Selasa, 10 April 2012

SEJARAH KEDUDUKAN (PERIODESASI) HUKUM ADAT INDONESIA


SEJARAH KEDUDUKAN (PERIODESASI) HUKUM ADAT INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
Hukum adat secara nyata memang sudah diakui menjadi milik bangsa Indonesia secara mutlak dan asli berasal dari Indonesia. Hukum adat Indonesia tumbuh dan berkembang dalam jiwa bangsa, artinya hukum adat merupakan pencerminan dari kepribadian bangsa Indonesia. Akan tetapi, masyarakat Indonesia tidak memperhatikan dan tidak mengetahui sejak kapan hukum tersebut menjadi milik bangsa Indonesia. Karena pada zaman dahulu hukum yang berkembang antar daerah di Indonesia memiliki istilah yang berbeda-beda. Namun, hukum tersebut intinya sama yaitu sebagai aturan atau pedoman untuk bertingkah laku. Kedudukan hukum adat ini hendaknya dipertahankan dan dilestarikan oleh generasi berikutnya secara terus menerus.
Kedatangan bangsa Barat ke Pribumi membuat hukum asli kita mulai terusik. Yang mana semula bangsa Barat ke tanah air hanya untuk mencari remapah-rempah saja. Namun setelah sekian lama berkuasa di Indonesia bangsa Barat mulai kesulitan dalam mencapai tujuannya. Hal ini disebabkan bangsa Indonesia dahulu masih asing dan bersifat tertutup untuk menghadapi orang luar. Maka disinilah bangsa Barat mulai penasaran akan tradisi atau budaya serta nilai-nilai yang sangat kental di dalam pribumi ini. Sehingga, bangsa Asing tersebut mulai merencanakan untuk mempelajari Hukum Adat Asli Indonesia dengan cara melihat seluk beluk history masyarkat Indonesia terlebih dahulu.
Hukum Adat bila dibenturkan dengan permasalahan sosial masih mengandung berbagai permasalahan (problem). Pertama konsep hukum Adat yang selama ini dikembangkan adalah konsep yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven yang tentunya sudah tidak relevan pada masa sekarang. Kedua hukum Adat yang merupakan sumber hukum Nasional belum dilegalkan sebagai peraturan tertulis, padahal hukum dalam konteks lokal (local culture) perlu dikembangkan dalam era sekarangsehingga hukum yang berlaku di masyarkat terasa lebih inhern, acceptable, dan adaptif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Era Pra Kolonial sampai Era VOC
1.    Sejarah singkat
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia.
Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat. Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidup kultur Hindu, Islam dan Kristen. Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau “Inladsrecht” menurut Van Vaollenhoven terdiri dari :
2.    Bukti Adanya Hukum Adat Indonesia
Hukum adat tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia. Maka hukum adat dapat dilacak secara kronologis sejak Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan, yang tersebar di seluruh nusantara. Masa Sriwijaya, Mataran Muno, Masa Majapahit beberapa inskripsi (prasasti) menggambarkan perkembangan hukum yang berlaku (hukum asli), yang telah mengatur beberapa bidang, antara lain:
a.    Aturan aturan keagamaan, perekonomian dan pertambangan, dimuat dalam Prasasti Raja Sanjaya tahun 732 di Kedu, Jawa Tengah;
b.    Mengatur keagamaan dan kekaryaan, dimuat dalam prasasti Raj Dewasimha tahun 760;
c.    Hukum Pertanahan dan Pertanian ditemukan dalam Prasasti Raja Tulodong, di Kediri tahun 784 dan prasasti tahun 919 yang memuat jabatan pemerintahan, hak raja atas tanah, dan ganti rugi;
d.   Hukum mengatur tentang peradilan perdata, dimuat dalam prasasti Bulai Rakai Garung, 860.
e.    Perintah Raja untuk menyusus aturan adat, dalam prasasti Darmawangsa tahun 991;
f.     Pada masa Airlangga, adanya penetapan lambang meterai kerajaan berupa kepala burung Garuda, pembangunan perdikan dengan hak-hak istimewanya, penetapan pajak penghasilan yang harus dipungut pemerintah pusat.
g.    Masa Majapahit, tampak dalam penataan pemerintahan dan ketatanegaraan kerajaan Majapahit, adanya pembagian lembaga dan badan pemerintahan. Setelah jatuhnya Majapahit, maka kerajaan Mataram sangat diwarnai oleh pengaruh Islam, maka dikenal peradilan qisas, yang ,memberikan pertimbangan bagi Sultan untuk memutus perkara. Di pedalaman, dikenal peradilan ‚padu’ yaitu penyelesaian perselisihan antara perorangan oleh peradilan desa, dilakukan secara damai. Bersamaan itu, maka di Cirebon dikenal : Peradilan Agama memutus perkara yang membahayakan masyarakat umum, Peradilan Digrama yang memutus pelanggaran adat, dan perkara lain yang tidak masuk peradilan agama; dan Peradilan Cilaga adalah peradilan dalam bidang perekonomian, perdagangan, jual beli, hutang piutang.
Beberapa contoh tersebut di atas menunjukkan bahwa tatanan hukum asli yang telah berlaku di berbagai daerah, yang sekarang dikenal dengan nama Indonesia menunjukkan hukum bersumberkan pada masyarakat asli, baik berupa keputusan penguasa maupun hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat setempat.
Bukti-bukti bahwa dulu sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah ada hukum adat, adalah sebagai berikut :
a.    Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan kitabnya yang disebut Civacasana.
b.    Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang disebut Kitab Gajah Mada.
c.    Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.
d.   Tahun 1350, di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava.
Disamping kitab-kitab hukum kuno tersebut yang mengatur kehidupan di lingkungan istana, ada juga kitab-kitab yang mengatur kehidupan masyarakat sebagai berikut :
1.    Tapanuli : Ruhut Parsaoran di Habatohan (kehidupan social di tanah Batak), Patik Dohot Uhumni Halak  Batak (Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan Batak).
2.    Jambi : Undang-Undang Jambi.
3.    Palembang : Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang tanah di dataran tinggi daerah Palembang).
4.    Minangkabau : Undang-Undang nan dua puluh (Undang-Undang tentang hukum adat delik di Minangkabau).
5.    Sulawesi Selatan : Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan pengangkatan laut bagi orang-orang wajo).
6.    Bali : Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama desa (peraturan desa) yang ditulis didalam daun lontar.

Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang hukum adat, dan semasa VOC karena ada kepentingan atas Negara jajahannya (menggunakan politik opportunity), maka Heren 17 (pejabat di Negeri Belanda yang mengurus Negara-negara jajahan Belanda) mengeluarkan perintah kepada Jenderal yang memimpin daerah jajahannya masing-masing untuk menerapkan hukum Belanda di Negara jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada tanggal 1 Maret 1621 yang baru dilaksanakan pada tahun 1625 yaitu pada pemerintahan De Carventer yang sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup.
Oleh karena itu, Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan sehingga perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu :

1.    Tahun 1750, untuk keperluan Lanrad (pengadilan) di Serang dengan kitab hukum “MOGHARRAR” yang mengatur khusu pidana adat (menurut Van Vollenhoven kitab tersebut berasal dari hukum adat).
2.    Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu “COMPEDIUM” (pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck mengenai Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan kerator Bone dan Goa.
3.    COMPENDIUM FREIZER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak, dan warisan.
4.    HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk para hakim di Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON. Pencatatan hukum adat oleh orang luar negeri diantaranya:
a.    Robert Padtbrugge (1679), ia seorang gubernur Ternate yang mengeluarkan peraturan tentang adat istiadat Minahasa.
b.    Francois Valetijn (1666-1727) yang menerbitkan suatu ensiklopedia tentang kesulitan-kesulitan hukum bagi masyarakat.

