin dan Bentham, mereka secara ilmiah mereduksi definisi dan jangkauan hukum sebatas pada hukum negara yang dijalankan dengan kekuatan sanksi (sanction), perintah penguasa (command) dan kedaulatan hukum negara (sovereign).[22] Paradigma ini, lebih memfokuskan pada pertanyaan apa dan bagaimana “sumber” dan “validasi” hukum, namun kurang dalam mengelaborasi pertanyaan bagaimana hukum itu dijalankan untuk mencapai tujuannya.
Dalam konteks penegakan hukum, prinsip tersebut di abstraksikan dalam sebuah prinsip “equality before the law” yang diartikan sebagai persamaan atau tidak adanya diskriminasi dalam proses penyidikan.  Dalam dimensi hukum an sich, Anas dan politisi yang terjerat kasus pidana korupsi adalah “orang biasa” yang memiliki status dan hak yang sama di hadapan hukum. Pihak penuntut dalam hal ini KPK, juga dilihat sebagai institusi yang kebal dan bertindak professional dengan menafikan segala intervensi politik dan istiqomah dengan mengedepankan asas-asas hukum sebagai aturan main (the rule of conduct) yang berlaku. Namun dalam persepktif sosio-legal terlebih dalam perspektif hukum kritis, Anas dan mereka yang terjerat kasus korupsi tidaklah selalu orang biasa, namun lebih kepada orang yang memiliki bargaining dalam percaturan politik dan hukum di negara ini.
Hukum dan kekuasaan berhubungan dengan mesra dalam dinamika bernegara. Marx dan kaum post-strukturalisme kerap mengkritik hukum negara yang cenderung berpura-pura naïf dalam berdialektika dengan menafikan pengaruh-pengaruh non-legal terhadap hukum dan menerima hukum sebagaimana apa adanya (law as it is ought to be). Derrida dan Foucault bahkan lebih jauh berargumen dengan menantang “narasi besar” (metanarrative) kekuasaan hukum negara. Mereka berpandangan bahwa negara mengkonstruksi “konsep kebenaran” (concept of knowledge) yang di perkenal kan secara perlahan lewat jalur kekuasaan dengan proses atas-bawah. Konsep kebenaran dalam relasi penguasa dengan rakyat tidaklah pernah mutlak (absolute), namun lebih tergantung pada struktur posisi orang atau golongan yang menciptakan “kebenaran” tersebut.
Namun, mentalitas negara yang senang bermain dengan kekuasan dan klaim kebenaran, tidak serta menjadi alasan tunggal lambannya penegakan hukum di Indonesia. Pada akhirnya, publik harus menghormati KPK dan institusi negara dalam menjalankan tugasnya, karena ekpektasi besar akan hukum yang “tidak pandang bulu” tertumpu pada mereka, sembari memantau dengan kritis dan cermat proses hukum tersebut.

Titik Tengah adalah Politik Hukum
Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum di atas kemudian lahir sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: Pertama, pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[23] Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan.
Menurut Mahfud MD, secara yuridis-konstitusional negara Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah religious nation state atau negara kebangsaan yang beragama. Indonesia adalah negara yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar moral, sekaligus sebagai sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu dengan jelas dikatakan bahwa salah satu dasar negara Indonesia adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[24]
Politik Hukum adalah alternatif berkaitan dengan adanya determinan politik atas hukum di Indonesia. Titik tolak politik hukum adalah visi hukum.[25] Berdasarkan visi dan cita hukum tersebutlah diformat dalam bentuk dan isi hukum yang capable untuk mewujudkan visi/cita-cita negara. Politik hukum hadir sebagai agenda hukum, adalah bahwa dalam tugasnya mewujudkan tujuan bersama, maka hukum hadir dalam wujud hakikatnya sebagai hukum yaitu : memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Nilai-nilai yang ideal (tujuan hukum) yang melakat pada hukum merupakan basis dan titi tolak hukum. Sehingga, memang hukum dan politik dua variabel yang berbeda dan sering bersebrangan pandangan. Namun tidak bisa dibantahkan, keduanya saling berhubungan atau memiliki relasi. Pada prakteknya, pasti ada salah satu variabel yang lebih dominan atas lainnya. Maka dari itu diperlukan alternatif untuk menyeimbangkan keduanya yaitu melalui Politik Hukum. Mungkin posisi/kedudukan seimbang dan sejajar antara keduanya adalah mimpi di siang bolong, tetapi dengan adanya Politik Hukum diharapkan tidak adanya dominasi yang ekstrim dari salah satu variabel terutama Politik.