Periodesasi hukum adat pada masa penjajahan Belanda terbagi dalam :
Ø Jaman Daendels (1808-1811) Beranggapan bahwa memang ada hukum yang hidup dalam masyarakat adat tetapi derajatnya lebih rendah dari hukum eropa, jadi tidak akan mempengaruhi apa-apa sehingga hukum eropa tidak akan mengalami perubahan karenanya.
Ø Jaman Raffles (1811-1816) Pada zaman ini Gubernur Jenderal dari Inggris membentuk komisi MACKENZIE atau suatu panitia yang tugasnya mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada di masyarakat, untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk pemerintahan yang dipimpinnya. Setelah terkumpul hasil penelitian komisi ini yaitu pada tanggal 11 Pebruari 1814 dibuat peraturan yaitu regulation for the more effectual Administration of justice in the provincial court of Java yang isinya :
·      Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim
·      Susunan pengadilan terdiri dari : Residen’s court ; Bupati’s court; Division court
·      Ada juga Circuit of court atau pengadilan keliling
·      Yang berlaku adalah native law dan unchain costum untuk Bupati’s court dan untuk Residen (orang Inggris) memakai hukum Inggris.
Ø Zaman Komisi Jenderal (1816-1819) Pada zaman ini tidak ada perubahan dalam perkembangan hukum adat dan tidak merusak tatanan yang sudah ada.
Ø Zaman Van der Capellen (1824) Pada zaman ini tidak ada perhatian hukum adat bahkan merusak tatanan yang sudah ada.
Ø Zaman Du Bush Pada zaman ini sudah ada sedikit perhatian pada hukum adat, yang utama dalam hukum adat ialah hukum Indonesia asli.
Ø Zaman Van den Bosch Pada zaman ini dikatakan bahwa hukum waris itu dilakukan menurut hukum Islam serta hak atas tanah adalah campuran antara peraturan Bramein dan Islam.
Ø Zaman Chr. Baud. Pada zaman ini sudah banyak perhatian pada hukum adat misalnya tentang melindungi hak-hak ulayat.


B.  Era Kolonial sejak 1848 sampai Era Kemerdekaan
a.    Masa penjajahan Belanda
Pertama kalinya hukum adat diatur dalam Algemeene Bepaligen van Wetgeving voor Nerderland Indie (A.B.) yang mengatur tentang “ketentuan-ketentuan umum bagi perundangan Indonesia” dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 dimuat dalam Stb 1847 no.23.
Pasal 11 AB menyatakan: “apabila peraturan hukum adat yang bersangkutan bertentangan dengan dasar-dasar keadilan atau bila terhadap soal yang menjadi perkara itu tidak ada peraturan adat, maka hakim wajib memakai dasar-dasar umum hukum perdata dan dagang Eropa sebagai pedoman.”
Semenjak tanggal 22 September 1854, A.B diganti dengan Regerings Reglement (R.R) yang mengatur tentang “peraturan tentang kebijaksanaan pemerintah, urusan pengadilan, dan perdagangan di daerah jajahan di Asia”. RR ini sering dikatakan sebagai teks lama (perubahan pertama). Masalah hukum adat yang semula diatur dalam pasal 11 AB sekarang diatur dalam pasal 75 RR yang intinya menyatakan “sekedar perundangan bagi golongan bangsa Eropa tidak diperlukan oleh Gubernur Jenderal untuk bangsa Indonesia, dan sekedar orang Indonesia tidak menyatakan dengan sukarela bahwa ia akan  hakim harus melakukan dalam lapangan perdata hukum adat asalkan hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang diakui umum.”
Tanggal 1 Januari 1920 RR teks lama diperbaharui lagi dengann RR teks  baru. Kemudian tanggal 23 Juni 1925 RR teks baru, diperbaharui lagi dengan Indische Staatsregelling (I.S.) yang mengatur tentang “peraturan Ketatanrgaraan Indonesia” dimuat dalam Stb 1925 no. 415 yang mulai berlaku semenjak tgl 1 Januari 1926. Diamana pasal 75 RR isinya mirip dengan isi pasal 131 I.S.
Pasal 131: 1 IS menetapkan: “suatu asas bahwa hukum perdata dan hukum pidana materiil dan formil akan ditulis atau ditetapkan dalam ordonansi-ordonansi yaitu suatu UU yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal dengan persetujuan Volksraad” .
Pasal 131: 2 I.S. menetapkan “suatu pedoman kepada pembentuk ordonansi untuk hukum  perdata materiil yang harus diatur orang Indonesia dan Timur Asing. Untuk itu berlaku asas bahwa hukum adat mereka akan dihormati, denagn kemungkinan penyimpangan-penyimpangan”.
Walaupun pasal 75 RR isinya hampir sama dengan pasal 131 I.S, tetapi tetap ada perbedaan penting yang perlu diperhatikan, yaitu :
1.    Pasal 75 RR ditujukan kepada hakim sedangkan pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat undang-undang.
2.    Pasal 75 RR memuat kemungkinan bagi orang Indonesia atau orang Timur Asing untuk menundukkan diri kepada hukum baru (nieuw recht) yaituy hukum yang merupakan sintesa antara hukum adat dengan hukuim Eropa, sedangkan pasal 131 IS membolehkan bagi orang Indonesia atau Timur Asing untuk menundukkan diri pada hukum Barat.
3.    Hukum adat tidak boleh dijalankan apabila bertentangan dengan “asas-asas keadilan”. Jika hukum adat tidak dapat menyelesaikannya menurut asas-asas hukum Eropa.