Saran
Berdasarkan pembahasan artikel ini, hukum dan politik memang memiliki relasi yang cukup eret. Bahkan politik seringkali memiliki kedudukan lebih dominan dibanding hukum. Politik hukum dijadikan alternatif rekomendasi penulis untuk mengurangi kuatnya dominasi politik atas hukum. Di dalam sistem demokrasi di Indonesia, masyarakat berhak, bahkan wajib berpolitik untuk menentukan haluan negara, membuat undang-undang, dan mengawasi pelaksanaan kekuasaan negara. Hukum dibentuk sesuai dengan hasil proses politik dalam masyarakat. Konfigurasi politik Indonesia tergantung dari rezim yang berkuasa (berubah-ubah), konfigurasi politik Indonesia saat ini adalah demokratis dan cenderung kebablasan. Hendaknya karakter/produk hukum yang dihasilkan haruslah resposif.

Referensi :
Author. 26 Februari 2013. KPK dan Koruptor Dalam Relasi Hukum Dan Kekuasaan. http://thewarofcredo.wordpress.com/2013/02/26/kpk-dan-koruptor-dalam-relasi-hukum-dan-kekuasaan/. Online, Diakses 29 April 2013.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : Graedia Pustaka Utama.
Ensiklopedia Wikipedia. Politik. http://id.wikipedia.org/wiki/Politik. Online, Diakses 29 April 2013.
Ensiklopedia Wikipedia. Teori Hukum Murni. http://id.wikipedia.org/wiki/Toeri_Hukum_Murni. Online, Diakses 29 April 2013.
Kansil, C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia .Jakarta : Balai Pustaka.
Mahfud MD, Moh. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Mahfud MD, Moh. 1999. Hukum dan Piar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta : Gama Media.
Maronie, Sherief. 11 November 2011.  Hubungan Politik & Hukum. http://zriefmaronie.blogspot.com/2011/11/hubungan-hukum-politik.html. Online, Diakses 29 April 2013.
Muhammad, Ali Abdul Mu’t. 1998. Filsafat Politik Antara Barat dan Islam. Diterjemahkan oleh: Rosihon Anwar, Bandung : CV Pustaka Setia.
Sukanto, Soerjono.2006. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Tanya, Bernard L. 2011. Politik Hukum Agenda Kepentngan Bersama. Yogyakarta : Genta Publishing.



[1] Soerjono Sukanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006, hal 34-38
[2] Soerjono Sukanto, Ibid.
[3] Ensiklopedia Wikipedia, Teori Hukum Murni, http://id.wikipedia.org/wiki/Toeri_Hukum_Murni.
[4] Soerjono Sukanto, Loc.Cit.                                          
[5] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1986, hal 34-37.
[6] C.S.T Kansil, Ibid.
[7] C.S.T Kansil, Ibid.
[8] C.S.T Kansil, Op.Cit., hal 38.
[9] C.S.T Kansil, Op.Cit., hal 39.
[10] Ensiklopedia Wikipedia, Politik, http://id.wikipedia.org/wiki/Politik.
[11] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, Jakarta : Graedia Pustaka Utama, 2008, hal 13.
[12] Ali Abdul Mu’t Muhammad, Filsafat Politik Antara Barat dan Islam. Diterjemahkan oleh: Rosihon Anwar, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998, hal 40-43.
[13] Miriam Budiardjo, Op.Cit., hal 16.
[14] Miriam Budiardjo, Op.Cit., hal 17-22.
[15] Moh. Mahfud MD, Hukum dan Piar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta : Gama Media, 1999, hal 200-201.
[16] Moh. Mahfud MD, Ibid.
[17] Miriam Budiardjo, Op.Cit., hal 35-38.
[18] Miriam Budiardjo, Op.Cit., hal 35-38.
[19] Sherief Maronie, Hubungan Politik & Hukum, Online 11 November 2011, http://zriefmaronie.blogspot.com/2011/11/hubungan-hukum-politik.html
[20] Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998, hal 8-9.
[21] Author, KPK dan Koruptor Dalam Relasi Hukum Dan Kekuasaan, Online, 26 Februari 2013, http://thewarofcredo.wordpress.com/2013/02/26/kpk-dan-koruptor-dalam-relasi-hukum-dan-kekuasaan/
[22] Soerjono Sukanto, Loc.Cit.
[23] Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Loc.Cit.
[24] Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Loc.Cit.
[25] Bernard L. Tanya, Politik Hukum Agenda Kepentngan Bersama, Yogyakarta : Genta Publishing, 2011,  hal 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FILSAFAT HUKUM ISLAM TENTANG LEMBAGA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Namun pada praktiknya, perekeno...