Pembatasan atas penerapan dan kemungkinan untuk menambah hukum adat yang tercantum dalam pasal 75 ayat 3 dan ayat 6 R.R tidak termuat dalam pasal 131 IS. Ssesudah tangal 1 januari 1926, nyatanya kedua wewenang hakim itu tidak termuat dalam pasal 131 IS.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa kekuasaan kolonial belanda dahulu bangsa Indonesia sudah mewarisi dua konsep hukum adat yaitu: 1) Konsep hukum adat dari pemerintah kolonial Belanda yang dituangkan dalam pasal 131 ayat 2 IS, yang ditujukan kepada pembentuk perundangan negara. 2) Konsep hukum adat hasil kongres Pemuda Indonesia (1928) yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperkuat persatuan bangsa. (Hilman H, 2003:95)

b.   Masa Penjajahan Jepang
Pada masa pemerintahan Bala militer Jepang dahulu, satu-satunya peraturan pokok yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang di Indonesia ialah UU No. 1 tahun 1942, yang dikeluarkan tanggal 7 Maret 1942. Pada Pasal 3 menyatakan: “semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya  hukum dan undang-undang dari pemerintahan yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan Aturan Pemerintah Militer.” (Bunyi pasal ini seperti peraturan pralihan). Ini berarti semua peraturan atau lembaga yang sudah dibuat oleh kolonial Belanda dahulu diberlakukan oleh Pemerintah Militer Jepang di Indonesia.

C.  Era Tata Hukum Indonesia
Merujuk pada pengertian hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo, maka hukum adat pembentukan dapat melalui Badan Legislatif, melalui Pengadilan. Hukum merupakan kesatuan norma yang bersumber pada nilai-nilai (values). Namun demikian hukum dan hukum adat pada khususnya menurut karakternya, ada : 1) Hukum adat memiliki karakter bersifat netral, dan 2) Hukum adat memiliki karakter bersifat tidak netral karena sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai relegius.
Dasar hukum adat sekarang :
·      Dekrit Presiden 5 Juli 1959. (pasal peralihan UUD 1945)
·      Pasal 24 UUD 1945
·      Pasal 23 ayat 1 UUD 1945.
·      UU No. 14/1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Hukum Adat dijadikan dasar bagi terbentuknya hukum nasional dalam rangka pembangunan hukum. Hal ini dapat dilihat dalam Tap MPRS No. 11/MPRS/1960 dimana asas yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum adalah :
a)    Pembangunan hukum harus diarahkan pada homogenitas dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
b)   Harus sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
Hukum adat dijadikan dasar bagi hukum nasional, karena merupakan hukum yang mencerminkan kepribadian/jiwa bangsa Indonesia.
Hukum adat oleh ahli barat, dipahami berdasarkan dua asumsi yang salah, pertama, hukum adat dapat dipahami melalui bahan-bahan tertulis, dipelajari dari catatan catatan asli atau didasarkan pada hukum-hukum agama. Kedua, bahwa hukum adat disistimatisasi secara paralel dengan hukum-hukum barat. Akibat pemahaman dengan paradigma barat tersebut, maka hukum adat dipahami secara salah dengan segala akibat-akibat yang menyertai, yang akan secara nyata dalam perkembangan selanjutnya di masa kemerdekaan.

a.    Hukum Adat dalam Konsitusi
Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian berdasarkan azas kekeluargaan.
Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat.
Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 diambali berlaku, ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak mewujdukan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. Maka azas-azas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting untuk diwujudkan dan disesuasikan dengan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, bersumber pada nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujdukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fundamental dan penting, adanya persatuan perasahaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya pemimpin harus menantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam hubungan itu diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang memiliki watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara, sebagai fungsi manusia harus sebabtiasa dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan YME.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 18D ayat 2 menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Maka konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
1.    Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat;
2.    Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang;
UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.


b.   Hukum Adat Dalam UU Darurat No. 1 Tahun 1951
Hukum adat dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, dimuat dalam pasal 1 dan pasal 5. Pasal 1, ditegaskan : Kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang meliputi badan pengadilan gubernemenm badan pengadilan swapraja (Zellbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan pengadilan adat (Inheemse rechtspraak in rechsreeks bestuurd gebied) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari pengadilan adat yang telah dihapuskan.
Pasal 5 ayat (3) Sub b : Hukum Materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat, adat tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang-orang itu dengan pengertian:
§  ...perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana akan tetapi tidak ada bandingannya dalam KUHP Sipil maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari 3 (tiga) bulan penjara dan/ atau denda lima ratus , yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum...
§  Bahwa bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui pidananya dengan kurungan atau denda, ...maka dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 (sepuluh) tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukum adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan zaman...
§  Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dengan KUHP Sipil maka dianggap diancam dengan hukum yang sama dengan hukum bandingannya yang paling mirip dengan perbuatan itu.
Ketentuan tersebut berusaha untuk menghapus hukum pidana adat berikut sanksinya bagi pribumi dan orang-orang timur asing dengan peradilan pidana adat, kecuali hanya diselenggarakan oleh peradilan umum, peradilan agama dan peradilan desa (hakim perdamaian desa).
Dengan demikian sejak dikeluarkan UU Drt Nomor 1 Tahun 1951, maka hukum pidana adat sudah tidak mendapat tempat semestinya karena sangat dibatasi dalam politik hukum NKRI. Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria/KBPN No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat, disebutkan:
1.    Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat.
2.    Hak ulayat masyarakat hukum adat masih ada apabila:
a.    terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketenuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;
b.    terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan;
c.    terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

c.    Hukum Adat Dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
Dalam pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960 ditegaskan: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan undang-undang lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersumber pada hukum agama. Penjelasan Undang-undang disebutkan: Hukum adat yang disempurnakan dan disuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dunia internasional serta sesuai dengan sosialisme Indonesia. Ketentuan tersebut merupakan realisasi dari Tap MPRS II/MPRS/1960 Lampiran A Paragraf 402.
Hukum agraria hanya memberlakukan hal-hal tertentu saja daripadanya. Pereduksian dapat dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan negara. Adanya Hak Menguasai Negara (HMN), merupakan bentuk penarikan ke negara Hak Ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat atas tanah yang berada di wilayah Indonesia, yang kemudian dikontruksi kembali sebagai bentuk pelimpahan kewenangan negara dalam pelaksanaan dapat dilimpahkan kepada pemerintah di bawahnya. Maka Hak Ulayat dalam masyatakat adat yang semula bersifat mutlak dan abadi, telah direduksi dengan tergantung kepentingan dan ditentukan oleh negara.
Akibat lebih jauh adalah, timbulnya hak atas tanah menurut hukum adat, yaitu dengan Hak Membuka Tanah (ontginningrecht) yang diberikan oleh ulayat, sehingga ia memiliki Hak Menikmati (genotrecht), dan memiliki hak terdahulu (voorkersrecht) atas tanah yang digarapnya, timbulnya hak milik melalui penunjukan rapat desa di Jawa Tengah (pekulen, norowito) dan Jawa Barat (kasikepan, kanomeran, kacacahan), oleh UUPA direduksi dan disubordinasikan melalui peraturan pemerintah, sebagaimana diatur pasal 22 ayat (1) UUPA: Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju unifikasi dengan tidak mengabaikan berkembangnya hukum kebiasaan pengadilan dalam pembinaan hukum. Berikut periodesasi hukum adat :
1.    Era Pra Kolonial sampai Era VOC
Peraturan adat istiadat, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-Hindu. Bukti bahwa dulu sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah ada hukum adat, adalah sebagai berikut : 1) 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan kitabnya yang disebut Civacasana. 2) 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang disebut Kitab Gajah Mada. 3) 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama. 4) 1350, di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava, dsb.
2.    Era Kolonial sejak 1848 sampai Era Kemerdekaan
a.    Masa penjajahan Belanda
Pada masa kekuasaan kolonial belanda dahulu bangsa Indonesia sudah mewarisi dua konsep hukum adat yaitu: Konsep hukum adat dari pemerintah kolonial Belanda yang dituangkan dalam pasal 131 ayat 2 IS, yang ditujukan kepada pembentuk perundangan negara.
b.    Masa Penjajahan Jepang
Pasal 3 UU No.1 tahun 1942 terzsebut menyatakan: “semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya  hukum dan undang-undang dari pemerintahan yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan Aturan Pemerintah Militer.”
3.    Era Tata Hukum Indonesia
Rumusan-rumusan yang ada di dalam konstitusi Indonesia mengandung nilai luhur hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian berdasarkan azas kekeluargaan.
B.  Saran
Secara normatif, sebaiknya bangsa Indonesia berkomitmen untuk tetap mempertahankan hukum asli Indonesia yaitu Hukum Adat. Walaupun sekarang ini pelaksanaan hukum Indonesia yang mengadopsi hukum Eropa begitu menjamur. Sehingga, seakan-akan masyarakat atau bangsa Indonesia sudah lupa terhadap hukum asli bangsa ini. Padahal hukum tersebut merupakan cermin dari kepribadian bangsa Indonesia.
Dengan demikian, hendaknya Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah segera melakukan tindakan baik dari segi regulasi maupun action dalam melestarikan keberlangsungan hukum adat di masing-masing daerah. Seperti dari hal teknis, misalnya mengadakan seminar tentang “Kearifan Lokal di Daerah Indonesia “, perayaan karnaval, dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam melestarikan hukum adat yang bersifat non-teknis. Seperti dengan penyuluhan atau sosialisasi akan penting memelihara kearifan lokal dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Misainya Kepala Desa membuat peraturan atau regulasi tentang bersih desa atau kerja bakti setiap hari jum’at. Dengan seperti itu, akan tumbuh nilai-nilai budaya (gotong royong dan kerjasama atau saling tolong menolong) dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga masyarakat akan timbul kesadaran dalam melestarikan hukum adat tersebut. Hal ini sangat penting terkait dalam membina hukum nasional dan mengembalikan kepribadian bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

E.S Ardinarto. 2007. Mengenal Adat Istiadat dan Hukum Adat di Indonesia. Surakarta : UNS Press.
Hadikusuma, Hilman, Prof., S.H. 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung : Mandar Maju.
Website :
f-j-f-j.blogspot.com/2011/10/sejarah-politik-hukum-adat.html Online, diakses 23 Maret 2012
images.flowst.multiply.multiplycontent.com/ Online, diakses 23 Maret 2012
mklh3sejarahhukumadat.blogspot.com/ Online, diakses 23 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FILSAFAT HUKUM ISLAM TENTANG LEMBAGA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Namun pada praktiknya, perekeno...